Thursday, October 27, 2022

Kisah dan Kesan para Juara Petungkriyono BirdRace 2022

oleh : Imam Taufiqurrahman


para juara  Petungkriyono Birdrace 2022 katergori umum dan mahasiswa

Wahyudi dan Candra Setyawan Nurwijaya tak menyangka mampu menyabet juara pertama kategori Umum Petungkriyono Bird Race 2022. Mereka datang tanpa persiapan dan bekal pengalaman.

“Teropong dan buku panduan saja dipinjami,” aku Wahyudi yang baru pertama kali mengikuti lomba pengamatan burung. Sementara, Candra punya sekali pengalaman dari mengikuti Sapa Burung Jatimulyo, lomba sejenis yang diselenggarakan pada Maret 2022.

“Lha, pas di Pos Sketsa, saya coba menggambar cekakak jawa, dijawab Candra elang jawa,” jelas Wahyudi sambil tertawa. Candra menimpali, mengatakan kalau sketsa yang digambar oleh rekannya itu memang lebih mirip elang.

Wahyudi (kiri) dan Candra (kanan) bersama Zulqarnain Assiddiqi yang
menjadi pendamping Karang Taruna Tlogoguwo, Purworejo


Seakan turut membenarkan, Wahyudi pun lantas mengakui kalau yang ia gambar sebenarnya tidak banyak memberi petunjuk. “Di sketsanya saya cuma kasih keterangan tulisan kalau warna burung sama seperti warna burung lainnya,” lanjut mantan ketua karang taruna Tlogoguwo itu kembali tertawa.

Namun, delegasi Karang Taruna Desa Tlogoguwo, Purworejo, itu, berhasil mengalahkan tujuh dari sedianya delapan tim lain yang terdaftar. Kunci strategi mereka rupanya dititikberatkan pada kecepatan untuk mengawali start dan merampungkan finish.

“Sing penting gasik,” (yang penting sepagi mungkin) ujar Wahyudi, “ben iso cepet turu.” (biar bisa lebih cepat untuk tidur).

Strategi itu dilakukan karena keduanya datang ke acara dengan sangat kelelahan. Di malam sebelum berangkat, mereka terlibat dalam kegiatan jathilan di desa hingga dini hari dan harus tidak tidur selama perjalanan.

Dan perjuangan terbayar. Mereka mendapat apresiasi langsung dari kepala desa yang bangga atas raihan keduanya. Termasuk apresiasi dari banyak teman dan tetangga di desa. Meskipun, itu diungkapkan dengan heran dan guyon, macam ‘Kok iso menang, kowe nyogok ya?” (Kok bisa menang, kalian menyogok ya?).

Buat Wahyudi dan Candra, keikutsertaan mereka lebih untuk sekadar meramaikan acara, menambah pengalaman dan mengenal kawasan Petungkriyono, serta bertemu dengan para peserta lain yang datang. Berasal dari Purworejo yang masih dalam satu provinsi, mereka cukup terkesan dengan hidangan lokal yang disuguhkan.

Nico (tengah) dan Rio (kanan) menerima trofi dari Direktur  SwaraOwa Arif Setiawan

Bila tim MuLia tampil sebagai juara pertama untuk kategori Umum, tim Ngalor-Ngidul yang mewakili Paguyuban Pengamat Burung Jogja merebut juara pertama di kategori Mahasiswa. Komunitas yang jadi wadah kelompok-kelompok pengamat burung berbasis kampus di Yogyakarta itu diwakili oleh Raden Nicosius Liontino Alieser dan Rio Syahrudin.

Dihubungi terpisah, Nico mengaku tidak menarget juara. “Nggak narget,” akunya, ”malah nggak narget burung, sebenarnya lebih ingin lihat owa.”

Sebagaimana banyak peserta lain, Nico merasa cukup kaget ketika mengetahui format lomba ternyata berbeda dari yang pernah mereka tahu. “Istilahnya kita nggak kosong-kosong banget lah soal bird race,” sebut Nico. Ia menjelaskan, “Selain tanya-tanya ke senior yang pernah ikut, Rio sebelumnya pernah ikut Lawu Birdwatching Competition 2019.”

Meskipun kaget, mereka telah mempersiapkan diri dengan belajar. Diawali dari mempelajari gambaran kawasan hutan Petungkriyono, mereka kemudian mengompilasi catatan jenis dari berbagai sumber dan referensi, macam buku panduan dan Atlas Burung Indonesia.

Malam usai briefing teknis lomba, mereka menyusun strategi. Keduanya mendiskusikan pilihan rute menuju pos-pos yang akan didatangi, menduga-duga tantangan-tantangan yang akan dihadapi pada tiap pos.

“Nggak kebayang sih pos-posnya, saya kira bakal disuruh buat yel-yel,” kata Nico.

Bagi Nico yang juga ketua Paguyuban, Pos Tebak Suara menjadi yang paling menarik. Sementara yang paling seru dan menantang adalah Pos Puzzle.

Saat ditanya mengenai kekurangan dari lomba, Nico menyebut kendala sinyal yang tidak stabil sehingga merasa kesulitan saat mengirim data pengamatan ke Burungnesia. Ia harus berulang kali gagal dan harus mengulang pengiriman data. Mengenai jalannya acara, ia merasa cukup terganggu saat listrik padam berjam-jam di hari pertama, meski bisa memaklumi karena itu terjadi di luar antisipasi.

Namun, Nico mengapresiasi kegiatan tersebut. Sebagaimana Wahyudi dan Candra, Nico merasa ajang lomba seperti Petungkriyono Bird Race menjadi sarana yang baik untuk bertemu dan berbagi dengan teman sesama komunitas.

Pulang dengan menggondol hadiah sebesar tiga juta rupiah, Nico menyebut hadiah itu akan dibagi-bagi. Tak hanya untuknya dan Rio, tetapi juga disisihkan untuk kas komunitasnya.

“Belum tau buat apa, tapi paling nggak bisa buat kas nanti bikin kegiatan,” jelasnya. Berharap saja kegiatan itu berupa syukuran. Makan-makan atas kemenangan yang mereka raih.

Hasil Lomba Petungkriyono Birdrace 2022

 Oleh : Imam Taufiqurrahman

foto bersama peserta dan panitia

Gelaran tiga hari lomba dan sarasehan konservasi Petungkriyono Bird Race 2022 telah usai. Berpusat di area wisata Black Canyon yang terletak di Dusun Tinalum, Desa Kayupuring, rangkaian acara ditutup dengan pengumuman pemenang, Minggu, 23 Oktober.

Di kategori Umum, tim MuLia yang beranggotakan Wahyudi dan Candra Setyawan Nurwijaya mampu merebut juara pertama. Delegasi dari Karang Taruna Desa Tlogoguwo, Purworejo, itu, berhasil mengalahkan tujuh dari sedianya delapan tim lain yang terdaftar.

Masih di kategori yang sama, juara ke-2 diraih tim Butuh Pendamping Hidup. Tim beranggotakan Muhammad Bilal Yogaswara dan Ainaya Nurfadila yang mewakili Simpul Indonesia. Juara ke-3 diraih tim Finding Burung Dulu dari Finding Orchid, terdiri dari Aditya Nurrahma Badri dan Niken Rahmawati. Kedua tim tersebut berasal dari Jakarta.

Juara-Juara Petungkriyono Birdrace


Kategori Umum diikuti beberapa organisasi sosial kemasyarakatan. Selain karang taruna, terdapat kelompok pemuda, kelompok tani hutan, juga Masyarakat Mitra Polhut. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa, meliputi Jakarta, Pekalongan, Purworejo, Klaten, dan Yogyakarta.

Sementara untuk kategori Mahasiswa, juara pertama direbut oleh tim Ngalor-Ngidul, wakil dari Paguyuban Pengamat Burung Jogja. Komunitas yang jadi wadah kelompok pengamat burung berbasis kampus di Yogyakarta itu mengirim Raden Nicosius Liontino Alieser dan Rio Syahrudin.

Posisi juara ke-2 diraih oleh Muhammad Nafis Ufsi dan Ridza Dewananta Subagyo dari tim Haliaster, Mapala Haliaster Universitas Diponegoro, Semarang. Sementara juara ke-3 diraih David Suharjanto dan Haqqul Fata dari tim Bionic, Kelompok Pengamat Burung Bionic Universitas Negeri Yogyakarta. Di pembukaan acara, David didapuk untuk membacakan Kode Etik Pengamat Burung Indonesia yang diikuti oleh peserta yang hadir.

Pengamatan burung oleh peserta

peserta menyelesaikan tantangan di salah satu pos lomba


Persaingan di kategori Mahasiswa menjadi yang paling ketat. Para juara mampu menyisihkan belasan tim lain yang mewakili berbagai organisasi kampus, seperti kelompok pengamat burung dan satwa liar, mahasiswa pencinta alam, maupun himpunan mahasiswa. Mereka berasal dari beragam universitas, sebut saja Universitas Negeri Jakarta, Universitas Nasional, IPB University, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Institut Pertanian Malang, Universitas Negeri Malang, serta Universitas Airlangga.

Seluruh pemenang berhak atas trofi juara dan hadiah senilai total 12 juta rupiah. Selain itu, terdapat penghargaan khusus sebagai Tim Terniat diberikan kepada Rangkong Racing Club dari Mapalipma (Mahasiswa Pencinta Alam Institut Pertanian Malang) yang beranggotakan Arrayaana Artaka dan Ahmad Nizar Zulmi Yahya.

Sarasehan Konservasi



Selain lomba, rangkaian acara diisi dengan sarasehan konservasi. Agenda terbagi dalam tiga sesi.

Sesi pertama menghadirkan Untoro Tri Pamungkas, Adm Perhutani KPH Pekalongan Timur dan Direktur  SwaraOwa Arif Setiawan sebagai pembicara. Sesi ini mengusung tema terkait konservasi di kawasan hutan Petungkriyono.

Sarasehan berikutnya menghadirkan pembicara utama Waskito Kukuh Wibowo dari Birdpacker, Malang, yang memberi paparan tentang ekowisata burung di Indonesia. Kuswoto ketua Welo Asri menjadi pembicara pembuka mewakili salah satu pengelola obyek wisata di Desa Kayupuring.

Pada sarasehan ke-3, Imam Taufiqurrahman dari SwaraOwa mengawali paparan tentang keterlibatan masyarakat tujuh desa dalam survei raja-udang kalung-biru. Sarasehan terakhir yang menyuguhkan tema kontribusi warga dalam konservasi burung itu lalu menghadirkan dua pembicara utama.

Pertama, Kelik Suparno ketua Divisi Konservasi KTH Wanapaksi, Jatimulyo. Ia berbagi mengenai aktivitas kelompoknya dalam menggagas Jatimulyo sebagai Desa Ramah Burung. Per Oktober 2022, program adopsi sarang yang digulirkan kelompoknya semenjak 2017, mampu menjaga 61 sarang dari 15 jenis burung, termasuk burung-burung kicau yang semakin langka, macam sulingan atau sikatan cacing (Cyornis banyumas) dan empuloh janggut (Alophoixus bres).

Tercatat 93 anakan berhasil keluar dari sarang. Program unggulan KTH Wanapaksi tersebut melibatkan 45 pengadopsi, baik individu maupun lembaga dan berkontribusi pada 29 orang pemilik lahan. Dari program, lebih dari 45 juta rupiah dana adopsi terkumpul dan tersalurkan pada beberapa pihak, mencakup RT/RW yang menjadi lokasi sarang adopsi, pemilik lahan, serta KTH Wanapaksi sebagai pengelola.

Sarasehan dipungkasi oleh Swiss Winnasis, penggagas aplikasi Burungnesia. Berbeda dari narasumber lain, Swiss memilih untuk merangkum paparan demi paparan narasumber sebelumnya. Ia berupaya untuk memantik diskusi dengan para peserta guna merumuskan hal-hal yang bisa menjadi kontribusi para pengamat burung bagi konservasi burung.

Swiss mengungkap fakta miris mengenai silent forest, saat satwa menghilang dari habitatnya. Betapa perburuan dan perdagangan burung begitu mengeksploitasi tak terkendali, menghilangkan peran dan fungsi mereka di alam. Hutan hijau lebat Petungkriyono disebutnya sebagai contoh sempurna dari silent forest.

Pria Batu tersebut memberi bukti fenomena hutan Petungkriyono yang sunyi lewat catatan pengamatan yang dihasilkan para peserta sepanjang lomba. Terungkap tak lebih dari 32 jenis burung yang dijumpai para peserta dalam setengah hari pengamatan. Bahkan, umumnya peserta hanya mencatat kehadiran 8-10 jenis saja.

Diskusi berlanjut pada sesi perkenalan dan aktivitas yang dilakukan wakil-wakil peserta. Bahasan mengenai Pertemuan Pengamat Burung Indonesia ke-10 jadi salah satu yang mengemuka. Rencana, forum tersebut akan berlangsung di Jakarta.

Usai tertunda dua tahun akibat Covid, agenda pertemuan itu belum lagi ada kejelasan pelaksanaan. Dalam diskusi, wakil-wakil peserta dari Jakarta kemudian diminta untuk membawa bahasan agenda pertemuan agar disampaikan pada para pengamat burung Jakarta.

Secara keseluruhan, penyelenggaraan Petungkriyono Bird Race 2022 ini mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Asian Species Action Partenrship (ASAP), Oriental Bird Club (OBC), Fort Wayne Children's Zoo, Zoo Ostrava, dan Chances for Nature hadir sebagai sponsor utama. Perhutani menjadi sponsor pendukung dengan menyediakan lokasi transit saat kedatangan dan kepulangan peserta, dana, dan doorprize.

SwaraOwa sebagai penyelenggara acara mendapat bantuan tak ternilai dari berbagai unsur masyarakat warga Desa Kayupuring yang terlibat, terutama warga Dusun Tinalum dan Sokokembang. Selain itu, bantuan dalam kepanitiaan juga diberikan oleh anggota Paguyuban Petani Muda Mendolo, perwakilan mahasiswa Universitas Pekalongan, serta warga dari desa Doro, yang lokasinya berberbatasan langsung dengan hutan Petungkriyono.

Kegiatan lomba dan sarasehan konservasi ini menjalin kerjasama obyek wisata Black Canyon dan Welo Asri yang memfasilitasi tempat penyelenggaraan. Burungnesia dan Birdpacker menyediakan aplikasi untuk digunakan dalam lomba dan juga berbagai doorprize.

Ticket to the Moon menyediakan doorprize utama untuk para peserta. Doorprize menarik lainnya disediakan oleh Owa Coffee, Perhutani serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Sementara, Tower Bersama Group memberi layanan kesehatan gratis selama sehari bagi para peserta dan panitia.

Monday, October 17, 2022

Perayaan Hari Pangan Sedunia : Sumber pangan dari Hutan Mendolo

 oleh : Sidiq Harjanto 


Bersama ke hutan mencari bahan makanan

Pangan merupakan kebutuhan vital bagi makhluk hidup termasuk manusia. Bagi manusia, pangan tidak hanya sekadar sumber nutrisi penopang kehidupan, tetapi juga memiliki makna-makna lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Prof. Triwibowo Yuwono, guru besar di bidang pertanian Universitas Gadjah Mada, dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan Pertanian: Membangun Ideologi Pangan Nasional” menyebutkan bahwa pangan merupakan entitas ekonomi, simbol/identitas budaya, dan entitas pertahanan. 

Sebagai entitas ekonomi maksudnya adalah pangan merupakan komoditi yang bisa diperjualbelikan dan turut membangun perekonomian bangsa. Dari sudut pandang budaya, pangan yang diproduksi dan dikonsumsi merupakan simbol atau identitas budaya masyarakatnya. Misalnya, gudeg menjadi identitas budaya Yogyakarta, atau papeda yang identik dengan kultur masyarakat Papua. Lebih jauh lagi, kemampuan dalam mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya merupakan aspek penting pertahanan sebuah bangsa. Bagaimana suatu bangsa bisa bertahan menghadapi krisis jika ketersediaan pangannya saja tidak tercukupi?

Memilah jenis-jenis tanaman dari hutan untuk diolah menjadi makanan


Saking pentingnya pangan bagi peradaban manusia, masyarakat dunia memperingati Hari Pangan Sedunia setiap tanggal 16 Oktober. Peringatan ini sudah dimulai sejak era awal 80-an sebagai pengingat  bahwa pangan mesti menjadi perhatian serius bagi setiap orang. Isu pangan semakin menguat dengan perkembangan situasi global seperti pandemi Covid 19 dan peperangan yang sangat mungkin akan  menggagalkan skenario dalam mewujudkan dunia bebas kelaparan dan malnutrisi pada 2030, sesuai tujuan kedua SDG’s.

Turut menyemarakkan Hari Pangan Sedunia tahun ini, Swaraowa bersama Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo membuat sebuah perayaan kecil di sudut kawasan hutan habitat owa jawa di Kabupaten Pekalongan, tepatnya di Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang. Kami ingin menjadi bagian dari upaya membumikan isu-isu global, termasuk ancaman krisis pangan dan perubahan iklim sekaligus mengajak masyarakat membuat aksi di lingkungan terkecil mereka.

Jenis tanaman pakis yang bisa diolah


Desa Mendolo sebagai salah satu desa hutan di Kabupaten Pekalongan memiliki potensi bahan pangan lokal yang melimpah berikut pengetahuan pengolahan yang mumpuni. Namun, data mengenai potensi pangan maupun rangkuman pengetahuan masyarakat tersebut belum terdokumentasi dengan baik. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa generasi muda tidak lagi merawat tradisi berharga tersebut.

Ada beberapa poin pesan Hari Pangan Sedunia yang hendak disampaikan di Mendolo. Pertama, kita perlu merespon situasi global yang semakin tidak menentu, ditandai dengan dampak pandemi yang masih terasa, ancaman krisis akibat perang, kenaikan harga bahan bakar minyak, inflasi yang melanda dunia, hingga ancaman pemanasan global yang terus mengancam ketahanan pangan seluruh umat manusia. Sesuai dengan tema hari pangan dunia tahun ini: leave no one behind, kami memandang bahwa masyarakat perdesaan tak boleh ketinggalan dalam mempersiapkan komunitasnya mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk ancaman krisis pangan. Akses terhadap wawasan global menjadi hak siapa saja, tak terkecuali petani di pinggiran hutan.

Ibu-ibu dari Sawahan mengolah bahan makanan dari hutan


Kedua, desa perlu menggali kembali potensi pangan lokal yang dimilikinya yang umumnya kian tergerus oleh serbuan pangan impor. Ada indikasi desa mengalami krisis regenerasi keahlian pengelolaan pangan, misalnya dilihat dari turunnya kemampuan generasi muda mengenali jenis-jenis tumbuhan potensial pangan di lingkungan sekitar. Kemungkinan terburuknya adalah kegagalan generasi Millennial, generasi Z, dan generasi Alpha meneruskan tradisi pemanfaatan pangan lokal. Padahal, kunci resiliensi masyarakat tropis dalam menghadapi krisis pangan terletak pada kemampuan mengelola keanekaragaman hayati yang sangat melimpah, termasuk dalam konteks pangan.

Menikmati sajian makanan dari hutan


Rangkaian perayaan Hari Pangan Sedunia di Desa Mendolo diawali dengan pengumpulan dan pendataan potensi pangan lokal yang tersedia di kebun dan hutan sekitar kampung. Sekira pukul 08.00 WIB, sekelompok ibu paruh baya dibantu oleh para pemuda-pemudi di Pedukuhan Sawahan mulai menyisir jalan-jalan setapak yang membelah kebun hingga kawasan hutan, sembari mengumpulkan aneka jenis tanaman pangan. Para pemuda-pemudi mencatat dan mendokumentasikan setiap jenis bahan pangan tersebut.

Sore harinya, sebuah acara Focus Group Discussion (FGD) digelar dengan menghadirkan unsur pemerintah desa, perwakilan sesepuh desa, kalangan perempuan, dan generasi muda. Dalam FGD yang difasilitasi Swaraowa, terungkap bahwa ada setidaknya 80 jenis tumbuhan yang merupakan bahan pangan. Aneka jenis tumbuhan sebagai sumber karbohidrat, protein, sayur mayur, hingga buah-buahan yang disediakan hutan tersebut telah dimanfaatkan secara turun temurun. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa ada kecenderungan pergeseran pola konsumsi. Keahlian mengenali dan mengolah pangan lokal di komunitas masyarakat mulai luntur seiring dengan serbuan komoditi pangan industri yang umumnya menawarkan kepraktisan. FDG diakhiri dengan membuat rencana aksi bersama dalam menjawab beberapa permasalahan yang terkuak dalam diskusi.

pentas seni memperingati hari pangan


Malam yang dingin di Mendolo tidak menyurutkan sekira lima puluh warga dari berbagai usia berkumpul di kediaman salah satu warga. Sarasehan dan pentas seni kecil-kecilan disambut sangat antusias oleh segenap warga. Acara dimulai dengan sambutan oleh Koordinator PPM Mendolo, Cashudi. Dalam sambutannya, ia menekankan agar generasi muda mulai belajar mengenali dan memanfaatkan potensi pangan lokal di sekitar wilayah masing-masing. Bapak Kaliri, Kepala Desa Mendolo, menyampaikan himbauan bagi warga untuk menghidupkan kembali tradisi pertanian pangan yang mulai memudar terutama di kalangan generasi muda.

Yurizal Rahman, petani muda di Mendolo, menyampaikan kegelisahannya tentang masa depan pertanian di desanya melalui sebuah karya puisi berjudul “Suara Hati Tani”. Puisi tersebut dibawakan dengan sangat brilian oleh rekannya, Ja’an, yang berhasil membuat gemuruh tepuk tangan memecah kesunyian malam. Pesan yang disampaikannya melalui pembacaan puisi tersebut sangat jelas yaitu ajakan untuk kembali menghidupkan kembali tradisi bertani karena pertanian adalah salah satu penopang utama peradaban.

Puncak acara sarasehan adalah penyampaian hasil diskusi sore tadi. Rohim, selaku perwakilan forum diskusi memaparkan rencana aksi hasil kesepakatan bersama. Ia memaparkan bahwa perlu adanya penyusunan data dasar potensi pangan lokal yang nantinya bisa digunakan sebagai media transfer pengetahuan lintas generasi. Proyek tersebut bakal menjadi pekerjaan kolektif dan lintas generasi. Generasi tua diharapkan mentransfer pengetahuan mereka dalam pengenalan dan pengolahan pangan sementara generasi muda mendokumentasikan sebanyak yang mereka mampu.

Inovasi dan promosi dalam pengolahan pangan lokal menjadi isu penting lainnya. Inovasi sederhana bisa dilakukan dengan cara memperkaya produk olahan. Sementara itu, gerakan menyajikan olahan pangan khas Mendolo kepada setiap tamu yang datang dari luar daerah bisa menjadi ajang promosi. Pemerintah Desa siap menjadi leader dalam hal ini. Dalam waktu dekat, kata Rohim, akan dibuat kebun koleksi dan kebun pembibitan bagi beberapa tumbuhan pangan strategis yang akan dikelola oleh komunitas perempuan dan PPM Mendolo.

Tepuk tangan dan gelak tawa kembali menggema saat beberapa pemuda mementaskan permainan “Uwi-uwinan”. Dua orang pemain berperan sebagai petani, sedangkan beberapa yang lain berperan sebagai umbi uwi (Dioscorea sp). Dengan kata lain, uwi-uwinan merupakan permainan peran. Permainan ini sangat populer sampai kalangan generasi 90an. Namun, akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi dimainkan. Anak-anak menyimak dengan antusias adegan demi adegan yang dibawakan oleh para pemain.

Minggu, 16 Oktober 2022, untuk pertama kalinya warga Mendolo bergabung dengan masyarakat global menuju puncak perayaan Hari Pangan Sedunia. Semenjak pagi, kelompok perempuan telah sibuk di dapur, mengolah beragam menu masakan dengan bahan-bahan pangan yang dikumpulkan dari hutan. Setidaknya, ada 18 jenis menu masakan dihasilkan ibu-ibu tersebut. Beberapa di antaranya: sayur ketupuk, urap pakis, oseng cowetan, perkedel talas, gulai ikan sungai, dan sambal klanthing (bunga gorang).

Siang hari, segenap warga kembali berkumpul. Doa bersama dipimpin Bapak Cahyono, dengan maksud memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia alam yang memberikan penghidupan bagi warga. Juga permohonan keselamatan untuk waktu-waktu selanjutnya. Menu makan siang kali ini terasa sangat istimewa. Banyak menu yang baru pertama kali dicicipi oleh generasi muda. Sementara bagi generasi tua, menu-menu yang disajikan membangkitkan kenangan masa muda mereka yang sangat akrab dengan aneka olahan tersebut.

Demikianlah, rangkaian peringatan Hari Pangan Sedunia di Mendolo berakhir. Namun, akhir rangkaian ini justru menjadi permulaan bagi warga masyarakat untuk memberikan makna baru dalam bidang pangan bahwa merawat aneka pangan dari hutan merupakan modal resiliensi menghadapi berbagai situasi global ke depan. Atau, setidaknya seperti itulah yang diharapkan. Swaraowa memiliki kepentingan dalam perayaan hari pangan ini sebagai medium dalam menyemangati masyarakat desa hutan khususnya di sekitar habitat Owa jawa,  untuk terus memelihara keberagaman pangan mereka yang pada muaranya sama saja dengan mengonservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan.

Selamat Hari Pangan Sedunia 2022. 

Monday, October 3, 2022

PETUNGKRIYONO BIRD RACE 2022

 




SwaraOwa- Petungkriyono Bird Race 2022,  untuk pertama kalinya  lomba pengamatan burung di habitat aslinya hutan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan,  akan di gelar pada tanggal 21-23 Oktober 2022. Lomba ini merupakan ajang kompetisi yang menguji keterampilan dan pengetahuan para peserta lomba seputar burung di alam dan konservasinya.

Tidak sebagaimana umumnya, lomba akan dikemas secara berbeda. Dalam “Petungkriyono Bird Race 2022” para peserta akan ditantang untuk mengadu strategi, kecepatan, dan kemampuan guna mengumpulkan sebanyak-banyaknya poin dalam waktu yang telah ditentukan.

Adapun syarat dan ketentuan lomba adalah sebagai berikut:

Syarat dan Ketentuan Umum

1.    Lomba terbuka untuk umum yang dibagi dalam dua kategori, yakni:

a.       Umum (Kelompok Tani Hutan/Karang Taruna/Kelompok Sadar Wisata/dll), dan

b.       Mahasiswa (Kelompok studi/Kelompok pengamat burung/Mahasiswa Pecinta alam/dll).

2.    Lomba berlangsung di area yang telah ditentukan oleh panitia dalam wilayah Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah dan kawasan Perhutani (BKPH Doro- KPH Pekalongan Timur).

3.    Peserta lomba merupakan kelompok/tim yang menjadi perwakilan resmi organisasi. Dikarenakan terbatasnya kuota, maka tiap organisasi hanya dapat mengirimkan 1 tim (dibuktikan dengan melampirkan surat pendelegasian dari organisasi).

4.    Tim terdiri dari 2 orang dengan kuota per kategori minimal 5 tim dan maksimal 10 tim. Bila jumlah minimal tim dalam suatu kategori tidak terpenuhi, maka lomba akan dilaksanakan tanpa kategori.

5.    Pendaftaran dibuka pada 3-7 Oktober 2022 dengan biaya sebesar Rp. 300.000,- dan dapat ditutup sebelumnya bila kuota telah terpenuhi.

6.    Pendaftaran dilakukan secara online melalui tautan berikut: https://is.gd/auVMix

 

7.    Panitia akan terlebih dahulu melakukan verifikasi dan seleksi tim berdasarkan urutan pendaftaran dan kelengkapan syarat berupa surat pendelegasian.

8.    Tim yang lolos seleksi persyaratan akan diumumkan secara terbuka dan diharuskan melunasi biaya pendaftaran paling lambat 3 hari setelah pengumuman.

9.    Pembayaran dilakukan melalui ke rekening Bank Jago 109108292401 a/n Nur Aoliya. Mohon sertakan bukti transfer ke email petungkriyonobirdrace2022@gmail.com atau WA 089643284028 (Lala)

10.Tim yang tidak melakukan pembayaran pada hari yang ditentukan akan dinyatakan gugur dan kuota akan diberikan pada tim lain.

11.Tim peserta diharuskan membawa peralatan dan perlengkapan pribadi, meliputi:

c.       Peralatan kemping: tenda, matras, dan kantung tidur (sleeping bag)

d.       Peralatan pengamatan: binokuler, buku panduan identifikasi, dan alat tulis

e.       Peralatan lapangan: hp, jas hujan, payung, dan atau keperluan pribadi masing-masing.


 HADIAH TIAP KATEGORI

1.       Juara I

a.       Hadiah senilai Rp 3 juta

b.       Piala

c.       Plakat

d.       Sertifikat

2.       Juara II

a.       Hadiah senilai Rp 2 juta

b.       Piala

c.       Plakat

d.       Sertifikat

3.       Juara III

a.       Hadiah senilai Rp 1 juta

b.       Piala

c.       Plakat

d.       Sertifikat