Sunday, December 24, 2017

Tertangkap camera : perilaku Rekrekan, monyet langka endemik Jawa


2 individu Rekrekan (Presbytis comata) tertangkap jebakan camera

Jenis-jenis primata pemakan daun seperti Rekekan (Presbytis comata) atau Lutung ( Trachypithecu auratus), di laporkan telah menjadi hama bagi warga di sekitar hutan. Laporan-laporan ini kami coba telusuri bagaimana sebenarnya yang terjadi. Dan beberapa pengamatan di sekitar dusun Sokokembang juga melihat langsung bagaimana Rekrekan ini juga berada di sekitar perkebunan warga, entah itu mencari makan atapun sekedar lewat saja.
Rekrekan (Presbytis comata) tertangkap  camera di pohon Dadap 

Kami mencoba mendalami laporan-laporan ini, di sekitar hutan-hutan di Jawa Tengah, yang masih ada di jumpai Rekrekan, dan tentu saja dengan bukti-bukti yang sangat jelas akan memperkuat analisis bagaimana selanjutnya penanganan konflik primata dengan manusia ini. Ini masih merupakan studi awal di habitat asli Rekrekan di dusun Sokokembang, Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Pekalongan, mencoba mendokumentasikan konflik antara manusia dan primata, dan kami menggunakan metode  camera trap untuk melihat langsung bagamana Rekrekan ini menginvasi tanaman perkebunan warga yang berada di sekitar hutan.

Kami telah mendapatkan 2 dokumentasi camera trap untuk Rekrekan yang mengivasi lahan milik warga, yang pertama  di tahun 2015, kami memasang camera trap di canopy pohon, kurang lebih 4 meter di atas tanah, dan daun dadap  (Erithrina variegata )inilah yang menjadi incaran Rekrekan, karena terdapat di tengah perkebunan milik warga.  Untuk menuju pohon ini Rekrekan juga tidak sungkan untuk turun ke tanah dan bergerak di tempat terbuka. Kami mengamati kalau daun masih tersisa di pohon, maka Rekrekan juga akan datang lagi untuk makan.



Rekrekan sendang makan biji buah nangka 


Catatan camera trap kedua, kelompok rekrekan ini tertangkap camera sedang memakan buah Nangka (Arthocarpus heteropillus). Perilaku ini juga mengungkap bahwa buah nangka yang muda pun menjadi pilihan sumber pakan di antara daun-daun, terlihat dari camera biji nangka - nangka muda itu menjadi pilihan untuk di habiskan.
Catatan mengenai sumber pakan alami dari Rekrekan juga tidak terlalu banyak, secara umum kandungan kalori dalam biji lebih tinggi, mungkin itu juga yang membuat Rekrekan menyukai buah yang berbiji.  Kandungan nutrisi dan komposisi pakan ini juga banyak di teliliti untuk informasi konservasi ex-situ, karena sedapat mungkin primata primata yang ada di captive program seperti  di kebun binatang mempunyai asupan makanan yang hampir mendekati kondisi di alam. Oleh karena itu penelitian tentang sumber pakan alami  ini juga penting untuk pelestarian primata.

Selain itu laporan ilmiah tentang jenis-jenis primata di lindungi dan langka yang berkonflik dengan manusia masih sangat terbatas, khususnya di Jawa Tengah,warga sekitar hutan juga mengkategorikan primata jenis Rekrekan  yang mengganggu tanaman pertanian atau perkebunan ini juga sebagai hama. Yang mana biasanya penanggulangan hama juga tidak mempertimbangkan kelestarian primata, kompromi antara ekonomi dan  ekologi belum menemukan titik temu yang seimbang.

Penelitian tentang konflik primata dan manusia dan juga tentang komposisi pakan Rekrekan ini masih terlalu awal untuk  menyimpulkan sebuah solusi permasalahan, namun temuan sekecil apapun dilapangan tentu akan sangat penting bagi ilmu pengetahuan,  silahkan hubungi kami di swaraowa@gmail.coml bagi anda yang tertarik untuk kajian  ini lebih lanjut.


Referensi :

Kool, K.M., 1992. Food selection by the silver leaf monkey, Trachypithecus auratus sondaicus, in relation to plant chemistry. Oecologia90(4), pp.527-533.

Friday, December 15, 2017

Joja Atapaipai : pesona dari Mentawai

Sipora, salah satu rangkaian 4 pulau besar di Kepulauan mentawai, menjadi tujuan primatewatching bulan lalu. Catatan penelitian primata di pulau ini sudah sejak tahun 70 an sudah ada kegiatan penelitian primata endemik mentawai. sudah tentu tempat ini menjadi populer di kalangan pegiat alam, yang sekedar melihat langsung  hidupan liar.

Meskipun sebagai pusat pemerintahan, tentunya prioritas pembangunan infrastruktur juga berdampak pada luasan hutan sebagai habitat hidupan liar yang hanya ada di pulau ini. Catatan-catatan perjumpaan hidupan liar di kepulauan mentawai, banyak di laporkan melalui penelitian-penelitian akademis, dan kadang bahasanya juga tidak selalu mudah di mengerti oleh masyarakat luas.  Pengambil kebijakan untuk pembangunan juga tidak sempat untuk membaca-baca laporan penelitian tersebut, sehingga  untuk referensi pembangunan juga tidak tersedia.

Tulisan ini bertujuan mempopulerkan dan mengarusutamakan pesona asli kepulauan mentawai, primata-primata endemik, berdasar  pengamatan lapangan di habitat asli dan menyampaikan kepada masyarakat luas agar mudah dipahami, dan di kenal oleh siapapun.

Joja dari Pulau Siberut

Hidupan liar di alam, juga memiliki nilai ekonomi yang bekelanjutan, dan sangat memungkinkan menjadi sebuah upaya perlindungan yang lestari bila di kembangkan dalam konteks pembangunan. Budaya global dengan nilai ke unikan hidupan liar tentu menjadi identitas tersendiri yang membedakan dengan tempat lain.


Salah satu yang menjadi daftar primata yang bisa kita jumpai di Sipora adalah Presbyts potenziani, jenis surili endemik mentawai, pemakan daun, warga sekitar mengenal dengan nama Atapaipai, yang berarti berekor panjang,  lebih umum dikenal dengan nama Joja di Siberut.

Joja Atapaipai dari Pulau Sipora

IUCN redlist mengkategorikan jenis primata ini menjadi 2 sub species, yang ada di Pulau Siberut,adalah Sombre bellied Mentawai Langur  (Presbytis potenziani ssp siberu) dan yang ada di 3 pulau lainnya (Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora) sebagai Golden bellied Mentawai Langur (Presbytis potenziani ssp potenziani)  Secara morfologi memang terlihat bebeda, dan kami menjumpai di siberut dan, pagai dan juga di sipora. Joja Siberut mempunyai wana bagian dada ke perut agak gelap, smentara di Atapaipai yang di jumpai di Sipora dan Pagai mempunyai warana bulu bagian dada karah perut berwarna putih ke emasan.  Beberapa foto dari siberut juga mendapati warna putih di sekitar kemaluan.
Joja dari Pulau Siberut
Referensi :


Whittaker, D. & Mittermeier, R.A. 2008. Presbytis potenziani. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T18130A7667072. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T18130A7667072.en
Downloaded on 15 December 2017.

Fuentes, A., 1996. Feeding and ranging in the Mentawai Island langur (Presbytis potenziani). International Journal of Primatology17(4), pp.525-548.

Wednesday, December 13, 2017

Heterotrigona itama dari habitat Owa

Salah satu kegiatan penguatan ekonomi di habitat Owa Jawa, khususnya di wilayah hutan Sokokembang, Petungkriyono Pekalongan adalah membudidayakan lebah hutan. Bertujuan selain untuk produksi madu yang bernilai ekonomi tinggi dan sehat, namun juga mengarus utamakan peran lebah-lebah ini sebagai agen penyerbukan, pollinator.



Yang dalam video ini adalah jenis lebah madu klanceng memang paling besar di genus trigona,Heterotrigona itama lebah yang berwarna hitam dan, dan tentunya untuk produksi madu juga lebih cepat, secara kemampuan jelajah terbang tentu jenis ini juga lebih banyak mengunjugi bunga, kemungkinan fungsi pollinatorya juga lebih luas. Pelatihan budidaya lebah beberapa waktu lalu setidaknya juga telah memberi pengetahuan dan pengalaman baru bagi warga sekitar habita Owa, bahwa lebah-lebah ini juga turut berperan penting bagi lingkungan sekitar.

Warga ds.Sokokembang dengan kotak lebahnya

 Lingkungan yang sesuai tentu saja menjadi syarat untuk tumbuh berkembangnya lebah-lebah ini, dan tentunya butuh waktu untuk berproses menjadi sumber pendapatan  yang berkelanjutan. Harapan juga hutan terus lestari, karena semakin banyak pollinator juga memungkinkan hutan dan tanaman pangan terus ber regenarasi.
Peran penting lebah untuk penyerbukan tanaman

bacaan lebih lanjut :
https://taxo4254.wikispaces.com/Heterotrigona+itama
http://welovefuture.net/meliponiculture/?lang=en


Saturday, December 9, 2017

#primatajawa


Mengajak anda mengenal dan melestarikan primata Jawa.  Lutung , Rekrekan, Owa, Kukang dan Monyet Ekor Panjang, itulah 5 jenis primata yang ada di Pulau Jawa hingga saat ini.  Tersebar mulai dari ujung barat pulau jawa hingga ujung timur Pulau Jawa. Rekrekan dan Owa hanya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa barat Rekrekan di kenal dengna nama Surili. Monyet ekor panjang adalah yang paling luas sebarannya, dan dapat beradaptasi dengan kondisi habitat mulai dari pantai , sampai pegunungan, bahkan di tengah kota.  Owa, jenis kera yang bergerak menggunakan lengan tangan, mempunyai suara yang khas dipagi hari, adalah satu-satunya jenis kera yang ada di Jawa. Hutan yang masih alami adalah tempat hidupnya,pemakan buah . Kukang adalah satu satunya primata (nocturnal) malam di jawa.

Primata-primata  ini terancam punah karena, hilangnya habitat aslinya, perambahan hutan, dan perburuan. Kukang hingga saat ini termasuk  salah satu  dari 25 primata dunia yang paling terancam punah. Owa, dan Rekrekan statusnya terancam punah (endangered) , Lutung masuk dalam kategori rentan (Vulnerable).

Kami mengajak anda untuk mengenal dan melestarikan primata-primata jawa, banyak nilai penting mereka di alam, untuk penelitian, edukasi, rekreasi, dan tentunya juga identitas kita di komunitas global, karena tidak di jumpai di negara lain selain di Pulau Jawa.

Sebagai salah satu bagian dari kegiatan Kopi dan Konservasi  Primata tahun 2017, kami membuat poster primata jawa,  poster ini di buat untuk khalayak umum sekaligus untuk membantu mengenalkan dan mendorong upaya pelestarian primata di Jawa. 

Untuk masyarakat umum, poster ini dapat  anda dapatkan ketika anda berkontribusi melalui program “#primatajawa ” dengan  membeli produk-produk konservasi yang berkelanjutan yang terkait dengan kegiatan  “Kopi dan Konservasi Primata “ , melalui akun media sosial @swaraOwa., dan email: swarowa@gmail.com ; http://swaraowa.com/sustainable-products/   atau mengunjungi workshop SwaraOwa,   lokasi : https://goo.gl/maps/Uy6ZnkG5Uow

Anda dapat berkunjung di habitat primata Jawa secara langsung di Omah kopi owa, ds. Sokokembang, Kecamatan Petungkriyono dan Welo Asri di desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan dengan belanja produk-produk dari habitat asli berupa, kopi, gula aren, madu, t-shirt dengan minimal belanja Rp 85.000,00 (Delapan puluh lima ribu rupiah) anda akan mendapatkan 1 poster.

Poster ini juga akan  di berikan secara cuma-cuma/gratis bagi sekolah, kelompok studi, atau komunitas,  yang tertarik untuk mengenalkan dan mengarus utamakan pelestarian  primata Jawa. silahkan hubungi kami di : swaraowa@gmail.com


Ikuti terus perkembangan kegiatan ini dengan taggar #primatajawa di blog www.swaraowa.blogspot.com; www.swaraowa.com; dan akun sosial media kami IG/twitter/FB/Soundcloud @swaraowa

Kegiatan untuk #primataJawa ini berlaku mulai tanggal 15 Desember 2017 hingga 15 Januari 2018

Wednesday, November 29, 2017

Siregol Primate Watching


Kegiatan yang fun namun ada tambahan pengetahuan dan pengalaman konservasi menjadi salah satu strategi untuk melestarikan primata Indonesia. Siregol primate watching, tanggal 25-26 November 2017, sebuah event yang di gagas oleh warga sekitar habitat Owa Desa Kramat, Kecamatan.Karang moncol  dan Perhimpunan Pegiat Alam Ganesha Muda Purbalingga, telah berhasil mengundang setidanya 38 peserta dari berbagai institusi, seperti mahasiswa, kelompok pecinta alam, LSM, dan staff pemerintah.  Tujuan kegiatan ini adalah mengenal primata dan melihat langsung habitat primata di sekitar desa Kramat. Kegiatan ini juga inisiasi awal untuk mengarusutamakan pelestarian primata dan habitatnya untuk melibatkan masyarakat umum.  
Habitat Owa, Siregol


Swaraowa berpartisipasi untuk mendukung kegiatan ini, sebagai  bagian dari salah satu tujuan untuk  melestarikan primata dan habitat aslinya, khususnya Owa jawa dan juga memfasilitasi diskusi dan memandu kegiatan pengamatan primata di bukit Siregol, desa Keramat.  Menjelang malam tanggal 25 November, para peserta mulai berdatangan, sebagai pengantar kegiatan Siregol primate watching ini, Bapak kepala desa Keramat dan wakil dari Perhutani membeirkan sambutan selamat datang kepada para peserta. ( video diskusi siregol primate watching https://www.youtube.com/watch?v=R8A9eYvnvlc) 
foto bersama peserta Siregol Primate Watching. foto oleh : M.Faiz

Selanjutnya, diskusi tentang upaya pelestarian primata di wilayah Jawa Tengah di sampaikan oleh mas Apris dari Biodiversity Society Purwokerto dan mas Agus dari BKSDA Jawa Tengah. Mas apris menceritakan pengalamannya membangun upaya pelestarian satwa langka di sekitar desa Melung lereng selatan Gunung Slamet dan mas Agus dari BKSDA Jawa Tengah, turut berbagi pengalaman tentang peran pemerintah dalam melindungi satwa langka .
Diskusi kelompok Setelah pengamatan. Foto Oleh : M.Faiz

Esok harinya tanggal 26 November, acara pengamatan di mulai pukul 5.30 pagi, langsung menuju lokasi pengamatan di tepi jalan antara dusun Kramat dan dusun Sirau. Bukit Siregol, sangat unik dengan landscape pegunungan karst dan vegetasi alami hutan hujan tropis jawa yang tidak dapat di jangkau namun dapat di nikmati pemandangannya dari jarak tidak terlalu jauh.  Peserta yang berjumlah 38 ditambah dengan panitia di bagi menjadi 3 kelompok, yang berjalan dengan jeda 10 menit menyusuri jalan tepi tebing bukit siregol sejauh kurang lebih 3 km.  Tercatat langsung pagi itu 1 kelompok Owa (Hylobates moloch )yang terdiri dari 3 individu, dan 2 kelompok Lutung ( Trachypithecus auratus) teramati. Binokuler, Monokuler dan kamera tele sangat di butuhkan untuk pengamatan di Siregol, karena jarak yang cukup jauh untuk mata telanjang mengidentifikasi primata yang teramati.

Salah satu kegiatan penutup di acara ini adalah pemberian sertifikat, untuk mengapresiasi peserta yang turut berpartisipasi.  Hal yang sederhana namun sangat berarti bagi mungkin sebagian peserta bahwa pengalaman pengamatan primata ini menjadi hal yang berbeda dan sangat mungkin untuk melakukan lagi kegiatan serupa di tempat lain.

salah satu peserta dengan sertifikat siregol primate watching
Siregol primate watching setidaknya telah memotivasi warga sekitar habitat primata , bahwa wilayah mereka masih mempunyai keunikan yang tidak dimiliki daerah lain, harus dilestarikan,  dan membangun jaringan pegiat konservasi khususnya di wilayah Jawa Tengah. Kelestarian hutan dan nilai penting flora fauna ini juga merupakan identitas daerah yang sangat penting dalam pergaulan global.  Potensi keanekargaman hayati, dengan ke unikannya sudah selayaknya menjadi prioritas dalam pembangunan yang berkelanjutan. 

Wednesday, November 15, 2017

Suara Alam Mentawai : Ailou LeLeu Mantaoi


Meskipun banyak orang telah melihat ke indahan dan keanekaragaman hayati dari kepulauan Mentawai, tapi apakah anda juga telah mendengar suara-suara alam atau suara-suara keanekaragaman hayati yang anda lihat?

Suara-suara alam, baik hidupan liar, seperti burung, kodok, primata, bahkan deburan ombak tentu tidak semua orang pernah mendengarnya. Suara-suara ini menandakan adanya kehidupan, biophony. Terjadinya suara yang merambat melalui gelombang suara, tentu di hasilkan oleh factor fisiologis, biologis dan ekologis dari masing-masing individu. Hidupan liar yang bersuara tentu juga berarti berkomunikasi dengan hidupan liar lainnya. suara-suara juga menggambarkan sebuah ruang ekosistem.

Beberapa peralatan yang di gunakan

Dengan Aman Andei, salah satu warga di Siberut selatan,  kami menyusuri beberapa sudut di Kep.Mentawai, untuk merekam suara-suara hidupan liar. Mencoba mendengarkan apa yang terjadi di habitat asli dan merekam suara-suara alam tersebut. Beberapa suara yang telah kami rekam dapat anda dengarkan di soundclould. 


Selamat mendengarkan.


Monday, October 30, 2017

Akustik primata : Kenali primata dari suaranya

Para sound recordist bilang kalau suara bisa menjelaskan ribuan gambar. Meskipun berupa gelombang suara yang tidak terlihat, namun ada cara atau metode untuk memvisualisasikan suara ini.
Suara-suara primata terutama dari jenis-jenis primata  adalah sangat khas, dan dari suara ini juga telah muncul penelitian-penelitian yang lebih dalam untuk melihat karakter individu.  Karena suara bisa menjadi finger print untuk masing masing individu. Suara juga digunakan untuk monitoring ekologi.

Perkembangan penelitian tentang suara untuk monitoring ekologi dan konservasi juga terus berkembang. Beberapa sumber di internet sangat membantu untuk referensi tentang sound recordist  atau hidupan liar.

Swaraowa telah mengawali kegiatan perekaman suara ini sejak tahun 2014,  ada 2 judul penelitian tentang suara owa telah selesai, dan beberapa data rekaman juga dapat di dengarkan melalui soundcloud. Kami mengajak anda untuk mengenal suara primata Indonesia di habitat aslinya.

Owa jawa (Hylobates moloch) di hutan Sokokembang


Ungko (Hylobates agilis) di Bukit Bulan,Sorulangun, Jambi

Bilou (Hylobates klosii) di Siberut



Owa tangan putih (Hylobates lar) di Aceh.




Meskipun tidak sering bersuara namun jenis-jenis monyet daun juga menarik, seperti

Joja (Presbytis potenziani), Siberut Mentawai

Thomas's Leaf Monkey (Presbytis thomasi), Aceh


Javan langur (Trachypithecus auratus)


Kami membuka kesempatan untuk berkolaborasi bagi anda peneliti atau pegiat konservasi, atau bahkan musisi untuk melakukan penelitian suara, atau berkolaborasi untuk kegiatan pelestarian alam yang terkait dengan suara-suara satwaliar dari habitat aslinya, silahkan emal di : swaraowa@gmail.com

Friday, October 20, 2017

Gibbon Watching, an alternative eco-tour in Java

Javan Silvery Gibbon 

This week our team receiving special guest who want to see wild primates in Sokokembang forest. The guest is coming from WorldWideWeb  to find us, and interested to watch gibbon in the wild. They found our website and contact us by email, soon we arrange dates for them to do primate watching.

From the email they introduce them self from Finland, and have been back packing to Southeast Asia and want to see some Indonesian wildlife, Komodo and Javan gibbon are their list priorities. Jussi and Outi both from Finland have done asking through the emails how to do primate watching in Sokokembang. In this trip we also give an introduction that this trip is a part of conservation activities in Central Java, to promote Javan gibbon (Hylobates moloch) as endangered and endemic primates. And the date come, on 11 October 2017 their visit our base in Yogyakarta, see our coffee house and drinking coffee from our shade grown habitat.
Javan gibbon habitat

Departing from Yogyakarta at afternoon, we head to Sokokembang ride our 4wd vehicle off course with many stops. Along the way chats inside the vehicle made us feel happy to know these guest. And we reach Sokokembang at 9 pm. Soon we reach Sokokembang we introduce to our Pa’e  Tasuri (Owa coffee house owner), and we ask him to guide tomorrow morning for primate watching.
Next morning, soon after coffee ritual about 6.30 we are ready to the field, boot and raincoat is provided, binocular also will help to see the primates. We have already give an introduction about primates in sokokembang, there are Javan gibbon (Hylobates moloch), Javan Langur (Trachypithecus auratus), Javan surili (Presbytis comata) and Longtailed macaques (Macaca fascicularis).
Pa'e Tasuri is guiding to watch the gibbon


There are primate watching route established in Sokokembang, using public road. From this road we can see the primates, however we have been monitor groups distribution along this route. Less than 1 hour walk first primate was detected is Javan langur. The langur is leaf eating monkeys and they living in 2-15 individuals in Sokokembang forest.  Then we are so lucky not so far from the langurs there were Gibbon hanging on the fruiting trees. The gibbon is lesser ape, doesn’t have  any tail and frugivore, their living pair with stable homerange. There are about 21 to 28 groups of gibbon found in Sokokembang forest.
meet and greet due to Javan gibbon
It was fun when we watching the gibbon, a local resident come to us and want to take photo with Jussi and Outi. We explain to the locals that these guests are wanted to see javan gibbon in the wild, far from their home, this is their motivation to visit the rainforest of Java.
drink shade grown help save the forest

Coffee-ing is another following activities, we introduce that our project is grass root level acvtivities,  to promote Javan gibbon also  to engage local community to preserve their natural resources, Owa coffee is sustainable products that meets ecology and economy problems in the Javan gibbon habitat, through this coffee we explain that shade grown coffee of Sokokembang is important for the gibbon habitat and source of income for people nearby the forest. Visiting shade grown coffee and see how the coffee is produced for local market in the Javan gibbon habitat are activities that we share to our special guest.

Thank you for your contribution Jussi and Outi.


PS: feel free, do email us at : swaraowa at gmail.com for further info about this gibbon watching trip.

Tuesday, October 17, 2017

Pelatihan metode survey primata, hutan Sokokembang.

Foto bersama seluruh Peserta 

Habitat Owa jawa , hutan Sokokembang minggu ini menerima tamu-tamu  istimewa, anak-anak muda yang begitu antusiast untuk datang, belajar, berbagi pengalaman dan berjejaring untuk pelestarian primata di habitat aslinya . Pelatihan metode survey primata yang ke-5, dilaksanakan tanggal 13-15 Oktober 2017.  Kegiatan yang menjadi agenda tahunan yang telah dilakukan sejak tahun 2013. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendorong munculnya peneliti primata atau pegiat konservasi  primata dari generasi muda, Meningkatkan kemampuan teknis dan pengetahuan tentang primata,  dan mendorong munculnya jejaring peneliti atau pegiat konservasi primata di wilayah habitat asli primata yang terancam punah.
acara bertempat di Pendopo Kopi Owa

Bertempat di rumah Kopi Owa di dusun Sokokembang, Kayupuring, Kecamatan Petungkriono , secara khusus 22 peserta di berbagai institusi mewakili organisasi mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, kelompok pecinta alam, dan perwakilan dari BKSDA dan Perhutani di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, hadir untuk mengkuti rangkaian acara Pelatihan Metode Survey Primata 2017.
Pengamatan langsung di hutan

Selama 3 hari peserta di kenalkan dengan dasar-dasar teknik survey primata, yang diperkenalkan oleh tim SwaraOwa, tidak hanya dasar teori tapi juga langsung praktek di lapangan. Ada dua metode dasar yang di perkenalkan untuk survey primata, yaitu line transect dan metode vocal count-triangulation yang khusus di gunakan untuk estimasi populasi Owa Jawa. Dasar teori di berikan di awal acara dan kemudian esok harinya di praktekkan secara langsung di lapangan, termasuk bagaimana menganalisis data yang di peroleh.
Metode line transect diterapkan untuk mengestimasi populasi  primata secara langsung, dengan menggunakan jalur-jalur monitoring yang telah di persiapkan. Metode suara atau vocal count-triangulasi diterapkan berdasar Listening post (LPS) yang juga telah di persiapkan.

Jalur transek yang telah disiapkan
peserta di bagi dalam kelompok kecil untuk data collecting

Dalam kegiatan ini juga turut kita undang 3 pembicara yang berbagi pengalaman tentang penelitian dan konservasi Primata di tempat lain. Rahayu Octaviani dari Pusat penelitian dan konservasi Owa jawa di Gunung Halimun Salak, berkisah tentang kegiatan penelitian perilaku dan upaya pelestarian Owa Jawa. Penelitian sejak tahun 2007 di wilayah hutan Citalahab memberikan gambaran yang jelas tentang perkembangan perilaku dan populasi Owa jawa.
Rahayu Octaviani presentasi tentang Owa Jawa di Citalahab

Pembicara kedua yang kita datangkan di acara pelatihan ini adalah Nur Aolia coordinator program rehabilitasi Orangutan Yayasan Jejak Pulang, Kalimantan Timur. Aolia memaparkan ancaman kepunahan orangutan akibat hilangnya hutan dan perburuan. Banyak orangutan kemudian di”manusiakan”. Kegiatan rehabilitiasi yang mencoba menghutankan kembali orangutan, menjadi pengalaman yang berbeda bagi peserta.
Aolia presentasi tentang Orangutan

Ada satu pembicara yang di undang di acara ini adalah Andie Ang dari Singapura yang menceritakan pengalamannya membangun upaya konservasi dan penelitian monyet daun singapura (Raffless banded langur)-Presbytis femoralis. Penelitian DNA  untuk pelestarian primata di Singapura menjadi contoh yang menarik untuk melestarikan primata dengan melibatkan teknologi dan ilmu pengetahuan modern.  Kegiatan citizen science  yang di inisiasi untuk warga singapura memberikan hasil positif untuk meningkatkan kesadaran konservasi untuk primata yang terancam punah di Singapura.
Andie Ang dengan Raffles Banded Langur

Acara ini terselenggara melalui kegiatan "Kopi dan Konservasi Primata 2017, atas kerjasama dengan Kelompok Studi dan Pemerhati Primata Fakultas Kehutanan UGM di dukung oleh SwaraOwa, Fortwayne children zoo, Ostrava Zoo, dan Wildlife reserve Singapore.




Thursday, September 14, 2017

Pelatihan Budidaya Klanceng di Habitat Owa Jawa

Pengenalan lebah klanceng oleh Mas.Sidiq Harjanto

Welo Asri, 11 September 2017. Pelatihan budidaya lebah yang ada di habitat Owa bulan ini, juga dilakukan untuk lebah jenis stingless  atau lebih di kenal dengan klanceng. Lebah klanceng di habitat owajawa petungkriyono ini tercatat ada beberapa jenis, salah satunya Tetragonula laeficeps. Kalau pelatihan yang pertama kemaren tanggal 8-9 September bertujuan untuk mengenalkan teknik budidaya lebah madu-tawon unduhan (Apis cerana). Lebah lebah tanpa sengat ini berhabitat di hutan hujan dataran rendah, sementara itu utuk lebah sengat dari genus Apis ini lebih banyak di jumpa di habitat pegunungan, meskipun juga ada di dataran rendah.
Kantung madu lebah klanceng

Kita memilih lokasi di Welo Asri, salah satu tempat wisata yang di kelola warga kayupuring, untuk tujuan wisata. Pemilihan lokasi ini karena lebah-lebah klanceng, lebah kecil tanpa sengat ini banyak di hutan mulai dari Sokokembang hingga Kayupuring, dan beberapa warga memang telah mengenali klanceng dari madu nya yang lebih asam dibanding dengan madu yang di hasilkan oleh lebah madu (tawon unduhan). Namun sebenarnya jenis-jenis klanceng ini karena ukurannya yang kecil, menurut beberapa penelitian sangat berperan dalam penyerbukan tanaman kopi, untuk jenis robusta di hutan habiat Owa, dan bisa jadi ada korelasi positif antara produksi kopi robusta dan keberadaan klanceng.
inisiasi awal tentang lebah di habitat Owa Jawa telah di lakukan dan baca disini laporannya .

Memindah koloni alam ke kotak lebah

Pelatihan dipandu oleh tim swaraOwa dan turut mengundang 12 warga dari beberapa desa di Petungkriyono. Dimulai dengan pengenalan jenis-jenis lebah dan potensinya sebaga penghasil madu. Lebah-lebah klanceng ini banyak di besarang di lubang-lubang kayu atau bambu. Klanceng mempunyai struktur sarang yang berbeda dengan tawon unduhan, oleh karena itu kotak lebah klanceng juga berbeda dengan kotak lebah tawon unduhan.
kotak lebah klanceng

Pemindahan koloni dari alam dan bagaimana merawatnya dan mengembangkan koloni adalah sangat penting untuk klanceng agar supaya menetap di sarang barunya. Tanaman yang berbunga sepanjang tahun adalah sangat penting bagi sumber pakan klanceng. Jenis-jenis tanaman pangan yang berbunga sepanjang tahun juga mulai di identifikasi untuk di kembangkan di sekitar lokasi kotak klanceng.
Klanceng sebagai agen penyerbukan, penghasil madu, dan produk-produk turunannya sangat potensial di kembangkan sebagai bagian terintegrasi pertanian  yang ramah lingkungan. Di akhir acara ini rencana tindak lanjut pelatihan ini juga di diskusikan. Salah satunya adalah mengarus utamakan wisata edukatif tentang lebah di welo asri.  Wisata minat khusus yang sifatnya edukatif dan menambah pengetahuan dan pengalaman pengunjung akan di kembangkan di welo asri, salah satunya adalah lebah-lebah ini. Harapanya pengetahuan tentang lebah ini dapat di bagikan kepada pengunjung oleh para pemandu wisata yang ada di welo asri.


Monday, September 11, 2017

Pelatihan Budidaya Lebah di habitat Owa Jawa

peserta pelatihan lebah
Membudiayakan lebah masih menjadi hal baru untuk sebagian warga serkitar hutan, meskipun sudah di kenal lewat madunya, untuk mendapatkan madu sebagai salah satu sumber ekonomi tidak banyak warga sekitar hutan yang menekuni usaha lebah ini. Peran lebah sebagai penyerbuk tanaman pangan juga tidak banyak yang mengambil bagian untuk di prioritaskan. Habitat Owa di wilayah kecamatan Petungkriyono ini memiliki potensi yang baik untuk budidaya lebah, bunga-bunga dari pohon-pohon di hutan, dan tanaman budidaya  menyediakan sumber pangan bagi lebah, menghasilkan madu yang bernilai ekonomi tinggi.

sarang lebah dari kolini liar
Perburuan lebah liar di hutan untuk diambil madunya masih terjadi saat ini,tentunya hal ini sangat beresiko bagi yang memetiknya, koloni lebah juga terancam punah karena cara memanennya yang tidak mempertimbangkan kelestarian lebah itu sendiri, sarang lebah di ambil dan tentunya banyak yang mati. Ancaman lain yang muncul dari kegiatan perburuan lebah ini adalah terjadinya kebakaran hutan karena menggunakan api untuk memanen lebah liar,yang kadang di tinggalkan begitu saja bisa membesar dan membakar hutan, padahal lebah ini sangat berperan dalam sistem ekologi, sebagai penyerbuk tanaman pangan, produksi tanaman pangan bisa menurun apabila tidak ada serangga ata lebah penyerbuk. 

Beberapa warga sekitar hutan juga sudah mencoba membudidayakan hal ini, namun karena berbagai permasalahan teknis, kurangnya pengetahuan dasar tentang lebah, beberapa upaya budidaya tradisional ini kurang optimal. 

Tanggal 8-9 September ini, swaraowa mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas untuk warga sekitar hutan habitat Owa untuk membudidayakan lebah. Tujuannya adalah untuk memberikan kemampuan teknis dan pengetahuan dasar tentang budidaya lebah, sebagai sumber madu yang bernilai ekonomi tinggi juga mengarus utamakan lebah sebagai agen penyerbuk untuk tanaman pangan yang ada di sekitar hutan.
Dr. Hari mencoba memindahkan koloni ke kotak lebah

Kami mengajak DR. Hari Purwanto, seorang entomolog (ahli serangga) dari fakultas biologi UGM dan juga seorang yang di besarkan di keluarga peternak lebah di Kab.Batang. Pengalaman keluarga dan ilmu yang tentang lebah inilah yang di bagikan kepada peserta.

Berlokasi di dusun Setipis, Desa Kayupuring, Kec.Petungkriyono, acara ini di ikuti kurang lebih 20 orang warga, beberapa di antaranya memang mempunyai koloni lebah yang di pelihara, dan sebagian besar juga pernah mengelola lebah untuk di ambil madunya.
mencari permasalahan dari sistem budidaya lebah yang sudah ada 

Pelatihan ini menghususkan budidaya lebah asli yang ada dari hutan, yaitu Apis cerana, warga menyebut tawon unduhan, yang berbeda dengan lebah madu pada umumnya Apis melifera. Menurut pak hari, apis cerana bibitnya tidak perlu beli, karena jenis ini memang sudah ada di sekitar kita, dan tidak terlalu mudah terserang penyakit.  Pengenalan lebah sebagai makhluk sosial, yang mempunya perilaku khusus, adalah sangat penting sebagai dasar untuk membudidayakan.

Acara hari pertama adalah materi kelas, berisi teori-teori tentang lebah dan teknik budidayanya, dan kemudian praktek lapangan untuk menilai lingkungan yang cocok untuk budidaya lebah. Lebah sangat membutuhkan bunga, untuk sumber pakan dan kalau untuk menghasilkan madu tentu membutuhkan bunga yang tersedia sepanjang tahun. Sebagai contoh pak Hari menyebutkan, bahwa tanaman kaliandra merah yang cukup banyak di sekitar dusun Setipis, sangat penting bagi lebah, untuk saat ini tanaman ini hanya di gunakan untuk pakan ternak, namun untuk lebah harusnya tanaman ini disisakan hingga berbunga, supaya lebah juga bisa terus berada disekitar kita, karena bunga kaliandra merah ini sangat baik menyediakan nectar bagi lebah.

mengenalkan sistem kotak lebah frame dan peralatan pendukungya


Hari kedua, peserta di ajak untuk praktek langsung memindah koloni dari liar dan juga bagamana memperbanyak koloni dari koloni yang sudah ada. Pengenalan alat-alat untuk membantu budidaya lebah juga di perkenalkan, seperti penggunaan beenet dan  smoker. Kotak lebah yang khusus di design untuk jenis lebah Apis cerana juga di kenalkan, dengan kotak lebah system frame dan top bar, ini dapat mempermudah merawat lebah. Hari kedua di akhiri dengan diskusi bersama yang di pandu oleh tim swaraOwa untuk menyusun rencana tindak lanjut dari pelatihan ini.




Monday, August 28, 2017

Camera Trap : alternatif solusi pengamanan kawasan hutan


camera trap
Penggunaan camera trap hingga saat ini telah banyak membantu upaya penelitian terutama, untuk mendeteksi keberadaan satwaliar, monitoring populasi, dan identifikasi satwa yang sifatnya pemalu atau susah di jumpai di habitat aslinya.   Di hutan sokokembang sebagai habitat Owa jawa penggunaan camera trap ini telah di gunakan mulai beberapa tahun terakhir. Banyak binatang yang pemalu dan sangat susah di jumpai ter rekam di  camera. Jeni-jenis ini menambah daftar penting kawasan ini, sebagai habitat satwaliar.
pemasangan camera trap


Beberapa hasil dari camera trap ini dapat di lihat hasilnya di sini, salah satu temuan di hutan sokokembang ini juga  masih ada macan tutul jawa (baca : Kelana si Kembang Asem).

Setelah beberapa lama unit kamera tidak dapat di gunakan lagi karena beberapa masalah mekanis  kamera dan  kelembaban tinggi  baru minggu ini kita memasang camera trap lagi di hutan sokokembang, namun tujuan kali ini adalah untuk melihat pergerakan aktifitas manusia yang masuk ke hutan. Dari beberapa pengamatan di lapangan masih saja ada pemburu yang ke hutan, kegiatan ini tentu saja merugikan dari sisi keanekaragaman hayati, apalagi beberapa waktu terakhir ini kegiatan pengamatan satwa ini telah menjadi alternatif wisata alam di antara maraknya wisata massal yang sedang di kembangkan di wilayah ini.


Penggunaan camera ini akan menjadi rekomendasi selanjuntnya untuk pihak terkait, yang bekepentingan dengan pengamanan kawasan, meskipun masih bersifat ujicoba penggunaan camera trap untuk pengamanan kawasan bisa menjadi alternatif menggantikan patroli hutan, terutama di lokasi-lokasi yang sulit di jangkau. Kita hanya memasang dan meninggalkan unit kamera dalam waktu tertentu, dan apabila ada yang melewati camera ini akan terekam, foto atau video, jam dan tanggalnya. . 
Bagi anda yang tertarik dengan kegiatan ini, silahkan hubungi email swaraOwa at gmail dot com, atau berkunjung ke dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Pekalongan Jawa Tengah.




Monday, July 31, 2017

Kopi untuk Owa Jawa


Inisiasi konservasi primata, Owa jawa, melalui kegiatan “Kopi dan Konservasi Primata” bulan agustus ini telah berhasil menembus komunitas global, khususnya di wilayah Asia. “Kopi dan Konservasi Primata” yang kita mulai sejak tahun 2012, di dusun Sokokembang, Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, melalui produk kopi Owa,  setidaknya telah di kenal di masyarat internasional. Meskipun presentasi kegiatan ini juga pernah di lakukan di Vietnam (2014) dan Chicago (2016), baru tahun ini kita mencoba ikut dalam forum peminat dan pecinta kopi.   Kalau acara sebelum-sebelumnya presentasi di komunitas pegiat  dan peneliti primata, kali ini kami mencoba mengarusutamakan upaya pelestarian primata Indonesia Owajawa di komunitas kopi dunia. Mengenalkan Owajawa dan kegiatan konservasinya untuk para penikmat kopi.
tim swaraOwa
Bekerjasama dengan Wildlife reserve Singapore, kami berpartisipasi dalam acara Singapore coffee festival, tanggal 4-6 Agustus 2017. Dan mulai tanggal tersebut juga kopi Owa resmi di jual di outlet di kebun binantang singapura.   

kopi Owa di acara festival kopi Singapura
Proyek Kopi dan Konservasi Primata ini setidaknya telah membawa pengalaman baru bagi tim swaraOwa untuk membangun sebuah inisiasi dari bawah untuk kegiatan upaya pelestarian primata. Tidak hanya melakukan kegiatan penelitian, namun dengan kegiatan ini kita setidaknya telah berhasil membuat sekema  ekonomi berkelanjutan untuk konservasi Owa Jawa, khususnya di wilayah sebaran Jawa Tengah.

Kopi kemasan yang di jual di Singapura
Tahun 2015 wildlifre reserve Singapore juga telah berkunjung ke habitat Owa di Sokokembang dan bertemu dengan pihak pemerintah BapedaKab.Pekalongan. karena sejak tahun 2013 WRS Singapore juga telah menjadi salah satu donor dari kegiatan ini. Mengenalkan Owa jawa di komunitas global dan mengenalkan daerah habitat asli, harapannya juga mendorong di tingkat site bahwa kita mempunyai primata yang menjadi indentitas di tingkat internasional, kontribusi apa  yang bisa kita berikan untuk primata asli Indonesia  dan habitatnya, tidak hanya menjadi kewajiban kita yang ada di sekitar hutan namun  sudah menjadi perhatian masyarakat internasional.

Wednesday, July 26, 2017

Arung ombak Mentawai: Burung Laut Pulau Siberut




ditulis oleh : 
Imam Taufiqurrahman,
email : orny_man@yahoo.com

Melaju di atas Mentawai fast

Sekira dua jam lepas pelabuhan Padang, seekor burung laut yang tengah asyik mengapung tiba-tiba terbang menghindar dari kapal cepat yang saya tumpangi. Ukurannya tak seberapa besar dan tampak hanya hitam. Sejenis petrel-badai kah, atau penggunting laut?
Ah, sayang terlewatkan. Mengetahui itu, Kang Wawan lantas mengajak ke buritan. Saya tak menolak.

Cuaca terasa bersahabat. Langit cerah biru berawan tipis, matahari pun masih hangat. Air laut tampak begitu tenang tak beriak. Di dek belakang ini, beberapa penumpang mancanegara asyik berbincang. Lainnya sekadar duduk melamun menatap laut atau tertidur. Sebagian besar mereka ini datang untuk mencandai ombak Mentawai.
Iku ki papan surfing kabeh, Mam,” (Itu papan surfing semua, Mam) jelas Kang Wawan saat melihat saya bersandar pada setumpukan barang yang rapat tertutup terpal. Tak mengherankan memang. Seperti Nias, sisi barat Kepulauan Mentawai menghadap Samudera Hindia. Di musim yang tepat seperti saat ini, terbentuk gulungan-gulungan ombak yang menarik minat para penunggang ombak.
Buntut-sate putih ras lepturus
Tiba-tiba seekor burung putih melintas dari arah depan kapal. Ekornya berpita panjang menjuntai. Tak salah lagi, buntut-sate putih Phaethon lepturus. Senang sekali melihatnya. Biasanya hanya bisa menjumpainya dari tepian tebing di Gunung Kidul. Baru ini saya menjumpainya di laut lepas. Kang Wawan menunjuk seekor lagi yang tengah mengapung-apung di lautan. Laju Mentawai Fast mengagetkan si burung yang lantas terbang menjauh.
Buntut-sate putih ras fulvus
Berbeda dari buntut-sate putih sebelumnya yang berwarna kekuningan, burung kedua itu terlihat putih bersih. Tak salah lagi, mereka dua anak jenis berbeda; yang berwarna kekuningan adalah fulvus, dikenal juga sebagai Golden Tropicbird, sementara yang putih bersih dari anak-jenis lepturus. Beberapa ekor dara-laut batu Onychoprion anaethetus dan seekor yang kembali tak teridentifikasi menemani perjalanan. Pukul 11 kapal sandar di pelabuhan pertama, Pelabuhan Laut Pokai, Muara Sikabaluan. Dua jam lagi hingga Pelabuhan Mailepet di Muara Siberut yang jadi tujuan.