Oleh : Imam Taufiqurrahman
Tim peserta saat mengamati keberadaan satwa hutan Toloulaggo |
Pada hari kedua dan ketiga pelatihan, para peserta diajak melakukan
pengamatan di hutan sekitar Dusun Toloulaggo. Peserta terbagi dalam tiga tim
yang masing-masing dibekali dengan berbagai peralatan dan perlengkapan, seperti
lembar data pengamatan dan teropong.
Di hari pertama, tiap tim mencatat perjumpaan dengan berbagai jenis
burung. Beberapa di antaranya, yaitu mainong atau tiong emas, limendeu atau
punai gading, dan rotdot atau merbah belukar. Meskipun tidak ada tim yang
menjumpai primata secara langsung, mereka dengan antusias mengamati berbagai
keanekaragaman hayati lain yang dijumpai. Ragam jenis anggrek, jamur, serta
tanaman obat, tak luput dari pengamatan.
Sepasang mainong (Gracula religiosa )yang teramati di hari pertama pengamatan. Foto oleh Kurnia Ahmadin. |
Para peserta juga mampu merekam aktivitas yang dijumpai di hutan.
Sebagai bagian dari penugasan materi jurnalisme warga, tim mendapati adanya
penebangan pohon. Temuan didapat, baik dari temuan lokasi bekas-bekas
penebangan maupun suara gergaji mesin (chainsaw)
yang keras terdengar saat sesi pengamatan berlangsung.
Seluruh temuan dan hasil pengamatan tersebut menjadi fokus pemaparan
tiap kelompok. Sesi pemaparan ini berlangsung di malam hari dan cukup hidup
dengan tanya-jawab di antara para peserta.
Salah satu presentasi dari tim peserta |
Di hari kedua, panitia mengarahkan tim ke area berbeda. Sayangnya
pengamatan hanya bisa berjalan singkat karena hujan yang cukup deras. Namun
demikian, keberuntungan berpihak pada tim 2. Dalam pengamatan yang singkat itu,
mereka dapat menjumpai satu kelompok joja.
Dalam dunia sains, joja dikenal dengan nama Presbytis siberu. Keberadaannya hanya terdapat di Pulau Siberut.
Secara taksonomi, ia berbeda dengan kerabat dekatnya di tiga pulau Mentawai
lainnya, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Di tiga pulau tersebut,
terdapat Presbytis potenziani, yang
dikenal dengan sebutan atapaipai.
Satu dari sekelompok joja (Presbytis siberu) yang terdokumentasi di hari ke-2 pengamatan. Foto oleh Kurnia Ahmadin. |
Kedua spesies ini tergolong spesies yang terancam punah. Joja masuk
dalam kategori Endangered atau Genting, sementara ataipaipai memiliki status
keterancaman lebih serius lagi, yakni Critically Endangered atau Kritis.
Kesan
dan pesan
Julianus, guru Biologi di SMA Lentera, Siberut Selatan, mengaku tidak
puas dengan jalannya pelatihan. Ketidakpuasannya terutama karena tidak satu pun
primata yang berhasil ia lihat. Julianus berharap, ke depannya ada jalur
pengamatan yang lebih terarah dan memiliki peluang tinggi untuk bisa menjumpai
primata.
Namun, kesan berbeda disampaikan Theresia Yuni. “Saya cukup puas karena
bisa melihat secara langsung keberadaan primata di habitatnya,” aku kepala
sekolah SDN 05 Toloulaggo itu. Ia dan empat anggota timnyalah yang berhasil
menjumpai joja.
Wajar Yuni merasa cukup puas. Ia sungguh beruntung, mengingat
pengamatan jadi pengalaman pertamanya. “Sepuluh tahun saya tinggal di sini, dan
ini kali pertama saya ke hutan Toloulaggo,” akunya.
Sementara Fransiskus Yanuarius Mendrofa dari Yayasan Pendidikan Budaya
Mentawai, memberi pandangan akan sulitnya para peserta menjumpai primata.
Menurutnya, hal itu menjadi bentuk nyata dari adanya keterancaman pada primata
Mentawai. Ia pun berharap pada para peserta agar dapat menjadi duta primata,
yang membawa pengalaman dan pengetahuan selama mengikuti pelatihan pada
komunitas di sekolah, terutama ke para murid atau peserta didik.
Dalam sesi penutupan tersebut, Jeremias Saleuru, tokoh masyarakat yang
hadir, turut pula berbagi pengalaman. Ia mengisahkan saat dirinya masih berburu
primata. Menurut Jeremias, memang tidak setiap waktu ia berhasil mendapatkan
hewan buruan. Banyak faktor yang bisa jadi penyebabnya. “Mungkin cuaca yang
kurang bagus atau adanya gangguan,” terangnya. Salah satu gangguan itu, berupa
suara gergaji mesin, yang didengar para peserta saat pengamatan berlangsung.
Terlepas dari ketidakpuasan sebagian besar peserta karena tidak
berhasil menjumpai primata, pelatihan tiga hari di Toloulaggo itu tentu memberi
pengalaman langsung pada para peserta akan kegiatan pengamatan satwa. Kegiatan
mampu berjalan sesuai sebagaimana tema, Masih
arepi sabbat masih pa' ugai mateikeccat, uma', sibabara kabagat leleu
Toloulaggo. Kalimat tersebut berarti, “Mendengarkan dan memperkenalkan
keberadaan primata dan burung wilayah Toloulaggo”.
No comments:
Post a Comment