Monday, January 31, 2022

Desa Mendolo: minat khusus pengamat burung dan penikmat durian

Sawahan Mendolo,dusun yang di kelilingi hutan durian

Musim buah tahun ini menjadi momentum pemuda-pemuda dari Desa Mendolo, kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan untuk memperkuat nilai penting keanekaragaman hayati yang ada di sekitar desa mereka. Desa Mendolo terletak kurang lebih 25 km dari ibukota Kajen, Kabupaten Pekalongan, Letaknya yang di pegunungan bagian barat dari rangkaian pegunungan Dieng, menjadikan Desa mendolo, tidak terlalu dikenal, namun sebenarnya banyak potensi alam yang ada di kawasan ini yang dapat menjadi kebanggaan dan keunikan serta yang lebih penting harus di jaga keutuhan dan kelestariannya. Desa Mendolo, terdiri dari beberapa dusun yaitu Dusun Mendolo Wetan, Dusun Mendolo Kulon, Dusun Krandegan, dan Sawahan.

aktifitas memanen durian


durian yang di panen, di kumpulkan kemudian di bawa ke kota 

aneka cita rasa durian Mendolo


Program pengembangan ekonomi yang berkelanjutan untuk mendukung program pelestarian Owa Jawa di kawasan ini di awali dengan kegiatan budidaya Lebah madu, yang dimulai pada tahun 2017. Tujuan program ini adalah untuk mengurangi tekanan terhadap hutan yang menjadi habitat Owa, sehingga muncul kegiatan ekonomi yang melibatkan warga sekitar hutan secara langsung dalam menjaga keberadaan hutan dan keberlanjutannya dari sisi ekonomi, sosial dan keanekargaman hayati. Lebah madu adalah salah satu yang terkait langsung dengan hutan,  Hingga saat ini kegiatan budidaya lebah ini terus berkembang di semua dusun di Mendolo. Keterkaitan kegiatan lebah madu  ini sangat nyata sekali ketika musim durian tiba, lebih tepatnya ketika bunga durian mekar di kawasan hutan. Produksi madu meningkat dengan adanya bunga durian ( Durio zibethinus).

Sepah hutan, Foto Arif Setiawan

Luntur harimau, Foto Arif Setiawan

 larangan berburu burung yang dibuat oleh PPM mendolo



Meskipun kadang bunga durian yang melimpah belum tentu menghasilkan buah durian yang bagus, namun rangkaian proses bio-ekologi yang terjadi di pohon durian ini telah membentuk rantai ekonomi, terutama warga yang mencari madu di hutan untuk sumber pendapatan musiman ( baca laporan disini). Durian sebagai komoditas musiman unggulan setidaknya sudah sejak 2 generasi sebelumnya,  hingga terus berkembang hingga saat ini.

Karakteristik lingkungan  membentuk cita rasa khas durian Mendolo, meskipun belum ada penelitian  di wilayah ini, setidaknya potensi durian di Mendolo dapat digunakan sebagai indukan pengembangan pohon durian yang super. Pohon durian yang menjulang tinggi, dengan batang besar cabang tajuk luas, juga memberikan perlindungan dan habitat keanekargaman hayati, terutama jenis-jenis burung.

Hingga 1 tahun terakhir ini, kegiatan di desa Mendolo lebih intensif dilakukan untuk peningkatan kapasitas generasi mudanya, terutama yang tergabung dalam Paguyuban Petani Muda Mendolo (PPM Mendolo). Burung sebagai species yang lebih mudah dijumpai di berbagai tipe habitat, menjadi titik tolak untuk semakin menggemakan gerakan grassroot conservation dari Desa Mendolo. Kegiatan pengamatan dilakukan kelompok pemuda di setiap hari jumat. Mendata dan mendokumentasikan jenis-jenis burung yang ada di sekitar desa dan hutan agroforest/ wana-tani durian.

Cekakak batu, Foto : Ridho PPM Mendolo

Elang jawa , foto Arif Setiawan

kegiatan pengamatan burung di Desa Mendolo, foto Imam Taufiqurrahman


Menjual komoditas hasil hutan sekaligus menikmati keanekaragaman hayati, inilah mungkin kata-kata yang pas untuk menggambarkan cita-cita program konservasi di desa Mendolo. Burung yang kenyaataannya saat ini semakin hilang karena perburuan dan perdagangan, menjadi semangat baru untuk menyelamatkan yang tersisa. Dengan mengenali mereka, melihat, mengamati mencatat perjumpaan dan mendokumentasikan ternyata juga menimbulkan gairah baru untuk pemuda-pemuda desa mendolo. Kombinasi komoditas dan nilai keanekargaman hayati, dapat meningkatkan nilai jual komoditas hasil hutan sekaligus, menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Ada nilai tambah komoditas yang di dapat oleh konsumen, dalam hal ini penikmat durian sekaligus dapat melihat langsung dan mendengarkan burung-burung terbang bebas di alamnya. Keanekaragaman hayati juga merupakan komoditas ekonomi, tidak hanya untuk kemajuan pembangunan namun juga secara ekologis merupakan supporting system dan modal yang tidak ternilai.

habitat hidupan liar dan komoditas durian

Bondol binglis, Foto Arif Setiawan

Produksi buah durian di desa ini,menurut perkiraan tim swaraowa mencapai 500-1500 buah per petani, dari pohon-pohon durian yang berusia  rata-rata lebih dari 30 tahun,  bisa di perkirakan kawasan ini menjadi centra produsen durian yang mensuplai kota-kota disekitar pekalongan. Musim panen durian tahun ini, menjadi berbeda ketika beberapa tamu istimewa mengunjungi desa mereka, untuk melihat burung yang ada di Mendolo, durian menjadi santapan istimewa yang menemani pengamatan kali ini.  Tercatat sebelumnya, jenis-jenis burung yang dapat di jumpai di kawasan wana-tani durian Mendolo diantaranya yang menjadi , sepah hutan (Pericrocotus flammeus), elang jawa ( Nizatus bartelsi), luntur harimau (Harpactes oreskios), bondol binglis ( Erythrura parasina)  dan cekakak batu ( Lacedo pulchella). Meskipun tidak banyak di jumpai namun keberadaannya yang berasosiasi dengan kawasan hutan durian, ketika musim durian tiba dan melakukan  pengamatan  burung ataupun fotografi burung dikawasan ini berbeda dengan tempat lain. Jenis-jenis durian varian lokal disini juga mempunyai karakter rasa yang unik, warna dan tekstur yang bervariasi. Bagi anda penggemar durian sekaligus penikmat keanekargaman hayati, harus memasukkan desa Mendolo jadi daftar wisata minat khusus anda. 


ditulis oleh : Arif Setiawan, SWARAOWA,  email :wawan5361@gmail.com


Wednesday, January 5, 2022

Monday, January 3, 2022

Meniti Konservasi si Kalung Biru

 di tulis oleh : Imam Taufiqurrahman, email : ornyman18@gmail.com

Raja Udang Kalung Biru- foto.SWARAOWA

Temuan raja-udang kalung-biru di Petungkriyono pada Oktober 2018 (laporan oleh Chan & Setiawan 2019), memunculkan peluang sekaligus tantangan bagi konservasinya. Dari itu, tentu ada yang harus digarisbawahi pertama sekali. Keberadaan si kalung biru di sisi utara Pegunungan Dieng tersebut menjadi informasi penting yang menambah catatan sebaran globalnya.

Sebelum Petungkriyono, endemik Jawa ini hanya dilaporkan dari dua taman nasional di Jawa Barat: Halimun Salak dan Gede Pangerango. Sementara keberadaan di enam lokasi lain kini tinggal menjadi catatan lampau sumbangan para naturalis dan peneliti di era pra-kemerdekaan. Lokasi-lokasi itu mencakup Jasinga, Cimarinjung, Pelabuhanratu, dan Cikahuripan (Jawa Barat), Rampoa (Jawa Tengah), dan Kali Sanen (Jawa Timur).

Di lokasi tercatat, burung bernama ilmiah Alcedo euryzona ini termasuk jarang dijumpai. Ia tidak pernah umum, hidup di habitat yang khas—sehingga dikenal sebagai jenis river-dependent. Dalam pengertian, raja-udang kalung biru sangat bergantung pada keberadaan sungai berbatu dengan aliran jernih, dalam kawasan hutan alam dataran rendah.

Karakteristik habitat yang spesifik semacam itu tidak lah banyak tersisa di Jawa. Kalaupun ada, terutama dijumpai pada area berstatus perlindungan atau dalam kawasan konservasi. Dalam hal ini, hutan Petungkriyono berada di bawah pengelolaan Perhutani dan termasuk kawasan hutan lindung. Terlebih, hutan Petungkriyono kini mendapatkan status baru sebagai Kawasan Ekosistem Esensial yang mensyaratkan pengelolaan kolaboratif antar-pihak. 

habitat burung Raja Udang Kalung Biru, di Petungkriyono


Adanya status perlindungan menjadi modal awal, namun bukan berarti perlindungannya terjamin mutlak. Berbagai komunitas masyarakat telah lama menghuni kawasan sekitar hutan Petungkriyono. Pemanfaatan hutan tidak hanya dari sisi ekologi maupun sebagai sumber hidup. Pengembangan ekonomi, pembangunan area-area wisata, terus berlangsung seiring waktu. Ini yang kemudian menjadi tantangan utama. Bahwasanya, upaya konservasi raja-udang kalung-biru membutuhkan peran serta banyak pihak yang bersinggungan di hutan Petungkriyono.  

Di sisi lain, tantangan konservasi yang juga harus diatasi adalah menyangkut keterbatasan pengetahuan dasar mengenai si kalung biru. Apakah raja-udang kalung-biru dapat dijumpai di seluruh sungai dalam hutan? Apa sebenarnya yang menjadi karakteristik mikro habitatnya? Itu menjadi beberapa pertanyaan dasar yang perlu dijawab. Belum lagi soal perilaku, jenis pakan, populasi, pola perkembangbiakan, dan sebagainya.

Kajian dasar ini menjadi penting mengingat populasi global raja-udang kalung-biru diperkirakan hanya kurang dari 250 ekor, menjadikan statusnya tergolong Kritis (Critically Endangered). Sedemikian terancamnya, hingga ia berada di satu tingkat sebelum punah di alam.

SwaraOwa telah meniti jalan konservasi itu, melalui  konservasi Owa jawa (Hylobates moloch) dan pemberdayaan komunitas yang sudah berlangsung sejak tahun 2012, di Petungkriyono, kemudian menginisiasi terlibat dalam dorongan terbentuknya pengelolan kolaboratif kawasan hutan Petungkriyono di tahun 2019. Hingga saat ini, bersama komunitas masyarakat, berupaya melakukan riset dan pengumpulan data lapangan untuk mengisi pengetahuan dasar bioekologi raja-udang kalung-biru. Didukung oleh Asian Species Action Partnership (ASAP) dan Oriental Bird Club (OBC), harapan dalam meniti konservasi si kalung biru semoga dapat terwujud nyata.