Monday, November 30, 2020

Pelatihan Guru Budaya Mentawai : Memperkuat Nilai Budaya dan Pelestarian Primata

peserta pelatihan guru budaya mentawai di Uma Malinggai. (Foto. Mateus Sakaliou )


Pelatihan guru dan fasilitator budaya mentawai, telah sukses dilaksanakan tanggal 25-27 November 2020, berlokasi di Malinggai Uma Tradisional Mentawai, dusun Puro 2, Desa Mailepet, Siberut Selatan. Acara ini dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya nilai-nilai budaya dan nilai penting konservasi alam yang ada di Kepulauan Mentawai. Degradasi hutan dan perburuan yang tidak lagi menggunakan aturan adat menyebabkan primata-primata mentawai semakin susah di temukan, bahkan sudah ada yang sangat kritis dan terancam punah,generasi muda mentawai sendiri juga semakin sulit menjumpai primata-primata ini di hutan-hutan sekitar mereka. 

Tujuan kegiatan pelatihan untuk guru-guru ini adalah 1. untuk memperkenalkan kepada guru dan fasilitator budaya mentawai mengenai primata dan keanekaragaman hayati. 2 Meningkatkan kapasitas guru-guru sekolah dan pengajar budaya mentawai, melalui metode pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan terkait dengan primata dan hutan. Peserta yang ikut kegiatan ini ada 9 guru dari sekolah-sekolah di kecamatan siberut selatan dan siberut barat daya, 4 orang fasilitator sekolah budaya Mentawai, dan 7 orang dari malinggai Uma Mentawai. 

Kegiatan meliputi materi ruang yang disampaikan oleh pemateri undangan dan kegiatan pengamatan lapangan ke hutan Tololago, di Siberut Barat Daya. Guru-guru lokal ini terpilih karena mereka adalah aset konservasi primata dalam jangka panjang, yang selalu beinteraksi dengan siswa setiap hari sehingga dapat menyampaikan pesan-pesan pelestarian alam, dengan dukungan program pemerintah. Guru-guru peserta ini adalah warga yang menetap di Mentawai, jadi mereka dapat memahami situasi lebih baik terhadap anak didik sebagai generasi mendatang yang akan melajutkan tongkat estafet pelestarian alam dan budaya mentawai. 

Peserta di acara pembukaan pelatihan (Foto. Mateus Sakaliou)

foto bersama perwakilan pemeritah daerah Kab.Kep.Mentawai (Foto. Mateus Sakaliou)



Acara pembukaan dimulai tanggal 26 November 2020, dibuka oleh Camat siberut selatan, dan turut serta dalam memberikan sambutan acara ini adalah Sekertaris dinas Pariwisata Kab.Kepulauan Mentawai Bpk. Aban Barnabas dan perwakilan dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kep.Mentawai . Tokoh-tokoh adat dari siberut selatan juga turut hadir dalam pembukaan acara ini. Acara kemudian dilanjutkan dengan materi oleh pembicara utama Bpk. Nur Hidayat guru SMA 1 Petungkriyono, yang berbagi pengalaman tentang metode pembelajaran konservasi melalui permainan kartu dan boardgame owa. Pak Nur Hidayat yang sehari-hari mengajar biologi di sekolah habitat di sekitar habitat Owa jawa di Pekalongan Jawa Tengah, bersama rekan-rekan di sekolahan telah mengembangkan metode pembelajaran yang kreatif menggunakan kartu dan boardgame untuk mengenalkan Owa Jawa. 

Pemateri ke dua adalah pegiat konservasi primata dan burung dari Siberut dan Sipora, Ismael Saumanuk dan Mateus Sakaliou yang menceritakan pengalamanya mengamati primata mentawai di hutan dan burung-burung di Kep.Sipora, melalui foto-foto dan video dokumentasi yang mereka buat sendiri. Ika Cahya Ningrum dan Arif Setiawan mewakili swaraowa juga memberikan presentasi tentang dasar-dasar pengetahuan primata terutama terkait dengan primata asli mentawai yang dapat digunakan untuk penunjang muatan lokal pelajaran budaya mentawai. 
Perjalanan ke Tololago ( Foto. Mateus Sakaliou)


Foto Group 1. di hutan Tololago (Foto. Mateus Sakaliou)

Dalam acara ini peserta juga mendapatkan materi buku panduan lapangan primata Mentawai, burung-burung Mentawai, poster kupu-kupu dan capung dan poster tentang reptil dan amphibi, yang kesemua foto-foto nya diperoleh di habitat asli di Kep.Mentawai dari hasil survey visual hidupan liar tim Swaraowa dan Malinggai Uma. 

Acara kunjungan lapangan atau pengamatan primata semua peserta dibawa menuju ke hutan Tololago, yang berada di desa Teluk Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya, Lokasi ini merupakan salah satu kawasan hutan diluar kawasan konservasi Taman nasional siberut yang berdasarkan penelitian tim swaraowa dan malinggai uma, masih di huni oleh ke5 primata asli mentawai, dengan lokasi akses yang relatif lebih mudah, kurang lebih 1 jam melalui teluk Katurai. Pengamatan lapangan peserta dibagi menjadi 4 kelompok dengan masing masing kelompok ada 5-7 orang, yang berjalan di jalur-jalur pengamatan yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh tim Malinggai Uma. 

Foto bersama peserta di Tololago (Foto. Mateus Sakaliou)
 


Bilou ( Hylobates klosii) yang dijumpai group 1. (Foto. Mateus Sakaliou)

Pengamatan primata dan satwaliar ini bertujuan untuk mengenalkan kondisi hutan dan metode pembelajaran di alam untuk mengamati, mencatat, dan menganalisis hasil pengamatan dan presentasi hasil pengamatan kepada peserta lainnya, setelah kegiatan selesai. Pengamatan ini harapannya juga dapat menginspirasi para guru untuk mengajak anak didiknya tentang alam dan biodiversitas yang sangat terkait dengan nilai-nilai budaya yang ada di sekitar sekolahan atau suatu saat dapat mengembangkan muatan edukasi konservasi untuk kegiatan pembelajaran disekolah masing-masing.
Kelompok 1 sangat beruntung sekali dalam kegiatan ini yang dapat melihat langsung Bilou dan Bokkoi dijalur pengamatan mereka. Sementara itu kelompok 2 juga melaporkan menjumpai Bajing terbang siberut yang termasuk juga dalam satwa endemic siberut.

Rangkaian acara ini di fasitasi oleh tim swaraowa dan panitia lokal dari Malinggai Uma Mentawai yang telah menginisiasi kegiatan ini bekerjasama dengan malinggai uma mentawai sejak tahun 2017, khususnya untuk pelestarian owa mentawai, Bilou. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan simposium dan kongres primata 2019 PERHAPPI ( Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia yang didukung oleh Arcus foundation, dan Fortwayne Children’s Zoo yang mendukung konservsi Owa Mentawai melalui swaraowa.


Thursday, November 19, 2020

Kekah Natuna, Kesan Pertama Pengamatan Primata di Habitatnya

 ditulis oleh: Kurnia Latifiana − k.latifiana@gmail.com

Kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya.

Pertama kali pengamatan primata, pertama kali ke Natuna, pertama kali terjun ke lapangan dengan dua wanita hebat, tangguh, dan mandiri. Serba pertama kali yang dikemas secara epic. Semesta merestui kami − Mbak Kasih, Mbak Ika, dan aku − untuk melakukan survei primata endemik kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya. Kekah, biasa masyarakat lokal Natuna menyebutnya, salah satu jenis primata yang hanya ada di Pulau Natuna. Kekah Natuna dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Status konservasi secara global, terklasifikasi sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan atau vulnerable (VU) (IUCN SSC Primate Specialist Group, 2020) dan status perdagangan termasuk Appendix II CITES yaitu berpotensi terancam punah bila perdagangan dilakukan terus-menerus tanpa adanya hukum yang mengaturnya (CITES, 2016).

Hampir menuju penghujung September 2020, kami bertiga bergerak ke utara membelah khatulistiwa, dari Pulau Jawa menuju Pulau Natuna. Pulau kecil ini seluas 1.605 km2 dan di kelilingi lautan lepas. Jika kalian membuka Peta Indonesia, maka Pulau Natuna berada di paling utara Selat Karimata, di antara Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sering disebut Pulau Natuna Besar atau Pulau Bunguran, pulau utama terbesar di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Sesampainya di Natuna, kami langsung menuju Kantor KPHP Unit V Natuna, di Ranai. Berbekal informasi dari rekan-rekan KPHP Natuna yang lebih mengetahui persis lokasi kekah berada saat ini, kami berdiskusi untuk menentukan lokasi survei yang dapat kami jangkau. Beberapa lokasi target sudah kami tentukan, pun dengan pembagian siapa meluncur ke lokasi mana. Kami bersepakat untuk membagi tim menjadi tiga. Kami berpencar. Saatnya eksekusi.

 
Peta Pulau Natuna

***

Sebelumnya, aku sama sekali belum pernah melakukan pengamatan primata. Hanya sekedar field trip sebagai tourist, itu pun baru sekali. Survei ini adalah pengalaman pertamaku, dan langsung ke Natuna. What a surprise! Karena sesungguhnya aku yang dulu cukup lama menjadi teman setia dalam kegelapan bersama satwa nokturnal, herpetofauna. Ketika pengamatan sering nunduk dan hanya sesekali lihat ke atas. Namun, kali ini semua itu berkebalikan. Aku harus jalan pagi dan sore, mengamati atas tajuk. Seperti merubah algoritma default di otakku.

My first trial and error. Sebenarnya cukup khawatir njomplang (tidak seimbang) dengan kemampuan dua mbak senior yang sudah lihai kesana-kemari pengamatan primata. Njomplang dalam arti peluangku mendeteksi primata belum cukup terlatih, belum peka dengan keberadaannya. Mbak Kasih berkali-kali berpesan padaku, “Jalannya santai saja, kalem, slow. Ada area terbuka, berhenti dulu, amati sekitar. Kalau jumpa kekah, catat hal-hal prioritas. Jangan terlalu lama di titik itu, nanti kehilangan jejak untuk kelompok di depannya.” Aku ingat-ingat betul pesannya dan aku praktekkan sebisaku.

***

Rangkaian survei pertama kami di sekitar Ranai, yang merupakan pusat pemerintahan di Kabupaten Natuna, terletak di bagian timur pulau ini. Kami menyebar ke tiga lokasi survei sesuai rencana. Hari pertamaku pengamatan primata. Surprise! Sekelompok kekah menampakkan raut imutnya, sekitar 30 meter di depanku, berlokasi di kebun campur yang menyerupai hutan sekunder di sekitar permukiman warga. “Oh, ini toh dia (kekah) kalau di alam. Oh, begini wujudnya,” decak kagumku tak terhenti. Pertama kali dalam sejarah hidupku melihat Presbytis di alam. Mereka (kekah) auto sibuk berpindah dari pohon satu ke pohon lain untuk waspada sambil mengawasiku. Tak mau kalah sibuk, aku pun mengintip mereka melalui jendela kamera untuk mengabadikannya melalui foto. Beberapa frame sudah ku dapat, tapi belum puas, hasil gambar masih kabur karena terlalu bahagia sampai gemetaran pegang kamera. Hehehe. Ketika sampai penginapan, kami bertiga bertukar cerita. Hari pertama pengamatan, dua senior sekaligus guru dan sahabatku ini belum bertemu langsung dengan kekah. “Ini nih yang dinamakan keberuntungan pemula. Langsung ketemu di hari pertama pengamatan. Selamat ya!” tuturnya.

Hari berikut, masih di Ranai dan sekitarnya. Aku menuju jalur pendakian Gunung Ranai, gunung tertinggi di pulau ini. Gunung ini merupakan kawasan hutan lindung KPHP Natuna, dengan tutupan hutan lahan kering sekunder yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Sambil mendaki lereng curam, aku melihat pergerakan daun tak wajar sekaligus mendengar riuh suara kekah, sangat nyaring. Tanpa pikir panjang, aku merekam suaranya menggunakan ponsel pintarku. Iqbal, staff KPHP Natuna yang menemaniku, melihat kekah itu, “Ada (kekah), Kak. Ada 3 ekor,” ucapnya. Aku pun meneruskan jalur pendakian dengan lereng yang sangat tajam, diiringi latar suara kekah menemaniku terengah-engah mendaki Gunung Ranai.

Selepas seharian berpencar ke transek masing-masing, setibanya di penginapan, kami selalu bertukar cerita sekaligus berdiskusi merencanakan menuju target lokasi berikutnya. Hari itu Mbak Ika sangat beruntung jumpa kekah sekaligus mendapatkan fotonya, begitupun Mbak Kasih. Lengkap sudah, kami semua sudah bertemu dan mendapatkan foto kekah di alam. Tak lama, dua mbak senior ini sangat seru membicarakan kekah dan membandingkan dengan spesies Presbytis yang lain. Kira-kira begini, “Dia (kekah) di sisi luar tuh ada putihnya ya ternyata. Dia kalau pindah kalem banget, lebih slow daripada spesies ini loh... bla bla bla...” dan seterusnya. Hemm, aku cuma bisa diam dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan, mencoba mengekstrak tapi tetap saja nggak terbayang juga. Hahaha.

Selanjutnya pada trip kedua, kami berpindah berpencar untuk menjelajahi sisi Natuna bagian tengah-barat. Aku menuju Gunung Semala, yang hampir dua dekade silam dilaporkan ada kekah di sana (Lammertink et al., 2003). Di kaki gunung ini juga dimanfaatkan oleh para penambang batu untuk bertahan hidup. Menurut warga setempat, “Dulu memang banyak kekah, di sepanjang jalan menuju Gunung Semala juga ada. Namun, sekarang tak banyak, kalau di gunungnya justru tidak ada.” Pengamatanku kali ini nihil. Tak satupun primata teramati di Gunung Semala. Sunyi, tak terdengar suara satwa. Hanya sekali aku jumpa burung srigunting (nama lokal: sawe), terkadang teramati bajing kelapa.

Beberapa jenis satwa teramati ketika pengamatan kekah: srigunting/sawe, bajing kelapa, kangkareng perut putih/jungkak, elang ular bido/elang darat


Survei berikutnya menuju Natuna bagian selatan. Meminjam istilah Mbak Ika yaitu “kerajaan kekah”, karena baru jalan sebentar saja sudah jumpa kekah. Sangat memanjakan mata. Perbedaan yang sangat drastis dari lokasi pengamatanku sebelumnya. Dari informasi warga setempat, di jalur kebun buah memang sering dijumpai kekah. Aku segera menelusuri jalur yang dimaksud. Di jalur ini juga kerap mondar-mandir burung kangkareng perut putih (nama lokal: jungkak) dan sesekali teramati burung elang ular bido (nama lokal: elang darat). Tak membutuhkan waktu lama, setelah terdengar gemercik aliran sungai, terpantau olehku tujuh ekor kekah di atas pohon, lantas mereka bersuara. Aku mengira suara itu pasti ketua kelompok kekah yang memberikan “aba-aba” kepada kawanannya. Namun, kali ini lain, suaranya berbeda jika dibandingkan ketika aku merekamnya di Gunung Ranai. Entah itu tipe suara yang mana, yang penting aku rekam saja dulu. Di lokasi ini merupakan perkebunan campur yang berbatasan dengan hutan rawa sekunder. Aku coba mendatangi lokasi pohon di mana kekah tadi berkumpul. Pantas saja, ternyata ada pohon buah di situ. Kami masih mencoba untuk mengidentifikasi buah ini. Menurut warga setempat, kekah suka mengonsumsi bijinya saja. Selain itu, makanan favoritnya adalah biji buah karet, daun muda karet, biji rambutan, dan daun ubi.

Peluang perjumpaan kekah cukup tinggi di bagian selatan Natuna. Senang, namun sekaligus sedih, karena cukup mudah pula untuk diburu. Kami sempat menemui beberapa warga yang masih memelihara kekah di rumahnya. Berkaca-kaca ketika melihat sepasang kekah yang diikat dalam kandang seolah mereka berteriak ingin bebas, sedangkan aku belum bisa apa-apa. Pilu.

Kami berharap, melalui rangkaian kegiatan ini sebagai awalan baik untuk memicu aksi konservasi kekah Natuna yang saat ini populasinya semakin menurun. Sekaligus sebagai usaha untuk menghambat laju penurunan populasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap konservasi kekah sehingga dapat berdampingan berbagi ruang hidup (coexistence). Semoga ada kesempatan untuk berkunjung kembali ke Natuna, kediaman “kerajaan kekah”, dan tentunya saat musim buah. Tak hanya bagi kami, tetapi bagi siapapun yang berniat baik ke sana.

Terima kasih kami ucapkan kepada Primate Conservation Inc. (PCI), SwaraOwa, keluarga besar BBKSDA Riau, KPHP Unit V Natuna, serta pihak-pihak yang telah mendukung upaya pelestarian Kekah Natuna. Terima kasih kepada warga setempat di seluruh penjuru Natuna yang berkenan kami singgahi sebagai hunian sementara selama di Pulau Natuna.

Kesan pertama memang selalu melekat di hati :)


 Bersama keluarga besar KPHP Unit V Natuna (kiri) dan BBKSDA Riau (kanan)


***

 

Referensi:

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). (2016). Appendices I, II, and III. http://www.cites.org 

IUCN SSC Primate Specialist Group. (2020). IUCN Red List of Threatened Species 2020: Presbytis natunae. IUCN Red List of Threatened Species. Assessed by Setiawan, A, Cheyne, S. M., & Traehold, C. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T136500A17955492.en 

Lammertink, M., Nijman, V., & Setiorini, U. (2003). Population size, Red List status and conservation of the Natuna leaf monkey Presbytis natunae endemic to the island of Bunguran, Indonesia. Oryx, 37(4), 472–479. https://doi.org/10.1017/S003060530300084X 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2018). P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta, Indonesia.