Showing posts with label mendolo. Show all posts
Showing posts with label mendolo. Show all posts

Friday, June 20, 2025

Tugas Akhir, Nyanyian Owa, dan Pelajaran dari Hutan Mendolo

oleh : Yessy Wika Maharani


salah satu anggota kelompok  Owa jawa Mendolo

        Menjadi mahasiswa tingkat akhir sepintas terkesan begitu menyenangkan, tidak lagi mengikuti mata kuliah, tidak lagi dikejar deadline tugas dan laporan praktikum. Tapi nyatanya realita di lapangan tidak semudah itu, Di tingkat akhir artinya ada tanggung jawab besar yang harus segera diselesaikan. Yap! Dan ini adalah cerita tentangku dan tugas akhir yang menjadi awal kisah mengenal lebih dalam tentang hutan sebagai rumah bagi makhluk berwarna abu pemilik nyanyian merdu di Pulau Jawa, siapa lagi kalau bukan Owa jawa.

Saya Yessy Wika mahasiswa tingkat akhir pada minat Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan UGM baru saja menyelesaikan pengambilan data untuk tugas akhir saya di Desa Mendolo dengan judul penelitian “Karakteristik Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) di Area Terfragmentasi Desa Mendolo, Pekalongan, Jawa Tengah”. Bukan tanpa sebab mengapa habitat Owa jawa menjadi topik yang ingin saya teliti pada tugas akhir kali ini. Habitatnya yang makin memprihatinkan karena adanya fragmentasi menjadi sebuah ancaman serius bagi kelestariannya. Mengingat pergerakannya yang khas dengan brakiasi dimana hutan dengan tajuk-tajuk pohon yang terhubung sebagai faktor penting bagi keberlangsungan hidupnya. Berdasarkan data monitoring milik SwaraOwa, habitat Owa jawa yang berada di Desa Mendolo saat ini terindikasi akan ataupun sedang mengalami peristiwa fragmentasi tersebut.

plot petak ukur vegetasi

Kisah pengambilan data di Desa Mendolo yang memakan waktu selama hampir menyentuh dua bulan lamanya, adalah awal saya bertemu dengan Nisa dan Zizah mahasiswa Biologi dari UIN Jakarta. Selain itu, saya juga mengenal banyak teman baru dari Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo, ada Mas Iman, Mas Alec, Mas Ripki, Mas Madran, Mas El, dan masih banyak lagi. Mereka adalah teman, saudara, sekaligus 911 bagi saya selama berada di Desa Mendolo. Dalam pengambilan data habitat, saya mendatangi sekitar 50 lebih plot yang tersebar di seluruh Desa Mendolo. Untungnya perjalanan saya tidak sendiri, saya ditemani oleh

tim monitoring

Dalam praktiknya di lapangan saya membagi menjadi beberapa tahap, tahap pertama adalah pengambilan data habitat yang meliputi struktur dan komposisi vegetasi. Di dalam analisis vegetasi kali ini, digunakan plot nested dengan ukuran 2x2 m untuk semai, 5x5 m untuk pancang, 10x10 untuk tiang dan 20x20 m untuk pohon. Adapun beberapa data yang harus saya ambil meliputi: jenis tumbuhan, diameter batang, dan tinggi pohon. Selain itu, guna menggambarkan profil hutan secara vertikal saya juga mengambil data berupa koordinat tumbuhan, tinggi batang bebas cabang, tinggi tajuk terlebar, dan lebar tajuk. Tahap kedua adalah pengambilan data populasi dengan metode triangulasi yang dilakukan selama 4 hari. Di samping itu, selama perjalan menyusuri tiap plot, saya juga menerapkan metode line transect guna mengestimasi populasi Owa jawa melalui perjumpaan langsung.

        Meskipun ini perjalanan untuk menyelesaikan tugas akhir, nyatanya ini awal bagi saya untuk memulai belajar banyak hal baru. Misalnya dalam proses identifikasi tumbuhan, banyaknya jenis tumbuhan yang dijumpai dan dengan segala keterbatasan yang ada, saya dituntut untuk bisa mengidentifikasinya satu per satu. Alhasil banyak sekali ilmu-ilmu dendrologi yang saya dapat di semester satu harus dibuka kembali. Disamping itu, saya sangat bersyukur karena teman-teman di sini baik warga lokal, PPM Mendolo, tim swaraowa, dan nisa juga zizah membantu saya dalam proses identifikasinya.

        
pengukuran diameter pohon

Dalam perjalanan mencari data habitat tersebut, beberapa plot yang saya datangi tak jarang hanya terdiri dari tanaman kopi dan durian saja. Tentu ini menjadi hal menarik untuk menjadi bahan pembahasan pada tugas akhir saya kelak. Mengingat kondisi yang terlalu homogen dan tingkat tutupan tajuk yang cukup rendah, apakah dapat dimungkinkan untuk menjadi ancaman bagi keberlangsungan Owa jawa yang ada di sekitarnya. Meskipun begitu, banyak juga plot-plot yang terdiri dari berbagai macam jenis vegetasi serta ukuran strata tajuk yang bervariasi. Seperti pada plot nomor 2 dimana di dalam plot tersebut kerap dijumpai sekelompok Owa jawa, tengah melakukan aktivitas sehari-harinya. Menurut penuturan tim monitoring dari SwaraOwa dan PPM Mendolo, ada satu area pada plot tersebut yang terdiri dari pohon dengan tajuk yang terhubung kerap menjadi jembatan berpindah bagi kelompok Owa jawa tersebut. 

Setelah menyelesaikan pengambilan data habitat, kegiatan dilanjut untuk pengambilan data populasi dengan metode triangulasi. Terdapat 3 titik listening point (lps) yang digunakan dengan pengambilan data sebanyak 4 hari. Proses triangulasi kali ini saya dibantu oleh Zizah, Mas Iman, Mas Alec, Mas Ripki, dan Mas El dimana setiap lps terdiri dari 2 orang. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 05.00 pagi dan telah berada di lps pada pukul 05.30. Pengamatan biasanya dilakukan hingga pukul 10.00 pagi. Terkadang terdapat hari-hari dimana hal-hal tak terduka terjadi, seperti saat tiba-tiba terdengar suara sound horeg, chainsaw pemotong kayu, bahkan suara binatang sekecil tenggeret pun mampu mengganggu proses pengamatan. Namun akhirnya proses pengamatan tetap dapat dijalankan dengan lancar hingga selesai.

Pengambilan data ini bagi saya adalah pengalaman yang tak cukup jika diungkapkan dengan satu dua paragraph cerita pendek saja. Banyak hal-hal kecil yang ternyata patut untuk disyukuri. Sesederhana nikmatnya siomay dan es dawet Pak Kaliri, tangan yang tidak menyentuh kemadu, dan capcay bekal makan siang buatan Nisa. Ditambah selama di sana kami selalu diajak mencoba kegiatan dari SwaraOwa ataupun PPM Mendolo. Seperti monitoring rutin, Bird Watching for Kids, sampai dituruti herping malam karena ingin  melihat kukang.
tour guide kondang mas Iman, pengendali Parang

Satu lagi yang perlu disyukuri adalah saya banyak dipertemukan dan dikelilingi oleh orang-orang baik, mulai dari Ibu-ibu Dusun Sawahan yang sering menanyakan “tidur di atas aman kan?”, Bapak-bapak yang tidak sengaja bertemu di plot tapi tetap ditanyai “pak ini tanaman apa ya?”, dan tak lupa tour guide kondang sang ahli parang siapa lagi kalau bukan Mas Iman. Walaupun jarang mandi tapi dia selalu bertanggung jawab menjaga keselamatan saya. Beliau selalu mengingatkan dan mengusahakan yang terbaik selama di lapangan. Misalnya mengingatkan ketika ada batang berduri, jalanan yang licin, bahkan bertemu dengan ular berbisa pun semua dia handle. Tapi hal itu tidak terlepas juga karena saya yang membawa minum dan bekal makan siangnya. Pada intinya ini adalah sepenggal cerita seru yang ingin saya kenang selalu. Terima kasih untuk SwaraOwa yang telah memberikan fasilitas belajar dan kesempatan mengenal banyak hal. Terima kasih juga untuk PPM Mendolo, warga Desa Mendolo, serta orang-orang baik lainnya yang telah memberikan pengalaman dan pemahaman selama pengambilan data. Dua bulan di sana rasanya akan selalu terasa kurang. Namun, dalam hidup yang terus berjalan, selamat merindukan hal-hal yang tak bisa diulang.



Thursday, May 15, 2025

Urgensi koridor habitat bagi owa jawa: dua tahun program penanaman partisipatif

 oleh Sidiq Harjanto ( SwaraOwa) dan  Alex Rifa’i (PPM Mendolo)

kelompok owa yang di monitor di Sawahan ( foto PPM Mendolo)

Owa jawa (Hylobates moloch) adalah satu di antara sembilan jenis owa (gibbon) yang ada di Indonesia. Sebaran kera kecil dengan warna rambut abu-abu ini endemik Pulau Jawa dan terbatas di bagian tengah dan barat pulau. Owa jawa dijumpai di habitat hutan tropis dataran rendah dengan spesifikasi tertentu. Mereka hidup arboreal (pada kanopi hutan) sehingga membutuhkan konektivitas kanopi hutan yang baik. Saat ini, owa jawa masuk dalam daftar spesies terancam punah (endangered) dalam daftar merah IUCN.

Fragmentasi habitat menjadi ancaman yang mempercepat kepunahan spesies karismatik ini. Kondisi fragmentasi habitat yang dimaksud adalah saat area hutan tidak lagi menyediakan konektivitas tajuk atau kanopi yang baik. Sederhananya, satu hamparan hutan terpecah menjadi blok-blok yang lebih kecil. Karena kebutuhan akan tajuk hutan yang terkoneksi, sedikit saja gangguan pada habitat owa semisal pembukaan jalan bisa memberikan fragmentasi habitat bagi jenis-jenis owa, termasuk owa jawa.

Ketika satu kelompok atau keluarga owa terpisah dari populasi, meningkatkan peluang terjadinya perkawinan sedarah yang berujung pada hanyutan genetik. Perkawinan antar anggota keluarga yang masih berkerabat dekat secara dramatis mengurangi keanekaragaman gen. Hal ini berakibat pada masalah-masalah kesehatan maupun kemampuan adaptasi dan meningkatkan risiko kepunahan. Semakin masif isolasi populasi, maka laju kepunahan suatu spesies juga semakin meningkat.

peta hutan terfragmentasi di Sawahan
Monitoring kelompok owa di habitat terfragmentasi

Butuh kejelian untuk memastikan adanya fragmentasi habitat bagi owa jawa. Secara sekilas, tak jarang tutupan lahan tampak relatif baik. Namun, jika kita mengacu pada kebutuhan spesifik spesies kera kecil dari suku Hylobatidae ini yang membutuhkan hutan heterogen, ternyata tidak semua area cocok dengan kebutuhan populasi owa. Tercacat beberapa kantong hutan habitat owa jawa dikelilingi area kebun, seperti durian dan kopi, atau tutupan vegetasi homogen lain yang tidak kompatibel dengan kebutuhan habitat.

Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo bekerja sama dengan Swaraowa, telah melakukan monitoring terhadap kelompok-kelompok owa jawa yang berada pada blok hutan kecil yang terpisah dari blok hutan utama. Kelompok-kelompok owa tersebut umumnya berbagi ruang pada area berhutan yang jauh di bawah luas teritori ideal. Dari data monitoring inilah, ke depannya upaya-upaya pelestarian bisa dirumuskan.

Kegiatan monitoring Owa jawa ( foto PPM Mendolo)
Tim monitoring berjumlah dua atau tiga orang setiap harinya, berangkat di pagi hari sekitar pukul 05:30  WIB atau kadang jadwal berangkat bisa lebih pagi lagi. Setiba di lokasi monitoring, tim mulai mengamati aktivitas harian kelompok owa jawa, seperti aktivitas makan, bermain, istirahat, dan tidur. Selain itu, kami juga mencatat jenis-jenis pohon pakan, dan rata-rata ketinggian kanopi yang mereka gunakan untuk beraktivitas. Data-data ini penting mengingat area habitat mereka beririsan dengan lahan garapan masyarakat.  

Beberapa kali kelompok owa terpantau menyeberang ke area kebun kopi yang rata-rata ketinggian pohonnya tidak lebih dari lima meter. Bahkan, sempat ada beberapa orang warga yang melaporkan bahwa mereka pernah melihat owa jawa berjalan di atas tanah. Fenomena owa berjalan di tanah ini sekilas tampak lucu, tetapi temuan ini mengkhawatirkan karena menyimpang dari perilaku alaminya. Owa jawa adalah hewan yang sepenuhnya arboreal, jika sampai turun ke tanah untuk menyeberang dari satu pohon ke pohon yang lain, hal ini mengindikasikan habitatnya sudah tidak ideal.

penanaman pohon pakan Owa ( foto PPM Mendolo)


Koridor hutan untuk koneksi habitat

Saat ini kita berpacu dengan waktu. Data-data mengenai fragmentasi habitat bagi owa jawa di Kawasan Dieng Utara masih sangat terbatas. Namun, mulai ada temuan-temuan yang mengindikasikan kondisi itu. Hal ini menuntut respon yang sigap untuk menghindari risiko percepatan kepunahan. Berangkat dari data yang masih sangat terbatas, upaya-upaya meskipun dalam skala yang kecil telah dilakukan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui pembuatan koridor habitat dan pengayaan pohon pakan.

Tahun ini, menjadi tahun kedua bagi warga Dukuh Sawahan, Desa Mendolo untuk menjalankan program penanaman koridor dan pengayaan jenis-jenis pohon hutan. Bibit yang ditanam tahun ini meliputi kayu babi (Crypteronia sp.), kayu sapi (Pometia pinnata), rau, sentul, nangkan. Total sekira 700 batang bibit. Sebagian bibit ditanam pada sempadan sungai-sungai kecil, atau alur menurut istilah lokal. Penanaman pada alur-alur ini diharapkan bisa menjadi koridor hutan di masa depan, sekaligus untuk konservasi air dan tanah.

Selain area-area sempadan sungai, aneka bibit buah hutan juga ditanam di lahan-lahan garapan guna meningkatkan populasi pohon pakan bagi owa jawa. Jenis-jenis pohon pakan kesukaan owa misalnya rau (Drancontomelon dao), bendo (Artocarpus elasticus), nangkan (Artocarpus rigidus), dan sentul (Sandoricum koetjape). Dengan model agroforestri yang diperkaya, diharapkan kelompok-kelompok owa jawa masih dapat bertahan, setidaknya dari sisi koneksi tajuk dan ketersediaan pakan.

Konsep koridor habitat di Mendolo ini mirip dengan program community baboon sanctuary yang telah berhasil menjaga populasi monyet howler di Belize, Amerika Tengah. Sifatnya jangka panjang dan membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Secara prinsip, program ini berusaha mencari ekuilibrium antara kebutuhan ideal habitat owa jawa dengan kepentingan ekonomi masyarakat dari pengelolaan lahan.

Konservasi berbasis masyarakat

Tak bisa dimungkiri bahwa banyak permasalahan lingkungan hidup bersifat global, seperti perubahan iklim, kepunahan massal, dan deforestasi –termasuk fragmentasi habitat. Namun, cara-cara penanganannya bisa kita mulai dari skala kecil. Aksi-aksi konservasi perlu disesuikan dengan konteks lokal. Skalanya bisa berbasis ekoregion, bioregion, lansekap, atau bahkan pada lingkup administratif yang kecil, misalnya desa. Pada konteks desa, konservasi berbasis masyarakat menjadi paradigma sekaligus strategi yang menjanjikan.

Di Dukuh Sawahan telah ada inisiasi Peraturan Dukuh (Perduk) yang mengatur perlindungan satwa liar. Perduk ini berlaku untuk beberapa kelompok satwa, yaitu: ikan, burung, dan primata. Bergulirnya kesepakatan warga ini membawa angin segar bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Desa Mendolo. Pelestarian satwa liar tentu tidak bisa berhenti pada larangan perburuan saja, tetapi perlu semakin diperdalam menuju pelestarian habitat. Program koridor hutan ini menjadi salah satu ikhtiar jangka panjang menuju ke sana.

Program koridor habitat dan pengayaan pohon pakan ini berbasis masyarakat. Partisipasi warga menjadi kunci keberlangsungan. Kerelaan penggarap lahan (area-area sempadan sungai), konsistensi pengadaan bibit, penanaman, hingga komitmen perawatan-pemeliharaan pohon sangat tergantung peran aktif warga masyarakat. Saat ini peran-peran itu ada pada para petani sebagai penggarap lahan, kelompok wanita tani yang membantu penyediaan bibit, juga para anggotai PPM Mendolo yang secara bergantian melakukan monitoring kelompok-kelompok owa di wilayah Mendolo. Kami ucapkan terima kasih kepada mereka untuk kontribusi yang sangat berarti.

Friday, March 28, 2025

Para perempuan penjaga hutan: KWT Brayan Urip

Oleh : Sidiq Harjanto 

Ibu Ibu dukuh sawahan pulang dari Hutan mencari Umbi Gadung

Tanggal 25 Februari 2025 menjadi hari bersejarah bagi kelompok perempuan “Brayan Urip” di dukuh Sawahan, Desa Mendolo. Kelompok informal ini telah bertransformasi menjadi Kelompok Wanita Tani (KWT) dan akan semakin intens mewarnai kegiatan-kegiatan berkelanjutan yang dijalankan di Mendolo. Sri Windriyah didapuk memimpin kelompok yang sementara telah merekrut 16 orang ini untuk periode kepengurusan 2025-2030.

Sebagai kelompok yang kegiatan utamanya di bidang pertanian, KWT Brayan Urip mengusung visi: Terciptanya budaya pertanian yang mengedepankan solidaritas, gotong royong, kreativitas, inovasi, dan menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Tentunya, untuk mencapai visi tersebut perlu upaya-upaya nyata merawat pengetahuan dan keterampilan yang telah menjadi tradisi turun-temurun dan terbukti menjamin keberlanjutan.

musyawarah pengukuhan KWT Brayan Urip disaksikan Kepada Desa Sawahan

Dengan adanya KWT, posisi dan peran kaum perempuan bisa diperkuat. Kelompok juga bisa mengelaborasi berbagai ide dan membuahkan inovasi pangan, praktik pertanian berkelanjutan, hingga konservasi secara umum. Berbagai permasalahan bisa dirembug dan dicari penyelesaiannya. Di samping itu, adanya kelompok perempuan ini bisa menjadi medium regenerasi dalam komunitas masyarakat, terutama untuk mewariskan berbagai pengetahuan praktis maupun filosofis mengenai kehidupan masyarakat dekat hutan.

Sri Windriyah Ketua KWT Brayan Urip dukuh Sawahan

Ekologi pangan: merawat ekosistem dari dapur

Menurut Piramida Maslow, pangan adalah kebutuhan fisiologis umat manusia, menempati posisi paling dasar bersama oksigen, air, pakaian, shelter (tempat berlindung), dan seks. Kebutuhan ini sifatnya biologis dan mendesak sehingga pasti menjadi prioritas pemenuhan setiap manusia. Jika kebutuhan ini belum terpenuhi, maka manusia tidak termotivasi mengejar kebutuhan di tingkat selanjutnya.

Kebutuhan pangan dipenuhi dari alam, baik melalui pembudidayaan atau pertanian maupun pemanenan berbagai spesies liar. Karena tergantung faktor alam, pangan bisa mencerminkan relasi manusia dengan alam atau lingkungannya. Apa yang kita makan bisa saja memberikan dampak buruk bagi keseimbangan alam, tanpa kita sadari. Diperlukan kearifan dalam memilih pangan yang kita konsumsi sehari-hari. Misalnya, memilih pangan organik, non-GMO ( genetically modified organism), diproduksi lokal (meminimalkan jejak karbon), dan berbagai pertimbangan lainnya.

Sebagai kaum ibu yang sangat berkepentingan dalam penyediaan pangan sehat bagi keluarga, para anggota KWT Brayan Urip bertekad untuk merawat dan terus mempraktikkan tradisi pangan lokal yang selama ini masih terpelihara. Tradisi ini kiranya masih relevan dengan semangat menjaga keseimbangan alam. Memperjuangkan kelestarian dan keberlanjutan alam bisa dimulai dari dapur-dapur tiap rumah. Dari pilihan menu makan sehari-hari yang bijak dan bertanggung jawab.

Memilih pangan lokal membawa banyak manfaat. Sebagaimana disebutkan di atas, memilih pangan lokal bisa mengurangi jejak karbon karena minim pengangkutan. Tak cuma itu saja, tradisi pangan lokal bisa mendorong masyarakat setempat untuk melindungi sumber daya alam yang ada. Pangan lokal sendiri merupakan bagian dari biodiversitas yang penting dalam ekosistem. Pada aspek lain, pangan lokal cenderung lebih segar sehingga lebih kaya nutrisi, dan lebih sehat karena tanpa pengawetan. Pangan lokal juga berpotensi mendongkrak ekonomi setempat.

Pendataan awal mengenai potensi pangan berbasis hutan pada tahun 2022 telah menemukan tak kurang 80 jenis tumbuhan dan jamur liar yang bisa dikonsumsi. Sebagian dari potensi itu masih terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga saat ini. Sayur pakis, belibar pucung, dan jamur lember misalnya, masih lazim mengisi meja-meja makan warga Desa Mendolo.

Pemanenan dan pengolahan umbi gadung telah menjadi tradisi turun-menurun bagi kaum perempuan di Mendolo. Umbi ini umumnya diolah menjadi keripik maupun pengganti nasi. Pada tahun 2024, kelompok Brayan Urip telah melakukan uji coba pembuatan tepung berbahan gadung dengan hasil yang cukup menjanjikan. Ini merupakan sebentuk inovasi setelah tak kurang 70 tahun pemanfaatan gadung di Mendolo. Maka pada tahun ini, produksi tepung gadung hendak ditingkatkan pada skala yang lebih besar sehingga diharapkan bisa turut mendongkrak perekonomian warga, khususnya kaum perempuan.

Sebagai catatan, umbi gadung (Dioscorea hispida) tumbuh liar di area-area hutan di sekitar Dukuh Sawahan. Keberlanjutan tanaman umbi ini tergantung kepada kelestarian hutan sebagai habitat. Artinya, upaya kelompok perempuan Sawahan untuk mengelola potensi umbi gadung ini membawa konsekuensi untuk adanya upaya memperjuangkan kelestarian hutan itu sendiri.

Di sisi lain, hutan di Mendolo merupakan habitat bagi aneka satwa, termasuk owa jawa, lutung jawa, rek-rekan, kukang, elang jawa, burung raja-udang kalung-biru, dan lain sebagainya. Di sini kita menemukan irisan kepentingan yang sama antara urgensi pelestarian hutan sebagai “lumbung pangan” bagi masyarakat dan hutan sebagai habitat berbagai jenis satwa. Dua kepentingan yang perlu sinergi saling menguatkan untuk hutan yang lestari.

Pendidikan sebagai salah satu misi strategis

Kegiatan edukasi di Sawahan
Telah disinggung sebelumnya bahwa keberadaan kelompok bisa menjadi medium regenerasi di masyarakat. KWT Brayan Urip memiliki komitmen itu sehingga salah satu misi yang tercantum dalam AD-ART kelompok adalah melakukan edukasi kepada generasi muda. Edukasi ini tidak terbatas pada bidang tertentu namun bersifat umum tergantung urgensi, karena perlu disadari bahwa kehidupan ini sifatnya holistik-sistemis.

Mengawali kiprah dalam bidang edukasi, KWT Brayan Urip berkolaborasi dengan PPM Mendolo dan didukung Swaraowa mengajak anak-anak di lingkup Dukuh Sawahan untuk belajar bersama mengenai potensi keanekaragaman hayati desa. Pada tanggal 19 Maret 2025, sembari menunggu waktu berbuka puasa, para ibu ini mengumpulkan putra-putri dukuh sawahan untuk berdiskusi mengenai nilai penting keanekaragaman hayati, serta dampaknya jika terjadi kerusakan.

Tema keanekaragaman hayati ini sejalan dengan momentum perumusan Peraturan Dukuh (Perduk) untuk pelestarian satwa liar. Telah disepakati perlindungan jenis-jenis ikan, burung, dan primata di lingkup Sawahan. Sebagai salah satu elemen masyarakat, KWT turut mendukung upaya pelestarian tersebut melalui bentuk pendidikan lingkungan bagi anak-anak usia sekolah dasar.

Pendidikan menjadi salah satu misi strategis yang diusung oleh KWT Brayan Urip. Banyak pengetahuan dan keterampilan lokal yang saat ini belum terakomodir oleh lembaga pendidikan formal. Butuh media di luar pendidikan formal yang sudah ada untuk mentransformasikannya. Atas dasar itulah, kelompok membangun komitmen untuk mengisi ruang-ruang yang masih kosong tersebut agar generasi muda di Dukuh Sawahan tidak tercerabut dari akar budaya dan lingkungan tempat tumbuhnya.

Friday, February 28, 2025

Seni untuk semua: memasyarakatkan seni untuk konservasi

 Sidiq Harjanto & Kurnia Ahmadin

Pentas Seni untuk Konservasi Ds. Mendolo. Foto IDS

Para pembaca tentu sudah sangat akrab dengan istilah “seni”. Secara sederhana, kita bisa mendefinisikan seni sebagai segala buah karya manusia dalam bentuk visual, audio, ataupun pertunjukkan yang mengungkapkan gagasan dan imajinasi. Seni digunakan sebagai hiburan, ekspresi diri, media penyampaian informasi, pendidikan-pembelajaran, hingga alat untuk mempengaruhi khalayak. Seni mempunyai kemampuan unik untuk membangkitkan minat, merangsang imajinasi, dan menggerakkan atensi individu kepada isu tertentu.

Swaraowa melihat potensi seni dalam mewarnai ruang diskursus mengenai konservasi alam yang terus berkembang dewasa ini. Untuk itu, pada bulan Januari kemarin kami membantu memfasilitasi masyarakat di dukuh Sawahan Desa Mendolo untuk mengarusutamakan seni dalam isu konservasi. Berkolaborasi dengan Indonesia Dragonfly Society-IDS, Green Community, dan masyarakat lokal; sebuah pertunjukan seni dipersiapkan untuk mengisi puncak acara Jambore Capung Indonesia, 24-26 Januari 2025 di Mendolo.

Kami dibantu Sujono dan Yuwono, dua seniman dan praktisi seni dari Sanggar Saujana, Desa Keron, Kecamatan Sawangan, Kab Magelang. Sujono, atau akrab dipanggil Pak Jono Keron, dikenal sebagai seniman multitalenta. Beliau  adalah kreator wayang serangga. Juga menghasilkan karya lukis, topeng, patung, hingga kreasi tari. Sedangkan Yuwono, kami memanggilnya Pak No, telah akrab dengan seni tari sejak belia.

Dalam kesempatan kali ini, secara khusus Pak Jono Keron dan Pak No mengenalkan dan melatih dua tarian untuk para pemuda dan anak-anak, juga merancang dan mempersiapkan panggung pertunjukan. Waktu yang hanya tersedia sekira satu minggu dioptimalkan untuk melatih tari “Jingkrak Sundang” kepada para pemuda. Tarian ini merupakan kreasi Pak Jono sendiri pada awal 2000-an, diilhami oleh kegelisahannya akan nasib binatang-binatang yang habitatnya kian rusak. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar, dikenalkan tari “Geculan Bocah”.

 

Tata panggung  menggunakan bahan ramah lingkungan. foto IDS

Tata panggung ramah lingkungan

Panggung menjadi elemen penting dalam sebuah pertunjukan seni. Sebagai tempat pementasan, panggung perlu dibuat semenarik mungkin agar membangkitkan minat para penontonnya. Panitia kesenian tak jarang harus menginvestasikan banyak uang untuk mengadakan panggung yang megah dengan ornamen atau dekorasi yang indah dan mahal.

Namun, kepiawaian Pak Jon dan Pak No mampu menyuguhkan sebuah panggung ciamik tanpa harus mahal. Bahkan, tak hanya murah, ini adalah sebuah panggung yang ramah lingkungan. Rahasianya terletak pada ornamen-ornamen panggung yang sebagian besar menggunakan limbah dan sampah.

Tebon atau batang tanaman jagung, biji dan kulit durian, serta daun kering paku-pakuan disulap menjadi dekorasi panggung yang sangat cantik. Banyak limbah pertanian ataupun bahan-bahan lokal seperti dedaunan yang bisa dimanfaatkan untuk dekorasi panggung, murah dan ramah lingkungan, menurut dua seniman yang telah lama aktif dalam Komunitas Lima Gunung, sebuah komunitas seniman yang memotori even budaya rutin “Festival Lima Gunung” di lingkup kawasan Merapi-Merbabu-Andong-Sumbing-Menoreh.

 

Gunungan Duren membuka acara pentas seni ds. Sawahan

Semua berkesenian, kesenian untuk semua

Pentas seni digelar pada 25 Januari 2025 bertepatan dengan malam keakraban Jambore Capung 2025. Seni instalasi, seni tari, seni musik, dan seni lukis melalui body painting berpadu menyemarakkan malam itu. Atas inisiatif dari warga Sawahan, acara dibuka dengan “Slametan Duren” berupa arak-arakan dua gunungan durian dan doa bersama. Slametan duren menjadi media bagi kaum tani untuk memanjatkan rasa syukur atas limpahan hasil bumi, sekaligus doa untuk keselamatan kampung.

Tari Geculan Bocah, anak-anak desa Sawahan. Foto IDS

Empat penampil seni susul-menyusul menyuguhkan pertunjukan yang menarik. Penampil pertama dari kelompok seni hadroh ibu-ibu Sawahan. Tari Geculan Bocah menampilkan delapan orang anak dukuh Sawahan dengan make-up eksentrik. Tari ini menceritakan tentang kegembiraan anak-anak perdesaan bermain dengan dunianya. Kelompok kerawitan yang dipimpin langsung oleh Kades Mendolo mengisi jeda antar-penampil.

Pada puncaknya, ditampilkan tari Jingkrak Sundang. Kurnia Ahmadin membuka dengan penampilan tarian owa jawa. Panggung langsung bergemuruh oleh riuh sambutan penonton. Adin sukses mempersonakan sesosok owa jawa dengan mempertontonkan perilakunya yang khas seperti memanjat, bergantungan, hingga menyambar lalu memakan buah-buahan yang tersaji di meja.

Disusul delapan orang penari bertopeng yang menampilkan gerakan rampak. Tarian ini menceritakan binatang-binatang berkaki empat yang habitatnya dirusak oleh perilaku manusia. Gerakan-gerakannya menggambarkan kemarahan hingga kesedihan atau keputusasaan para binatang itu.

Tari Jingkrak Sundang ini diharapkan membangkitkan rasa empati para audience terhadap binatang-binatang yang kehilangan habitat. Ke depan, Pak Jono berharap agar Jingkrak Sundang bisa diadaptasi di Mendolo dengan satwa-satwa lokal yang ada di sana. Desa Mendolo sendiri memiliki banyak satwa liar seperti lima jenis primata jawa, macan tutul, kijang, landak, dll.

 

salah satu karakter dalam tari Jingkrak Sundhang. Foto IDS

Seni yang membuat nyawiji

Nilai keberhasilan suatu pertunjukan bukan saja terletak pada unsur artistiknya yang mampu menghibur, tapi juga pemaknaan bagi pelakunya. Dalam membawakan tari Jingkrak misalnya, para pemuda perlu menjiwai setiap gerakan. Berusaha membayangkan bagaimana hewan-hewan yang putus asa karena habitatnya yang rusak, lalu mengekspresikan dalam bentuk gerakan. Hal ini pada gilirannya bisa menjadi sarana untuk melatih rasa empati dan welas asih bagi semua makhluk.

Tak kalah penting ialah tersampaikannya pesan yang hendak dicapai. Tentu saja tidak mudah mengukurnya. Namun, melihat dari antusiasme dan partisipasi masyarakat maupun audience, barangkali bisa disimpulkan bahwa seni mampu menggerakkan banyak orang saling bekerja sama untuk satu tujuan bersama.

Tak kurang dari lima puluh orang warga terlibat dalam penciptaan karya seni kali ini, mulai dari penari dewasa, penari anak-anak, kelompok seni hadroh, kelompok seni kerawitan, hingga para warga yang membantu pada setiap proses produksi, seperti penyediaan bahan dekorasi hingga penataan panggung pertunjukan. Kolektivitas ini tak kalah indahnya dengan karya seni yang ditampilkan itu sendiri.

Kami ucapkan terima kasih kepada para fasilitator (Sujono dan Yuwono dari Keron), Indonesia Dragonfly Society, Green Community, Pemdes Mendolo, Kelompok Kerawitan, Kelompok Hadroh, PPM Mendolo, Kelompok Brayan Urip, segenap peserta Jambore Capung 2025, seluruh warga Desa Mendolo, penata panggung, penata lampu, penata suara, dan semua pihak yang telah membantu acara ini.

Wednesday, December 4, 2024

Inovasi Pangan setelah 70 Tahun, Desa Mendolo.

 Penulis: Alex Rifa’i1 & Sri Windriyah2; Penyunting: Sidiq Harjanto

1Koordinator Divisi Konservasi Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo

2Ketua Kelompok Brayan Urip, Desa Mendolo

 

Aneka olahan Umbi Gadung

"Dari hutan ke meja makan, setiap langkah punya cerita luar biasa. Ini cerita perjalanan panjang aneka bahan pangan bersama harapan semua orang yang terlibat di dalamnya". Begitulah kira-kira rangkuman rangkaian acara Hari Pangan Sedunia 2024 di Desa Mendolo pada tahun ini.

Pada tanggal 19-20 Oktober 2024 Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo berkolaborasi dengan Kelompok Petani Perempuan Brayan Urip merayakan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Adapun tujuan perayaan ini adalah untuk mengenalkan kepada semua orang yang ikut berpartisipasi dalam acara ini tentang keanekaragaman pangan lokal yang ada di sekitar hutan Desa Mendolo.

Mengusung tema Hari Pangan Sedunia tahun 2024 ini yaitu "Hak Atas Pangan untuk Kehidupan yang Lebih Baik dan Masa Depan yang Lebih Baik", kami sekaligus melaunching produk olahan umbi gadung dan memfasilitasi kelompok Brayan Urip untuk memaparkan segala tentang produk yang dihasilkan.

Agenda Perayaan Hari Pangan tahun ini tidak sepadat dan sekompleks perayaan hari pangan tahun kemarin. Rangkaian acara yang kami selenggarakan dimulai dari kegiatan meramban (mencari dan memanen sayur, jamur, dan buah di hutan) bersama-sama dengan kawan-kawan dari Indonesia Dragonfly Society (IDS), Green Community, dan para kaum muda-mudi Desa Mendolo. Acara meramban ini berlangsung pada tanggal 19 Oktober 2024 dari pagi sampai siang.

Ibu-Ibu pahlawan di belakang layar

Setelah hasil meramban dirasa cukup, pada siang sampai sore kami menyortir semua bahan pangan lokal dari hutan yang sudah terkumpul, mulai dari jenis sayur, jamur, buah-buahan kita kelompokkan masing-masing menurut jenisnya. Sayangnya, hasil meramban tahun ini sedikit kurang maksimal dikarenakan cuaca yang ekstrem sehingga banyak bahan pangan lokal yang tidak bisa kami temukan di hutan. Sorenya, para ibu sudah memulai mengolah bahan yang sekiranya akan memakan waktu lama.

Di hari kedua, para ibu disibukkan di bagian dapur mulai dari pagi-pagi sekali mengolah semua bahan makanan yang akan kita santap bersama di siang hari nanti. Seperti tahun lalu, kali ini panitia kembali mengadakan workshop ditujukan bagi anak-anak untuk mengisi kegiatan di pagi hari. Workshop ini berupa latihan bersama membuat bungkus makanan dari daun pisang. Kami menyebutnya "takir".

Setelah acara workshop selesai, semua panitia mulai membantu semua persiapan yang masih belum sempurna. Siangnya, kami merayakan Hari Pangan Sedunia 2024 dengan makan bersama dengan menu yang berasal dari hutan sekitar desa kami. Para warga desa membaur dengan tamu dari luar desa dengan antusias luar biasa bersama-sama menikmati hasil meramban semua sajian, seperti: jenis-jenis sayuran, jamur, bunga kecombrang, dan buah-buahan hutan.

pemotongan tumpeng nasi Gadung

Setelah makan bersama selesai, kami bersama-sama menuju lapangan untuk memulai segala rangkaian acara yaitu launching produk olahan umbi gadung hasil inovasi kelompok Brayan Urip. Rangkaian acara meliputi sambutan dari ketua PPM Mendolo, sambutan Bapak Kepala Desa Mendolo, disusul acara inti yaitu Launching Produk Olahan Gadung secara simbolis melalui pemotongan tumpeng nasi gadung.

Selanjutnya, Sri Windriyah selaku koordinator kelompok brayan urip sekaligus ketua panitia acara perayaan hari pangan sedunia pada tahun ini memaparkan produk-produk inovasi gadung yang telah dihasilkan kelompok Brayan Urip.  Acara ditutup dengan pertunjukan seni musik gamelan oleh Sanggar Seni Puspita Sari dan Sanggar Seni Chandra Laras.

antusias warga ke lokasi perayaan hari pangan yang guyur hujan

Bukan hanya menjadi superhero di bagian konsumsi selama acara hari pangan berlangsung, kali ini dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) kelompok Ibu-ibu Kebun Brayan Urip ingin menunjukkan keterampilanya dalam perayaan hari pangan sedunia kali ini.

Umbi Gadung kita bisa menyebutnya, atau dalam bahasa ilmiahnya Dioscorea hispida merupakan tanaman umbi-umbian yang tumbuh subur di sekitar hutan di Desa Mendolo. Tanaman dengan batang berduri yang merambat di pohon-pohon hutan yang lebih tinggi di sekelilingnya.

Kelompok Brayan Urip yang beranggotakan para ibu rumah tangga berupaya untuk mewarisi skill dan keterampilan dari leluhur. Salah satunya dalam pengolahan umbi gadung ini. Melalui proses yang panjang dan sangat membutuhkan ketelatenan, umbi beracun sianida bisa diubah menjadi berbagai macam makanan yang sangat lezat dan aman.

Fakta luar biasanya, tepung gadung ini menjadi terobosan baru dari kelompok ibu-ibu brayan urip,  setelah puluhan tahun lamanya umbi gadung hanya diproses sederhana untuk dijadikan makanan pengganti beras pada krisis pangan karena perang, dan di tahun 50-an ada orang dari luar desa mengajari pengolahan umbi gadung menjadi keripik.

workshop pembuatan Takir untuk anak-anak
Pada jaman dahulu, para tetua desa kami mengolah umbi gadung dengan cara direndam untuk menetralkan racun, lalu dibakar/dikukus dan langsung bisa disantap. Lazimnya metode memasak orang dulu adalah dibakar dalam bentuk gumpalan, tanpa melalui proses penjemuran lagi untuk dijadikan tepung, karena fungsi gadung kala itu adalah untuk sumber karbohidrat pengganti beras.

Kira-kira tujuh puluh tahun lamanya untuk sampai di tahun 2024, munculah ide dan inovasi-inovasi baru dari olahan umbi gadung, dan salah satu inovasi yang ditawarkan kali ini adalah pembuatan tepung dari umbi gadung.

Secara garis besar, proses pembuatan tepung menggunakan proses penetralan racun yang sama dengan apa yang telah diwariskan oleh para leluhur. Produk akhirnya saja yang berbeda. Gadung iris dilumuri abu dapur di hari pertama untuk untuk selanjutnya ke proses penjemuran. Setelah kering, umbi gadung direndam di air yang mengalir minimal selama 3 hari 2 malam, dan dicuci sehari 2 kali pagi dan sore agar sisa-sisa racun dan abu hilang.

pentas seni sanggar Seni Puspita Sari dan Sanggar Seni Chandra Laras.


Setelah proses perendaman selesai, umbi gadung masih melalui proses penjemuran kembali hingga kering. Pengeringan gadung sangat terbantu dengan adanya dome pengering yang difasilitasi Swaraowa beberapa waktu lalu. Sesudah kering pasca penjemuran ini, barulah umbi gadung bisa diproses untuk dijadikan tepung. Dengan cara ditumbuk hingga halus, lalu diayak.

Tepung gadung yang dihasilkan memiliki aroma dan rasa khas, dan teksturnya sedikit kasar. Tepung gadung bisa digunakan untuk membuat berbagai olahan berbahan dasar tepung pada umumnya, seperti: kerupuk, brownies, kue lapis, bahkan menjadi nasi tiwul gadung seperti yang kami sajikan pada saat pemotongan tumpeng sebagai penanda launching produk.

Bukan tidak mungkin akan muncul inovasi-inovasi olahan umbi gadung lain yang akan muncul di masa yang akan datang. Atau bahkan akan muncul olahan keanekaragaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari hutan Desa Mendolo yang lain lagi. Hutan Mendolo kaya dengan potensi.

Selain keanekaragaman hayati pangan lokal, masih ada juga fauna yang banyak jenisnya. Satwa-satwa penghuni hutan Desa Mendolo sangat menarik untuk diperbincangkan, dan keunikan hutan Desa Mendolo adalah menjadi tempat hidup bagi lima satwa primata jawa, yaitu: Owa jawa (Hylobates moloch), Lutung jawa (Trachypithecus auratus), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Rek-rekan (Prebytis comata fredericae), Kukang jawa (Nycticebus javanicus).

Tentunya, perayaan Hari Pangan Sedunia ini bisa menjadi salah satu langkah awal bagi kami para warga Desa Mendolo untuk tetap menjaga kelestarian hutan dan hidup berdampingan dengan semua makhluk hidup yang ada di dalamnya. Harapan kami adalah tetap terjaganya kelestarian hutan Desa Mendolo yang selama ini menjadi sumber penghidupan kami serta warga desa lain yang juga ikut mendapatkan manfaatnya. Dengan terjaganya kelestarian dan keanekaragaman hayati hutan, alam akan memberikan kita banyak manfaat untuk kehidupan sekarang dan masa depan.

Ucapan terimakasih kepada Pemerintah Desa Mendolo, SwaraOwa, Indonesia Dragonfly Society, dan Green Community yang sudah ikut berkolaborasi dalam acara perayaan Hari Pangan Sedunia tahun 2024. Tak lupa kepada seluruh warga Desa Mendolo, Sanggar Seni Puspita Sari, dan Sanggar Seni Chandra Laras yang sudah ikut meramaikan acara ini.

Tuesday, October 29, 2024

Wana-tani Desa Mendolo, Habitat Satwa langka Kukang Jawa

 

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus). foto  M.Yoga Saputra

Perkenalkan saya Muhammad Yoga Saputra, saya mahasiswa program studi Pengelolaan Hutan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saya bersama Ratna Dwi Setyowati melalui program beasiswa SwaraOwa tahun 2024 mendapat kesempatan penelitian untuk skripsi tentang Kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Kukang jawa merupakan satu dari tujuh jenis kukang yang hidup dan tersebar di Indonesia. Berdasarkan International Union of Conservation of Nature Resources (IUCN) Red List 2021, kukang jawa termasuk ke dalam kategori kritis atau critical endangered dan juga masuk ke dalam Appendix 1 oleh Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Kami mengamati populasi, persebaran, dan habitat kukang jawa di Hutan Mendolo, Lebakbarang, Pekalongan. Hutan Mendolo terletak di 4 dusun yaitu Sawahan, Mendolo Kulon, Mendolo Wetan, dan Krandegan. Pengamatan lapangan telah dilakukan pada minggu kedua-keempat bulan September 2024. Pengamatan kami tidak sendiri, kami ditemani oleh Paguyuban Petani Muda (PPM) Desa Mendolo yang senantiasa mendampingi kami dalam pengambilan data. Selama pengamatan, kami mendapati sebanyak 8 individu kukang jawa yang ada di Hutan Mendolo. Dalam keempat dusun yang ada di Desa Mendolo hanya Dusun Mendolo Wetan yang tidak ditemukan spesies kukang jawa. Pengamatan kami dimulai pada jam 19.30 – 24.00. Kami mengambil pengamatan malam dikarenakan kukang jawa merupakan hewan nokturnal dan ketika terkena senter maka mata dari kukang jawa mengeluarkan pancaran mata yang memudahkan mendapat keberadaan kukang jawa dibanding pengamatan siang hari. Kami menggunakan metode line transect atau transek garis, yang mana penempatan transek tersebut ditempatkan pada daerah yang diyakini terdapat keberadaan kukang jawa. Pada saat pengamatan di malam hari juga, kami mendapatkan beberapa spesies di Hutan Mendolo seperti Trenggiling sunda (Manis javanica), Rek-rekan (Presbytis fredericae), Babi celeng (Sus scrofa), Takur tulung-tumpuk (Megalaima javensis), Celepuk jawa (Otus angelinae), dan Kubung sunda (Galeopterus variegatus). Selain itu, pada pengamatan siang juga mendapati berbagai jenis spesies seperti Owa jawa (Hylobates moloch), Elang bido (Spilornis cheela), Elang hitam (Ictinaetus malaiensis), Cekakak batu (Lacedo pulchella) dan Lutung jawa (Trachypithecus auratus).

individu kukang di Mendolo. foto  M.Yoga Saputra

Kukang jawa adalah  hewan semi soliter . Hal tersebut dapat dilihat pada pengamatan kami yang hampir seluruh individu kukang jawa ditemukan hanya sendiri. Akan tetapi, ada salah satu kukang jawa tersebut ditemukan bersama anaknya. Pengamatan malam hari perlu ketelitian dan kesabaran karena terkadang kami salah mengidentifikasi ketika ada pancaran mata di pohon itu bahwa terdapat kukang jawa.  Akan tetapi, pada saat dilihat secara seksama pancaran mata itu bisa berasal dari luwak, bajing, tupai, maupun dari kubung sunda. Selain mengambil data populasi dan sebaran kami juga mengambil data habitat kukang jawa di Hutan Mendolo.

Pengambilan data habitat tersebut dilakukan pada siang hari dengan membuat beberapa plot untuk mengindentifikasi habitat kukang jawa di Hutan Mendolo. Habitat kukang jawa di Hutan Mendolo umumnya ditemukan pada tegakan kopi dan durian. Selain itu, kukang jawa dapat ditemukan pada pohon nangka dan pohon mengandung getah, dikarenakan makanan favorit kukang jawa merupakan getah yang dihasilkan dari ranting, batang, bunga, maupun dari daun. Seperti halnya pada tegakan kopi, kami melihat ranting daun kopi yang muda sering dimakan oleh kukang jawa tersebut.

Saturday, October 12, 2024

Lomba kamera jebak : inventarisasi keanekargamanhayati Desa Mendolo

 Oleh : Kurnia Ahmaddin

hadiah lomba, seekor kambing

Hutan pegunungan Pekalongan merupakan salah satu kantung biodiversitas yang terisa di Pulau Jawa bagian tengah. Namun, perubahan fungsi lahan dan fragmentasi hutan masih mengancam kelestarian satwa yang hidup di dalamnya (Setiawan et al, 2012). Survei terakhir mengenai fragmentasi hutan di kawasan ini, menunjukkan adanya potensi penurunan struktur blok utama hutan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Widyastuti et al, 2023). Untuk menekan laju kerusakan habitat ini, edukasi dan monitoring satwa liar pada tingkat komunitas  masyarakat di sekitar blok hutan diperlukan (Horwich & Lyon, 2007).

Kami bekerjasama dengan PPM Mendolo, sebagai salah satu komunitas lokal di Kawasan ini berinisiatif untuk mengajak warga desa Mendolo dalam mengenal dan memonitoring satwa liar yang ada di desa mereka. Lebih lanjut kami mengemas kedua tujuan tersebut dalam bentuk kompetisi keanekaragaman hayati untuk mendorong warga sekitar hutan mendokumentasikan dan mengenali satwa liar. Lomba ini diikuti oleh perwakilan masyarakat dari tiap-tiap dukuh di Desa Mendolo untuk memasang kamera jebak (camera trap). Kegiatan lomba dilaksanakan sejak 8 Agustus hingga 18 September 2024 dengan total 25 hari pemasangan. Pada akhir rangkaian acara lomba, kami  memberikan hewan ternak sebagai apresiasi partisipasi kepada seluruh peserta.

monyet ekor panjang

Sebagai langkah awal dalam memperluas kepedulian satwa liar kepada masyarakat luas kegiatan ini mendapatkan antusian yang cukup besar dari masyarakat. Dalam jangka waktu 25 hari tercatat 16 titik  kamera jebak yang dipasang secara mandiri oleh 11 orang dari perwakilan seluruh dukuh. Kami telah membekali peserta pada awal pelaksanaan lomba mengenai cara pemasangan dan penggunaan kamera jebak serta aplikasi ‘kobotoolbox’ untuk mencatat informasi spasial. Penghitungan poin kami tetapkan dengan poin harian dari perolehan gambar satwa. Sedangkan  besar nilai satwa yang diperoleh kami membuat rangking jenis satwa berdasarkan pada tingkat kesulitan perjumpaan satwa tersebut. Semakin sulit perjumpaan dengan satwa maka poin yang diperoleh akan semakin besar.

Kijang

Hasil perolehan gambar satwa liar yang tertangkap kamera trap juga menarik mereka mampu merekam Rekrekan (Presbytis fredericae), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa), Pelanduk kancil (Tragulus kanchil), Landak Jawa (Hystrix javanica), Garangan Jawa (Urva javanica), 2 jenis bajing, 1 jenis tupai dan 1 jenis tikus. Dukuh yang berhak menyandang juara ke-1 adalah dukuh Sawahan dan Mendolo Kulon karena perolehan poin kedua dukuh tersebut sama. Sedangkan juara ke-2 adalah dukuh Mendolo Kulon dan Kradegan sebagai juara ke-3. Apresiasi untuk juara 1 kami memberikan 1 ekor kambing untuk masing-masing dukuh. Kami juga memberikan 2 pasang mentok untuk dukuh Mendolo Kulon dan 6 pasang ayam kampung untuk dukuh kradegan.   

Kancil



pemasangan kamera jebak

Menutup acara lomba kami melakukan evaluasi pemasangan kamera dan melihat perolehan hasil gambar bersama di kantor desa Mendolo. Acara dibuka oleh ketua PPM Mendolo selaku perwakilan penyelenggara dilanjutkan sambutan oleh bapak Kaliri selaku kepala Desa Mendolo. Sebagai penutup kami melakukan sedikit diskusi mengenai fungsi satwa liar di alam dan dilanjutkan dengan pembagian hadiah lomba. Rangkaian acara ini dapat terselenggara dengan baik dengan inisiatif dari komunitas lokal dan dukungan dari pemerintah desa. Dari langkah kecil ini besar harapan kami agar desa Mendolo menjadi salah satu desa ramah satwa liar di Indonesia, dengan mengenali keanekaraman hayati di sekitar desa, menginventarisasi berarti juga melindungi potensi aset atau kekayaan desa itu sendiri.

 Daftar pustaka

Setiawan, A., Nugroho, T. S., Wibisono, Y., Ikawati, V., & Sugardjito, J. (2012). Population density and distribution of javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas, 13(1), 23–27.https://doi.org/10.13057/biodiv/d130105

Widyastuti, Salmah., Farajallah, Dyah P., Lilik, B. P., Iskandar, Entang. 2023. The Javan Gibbon (Hylobates moloch) Habitat Changes and Fragmentation in the Dieng Mountains, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 29(2), 150-160, August 2023

Horwich, Robert H and Lyon, Jonathan. 2007. Community conservation: practitioners’ answer to critics. FFI: Oryx, 41(3), 376–385



Monday, August 12, 2024

Mereguk Manisnya Budidaya Lebah di Desa penyangga habitat Owa Jawa

 

Rohim menunjukkan hasil panen madunya

oleh : Sidiq Harjanto

Datangnya musim kemarau pada pertengahan tahun 2024 membawa berkah bagi para peternak lebah klanceng di Desa Mendolo, Pekalongan. Semenjak bergulirnya program “Beekeeping for Gibbon Conservation” pada 2017, Swaraowa terus membersamai para peternak lebah klanceng untuk semakin mengoptimalkan manfaat lebah mungil nirsengat tersebut. Budidaya lebah menjadi tawaran alternatif ekonomi lestari bagi masyarakat di sekitar habitat owa jawa.

Adalah Tarjuki, sebagai perintis budidaya klanceng di desa Mendolo, pada bulan Juli lalu telah memanen belasan botol berkapasitas 450 ml. Senyum ceria menghias wajahnya saat berbagi cerita kepada kami. Madu sebanyak itu dipanen dari kotak-kotak klanceng yang ia taruh di beberapa lokasi kebunnya di Dusun Mendolo Wetan. Ia optimistis panenan tahun ini akan meningkat dibandingkan dengan panenan tahun lalu.

Kegiatan ibu-ibu di Kebun Brayan Urip


Senada dengan Tarjuki, Yukni Buhan seorang peternak lainnya juga memprediksi hasil panenan yang lebih melimpah musim ini.  Pemuda yang tinggal di Dusun Sawahan ini kini mengelola 9 kotak klanceng dari jenis Heterotrigona itama dan sekira 40 kotak Tetragonula laeviceps. “Koloni pertama yang saya pelihara ini didapat dari memasang perangkap pakai kotak kosong,” kenangnya sembari menunjukkan kotak kayu dengan lubang kecil yang dijejali lebah-lebah mungil hilir mudik keluar-masuk.

Ia pun telah memanen madu dari koloni-koloni itama-nya. Rata-rata satu kotak menghasilkan seliter madu. Sementara kotak-kotak laeviceps, jenis klanceng yang ukuran tubuhnya lebih kecil, akan dipanennya saat musim bunga durian, dua atau tiga bulan ke depan. Menurut pengalamannya, puncak-puncak musim madu itu saat musim bunga kayu babi (Crypteronia sp.), lalu bunga durian, dan terakhir saat musim bunga kayu sapi (Pometia pinnata) yaitu saat musim hujan tiba.

Yukni sedang panden madu
Yukni berencana untuk terus menambah kotak-kotak lebah kalnacengnya dengan teknik pemecahan koloni (splitting) dan pemasangan perangkap. Ditanya tentang kesiapan daya dukung lingkungan di lokasi budidaya, Yukni bertekad untuk terus menanam aneka tanaman yang mampu memperkaya ketersediaan pakan bagi lebah, termasuk kayu-kayu hutan.

Para peternak tidak hanya mendapatkan kemudahan pemanenan madu yang diperoleh dari usaha budidaya. Nusri Nurdin, peternak yang juga berprofesi sebagai pemanen madu lebah liar mendapatkan berkah lain. Selain memanen madu lebah hutan Apis dorsata, ia juga memanen madu klanceng liar sebagai sampingan. Di kalangan pemanen madu liar di Mendolo, pria yang akrab disapa Udin ini adalah salah satu yang paling pemberani. Ia tak ragu memanjat pohon-pohon tinggi yang dianggap ekstrem oleh kawan-kawan seprofesinya.

Bapak dua anak itu menuturkan bahwa semenjak maraknya budidaya yang dijalankan warga Mendolo, ia semakin mudah mendapatkan koloni lebah klanceng liar. Ia menduga seiring terus bertambahnya koloni yang dipelihara membuat populasi lebah klanceng di alam juga semakin terjaga. “Saya sudah panen tujuh koloni klanceng pada musim ini. Semuanya kini telah di pindahkan ke dalam kotak,” katanya.

Pendampingan Swaraowa untuk kegiatan budidaya lebah
Tujuh tahun yang lalu, kondisinya sangat berbeda. Kala itu, para pemanen lebah klanceng liar masih melakukan pemanenan yang tidak berkelanjutan. Mereka membongkar sarang untuk mengambil madu lalu meninggalkannya begitu saja sehingga koloni musnah. Tak terhitung berapa banyak koloni lebah yang hilang. Tentu saja, kita juga kehilangan manfaat para lebah sebagai serangga penyerbuk.

Melalui serangkaian program pelatihan, para pemanen madu klanceng liar diarahkan untuk menyelamatkan koloni lebah liar yang dipanen dari alam. Koloni-koloni dipindahkan ke dalam kotak untuk dibudidayakan. Cara-cara berkelanjutan juga diperkenalkan, seperti teknik pemecahan koloni, pencangkokan, dan pemasangan kotak perangkap.

Pembibitan kayu sapi, salah satu sumber bunga untuk lebah
Kini, tak kurang 25 orang warga Mendolo telah menjalankan usaha budidaya lebah klanceng dan menikmati manisnya usaha yang ramah lingkungan ini. Jumlah koloni yang dipelihara masing-masing peternak bervariasi. Namun, rata-rata tak kurang dari 5 kotak. Sebagian bahkan sudah lebih dari 20 kotak.

Jika para bapak dan pemuda cenderung membudidaya untuk memproduksi madu, hal berbeda dilakukan kelompok perempuan di Dusun Sawahan. Mereka yang menamakan diri “Kelompok Brayan Urip” ini memelihara lebah untuk mengoptimalkan jasa penyerbukan. Di sebidang tanah yang ditanami aneka sayur mayur, kotak-kotak klanceng dari jenis Tetragonula laeviceps ditempatkan.

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa spesies klanceng berukuran kecil ini efektif membantu penyerbukan tanaman sayur seperti cabai. “Untuk tanaman cabai yang tanpa dipupuk dan tanpa perawatan intensif, hasilnya lumayan,” terang Sri Windriyah yang dipercayai sebagai ketua kelompok. Hasil panen dari kebun kolektif itu dijual dengan harga murah ke anggota untuk kebutuhan rumah tangga masing-masing. Keuntungannya disisihkan sebagai uang simpanan kelompok.

Bersebelahan dengan kebun sayur yang dikelola Kelompok Brayan Urip, sebuah persemaian sederhana tampak dijejali ratusan polybag berisi bibit aneka jenis tanaman. Kesadaran bahwa budidaya lebah membutuhkan lingkungan yang mendukung, terutama keberadaan hutan, mendorong komunitas peternak lebah untuk melakukan gerakan menanam. Untuk itulah persemaian ini dibuat, sebagai penyuplai kebutuhan bibit.

Rohim selaku penanggungjawab pembibitan di Sawahan menuturkan bahwa tahun ini persemaian yang dikelolanya akan menyediakan setidaknya 700 batang bibit kayu hutan seperti kayu sapi (Pometia pinnata), kayu babi (Crypteronia sp), klepu, manggis, dan salam. Ratusan batang bibit itu disiapkan untuk ditanam saat musim penghujan nanti.

“Tahun kemarin, dua ratusan batang bibit tanaman pucung telah tertanam di sepanjang alur-alur sungai di Dusun Sawahan ini,” kata Rohim. Penanaman dua ratusan bibit tanaman pucung (Pangium edule) itu dilakukan secara partisipatif. Sekira 20 orang petani menyediakan lahannya untuk ditanami. Warga semakin termotivasi untuk giat menanam setelah merasakan kekurangan air dampak fenomena el-nino tahun kemarin.

 Bagi Swaraowa, keterlibatan dalam kolaborasi program penanaman ini merupakan bentuk upaya untuk meningkatkan kualitas habitat bagi primata maupun hidupan liar lainnya. Desa Mendolo sendiri merupakan habitat bagi lima jenis primata jawa: owa jawa, lutung jawa, rekrekan, monyet ekor panjang, dan kukang jawa. Format konservasi dengan membuka ruang bagi masyarakat sebagai subjek utama telah dimulai dari desa ini.