di tulis oleh : Imam Taufiqurrahman, email : ornyman18@gmail.com
Raja Udang Kalung Biru- foto.SWARAOWA |
Temuan raja-udang kalung-biru di Petungkriyono pada Oktober 2018 (laporan oleh Chan & Setiawan 2019), memunculkan peluang sekaligus tantangan bagi konservasinya. Dari itu, tentu ada yang harus digarisbawahi pertama sekali. Keberadaan si kalung biru di sisi utara Pegunungan Dieng tersebut menjadi informasi penting yang menambah catatan sebaran globalnya.
Sebelum Petungkriyono, endemik Jawa ini hanya dilaporkan
dari dua taman nasional di Jawa Barat: Halimun Salak dan Gede Pangerango. Sementara
keberadaan di enam lokasi lain kini tinggal menjadi catatan lampau sumbangan para
naturalis dan peneliti di era pra-kemerdekaan. Lokasi-lokasi itu mencakup Jasinga,
Cimarinjung, Pelabuhanratu, dan Cikahuripan (Jawa Barat), Rampoa (Jawa Tengah),
dan Kali Sanen (Jawa Timur).
Di lokasi tercatat, burung bernama ilmiah
Alcedo euryzona ini termasuk jarang dijumpai. Ia tidak pernah umum, hidup di
habitat yang khas—sehingga dikenal sebagai jenis river-dependent. Dalam pengertian, raja-udang kalung biru sangat
bergantung pada keberadaan sungai berbatu dengan aliran jernih, dalam kawasan
hutan alam dataran rendah.
Karakteristik habitat yang spesifik semacam
itu tidak lah banyak tersisa di Jawa. Kalaupun ada, terutama dijumpai pada area
berstatus perlindungan atau dalam kawasan konservasi. Dalam hal ini, hutan
Petungkriyono berada di bawah pengelolaan Perhutani dan termasuk kawasan hutan lindung.
Terlebih, hutan Petungkriyono kini mendapatkan status baru sebagai Kawasan Ekosistem
Esensial yang mensyaratkan pengelolaan kolaboratif antar-pihak.
habitat burung Raja Udang Kalung Biru, di Petungkriyono
Adanya status perlindungan menjadi modal awal,
namun bukan berarti perlindungannya terjamin mutlak. Berbagai komunitas
masyarakat telah lama menghuni kawasan sekitar hutan Petungkriyono. Pemanfaatan
hutan tidak hanya dari sisi ekologi maupun sebagai sumber hidup. Pengembangan
ekonomi, pembangunan area-area wisata, terus berlangsung seiring waktu. Ini
yang kemudian menjadi tantangan utama. Bahwasanya, upaya konservasi raja-udang
kalung-biru membutuhkan peran serta banyak pihak yang bersinggungan di hutan
Petungkriyono.
Di sisi lain, tantangan konservasi yang juga
harus diatasi adalah menyangkut keterbatasan pengetahuan dasar mengenai si
kalung biru. Apakah raja-udang kalung-biru dapat dijumpai di seluruh sungai
dalam hutan? Apa sebenarnya yang menjadi karakteristik mikro habitatnya? Itu
menjadi beberapa pertanyaan dasar yang perlu dijawab. Belum lagi soal perilaku,
jenis pakan, populasi, pola perkembangbiakan, dan sebagainya.
Kajian dasar ini menjadi penting mengingat populasi global raja-udang kalung-biru diperkirakan hanya kurang dari 250 ekor, menjadikan statusnya tergolong Kritis (Critically Endangered). Sedemikian terancamnya, hingga ia berada di satu tingkat sebelum punah di alam.
SwaraOwa telah meniti jalan konservasi itu, melalui konservasi Owa jawa (Hylobates moloch) dan pemberdayaan komunitas
yang sudah berlangsung sejak tahun 2012, di Petungkriyono, kemudian menginisiasi terlibat dalam dorongan terbentuknya pengelolan kolaboratif kawasan
hutan Petungkriyono di tahun 2019. Hingga saat ini, bersama
komunitas masyarakat, berupaya melakukan riset dan pengumpulan data lapangan
untuk mengisi pengetahuan dasar bioekologi raja-udang kalung-biru. Didukung
oleh Asian Species Action Partnership (ASAP) dan Oriental Bird Club (OBC),
harapan dalam meniti konservasi si kalung biru semoga dapat terwujud nyata.
No comments:
Post a Comment