Monday, July 31, 2017

Kopi untuk Owa Jawa


Inisiasi konservasi primata, Owa jawa, melalui kegiatan “Kopi dan Konservasi Primata” bulan agustus ini telah berhasil menembus komunitas global, khususnya di wilayah Asia. “Kopi dan Konservasi Primata” yang kita mulai sejak tahun 2012, di dusun Sokokembang, Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, melalui produk kopi Owa,  setidaknya telah di kenal di masyarat internasional. Meskipun presentasi kegiatan ini juga pernah di lakukan di Vietnam (2014) dan Chicago (2016), baru tahun ini kita mencoba ikut dalam forum peminat dan pecinta kopi.   Kalau acara sebelum-sebelumnya presentasi di komunitas pegiat  dan peneliti primata, kali ini kami mencoba mengarusutamakan upaya pelestarian primata Indonesia Owajawa di komunitas kopi dunia. Mengenalkan Owajawa dan kegiatan konservasinya untuk para penikmat kopi.
tim swaraOwa
Bekerjasama dengan Wildlife reserve Singapore, kami berpartisipasi dalam acara Singapore coffee festival, tanggal 4-6 Agustus 2017. Dan mulai tanggal tersebut juga kopi Owa resmi di jual di outlet di kebun binantang singapura.   

kopi Owa di acara festival kopi Singapura
Proyek Kopi dan Konservasi Primata ini setidaknya telah membawa pengalaman baru bagi tim swaraOwa untuk membangun sebuah inisiasi dari bawah untuk kegiatan upaya pelestarian primata. Tidak hanya melakukan kegiatan penelitian, namun dengan kegiatan ini kita setidaknya telah berhasil membuat sekema  ekonomi berkelanjutan untuk konservasi Owa Jawa, khususnya di wilayah sebaran Jawa Tengah.

Kopi kemasan yang di jual di Singapura
Tahun 2015 wildlifre reserve Singapore juga telah berkunjung ke habitat Owa di Sokokembang dan bertemu dengan pihak pemerintah BapedaKab.Pekalongan. karena sejak tahun 2013 WRS Singapore juga telah menjadi salah satu donor dari kegiatan ini. Mengenalkan Owa jawa di komunitas global dan mengenalkan daerah habitat asli, harapannya juga mendorong di tingkat site bahwa kita mempunyai primata yang menjadi indentitas di tingkat internasional, kontribusi apa  yang bisa kita berikan untuk primata asli Indonesia  dan habitatnya, tidak hanya menjadi kewajiban kita yang ada di sekitar hutan namun  sudah menjadi perhatian masyarakat internasional.

Wednesday, July 26, 2017

Arung ombak Mentawai: Burung Laut Pulau Siberut




ditulis oleh : 
Imam Taufiqurrahman,
email : orny_man@yahoo.com

Melaju di atas Mentawai fast

Sekira dua jam lepas pelabuhan Padang, seekor burung laut yang tengah asyik mengapung tiba-tiba terbang menghindar dari kapal cepat yang saya tumpangi. Ukurannya tak seberapa besar dan tampak hanya hitam. Sejenis petrel-badai kah, atau penggunting laut?
Ah, sayang terlewatkan. Mengetahui itu, Kang Wawan lantas mengajak ke buritan. Saya tak menolak.

Cuaca terasa bersahabat. Langit cerah biru berawan tipis, matahari pun masih hangat. Air laut tampak begitu tenang tak beriak. Di dek belakang ini, beberapa penumpang mancanegara asyik berbincang. Lainnya sekadar duduk melamun menatap laut atau tertidur. Sebagian besar mereka ini datang untuk mencandai ombak Mentawai.
Iku ki papan surfing kabeh, Mam,” (Itu papan surfing semua, Mam) jelas Kang Wawan saat melihat saya bersandar pada setumpukan barang yang rapat tertutup terpal. Tak mengherankan memang. Seperti Nias, sisi barat Kepulauan Mentawai menghadap Samudera Hindia. Di musim yang tepat seperti saat ini, terbentuk gulungan-gulungan ombak yang menarik minat para penunggang ombak.
Buntut-sate putih ras lepturus
Tiba-tiba seekor burung putih melintas dari arah depan kapal. Ekornya berpita panjang menjuntai. Tak salah lagi, buntut-sate putih Phaethon lepturus. Senang sekali melihatnya. Biasanya hanya bisa menjumpainya dari tepian tebing di Gunung Kidul. Baru ini saya menjumpainya di laut lepas. Kang Wawan menunjuk seekor lagi yang tengah mengapung-apung di lautan. Laju Mentawai Fast mengagetkan si burung yang lantas terbang menjauh.
Buntut-sate putih ras fulvus
Berbeda dari buntut-sate putih sebelumnya yang berwarna kekuningan, burung kedua itu terlihat putih bersih. Tak salah lagi, mereka dua anak jenis berbeda; yang berwarna kekuningan adalah fulvus, dikenal juga sebagai Golden Tropicbird, sementara yang putih bersih dari anak-jenis lepturus. Beberapa ekor dara-laut batu Onychoprion anaethetus dan seekor yang kembali tak teridentifikasi menemani perjalanan. Pukul 11 kapal sandar di pelabuhan pertama, Pelabuhan Laut Pokai, Muara Sikabaluan. Dua jam lagi hingga Pelabuhan Mailepet di Muara Siberut yang jadi tujuan.

    





Thursday, July 6, 2017

Kera kecil Mentawai : Bilou

Bilou jantan 

Dari kepulauan Mentawai, kali ini beruntung bisa mendokumentasikan si kera kecil Mentawai,  Bilou (Hylobates klossii),  yang juga lebih populer dikenal dengan nama Siamang kerdil, meskipun ukurannya juga tidak kerdil  sama sekali, ukuran Bilou sama dengan jenis  kera kecil lainnya, seperti Owa di Jawa atau di Kalimantan. Owa berambut hitam ini hanya di temukan di Kep.Mentawai, Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan.  

hutan rawa habitat Bilou

Dari catatan kami, bilou ini mulai aktif ketika hari masih gelap, dinihari sekitar jam 2 pagi, dengan khas suaranya sepertinya inilah panggilan Owa yang menurut beberapa ahli primata, merupakan panggilan yang paling sahdu di antara semua jenis Owa. Kami mulai mencatat informasi dari warga sekitar siberut selatan di mana bisa mengamati Bilou, dengan pertimbangan aksesibilitas dan biaya transportasi, maka kami pergi ke hutan di sekitar muara siberut, kurang lebih 30 menit menyusuri rawa gambut.
sedang mencoba alat perekam suara

Kami mulai pengamatan sekitar jam 4.30,hari pertama mencoba mengamati dari arah mana saja suara yang terdengar, dan kira-kira ada berapa kelompok yang bersuara, mencatat jam berapa mereka mulau bersuara hingga jam berapa mereka berhenti besuara. Kompas dan jam menjadi acuan untuk hari selanjutnya kita mendekati kelompok yang terdekat, karena tujuan kami adalah mencoba merekam video si bilou ini. Hari kedua di waktu yang sama kita mencoba mendatangi arah suara bilou yang terdekat, dengan membuat jalur di hutan rawa.
teramati 2 individu 
Setelah hampir kira-kira cukup dekat dengan posisi kelompok yang bersuara tadi, kita menyiapkan Listening post disini, dan ini akan kita gunakan untuk pengamatan selanjutnya, dan juga kalau memungkinkan merekam dan mengambil dokumentasi. 
Selama 4 hari berturut turut kami dapat mencatat di satu listening point ini ada 6 kelompok yang bersuara, dan ada satu kelompok yang cukup dekat dengan titik kita ini.

Kiranya cerita lapangan ini akan terus bertambah, dan ikuti terus laporan kami dari bumi sikerei, dan akhirnya kita ketemu langsung dengan induk dan anak bilou.
panggilan Bilou betina