Monday, June 25, 2018

Pengamatan primata : Kelas imajinasi untuk pemula


Menginspirasi generasi selanjutnya untuk mengenal alam dan lingkungan sekitarnya adalah penting untuk sebagai bagian upaya untuk melestarikan alam. Apa yang kita rasakan di sekitar kita 10-30 tahun yang lalu tentu sangat berbeda dengan apa yang anak-anak sekarang rasakan, terutama terkait dengan interaksi dengan lingkungannya. Gadget dan Internet lebih dekat dengan generasi sekarang, dan bermain di sungai, di sawah, mencari serangga tanah, tidak lebih menarik daripada main game atau di aktif di sosial media melihat, tokoh idola atau permainan yang sedang trending.
pengamat primata cilik dari Sokokembang


Sepertinya hal ini juga terjadi dimanapun, di kota, di kampong-kampung, desa, pinggiran kota, bahkan di desa-desa tengah hutan, meskipun dengan intensitas yang berbeda tentunya. Sebagi contoh di Sokokembang sebagai dusun di Tengah hutan hingga sejak beberapa tahun silam warga disini sangat intense berinteraksi dengan pendatang dari luar terutama yang terkait dengan hutan dan primata.  Interaksi secara fisik anak-anak dengan hutan sepertinya juga sudah mengalami perubahan, karena beberapa orangutan mereka juga berubah mata pencaharian dan apalagi orangtua baru yang mempunyai mata pencaharian yang tidak terkait langsung dengan hutan. Sepertinya juga butuh analisis yang lebih dalam tentang perubahan pola-pola interaksi ini.
 anak-anak sedang mengamati Lutung

Suatu hari anak-anak yang awal awal tahun kita berada di Sokokembang masih dalam gendongan atau baru lahir, kini anak-anak ini sudah berumur 5-8 tahun, mereka sering berkumpul di pedopo kopi Owa, sekedar main-main, dan sering juga mereka penasaran dengan apa yang kita lakukan. Mencoba camera, mencoba binokuler, dan bertanya apapun tentang apa yang mereka ingin tahu.
Kemudian kita singkatnya bersepakat dengan anak-anak ini, untuk mengajak mereka pengamatan primata, terlebih dahulu kita minta anak-anak ini untuk minta ijin orangtuanya. Hari yang di tentukan mereka datang lengkap, pakai sepatu, celana panjang, topi, bekal minum dan makanan kecil, dan tidak lupa alat tulis.

Mendampingi anak-anak pengamatan tentu sangat berbeda dengan mendampingi orang dewasa, seakan kelebihan energy, selalu muncul pertanyaan pertanyaan yang kadang tidak kita duga sama sekali. Mengamati pohon, owa, lutung, serangga secara langsung dan mendiskusikan secara sederhana dengan mereka tidak semudah menjelaskan kepada orang dewasa.


Membawa anak-anak ke alam, menjadi fenomena baru di beberapa kota besar, dan apakah ini hanya ikut-ikutan saja atau memang menjadi keresahan para penyelenggara pendidikan? 15-20 tahun mendatang anak-anak ini akan menjadi pelaku penting dalam pelestarian alam, organisasi dan pegiat konservasi di berbagai negara haibitat primata  juga melakukan strategi ini untuk anak-anak, meskipun juga banyak keterbatasan, namun pendidikan konservasi adalah pekerjaan bersama. Mendekatkan mereka kepada alam harusnya menjadi bagian dari strategi untuk melestarikan bumi dan isinya. Bisa kita mulai dari halaman depan rumah kita, hal kecil kehidupan yang sering kita lihat, dengar dan rasakan.


Bacaan :
Uhl, C., 1998. Conservation biology in your own front yard. Conservation Biology12(6), pp.1175-1177.

Monday, June 11, 2018

Diskusi Komunitas : Menyebarkan pesan Konservasi


Menyebarluaskan pesan konservasi dan pengalaman lapangan sering kali kita coba di kalangan yang sudah mengenal atau mempunyai latar belakang primata dan konservasi alam. Berbagai komunitas atau forum diskusi sangat beragam dan sepertinya beberapa tahun terakhir ini juga mulai marak kembali, meskipun banyak di antaranya bersifat fun , namun melalui komunitas-komunitas seperti ini pesan-pesan konservasi dapat menembus batas-batas pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan konservasi.
Seluruh peserta diskusi  (Foto :GPYID)


Kesempatan berharga bulan Ramadhan 2018, tim swaraowa bertemu dengan salah satu komunitas anak muda di Yogyakarta, yang tergabung dalam Greepeace Youth Indonesia Yogyakarta (GPYID). Awal mula pertemuan ini adalah, salah satu anggota GPYID ini pernah ikut dalam acara pelatihan metode survey primata tahun 2017 lalu. Dan inilah yang menjadi tujuan kegiatan pelatihan itu, yaitu membangun jaringan untuk pelestarian Owa jawa.
diskusi berjalan santai namun berkualitas (Foto : GPYID)

Sangat sederhana acara sore itu tanggal 3 Juni 2018, bertempat di AOA resto and  creative space,  di wilayah Seturan Yogyakarta, kurang lebih 25 peserta anak-anak muda GPYI dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan berkumpul. Waktu 2 jam sepertinya sangat singkat, dan diskusi berkualitas, hangat berjalan dengan cerita –cerita lapangan kegiatan swaraowa yang awalnya hanya penelitian primata di jawa tengah, berkembang kearah pembangunan ekonomi berkelanjutan di tingkat site, habitat asli Owa Jawa.
Owa coffee sebagai media pembawa pesan konservasi (Foto : GPYID)

Pertanyaan kritis dan tajam juga di sampaikan peserta, mulai dari owa jawa itu sendiri, apakah beda antara monyet dan kera? Dampak wisata yang sedang berkembang di habitat Owa khusunya di Petungkriyono, hingga kebijakan pembangunan yang ramah hutan dan Owa. Produk-produk lokal berasal dari hutan dan sekitarnya merupakan potensi lokal yang tidak hanya bernilai ekonomi tinggi, namun juga secara ekologi sangat penting untuk dipertahankan, sementara keberlanjutan dan kelestarian menjadi tantangan yang harus di hadapi. Tentunya hal ini menjadi penyemangat tim swaraowa bahwa hal kecil yang bisa kita lakukan saat ini masih terus berkembang dan banyak tantang kedepan untuk menyelamatkan salah satu identitas di Pulau Jawa ini.
Ucapan terimakasih kepada GPYID atas terselenggaranya acara ini dan foto-foto berikut adalah dokumentasi dari panitia diskusi sore itu.

Salam hijau.