Monday, April 19, 2021

Mengamati Owa Jawa, Sebuah Kisah di Hutan Tombo dan Kalitengah

 Oleh : Devi Candra Lestari 

 

Perkenalkan nama saya Devi Candra Lestari, mahasiswi jurusan akhir yang sedang berusaha meraih gelar untuk membanggakan kedua orang tua di salah satu universitas terbaik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan mengambil jurusan S1 Kehutanan. Pandemi COVID-19 yang tiba-tiba saja merebak di seluruh dunia memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya akademik. Ya, semua mulai dilakukan secara daring, bahkan untuk mahasiswa akhir yang harus melakukan penelitian untuk memperoleh gelar sarjana pun harus benar-benar mempertimbangkan banyak hal, karena saya yakin kesehatan menjadi prioritas utama di masa seperti sekarang ini. Dengan melakukan beberapa konsultasi bersama dosen pembimbing skripsi, akhirnya saya mengambil topik penelitian yang dapat dilakukan secara daring. Hal ini memang memudahkan saya dalam menyelasaikan tugas akhir saya, akan tetapi hal ini membuat saya membuang kesempatan melihat dunia lebih luas dengan alasan “ke lapangan untuk ambil data skripsi”. Hampir setahun saya hanya “menganggur” di rumah hingga akhirnya seorang kakak tingkat memberikan tawaran sebagai relawan di Swaraowa, sebuah lembanga swadaya masayarkat yang bergerak di bidang pelestarian hutan untuk jenis-jenis Owa di Indonesia . Kesempatan relawan ini untuk membantu seorang mahasiswi S2 Institute Pertanian Bogor (IPB) yang mendapat beasiswa dari Swaraowa, yang sedang mengambil data thesis bertemakan bioacoustic Owa Jawa. Setelah banyak menimbang dengan keyakinan bahwa belum tentu kesempatan seperti ini akan datang lagi, saya akhirnya mendaftarkan diri sebagai relawan di SwaraOwa.

Nur Aoliya (Kiri) dan Saya ( kanan)

Namanya Nur Aoliya, saya memanggilnya Mbak Lia, ketertarikannya terhadap primata membuatnya memilih Owa Jawa sebagai obyek penelitian untuk tugas akhirnya, baik saat sedang berusaha memperoleh gelar sarjana saat S1, dan juga untuk saat ini. Pengetahuan yang luas tentang primata dan pengalamannya dalam hal konservasi dan rehabilitasi primata membuatnya memiliki banyak cerita yang menarik untuk didengarkan. Penelitiannya kali ini dimaksudkan untuk mengetahui variasi greatcall suara Owa Jawa di daerah pegunungan dieng. Greatcall disini adalah lengkingan suara keras yang dihasilkan oleh owa betina dewasa, Suara ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut merupakan teritori suatu kelompok Owa Jawa yang harus mereka pertahankan dari kelompok lainnya. Variasi akan terbentuk dari berbagai kondisi yang berbeda di tiap titik pengambilan data.

recorder dan shotgun mic

Apabila fotografer memerlukan kamera untuk mendapatkan targetnya, kami memerlukan sebuah senjata yaitu perekam suara, Linear Pulse Code Modulation- PCM dengan device tambahan  shotgun microphone yang khusus untuk digunakan merekam suara satwaliar (baca disini tentang shotgun mic). Alat ini mampu merekam suara Owa Jawa yang terdengar bahkan hingga radius ratusan meter. Nantinya hasil rekaman dari alat ini akan di analisis kembali, divisualisasikan sehingga dapat diketahui sonogram greatcall Owa Jawa di tiap titik pengambilan data-Listening Posts (LPs). Alat ini cukup mudah digunakan, hanya saja dalam menggunakannya perlu menghindari kebisingan seperti suara kendaraan bermotor, suara sumber air yang cukup deras, dan hal lain yang mampu mengganggu kualitas suara dari Owa Jawa itu sendiri. Selain rekaman suara, estimasi jarak dan sudut sumber suara Owa Jawa juga diperlukan untuk mengidentifikasi jumlah kelompok Owa Jawa yang ada. Biasanya, satu kelompok berisi 4 hingga 6 ekor owa yang terdiri dari owa jantan, owa betina, dan anak-anak mereka.


Lutron digital Anemometer,Hygrometer, Termometer and lightmeter

Garmin GPS Handheld

measuring tape

Pengambilan data juga dilakukan untuk data-data lain, seperti data kondisi lingkungan dan juga data vegetasi. Data kondisi lingkungan diambil tiap jam, mulai dari pengamatan dimulai hingga berakhir sekitar pukul 12.00 siang. Data yang diambil berupa data suhu, kelembaban, kecepatan angin, intensitas cahaya, dan kondisi cuaca. Data vegetasi diambil satu kali di tiap lokasi dengan data-data yang diperlukan dalam pembuatan diagram profil pohon. Data-data tersebut akan menunjukkan kondisi yang berbeda di tiap lokasi pengambilan data yang nantinya dapat digunakan sebagai faktor penentu variasi greatcall suara Owa Jawa.

mbak Lia sedang mengambil data vegetasi

Saya berkesampatan untuk membantu Mbak Lia mengambil data di 2 lokasi, karena lokasi lain telah selesai dilakukan pengambilan data. Lokasi pertama berada di Desa Tombo, Kec. Bandar, Kab. Batang. Selama di Desa Tombo, kami menginap di rumah Pak Saatu. Beliau merupakan kepala dusun yang juga bekerja sebagai petani padi. Beliau tinggal bersama istri, anak, dan juga 2 cucunya.

 Salah satu hal menarik yang saya dapatkan dari tinggal di rumah Pak Saatu adalah hangatnya kasih sayang di lingkup keluarga telah membentuk tata karma yang baik untuk anaknya. Apa yang terlintas dalam pikiran anda apabila mendengar tingkah laku anak kecil “jaman now”? Mungkin beberapa akan mengatakan hilang unggah-ungguhnya, atau bahkan beberapa akan mengatakan hilang Jawa-nya (karena saya berasal dari Jawa). Hal ini membuat saya akhirnya memutuskan untuk memulai memperkenalkan diri menggunakan Bahasa Indonesia, bahasa nasional kita, kepada kedua cucu Pak Saatu. Mendengar jawaban mereka, saya menjadi malu. Tata bahasa mereka, jauh lebih baik dibandingkan dengan saya. Bahkan sering kali saya dibuat kebingungan ketika menjawab pertanyaan mereka. Dalam benak saya, saya berfikir, “ setidaknya, Bahasa Krama saya harus sama halusnya lah dengan merek,” tapi eksekusinya, saya hanya bisa menambal beberapa kosakatamenggunakan Bahasa Nasional karena sayapun bingung harus berbicara apa. Sebenarnya, mereka juga telah mengetahui teknologi seperti halnya kita, akan tetapi lingkungan yang terus menjaga tradisi membuat mereka secara sukarela akhirnya juga ikut mengamalkan tradisi tersebut.

Semburat jingga, pagi di Desa Tombo. Foto Nur Aoliya


LPs  (Listening post ) di desa tombo, dihadapkan pada Gunung Kendalisodo. Foto Nur Aoliya


        Selama pengambilan data, kami ditemani oleh Mbah Dasto, yang kebetulan lokasi kebun kopinya cukup dekat dengan lokasi pengambilan data kami. Jarak dari desa menuju lokasi pengambilan data kami cukup jauh, terlebih lagi kami juga masih harus berjalan sekitar 30 menit lamanya. Kenyataan itu menuntut kami untuk berangkat pagi-pagi sekali untuk bisa mencapai titik sebelum pukul 06.00, waktu awal pengambilan data. Berangkat pagi ternyata tidak sepenuhnya memberatkan. Kami selalu disambut semburat jingga pagi Desa Tombo yang hangat dan juga sekelompok ibu-ibu pemetik teh yang tersenyum ramah, bergegas menuju  kebun teh dengan tas dan caping mereka. Penduduk desa ini mayoritas merupakan pemetik teh, petani kopi dan juga petani padi, karena menurut Pak Saatu, desa ini sangat tidak cocok digunakan sebagai lahan perkebunan karena masalah hama yang cukup merepotkan.

sedang merekam suara owa di lokasi LPs

            Suara Owa Jawa beberapa kali terdengar di lokasi ini. Akan tetapi, saya, yang sama sekali belum pernah melihat Owa Jawa secara langsung sangat ingin melihatnya. Satu hari, dua hari, harapan saya pupus dan ini berlanjut hingga hari terakhir. Tak satupun terlihat Owa Jawa yang terlihat, Suara-suara yang terdengar memang berasal dari lokasi yang cukup jauh dari lokasi pengambilan data kami. Pengambilan data akhirnya diakhiri, dan kami akhirnya berpindah ke lokasi selanjutnya yaitu di Desa Kalitengah, Kec. Blado, Kab. Batang.

ikut memetik teh, di perkebunan di sekitar lokasi pengamatan



    Kami akhirnya bertemu keluarga baru di Desa Kalitengah ini. Desa Kalitengah merupakan daerah wisata yang cukup ramai dikunjungi pelancong yang ingin menikmati keindahan kebun teh dan juga menikmati secangkir kopi khas daerah ini. Kami menginap di rumah Pak Sis selama di desa ini. Karena lokasi ini lokasi baru, kami melakukan observasi lapangan selama 2 hari untuk menentukan lokasi pengambilan data. Kami membuka telinga lebar-lebar untuk dapat menemukan suara Owa Jawa sebagai target baru untuk bisa direkam suaranya. Setelah melakukan pencarian, akhirnya kami mendapatkan lokasi pengamatan yang baru, yaitu di sebuah punggungan dekat desa yang berhadapan langsung dengan bukit-bukit dan lembah yang masih sangat rimbun hutannya. Data yang kami peroleh di desa ini tidak jauh berbeda dengan Desa Tombo. Suara Owa Jawa beberapa kali terdengar, tapi tidak satupun Owa Jawa yang terlihat. Akan tetapi, dibandingkan dengan Desa Tombo, suara Owa Jawa di lokasi ini lebih jarang terdengar.

bentang hutan di LPs Kalitengah. Foto Arif Setiawan

Akhirnya setelah 8 hari di lapangan, pengamatan pun selesai. Kami kembali ke Kec. Doro, menuju kontrakan salah satu rekan kami yang juga bekerja di Yayasan SwaraOwa, saya memanggilnya Mbak Alif. Kami menginap untuk satu malam, dan besoknya, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Petungkriyono, melihat-lihat kalau-kalau saya beruntung bisa berjumpa dengan Owa Jawa yang sampai hari terakhir pengamatan belum pernah secara langsung melihatnya. 

Owa jawa yang kami jumpai di Petungkriyono



Perjalanan menuju Petungkriyono sangat menyenangkan. Udara yang masih terasa segar dan pemandangan yang indah cukup menghibur saya. Hingga akhirnya, kami berhenti di sebuah spot wisata yang memang sudah tidak beroperasi lagi. Beruntungnya, setelah kami memarkirkan motor, terlihat Owa Jawa sedang bergelantungan tepat di atas kami. Selain itu, kami juga bertemu sekelompok lutung yang sedang “bersantai” di sebuah pohon. Di lokasi ini, juga terdapat banyak burung yang berterbangan dan berkicauan. Atraksi utama dari spot wisata ini yaitu air terjun. Setelah dirasa cukup puas melihat satwa-satwa yang ada, akhirnya kami memutuskan tracking menuju air terjun tersebut. Setelah sampai, semburan air yang sangat dingin, bebatuan sungai, dan air yang tumpah dari ketinggian, telah menyambut kami. Pemandangan yang cukup menakjubkan. Kami mengabadikan beberapa momen di lokasi ini untuk memnandakan bahwa kami pernah mengunjungi lokasi ini. Rasa penasaran akan bentuk Owa Jawa secara langsung dan rasa lelah yang ditimbun selama pengamatan akhirnya terbayarkan dengan apa yang kami dapatkan di sini. Semoga, kedepannya lokasi ini dapat kembali dibuka sebagai salah satu destinasi spot forest healing yang tidak hanya mengunggulkan air terjunnya, tetapi juga keindahan alam dan satwanya.

air terjun di Petungkriyono. Foto Alfah Dina

Banyak hal yang saya dapatkan selama perjalanan kali ini. Jiwa sosialisasi saya dituntut untuk terbangun kembali setelah sempat “mati” selama “menganggur” di masa Pandemi COVID-19 ini. Unggah-ungguh dan tata karma kembali diasah karena saya juga harus bisa berbaur dengan masyarakat setempat agar kami sama-sama nyaman untuk dapat tinggal bersama. Pengalaman baru juga didapatkan, karena saya baru benar-benar mempraktikan di lapangan bagaimana sebenarnya mengamati primate, terkhusus Owa Jawa. Ilmu-ilmu yang hanya bisa didapatkan selama kita berada di lapangan, bukan saat kita hanya duduk dan mendengarkan ketika di kelas. Kapasitas diri menjadi lebih meningkat dan juga kesempatan ini membuka kesempatan saya untuk membuka jejaring konservasi lebih lebar lagi.