Tuesday, April 11, 2023

Menuju pendidikan kontekstual di habitat owa jawa

 Penulis: Sidiq Harjanto

persiapan pengamatan dan pembagian kelompok

Kehidupan di masa yang akan datang sangat ditentukan oleh kehidupan pada saat ini. Dalam konteks lingkungan hidup, baik atau buruk daya dukung lingkungan bagi generasi yang akan datang adalah dampak dari perilaku generasi saat ini. Perilaku manusia sekarang ini mulai banyak yang tidak sejalan dengan kelestarian lingkungan, misalnya tampak dari sampah yang makin menggunung, perburuan satwa yang marak, penebangan pohon secara besar-besaran, dan lain sebagainya.

Generasi muda menjadi tumpuan harapan masa depan lingkungan hidup. Yang bisa dilakukan saat ini adalah menumbuhkan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda. Bahwa manusia bisa hidup berkelanjutan jika memahami alam sebagai bentuk interdependensi. Kehidupan terdiri dari komponen-komponen yang membentuk jaring-jaring kehidupan dan ada siklus di dalamnya yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Dengan bekal pemahaman ini, manusia mestinya mau berhati-hati dalam mengelola alam.

Para orang tua kita, terutama yang tinggal di desa, dahulu begitu dekat dan mengenal alam karena tingginya interaksi persinggungan. Kedekatan itu sesederhana hafal nama-nama jenis burung dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tahu persis di mana sumber-sumber air di desa, dan bagaimana cara merawatnya. Mereka bahkan bisa membaca tanda-tanda alam, karena kebutuhan untuk bercocok tanam atau untuk berburu. Maka ada istilah ilmu titen. Belakangan, generasi kita teralihkan oleh kesibukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, relasi manusia dengan alam merenggang.

Pendidikan telah banyak mencetak orang pintar. Namun, ternyata pendidikan kita saat ini belum mendekatkan kita pada alam dan lingkungan sebagai penopang utama sistem kehidupan. Maka tak heran jika gerakan-gerakan konservasi alam masih jauh panggang dari api. Desa perlu menyusun sebuah skema pendidikan kontekstual bagi generasi penerusnya. Bentuknya tentu bukan seperti sekolah formal. Model pendidikan ini juga tidak bermaksud menggantikan pendidikan formal, malah bertujuan melengkapinya sesuai situasi setempat.

Mendolo merintis pendidikan lingkungan untuk anak

Mengamati burung

Pagi itu di hari Minggu yang cerah, sekira dua puluhan anak-anak usia 6-10 tahun telah berkumpul di lahan terbuka di tengah dusun Mendolo Wetan. Mereka bersiap untuk bermain sekaligus belajar bersama di lingkungan sekitar desa. Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo dibantu Swaraowa menjadi fasilitator bagi anak-anak yang tampak sangat antusias. Para ibu dari peserta juga dipersilakan untuk bergabung.

Dibagi ke dalam empat kelompok, peserta diajak mengamati burung dan kupu-kupu. Binatang-binatang berpenampilan cantik ini mudah menarik perhatian anak-anak sehingga bisa menjadi pintu masuk untuk mulai menjelajahi keanekaragaman hayati di lingkungan desa mereka sendiri. Setiap menemukan kupu-kupu atau burung, mereka diminta mencatat ciri-ciri dan perilakunya. Sedetail mungkin. Para pendamping lalu memberitahukan nama jenisnya.

Ternyata, ketertarikan anak-anak tak berhenti pada dua kelompok fauna target. Mereka juga mencacat capung, belalang, laba-laba, dan binatang-binatang lain yang ditemui sepanjang perjalanan. Para fasilitator sampai kewalahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memberondong. Tidak ada masalah, karena fasilitator memang tidak diharuskan tahu semua hal. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab disimpan dahulu untuk dicari jawabannya di lain kesempatan.

Siswanto, anggota PPM Mendolo memandu anak-anak

Menghidupkan kembali permainan tradisional

Untuk memaksimalkan keasyikan, dibuat beberapa pos sepanjang rute pengamatan. Di setiap pos yang dijaga oleh fasilitator, setiap tim diminta mempresentasikan temuan mereka. Setelah itu, mereka diajak memainkan permainan-permainan tradisional. Permainan tradisional, yang kini telah tergusur oleh game online, rata-rata kaya akan pengalaman yang menentuh sisi kognitif, afektif, maupun motorik yang berguna bagi fisik maupun mental anak-anak.

Menjelang siang, semua peserta dan fasiltator bergerak menuju aula balai desa. Di sini peserta bermain puzzle satwa dan mewarnai gambar. Mereka juga berdiskusi mengenai pengalaman yang diperoleh sepanjang rute pengamatan tadi. Banyak dari peserta yang menceritakan binatang-binatang yang baru pertama kali mereka lihat.

Di aula ini pula, PPM Mendolo memamerkan beberapa foto burung dan primata hasil karya mereka sendiri lalu mempresentasikan karya itu kepada para peserta. Tidak hanya menjelaskan mengenai jenis burung yang difoto dan teknik pengambilan gambar, namun PPM juga menjelaskan dengan bahasa sederhana peran ekologis beragam satwa itu di dalam ekosistem.

Belajar bersama anak-anak ini menjadi langkah awal bagi PPM Mendolo untuk merintis sistem pendidikan konservasi kontekstual bagi generasi mudanya, dimulai dengan mengenali potensi kehatinya. Kehati merupakan aset desa sehingga perlu dirawat. Mendolo adalah desa dengan keanekaragaman hayati tinggi. Jenis-jenis primata-nya lengkap: owa jawa, rek-rekan, lutung, monyet ekor panjang, dan kukang. Lebih dari 100+ jenis burung, dan 100+ jenis kupu-kupu ada di desa ini. Belum lagi taksa-taksa lain.

Desa juga merupakan lumbung pengetahuan dan keterampilan. Sebagai contoh, pengetahuan masyarakat mengenai jenis-jenis tumbuhan dan jamur yang bisa dikonsumsi, termasuk keterampilan mengolahnya. Keahlian dan keterampilan pangan lokal menjadi salah satu kunci resiliensi. Namun, bisa dipastikan pengetahuan dan keterampilan tersebut bakal hilang tidak lama lagi jika tidak ada upaya untuk merawatnya secara sistemik.

Benjamin Bloom dalam Taxonomy of Educational Objectives (1956) mengidentifikasi tiga domain kegiatan pendidikan, meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sederhananya, kognitif menekankan aspek intelektual. Afektif berkaitan dengan emosi, minat, adaptasi. Sementara itu, psikomotorik adalah aspek keterampilan, yang muaranya pada praktik. Pendidikan yang baik berarti mesti mampu membawa hasil-hasil pembelajaran sampai pada praktik keseharian subjeknya.

Ukuran keberhasilan pendidikan konservasi yang dirintis PPM Mendolo bersama Swaraowa misalnya, tidak sekadar memberikan pengetahuan dan meningkatkan minat saja, tetapi harus mampu pula mendorong para pesertanya beralih dari praktik-praktik tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Setidaknya bagi diri sendiri. Bagaimanapun, kelestarian bumi kita yang cuma satu ini hanya bisa diraih dengan perubahan perilaku manusianya.

Monday, April 10, 2023

Pelatihan Guru dan Fasilitator Sekolah Budaya Mentawai ke-3: Hasil Pengamatan dan Kesan-Pesan

 Oleh : Imam Taufiqurrahman


Tim peserta saat mengamati keberadaan satwa hutan Toloulaggo


Pada hari kedua dan ketiga pelatihan, para peserta diajak melakukan pengamatan di hutan sekitar Dusun Toloulaggo. Peserta terbagi dalam tiga tim yang masing-masing dibekali dengan berbagai peralatan dan perlengkapan, seperti lembar data pengamatan dan teropong.

Di hari pertama, tiap tim mencatat perjumpaan dengan berbagai jenis burung. Beberapa di antaranya, yaitu mainong atau tiong emas, limendeu atau punai gading, dan rotdot atau merbah belukar. Meskipun tidak ada tim yang menjumpai primata secara langsung, mereka dengan antusias mengamati berbagai keanekaragaman hayati lain yang dijumpai. Ragam jenis anggrek, jamur, serta tanaman obat, tak luput dari pengamatan.

Sepasang mainong (Gracula religiosa )yang teramati di hari pertama pengamatan. Foto oleh Kurnia Ahmadin.


Para peserta juga mampu merekam aktivitas yang dijumpai di hutan. Sebagai bagian dari penugasan materi jurnalisme warga, tim mendapati adanya penebangan pohon. Temuan didapat, baik dari temuan lokasi bekas-bekas penebangan maupun suara gergaji mesin (chainsaw) yang keras terdengar saat sesi pengamatan berlangsung.

Seluruh temuan dan hasil pengamatan tersebut menjadi fokus pemaparan tiap kelompok. Sesi pemaparan ini berlangsung di malam hari dan cukup hidup dengan tanya-jawab di antara para peserta.

 Salah satu presentasi dari tim peserta


Di hari kedua, panitia mengarahkan tim ke area berbeda. Sayangnya pengamatan hanya bisa berjalan singkat karena hujan yang cukup deras. Namun demikian, keberuntungan berpihak pada tim 2. Dalam pengamatan yang singkat itu, mereka dapat menjumpai satu kelompok joja.

Dalam dunia sains, joja dikenal dengan nama Presbytis siberu. Keberadaannya hanya terdapat di Pulau Siberut. Secara taksonomi, ia berbeda dengan kerabat dekatnya di tiga pulau Mentawai lainnya, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Di tiga pulau tersebut, terdapat Presbytis potenziani, yang dikenal dengan sebutan atapaipai.

Satu dari sekelompok joja (Presbytis siberu) yang terdokumentasi di hari ke-2 pengamatan. Foto oleh Kurnia Ahmadin.


Kedua spesies ini tergolong spesies yang terancam punah. Joja masuk dalam kategori Endangered atau Genting, sementara ataipaipai memiliki status keterancaman lebih serius lagi, yakni Critically Endangered atau Kritis.

Kesan dan pesan

Julianus, guru Biologi di SMA Lentera, Siberut Selatan, mengaku tidak puas dengan jalannya pelatihan. Ketidakpuasannya terutama karena tidak satu pun primata yang berhasil ia lihat. Julianus berharap, ke depannya ada jalur pengamatan yang lebih terarah dan memiliki peluang tinggi untuk bisa menjumpai primata.

Namun, kesan berbeda disampaikan Theresia Yuni. “Saya cukup puas karena bisa melihat secara langsung keberadaan primata di habitatnya,” aku kepala sekolah SDN 05 Toloulaggo itu. Ia dan empat anggota timnyalah yang berhasil menjumpai joja.

Wajar Yuni merasa cukup puas. Ia sungguh beruntung, mengingat pengamatan jadi pengalaman pertamanya. “Sepuluh tahun saya tinggal di sini, dan ini kali pertama saya ke hutan Toloulaggo,” akunya.

Sementara Fransiskus Yanuarius Mendrofa dari Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai, memberi pandangan akan sulitnya para peserta menjumpai primata. Menurutnya, hal itu menjadi bentuk nyata dari adanya keterancaman pada primata Mentawai. Ia pun berharap pada para peserta agar dapat menjadi duta primata, yang membawa pengalaman dan pengetahuan selama mengikuti pelatihan pada komunitas di sekolah, terutama ke para murid atau peserta didik.

Dalam sesi penutupan tersebut, Jeremias Saleuru, tokoh masyarakat yang hadir, turut pula berbagi pengalaman. Ia mengisahkan saat dirinya masih berburu primata. Menurut Jeremias, memang tidak setiap waktu ia berhasil mendapatkan hewan buruan. Banyak faktor yang bisa jadi penyebabnya. “Mungkin cuaca yang kurang bagus atau adanya gangguan,” terangnya. Salah satu gangguan itu, berupa suara gergaji mesin, yang didengar para peserta saat pengamatan berlangsung.

Terlepas dari ketidakpuasan sebagian besar peserta karena tidak berhasil menjumpai primata, pelatihan tiga hari di Toloulaggo itu tentu memberi pengalaman langsung pada para peserta akan kegiatan pengamatan satwa. Kegiatan mampu berjalan sesuai sebagaimana tema, Masih arepi sabbat masih pa' ugai mateikeccat, uma', sibabara kabagat leleu Toloulaggo. Kalimat tersebut berarti, “Mendengarkan dan memperkenalkan keberadaan primata dan burung wilayah Toloulaggo”.

 

Pelatihan Guru dan Fasilitator Sekolah Budaya Mentawai ke-3: Pembukaan dan Materi Ruang

 Oleh : Imam Taufiqurrahman

Foto bersama para peserta dan panitia Pelatihan Guru dan Fasilitator Sekolah Budaya Mentawai ke-3


Pelatihan Guru dan Fasilitator Sekolah Budaya Mentawai ke-3 telah terlaksana sesuai agenda. Berlangsung pada 28-30 Maret 2023, ajang pengenalan primata dan burung ini diadakan di Dusun Toloulaggo, Desa Katurai, Kecamatan Siberut Baratdaya, sebagaimana penyelenggaraan tahun sebelumnya.

Sebanyak 16 orang peserta mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Malinggai Uma dan Siripok Bilou ini. Para peserta tersebut merupakan perwakilan guru Biologi dan Budaya Mentawai (Bumen), baik tingkat SD, SMP, serta SMA, di Siberut Selatan dan Siberut Baratdaya.

Selain guru, pelatihan juga diikuti oleh fasilitator Malinggai Uma. Terdapat pula perwakilan dua lembaga di Siberut Selatan, yakni Yayasan Pendidikan Kebudayaan Mentawai dan Tourism Information Center.

Kepala Desa Katurai, Karlo Saumanuk, hadir dan membuka acara secara resmi. Dalam sambutannya,  Karlo berterima kasih atas penyelenggaraan kegiatan di desanya. Ia pun berpesan, “Semoga pelatihan ini dapat menjadi momentum untuk menambah kapasitas dan ilmu para guru,” ungkapnya, “untuk nantinya disampaikan kepada murid di sekolah.”

Kepada penyelenggara, Karlo berpesan agar kegiatan dapat lebih berdampak pada masyarakat. “Mungkin ke depannya tidak hanya terfokus kepada guru-guru saja, tetapi mungkin pada orang tua atau pihak-pihak yang beraktivitas ke hutan,” pintanya. “Jadi, perlu ada keseimbangan.”

Pembukaan yang berlangsung di balai desa tersebut mengundang wakil dari unsur-unsur pemerintahan setempat dan instansi terkait. Beberapa yang hadir, misalnya Kepala Dusun Toloulaggo, Dinas Pendidikan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan Dinas Pariwisata. Para undangan turut pula memberikan pidato sambutan.

Acara pembukaan dimeriahkan oleh turuk laggai. Tarian khas Mentawai ini menggambarkan perilaku satwa di hutan. Hentakan kaki para penari disertai iringan tabuhan alat musik terdengar begitu rampak. Tarian yang dipertunjukkan dalam dua sesi itu mampu menyedot perhatian banyak anak-anak dan masyarakat sekitar.

Turuk  uliat Bilou yang dipentaskan dalam acara pembukaan pelatihan.


Sesi materi ruang

Usai pembukaan, kegiatan dilanjutkan dengan sesi materi ruang. Terdapat tiga pematerian, dengan dua materi pertama terkait satwa. Kedua materi disampaikan oleh perwakilan Yayasan SwaraOwa.

Materi pertama, yakni nilai konservasi dan budaya burung di Kepulauan Mentawai dipaparkan oleh Imam Taufiqurrahman. Selanjutnya, Kurnia Ahmadin memberikan pengantar teknik pengamatan primata. Materi terakhir berupa seluk-beluk jurnalisme warga (citizen journalism) yang disampaikan oleh jurnalis Tempo Febriyanti.

 Sesi materi jurnalisme warga yang dibawakan oleh jurnalis Tempo, Febriyanti.


Diskusi dan tanya jawab berjalan dengan menarik. Kebanyakan peserta mengaku belum banyak mengetahui keragaman hayati yang ada di Kepulauan Mentawai. Keberadaan satwa, khususnya primata dan burung, tidak disinggung secara khusus dalam mata pelajaran Budaya Mentawai. Lebih-lebih keterkaitan erat serta nilai filosofi antara satwa dan budaya Mentawai.

Benediktus Satoleuru, guru Budaya Mentawai SDN 19 Katurai, Siberut Baratdaya, menyebut beberapa materi yang disampaikan dalam mata pelajaran Budaya Mentawai. Ada pengenalan tentang panganan lokal gete sagu, rumah adat uma, titi atau tato, juga alat-alat musik.

Materi-materi tersebut memungkinkan untuk dapat disisipkan dengan pengenalan tentang satwa. Pada materi mengenai uma, misalnya. Boneka kayu kailaba sebagai omat simagre atau mainan para roh, sebenarnya memiliki wujud hidup, yakni kangkareng perut-putih. Satu-satunya jenis burung rangkong di Kepulauan Mentawai tersebut memiliki tempat khusus dalam kepercayaan Suku Mentawai.

Demikian pula tengkorak-tengkorak primata atau satwa lain hasil buruan yang dipajang di uma. Keberadaannya dapat menjadi pengantar untuk memperkenalkan keanekaragaman primata di Mentawai yang seluruhnya endemik.

Pada materi seluk-beluk jurnalisme warga, para peserta diperkenalkan dengan kerja-kerja jurnalistik. Peserta didorong untuk bisa menuangkan pengamatan mereka dalam tulisan dan mengemasnya sebagai berita atau informasi menarik. Tulisan nantinya dapat dibagikan tanpa harus mengirim ke surat kabar, namun cukup lewat akun sosial media pribadi.

Tulisan tersebut tentu mensyaratkan adanya unsur berita, juga informasi dan pengetahuan. Tujuannya terutama untuk mempromosikan kekayaan budaya dan keanekaragaman hayati di Kepulauan Mentawai. Selain itu, tulisan dari para peserta pelatihan sebagai bagian dari warga Mentawai juga dapat berfungsi sebagai suara, baik bagi budaya maupun satwa Mentawai, yang keberadaannya kian terpinggirkan.


Saturday, April 8, 2023

Jasa ekosistem dalam secangkir kopi

 Penulis: Sidiq Harjanto


Burung Cinenen (Orthotomus sutorius) sering mengunjungi kebun kopi (Dok PPM Mendolo)

Pekalongan adalah salah satu kabupaten penghasil kopi di Provinsi Jawa Tengah. Menurut data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020 – 2022 yang dirilis Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian RI, produksi kopi robusta dari usaha perkebunan rakyat di Kabupaten Pekalongan mencapai 372 ton dengan 1.650 petani. Sedangkan hasil produksi kopi arabika mencapai 100 ton dari petani sebanyak 857 orang. Hasil sebanyak itu diperoleh dari lahan seluas, masing-masing 483 ha (robusta), dan 198 ha (arabika).

Dilihat dari produksi kopi robusta saja, angka tersebut memang masih jauh dari Kabupaten Temanggung (9.761 ton), Kudus (1.594 ton), dan Banjarnegara (1.570 ton). Perbedaan angka yang signifikan ini dipengaruhi oleh luasan lahan dan jumlah petani di masing-masing kabupaten. Jika kita cermati dari produktivitas per hektar (823 kg/ha), hasil kopi Kab. Pekalongan relatif baik, masih di atas rerata nasional (817 kg/ha). Sebagai informasi tambahan, produktivitas kopi kita masih kalah jauh dari Vietnam (2.300 kg/ha).

Desa Mendolo, sebagai salah satu desa penghasil kopi di Pekalongan, memiliki potensi yang cukup besar. Kopi yang diupayakan melalui sistem wanatani menjadi salah satu sumber pendapatan utama masyarakat. Brand ‘Kopi Batir’ yang dirintis oleh Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo berupaya untuk meningkatkan nilai jual kopi yang dihasilkan petani dengan memperbaiki pengolahan pascapanen dan mengolahnya menjadi kopi bubuk. Kopi Batir juga membuka jasa sangrai untuk mengakomodir masyarakat yang ingin mengonsumsi kopi dari kebunnya sendiri, tetapi tidak memiliki keahlian menyangrai.

Tahun kemarin, usaha kopi ini telah memproduksi sekitar 7 kuintal kopi dengan kualitas premium yang dijual dalam bentuk kopi bubuk maupun biji mentah (green bean). Memang masih relatif kecil dibandingkan estimasi total produksi kopi desa ini yang sebagian besar masih dijual dalam bentuk cherry (buah) atau diproses asal-asalan. Namun, upaya ini patut diapresiasi karena nyatanya kapasitas produksi usaha ini terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sepanjang tahun 2022, lebih dari satu ton biji kopi telah disangrai oleh Kopi Batir. Berbekal mesin sangrai rakitan yang sangat sederhana, jasa sangrai yang digawangi M. Ridholah ini ternyata mampu menumbuhkan kembali minat masyarakat untuk minum kopi sendiri. Artinya, usaha jasa sangrai Kopi Batir bisa menggeser pola konsumsi masyarakat dari konsumsi kopi pabrik ke kopi lokal.

budidaya lebah kelulut di kebun kopi, mengoptimalkan peran lebah sebagai pollinator


Burung Tukik tikus, pemakan serangga di kebun kopi (Dok PPM Mendolo)

Satu langkah kecil dari Mendolo

Untuk mencapai sistem budidaya kopi yang optimal, dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman mengenai penyiapan lahan, pemupukan, pemangkasan, pengendalian hama, hingga sistem pemanenan yang baik. Selain pengetahuan dan keterampilan teknis di atas, wawasan lingkungan kiranya juga perlu dimiliki oleh para petani kopi. Wawasan yang dimaksud misalnya mengenai pengaruh jasa ekosistem terhadap produktivitas kebun.  


fotografi satwa, sebagai media meningkatkan apresiasi terhadap keanekaragaman hayati


Pada 18 Maret 2023, sebagai bagian dari acara bertajuk ‘Guyub Kopi Mendolo’, Swaraowa mengajak PPM Mendolo dan perwakilan petani kopi untuk merumuskan strategi dalam meningkatkan kesadaran ekologi dalam praktik budidaya kopi di Mendolo. Harapannya, dengan praktik pembudidayaan yang baik dan didukung dengan jasa ekosistem sehat, bisa mengoptimalkan produktivitas kopi di Mendolo sehingga pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani.

Biodiversitas yang mengisi kebun wanatani memberi pengaruh positif bagi pembudidayaan tanaman komoditi. Chain-Guadarrama dkk. dalam artikel berjudul ‘Ecosystem services by birds and bees to coffee in a changing climate: A review of coffee berry borer control and pollination’ (terbit tahun 2019) menyebutkan bahwa burung dan lebah menjadi dua kelompok fauna yang memiliki peran penting dalam budidaya kopi. Banyak jenis burung memangsa serangga, sehingga memiliki peran ekologi dalam mengontrol populasi serangga. Ledakan populasi serangga karena kekurangan burung pemangsa bisa menimbulkan kerugian bagi petani.

Untuk mengoptimalkan peran burung dalam ekosistem, syarat pertama adalah upaya perlindungan. Burung-burung mesti dibiarkan hidup bebas di alam sehingga perannya berfungsi. Selain itu, burung membutuhkan relung habitat yang ideal. Model tanam wanatani atau tumpang sari bisa menjadi pilihan. Sistem ini masih mempertahankan variasi jenis penyusun dan strata vegetasi sehingga meningkatkan peluang bagi burung untuk mencari pakan, atau bahkan bersarang.

Di sisi lain, komunitas lebah diyakini menjadi agen penyerbuk yang handal bagi tanaman kopi. Kopi robusta membutuhkan penyerbukan silang dengan agen penyerbuk berupa angin dan serangga. Sedangkan kopi arabika, meskipun dapat melakukan self pollination, tetapi aplikasi serangga penyerbuk terbukti meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Pada kopi arabika, keberadaan lebah dapat menjadi booster penyerbukan.

Pada skala global, lebah sendiri merupakan kelompok besar; terdiri dari belasan jenis lebah madu, ratusan lebah nirsengat (klanceng), dan ribuan jenis lebah soliter. Setiap jenis memiliki sebaran habitat atau distribusi masing-masing. Jenis-jenis lebah yang mana saja yang bermanfaat untuk kopi, dan pada tipe habitat apa lebah-lebah itu hidup, masih membutuhkan banyak penelitian.

Mengoptimalkan jenis-jenis lebah sebagai agen penyerbuk bisa dilakukan dengan menjaga habitat, menghindari penggunaan pestisida, dan mengintegrasikan budidaya lebah dalam lahan pertanian kita. Di Mendolo, budidaya lebah klanceng telah dimulai sejak 2017. Tidak semata-mata mengharapkan madu yang bernilai ekonomi, budidaya klanceng di Mendolo merupakan sebentuk upaya untuk mengoptimalkan jasa ekosistem dari lebah untuk peningkatan produktivitas pertanian maupun keberlanjutan hutan.

Besarnya jasa ekosistem bagi pertanian tak dapat dimungkiri. Meskipun demikian, dalam FGD terungkap bahwa masih butuh kerja keras untuk membumikan jasa ekosistem burung dan lebah bagi pertanian kopi di kalangan para petani. Riset spesifik dalam memahami dan mengoptimalkan jasa ekologi burung bagi pengontrolan populasi hama pertanian masih perlu ditingkatkan. Demikian juga dengan jasa penyerbukan lebah, praktik ideal integrasi budidaya lebah dengan wanatani masih perlu dicari.

PPM Mendolo menggunakan fografi alam untuk konservasi 


PPM Mendolo akan memelopori riset partisipatif dalam menggali peran-peran kehati dan jasa ekosistem dalam sistem wanatani Mendolo. Disepakati pula untuk terus memasyarakatkan pengetahuan mengenai peran ekologis dari kelompok-kelompok fauna tersebut. Mengingat ketergantungan masyarakat pada sektor pertanian, Mendolo perlu didorong menjadi desa peduli kehati. Desa perlu memiliki data yang komprehensif mengenai potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki.

Langkah PPM Mendolo yang telah memelopori inovasi usaha wanatani dan penyadaran nilai penting kehati mesti didukung penuh. Dalam kesempatan Guyub Kopi Mendolo ini, Swaraowa menghibahkan satu unit mesin roasting berkapasitas 1 kg kepada Kopi Batir sebagai bentuk apresiasi atas kerja kerasnya dalam mengembangkan khazanah perkopian di Mendolo, dan atas upaya PPM Mendolo untuk mendorong konservasi keanekaragaman hayati di desanya, termasuk owa jawa dan kukang jawa.

Thursday, April 6, 2023

Monitoring Bersama Keanekaragaman Hayati Hutan Petungkriyono dan Lebakbarang

 Oleh : Kurnia Ahmaddin

Tim monitoring bersama


Dua kecamatan di Kabupaten Pekalongan yaitu Kecamatan Petungkriyono dan Kecamatan Lebakbarang, memiliki landscape yang istimewa, dari sisi keanekargaman hayati,  di kawasan ini setidaknya mewakili tipe habitat hutan tropis di pulau Jawa bagian Tengah, mulai hutan dataran rendahnya hingga ke hutan pegunungan. Kawasan ini karena merupakan pegunungan juga menjadi penting dari sisi hidrologis, karena curah hujan yang tinggi terjadi di wilayah ini, dan menjadi lebih penting karena air sebagai bahan baku untuk kawasan di bawahnya.  Untuk Owa jawa, kawasan pegunungan selatan di Pekalongan ini memiliki kesesuaian yang tinggi sebagai habitat Owa Jawa (Widyastutiet al, 2020), yang di huni kurang lebih 800-1000 individu ( Setiawan et al, 2012).

Salah satu bentuk kontribusi SwaraOwa sebagai anggota forum Kolaborasi pengelolaan hutan Petungkriyono yang di inisiasi tahun 2018 dan mendapatkan SK Gubernur Provinsi Jawa Tengah adalah melakukan monitoring keanekargaman hayati  di wilayah Hutan Petungkriyono dan di Kecamatan disekitarnya yang masih dalam satu landscape hutan pegununungan selatan Pekalongan.

Paok pancawarna (Hydrornis guajana) foto doc. PPM Mendolo

Kegitan monitoring satwa liar kami bersama masyarakat adalah pencarian burung  Raja-udang kalung-biru di DAS Sengkarang.  Kegiatan selanjutnya  pada pertengahan Januari hingga pertengahan maret  tahun 2023,  kami melakukan pendataan 5 taksa dengan Paguyuban Petani Mendolo di Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang,  Indonesian Dragonfly Society (IDS) dan Biolaska UIN Sunan Kalijaga.  Hasil sementara dari survei tersebut adalah 131 jenis Kupu-kupu, 27 jenis capung, 65 jenis Anggrek, 36 spesies herpetofauna dan 97 spesies burung telah teridentifikasi

Lebih lanjut lagi, 112 jenis burung telah teridentifikasi oleh PPM Mendolo. Data ini diperoleh secara mandiri  dengan melakukan survey hutan sejak akhir Agustus 2021 hingga bulan Februari 2023 dengan pengamatan rutin yang dilakukan oleh anggotannya. Tidak hanya data pengamatan, lebih dari 50 spesies burung dan 5 jenis primata jawa juga telah terdokumentasi dengan baik.

Kami juga melibatkan instansi pemerintahan dalam monitoring populasi Owa Jawa di hutan Sokokembang, di Kecamatan Petungkriyono. Pada tanggal 11-14 Februari 2023 bersama dengan BKSDA Jawa Tengah, CDK Wilayah 4, dan Perhutani KPH Pekalongan Timur kami melakukan pemantauan populasi Owa Jawa.

Macan tutul hitam/Kumbang ( Panthera pardus melas)

Kijang (Muntiacus muntjak)

Pemasangan camera trap

Penggunaan Camera Trap dan Perekam Suara Pasif

Perjumpaan dengan satwa liar secara langsung memiliki  keterbatasan hanya ketika kita berada di lapangan. Usaha kami dalam memperbaiki keterbatasan ini adalah dengan pemasangan kamera jebak ( Camera trap)  dan alat rekam suara yang keduanya merupakan alat monitoring dan penelitian yang pengamabilan datanya dilakukan secara otomatis dan alat-alat tersebut di letakkan di tinggal di hutan selama beberapa waktu. Kegiatan monitoring ini mendapat dukungan dari Mandai Nature dan Chance for Nature sebagai mitra donor dari Swaraowa,  selama periode 7 bulan ini  sejak bulan September 2023 telah terpasang 14 titik kamera trap dan 12 titik perekam suara pasif di hutan Sokokembang dan Mendolo.  

Selama periode ini, kedua jenis alat tersebut kami pasang selama 10 hingga 36 hari sebagai perwakilan data pada bulan basah. Hasil dari perekam suara dan kamera trap yang telah terpasang menjadi update keberadaan satwa yang ada di hutan Mendolo dan Sokokembang.  Hasil sementara dari kamera trap yang telah terpasang adalah perjumpaan dengan Macan Kumbang Pantera pardus, kijang muncak Muntiacus muntjak dan babi hutan.  Sementara hasil dari alat perekam suara pasif menunjukkan spesies Owa Jawa masih terdengar dengan baik pada ketinggian di atas 1000 mpdl di sisa hutan yang ada di kecamatan Lebakbarang. Perjumpaan dengan satwa-satwa tersebut semakin menegaskan bahwa hutan di kabupaten Pekalongan merupakan habitat bagi jenis-jenis mamalia besar.

 Ancaman Satwa Liar di hutan Petungkriyono dan Lebakbarang

Perburuan burung.

Selama pemasangan kamera dan pengamatan langsung di hutan, masih di jumpai sisa-sisa jejak dari pemburu burung. Berkurangnya jumlah burung tentu akan mengurangi keseimbangan fungsi hutan karena berkurangnya komponen penyusunnya. Hampir semua burung pemakan serangga menjadi incaran pemburu karena suara yang menarik. Hal ini bisa saja menjadi pemicu semakin banyaknya serangga hama. Lebih buruk lagi serangan serangga menjadi bencana ekologis yang merugikan manusia karena populasi tidak terkontrol akibat hilangnya pemangsa.

Penurunan jaring burung (foto doc. Perhutani KPH Pekalongan Timur)

Perburuan Babi hutan dan Monyet ekor panjang

Meskipun tidak banyak namun ada masyarakat yang masih berpikiran bahwa monyet ekor panjang dan babi hutan adalah hama yang boleh dibunuh. Hal ini bisa saja menjadi ancaman besar jika terjadi perburuan secara masif. Besar harapan kami supaya  perburuan satwa ini dapat di kendalikan ,  karena dapat memicu konflik dengan predator yang lebih besar akibat hilangnya pakan mereka, yaitu ketidak seimbangan rantai makanan di alam. Keberadaan komunitas berburu yang melakukan perburuan tanpa pertimbangan ekologis bisa memperparah konflik antara manusia dan satwaliar di hutan.

Urgensi Forum Kolaboratif Pengelolaan Hutan

Dampak positif keberadaan forum kolaboratif  pengelolaan hutan di Petungkriyono juga menjadi media komunikasi antar pihak terkait terutama pembuat kebijakan diwilayah ini. Sebagai contoh beberapa waktu lalu ada laporan tentang Jaring hantu, jaring yang di tinggal pemburu burung di hutan, karena di tinggal dan dalam kondisi terbentang, banyak jenis burung dan mamalia terbang mati terjerat di jaring ini. Laporan ke anggota forum langsung di respon dan menurunkan jaring tersebut. Tanggal 25 Februari 2023, ada di temukan macan tutul terluka di kawasan hutan Kroyakan, laporan temuan ini juga langsung diresponse BKSDA dan Perhutani untuk mengevakuasi macan tutul tersebut. Kegiatan monitoring ataupun patroli bersama ini harapannya dapat di laksanakan secara rutin, laporan-laporan yang di jumpai dari  hasil monitoring dan juga dalam rangka peningkatan kapasitas staff lapangan seharusnya dapat terus diperkuat dan di respon secara tepat untuk melestarikan keanekaraman hayati di wilayah penting ini

Monday, April 3, 2023

Guyub Kopi Mendolo: Peran Perempuan dalam Tradisi Kopi

 oleh : Sidiq Harjanto

Menumbuk kopi untuk mendapatkan bubuk kopi nan harum


Pada Sabtu – Minggu,  18 – 19 Maret 2023, Swaraowa, Owa Coffee bekerjasama dengan PPM Mendolo membuat sebuah kegiatan bertajuk Guyub Kopi Mendolo. Kegiatan selama dua hari ini terdiri dari tiga agenda: nyangrai bareng (menyangrai kopi bersama), sarasehan dengan tema nilai penting keanekaragaman hayati bagi wanatani kopi khusus untuk Ibu ibu desa Mendolo, dan nginceng manuk (pengamatan burung) sebagai bentuk edukasi bagi anak-anak.

Di hari pertama, kami mengajak kaum perempuan untuk mengupas seluk beluk tradisi kopi di Desa Mendolo, terutama keahlian menyangrai. Selain mengupas tentang tradisi kopi, kami mengajak para ibu yang berasal dari beragam rentang usia, untuk berdiskusi mengenai peran perempuan dalam rantai kelola wanatani kopi di desa ini.

Ragam sangrai kopi

Praktek sangrai tradisional


Kopi telah menjadi tradisi atau bahkan budaya masyarakat Mendolo. Kopi mengisi hari-hari warga, pada pagi sebelum berangkat ke kebun, dan malam saat berkumpul bersama keluarga. Ada juga kopi yang hanya disajikan dalam momen khusus. Kopi jembawuk namanya, disajikan dalam ritual-ritual tertentu. Kopi ini diseduh dengan air santan kelapa dan pemanisnya gula aren.

Dalam hal selera, sebagian warga Mendolo menyukai kopi murni, sementara sebagian lagi memilih menambahkan bahan lain. Penambahan ini dilakukan pada saat proses menyangrai. Bahan yang paling familiar adalah beras putih. Konon, menambahkan beras ke dalam kopi bertujuan untuk mengurangi rasa pahit dari biji kopi yang disangrai sampai gelap (dark roast).

Ada pula warga yang senang menambahkan irisan kelapa dalam sangrai kopinya. Penambahan kelapa, menurut para penggemarnya, bisa memunculkan cita rasa gurih. Nglamir, istilah lokalnya. Namun, irisan kelapa tak sepopuler beras. Alasannya, penambahan kelapa membuat bubuk kopi menjadi kurang awet, aromanya cepat berubah tengik. Mencampur kelapa pada kopi biasanya hanya pada momen-momen tertentu saja.

Alat-alat yang digunakan untuk proses sangrai relatif sederhana, antara lain: wajan tanah/logam, irus atau spatula, penampi (tampah), dan alat pembakaran (tungku kayu atau kompor gas). Proses menyangrai diawali dengan memanaskan wajan terlebih dulu sekira lima menit. Setelah dirasa cukup panas, biji kopi mentah seberat kurang lebih 500 gram dimasukkan ke dalam wajan, kemudian diaduk terus-menerus menggunakan irus atau spatula.

Sepanjang proses, para ibu penyangrai mengamati dengan cermat setiap perubahan yang dialami biji-biji kopi, baik itu perubahan warna, perubahan bentuk fisik, hingga aromanya. Ketika biji-biji sudah pecah (first crack) dan warna berubah kecoklatan, api dikecilkan. Kopi diaduk terus sampai benar-benar matang, sesuai selera masing-masing. Proses menyangrai kira-kira membutuhkan waktu 20 menit. Kopi yang telah matang lalu didinginkan di atas penampi.

Proses selanjutnya adalah pembubukan. Untuk menghasilkan kopi bubuk, alat yang digunakan adalah lumpang dan alu untuk menumbuk biji, serta ayakan untuk mendapatkan ukuran serbuk yang ideal. Caranya dengan menumbuk biji-biji kopi yang telah disangrai sampai terbentuk serbuk. Hasilnya lalu diayak hingga diperoleh bubuk kopi yang relatif halus.

Belakangan, kopi tidak saja sekadar menjadi konsumsi keluarga Mendolo, namun telah berkembang menjadi komoditi yang dijual ke luar desa. Pada kesempatan ini, kami juga memperkenalkan dan meyerahkan satu unit mesin roasting kopi modern. Mesin modern diharapkan bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kopi olahan Mendolo untuk dijual ke luar sehingga desa ini semakin dikenal sebagai salah satu penghasil kopi di wilayah Kabupaten Pekalongan.

Peran perempuan dalam tradisi kopi

Kontribusi gender dalam rantai kelola kopi


Menurut Ivan Illich dalam bukunya berjudul Gender (1982), istilah ‘gender’ mesti dipahami lebih dari sekadar perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan saja, namun berimplikasi pada berbagai diferensiasi dalam kehidupan sosialnya. Perbedaan itu, misalnya: perbedaan tugas (pekerjaan), alat kerja spesifik, langgam tutur bahasa, hingga pemahaman ruang-waktu.

Melalui FGD, terungkap bahwa kontribusi kaum laki-laki dan perempuan dalam rantai pengelolaan komoditi kopi di Mendolo relatif seimbang. Namun, perbedaan perannya lumayan tampak jelas. Sebagai gambaran sederhana, laki-laki lebih banyak berperan dalam pengelolaan kebun, sedangkan perempuan lebih banyak berperan dalam pekerjaan-pekerjaan pascapanen yang umumnya dilakukan di lingkungan sekitar tempat tinggal.

Ada beberapa pekerjaan yang spesifik gender, misalnya dalam hal pruning (pemangkasan tanaman) dan sambung pucuk selama ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Sementara itu, menyangrai kopi sepenuhnya merupakan keahlian kaum perempuan. Para perempuan menyangrai untuk kebutuhan keluarga sendiri, atau terkadang memenuhi permintaan tetangga.

Persis seperti kata Illich, perbedaan tugas berimplikasi pada perbedaan alat-alat. Begitu pula peran masing-masing gender dalam rantai budaya kopi tentu membedakan alat-alat yang akrab digunakan oleh masing-masing gender. Alat-alat yang spesifik gender. Pisau sambung pucuk adalah alat yang hanya dipegang kaum lelaki. Di sisi lain, lumpang dan alu identik dengan kaum perempuan.

Karena menyangrai kopi menjadi keahlian spesifik kaum perempuan, hal ini membuat kami tertarik untuk mengulik lebih dalam. Dari dua puluhan peserta yang hadir, rata-rata yang memiliki keterampilan menyangrai kopi hanya mereka yang usianya sudah di atas 40 tahun. Sedangkan yang muda-muda sudah tidak lagi punya keahlian ini.

Tradisi menyangrai ini bisa saja hilang dalam waktu dekat. Salah satu dari ibu-ibu itu bisa saja the last traditional coffee roaster di Mendolo. Apalagi jika seiring perkembangan jaman, orang-orang lebih memilih membeli kopi kemasan pabrik. Melestarikan keahlian menyangrai bagi perempuan Mendolo kiranya perlu dilakukan.

Kembali kepada perspektif Illich, masing-masing gender memainkan peran yang berbeda yang sifatnya saling melengkapi. Kelangsungan hidup bergantung pada timbal balik. Keseimbangan peran ini mesti dipertahankan sehingga perempuan tidak mengalami perlakuan diskriminatif.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa isu mengenai gender dan upaya menjunjung harkat perempuan telah menjadi agenda nasional. Keseimbangan dan kesetaraan peran antara laki-laki dalam segala hal mesti menjadi keniscayaan.

Isu gender mesti diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian pula dalam bidang konservasi alam, penguatan peran perempuan perlu dilakukan. Keterlibatan perempuan, berdasarkan banyak penelitian, terbukti meningkatkan tingkat keberhasilan upaya-upaya pelestarian alam.

Memperkenalkan satwa liar Mendolo kepada kaum perempuan


peserta Guyub Kopi Mendolo 18-19 Maret 2023


Bagaimana mencari benang merah antara peran aktif perempuan dengan konservasi owa jawa, aneka satwa liar, dan hutan sebagai habitat? Di Mendolo, Swaraowa mencoba masuk ke komunitas perempuan melalui program pangan lokal dan program beekeeping  budidaya lebah klanceng bagi perempuan. Ketika perempuan mampu mengelola sumber-sumber pangan lokal, dan memiliki alternatif sumber ekonomi, maka tekanan terhadap hutan sebagai habitat hidupan liar bisa berkurang. Memberi ruang untuk berkembang dan meningkatkan kapasitas dan pengetahuan kaum perempuan di sekitar hutan mempunyai potensi yang tinggi untuk keberhasilan kegiatan konservasi.