Tuesday, April 11, 2023

Menuju pendidikan kontekstual di habitat owa jawa

 Penulis: Sidiq Harjanto

persiapan pengamatan dan pembagian kelompok

Kehidupan di masa yang akan datang sangat ditentukan oleh kehidupan pada saat ini. Dalam konteks lingkungan hidup, baik atau buruk daya dukung lingkungan bagi generasi yang akan datang adalah dampak dari perilaku generasi saat ini. Perilaku manusia sekarang ini mulai banyak yang tidak sejalan dengan kelestarian lingkungan, misalnya tampak dari sampah yang makin menggunung, perburuan satwa yang marak, penebangan pohon secara besar-besaran, dan lain sebagainya.

Generasi muda menjadi tumpuan harapan masa depan lingkungan hidup. Yang bisa dilakukan saat ini adalah menumbuhkan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda. Bahwa manusia bisa hidup berkelanjutan jika memahami alam sebagai bentuk interdependensi. Kehidupan terdiri dari komponen-komponen yang membentuk jaring-jaring kehidupan dan ada siklus di dalamnya yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Dengan bekal pemahaman ini, manusia mestinya mau berhati-hati dalam mengelola alam.

Para orang tua kita, terutama yang tinggal di desa, dahulu begitu dekat dan mengenal alam karena tingginya interaksi persinggungan. Kedekatan itu sesederhana hafal nama-nama jenis burung dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tahu persis di mana sumber-sumber air di desa, dan bagaimana cara merawatnya. Mereka bahkan bisa membaca tanda-tanda alam, karena kebutuhan untuk bercocok tanam atau untuk berburu. Maka ada istilah ilmu titen. Belakangan, generasi kita teralihkan oleh kesibukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, relasi manusia dengan alam merenggang.

Pendidikan telah banyak mencetak orang pintar. Namun, ternyata pendidikan kita saat ini belum mendekatkan kita pada alam dan lingkungan sebagai penopang utama sistem kehidupan. Maka tak heran jika gerakan-gerakan konservasi alam masih jauh panggang dari api. Desa perlu menyusun sebuah skema pendidikan kontekstual bagi generasi penerusnya. Bentuknya tentu bukan seperti sekolah formal. Model pendidikan ini juga tidak bermaksud menggantikan pendidikan formal, malah bertujuan melengkapinya sesuai situasi setempat.

Mendolo merintis pendidikan lingkungan untuk anak

Mengamati burung

Pagi itu di hari Minggu yang cerah, sekira dua puluhan anak-anak usia 6-10 tahun telah berkumpul di lahan terbuka di tengah dusun Mendolo Wetan. Mereka bersiap untuk bermain sekaligus belajar bersama di lingkungan sekitar desa. Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo dibantu Swaraowa menjadi fasilitator bagi anak-anak yang tampak sangat antusias. Para ibu dari peserta juga dipersilakan untuk bergabung.

Dibagi ke dalam empat kelompok, peserta diajak mengamati burung dan kupu-kupu. Binatang-binatang berpenampilan cantik ini mudah menarik perhatian anak-anak sehingga bisa menjadi pintu masuk untuk mulai menjelajahi keanekaragaman hayati di lingkungan desa mereka sendiri. Setiap menemukan kupu-kupu atau burung, mereka diminta mencatat ciri-ciri dan perilakunya. Sedetail mungkin. Para pendamping lalu memberitahukan nama jenisnya.

Ternyata, ketertarikan anak-anak tak berhenti pada dua kelompok fauna target. Mereka juga mencacat capung, belalang, laba-laba, dan binatang-binatang lain yang ditemui sepanjang perjalanan. Para fasilitator sampai kewalahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memberondong. Tidak ada masalah, karena fasilitator memang tidak diharuskan tahu semua hal. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab disimpan dahulu untuk dicari jawabannya di lain kesempatan.

Siswanto, anggota PPM Mendolo memandu anak-anak

Menghidupkan kembali permainan tradisional

Untuk memaksimalkan keasyikan, dibuat beberapa pos sepanjang rute pengamatan. Di setiap pos yang dijaga oleh fasilitator, setiap tim diminta mempresentasikan temuan mereka. Setelah itu, mereka diajak memainkan permainan-permainan tradisional. Permainan tradisional, yang kini telah tergusur oleh game online, rata-rata kaya akan pengalaman yang menentuh sisi kognitif, afektif, maupun motorik yang berguna bagi fisik maupun mental anak-anak.

Menjelang siang, semua peserta dan fasiltator bergerak menuju aula balai desa. Di sini peserta bermain puzzle satwa dan mewarnai gambar. Mereka juga berdiskusi mengenai pengalaman yang diperoleh sepanjang rute pengamatan tadi. Banyak dari peserta yang menceritakan binatang-binatang yang baru pertama kali mereka lihat.

Di aula ini pula, PPM Mendolo memamerkan beberapa foto burung dan primata hasil karya mereka sendiri lalu mempresentasikan karya itu kepada para peserta. Tidak hanya menjelaskan mengenai jenis burung yang difoto dan teknik pengambilan gambar, namun PPM juga menjelaskan dengan bahasa sederhana peran ekologis beragam satwa itu di dalam ekosistem.

Belajar bersama anak-anak ini menjadi langkah awal bagi PPM Mendolo untuk merintis sistem pendidikan konservasi kontekstual bagi generasi mudanya, dimulai dengan mengenali potensi kehatinya. Kehati merupakan aset desa sehingga perlu dirawat. Mendolo adalah desa dengan keanekaragaman hayati tinggi. Jenis-jenis primata-nya lengkap: owa jawa, rek-rekan, lutung, monyet ekor panjang, dan kukang. Lebih dari 100+ jenis burung, dan 100+ jenis kupu-kupu ada di desa ini. Belum lagi taksa-taksa lain.

Desa juga merupakan lumbung pengetahuan dan keterampilan. Sebagai contoh, pengetahuan masyarakat mengenai jenis-jenis tumbuhan dan jamur yang bisa dikonsumsi, termasuk keterampilan mengolahnya. Keahlian dan keterampilan pangan lokal menjadi salah satu kunci resiliensi. Namun, bisa dipastikan pengetahuan dan keterampilan tersebut bakal hilang tidak lama lagi jika tidak ada upaya untuk merawatnya secara sistemik.

Benjamin Bloom dalam Taxonomy of Educational Objectives (1956) mengidentifikasi tiga domain kegiatan pendidikan, meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sederhananya, kognitif menekankan aspek intelektual. Afektif berkaitan dengan emosi, minat, adaptasi. Sementara itu, psikomotorik adalah aspek keterampilan, yang muaranya pada praktik. Pendidikan yang baik berarti mesti mampu membawa hasil-hasil pembelajaran sampai pada praktik keseharian subjeknya.

Ukuran keberhasilan pendidikan konservasi yang dirintis PPM Mendolo bersama Swaraowa misalnya, tidak sekadar memberikan pengetahuan dan meningkatkan minat saja, tetapi harus mampu pula mendorong para pesertanya beralih dari praktik-praktik tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Setidaknya bagi diri sendiri. Bagaimanapun, kelestarian bumi kita yang cuma satu ini hanya bisa diraih dengan perubahan perilaku manusianya.

No comments:

Post a Comment