Thursday, April 27, 2017

Pelatihan Monitoring Owa Jawa di Gunung Papandayan


Tgl 17-20 April atas nama SwaraOwa Proyek Kopi dan Konservasi Primata, mendapat kesempatan untuk melihat langsung habitat Owa di bagian barat pulau Jawa. Berlokasi di Gunung Papandayan Garut. Acara yang di gagas oleh Javan Gibbon Center (JGC) dan Conservation International Indonesia ini bertujuan memperkenalkan metode survey and monitoring untuk Owa Jawa. Peserta yang di undang adalah staff BKSDA, Perhutani Jawa Barat, Lembaga Swadaya Masyarakat sekitar Jawa Barat, Mahasiswa dan Pegiat konservasi alam di sekitar Gunung Papandayan.

Acara mencakup teori di kelas tentang teknik dasar survey menggunakan line transek dan metode tidak langsung untuk owa menggunakan Vocal count-triangulasi. Berlokasi di sari papandayan resort untuk materi kelasnya dan untuk praktek kita menuju blok hutan di lereng selatan Papandayan. Meskipun acara lapangan tidak bertemu langsung dengan Owa jawa, acara ini menjadi kegiatan berbagi pengalaman dan  pengetahuan teknis untuk pengambilan data dan analisis data untuk hasil monitoring/survey.


Berikut foto-foto dari lapangan :
mencoba merekam panggilan suara Owa

habitat Owa di blok Tumaritis Papandayan

praktek pengambilan data populasi

Thursday, April 13, 2017

Lebah pembawa berkah

di tulis oleh :
Sidiq Harjanto
sidiqharjanto@gmail.com

Hampir semua orang pernah mencicipi manisnya madu, cairan kental berwarna keemasan atau terkadang warna lain seperti putih atau hitam. Madu diproduksi oleh lebah. Namun tidak semua lebah menghasilkan madu, dan tidak banyak jenis lebah yang menghasilkan madu dalam jumlah yang layak untuk dipanen oleh manusia. Faktanya, madu yang beredar di pasaran dan bisa kita nikmati sehari-hari berasal dari beberapa jenis lebah marga Apis, dan sebagian kecil dihasilkan lebah tak bersengat (meliponin). Di Indonesia, madu umumnya berasal dari lebah hutan (Apis dorsata), dan lebah ternak (Apis mellifera). Lebah hutan (A. dorsata) membangun sarang terbuka, menggantung pada dahan pohon-pohon tinggi atau terkadang di tebing. Jenis ini cenderung membutuhkan habitat berupa hutan yang masih baik. Lebah ini juga dikenal agresif, akan menyerang pengganggu dengan cara memberikan sengatan menyakitkan secara berkelompok. Pada beberapa kasus, dampak serangan dorsata bisa fatal. Karena perilaku hidup seperti itu, maka lupakan untuk membudidayakan jenis ini. Hanya para pemburu yang terlatih yang mampu memanen madunya dari alam. Sebenarnya ada satu lagi jenis lebah yang menghasilkan madu dengan kualitas sangat baik, dan dapat dibudidaya, dialah Apis cerana. Namun cukup sulit menemukan produk madu lebah jenis ini di pasaran.
 
Koloni lebah Apis cerana
 Lebah Apis cerana adalah sepupu dari lebah ternak Apis mellifera. Secara umum kedua jenis memiliki banyak kemiripan; baik dari morfologi tubuh, maupun perilakunya. Yang sangat membedakan kedua jenis ini adalah distribusi alaminya. Lebah A. cerana menghuni kawasan Asia, paling barat lebah ini ditemukan di suatu tempat di Iran, paling timur di kawasan tengah Indonesia, paling utara di Cina, dan paling selatan masih di Indonesia. Karena sebaran alami lebah jenis ini di Asia, maka biasa disebut sebagai lebah madu asia (Asiatic/eastern honey bee). Sedangkan sebaran alami A. mellifera adalah di Eropa dan Afrika, ke timur hanya sampai Asia barat. Lebah jenis ini biasa disebut sebagai lebah madu eropa (European/western honey bee). Uniknya kedua jenis lebah ini hanya terpisahkan oleh sabuk gurun berjarak ratusan kilometer di Iran. Campur tangan manusia menjadikan jenis-jenis lebah dapat dijumpai di luar sebaran alaminya. Jenis A. melifera kini dapat dijumpai di semua benua kecuali Antartika. Jenis ini paling banyak dibudidaya dan merupakan penyuplai utama madu di dunia, karena produktivitasnya yang tinggi.
A.cerana

Lebah madu asia (A. cerana) merupakan jenis lebah asli Indonesia, berdampingan dengan berbagai jenis Apis lainnya meliputi A. andreniformis, A. dorsata, A. koschevnikovi, dan A. nigrocincta. Dapat dikatakan negeri kita memiliki kekayaan jenis Apis terbanyak di dunia. Meskipun demikian, di kalangan peternak lebah Indonesia, lebah lokal kurang dikelola dengan baik karena produksi madunya yang kalah dengan jenis A. mellifera yang dijuluki lebah unggul. Sebagian besar peternakan lebah besar di Indonesia menggunakan jenis lebah introduksi sebagai penghasil madu maupun produk lebah lainnya seperti bee pollen, propolis, dan royal jelly. Jauh sebelum lebah eropa didatangkan, masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan pemeliharaan lebah lokal secara tradisional. Saat ini, lebah lokal masih dipelihara dalam skala kecil oleh masyarakat di pedesaan terutama yang berdekatan dengan hutan. Berbeda dengan lebah unggul yang dipelihara dalam peti-peti yang didesain khusus untuk produksi, dan dengan sistem penggembalaan mengikuti ketersediaan sumber pakan; lebah lokal umumnya masih dipelihara dalam gelodok (batang kayu yang bagian dalamnya berongga) atau dalam peti sederhana, dan tidak digembala.
Budidaya lebah hutan 
Dewasa ini, dunia perlebahan sedang mengalami berbagai permasalahan global. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah hilangnya sebagian koloni lebah secara misterius. Fenomena ini dikenal sebagai colony collapse disorder (CCD). Kehilangan koloni lebah telah menjadi momok serius bagi peternakan lebah di Eropa dan Amerika. Hilangnya ribuan koloni lebah tiap tahun bukan saja mengancam persediaan madu dunia, namun juga mengancam produksi berbagai jenis komoditas pertanian. Hal ini karena lebah terbukti merupakan agen pembantu penyerbukan berbagai jenis tanaman. Dunia bahkan mempercayai bahwa ada peran lebah pada satu di antara tiga jenis makanan yang kita gigit sehari-hari. Selain berupaya untuk mengatasi CCD, dunia kini mencari alternatif jenis-jenis lebah selain mellifera untuk dibudidayakan, baik sebagai penghasil madu maupun agen penyerbuk bunga. Tak heran jika geliat pengembangan peternakan lebah non-mellifera kini mulai terasa. India dengan pengembangan Apis cerana-nya. Negara-negara di kawasan Amerika latin, Afrika, dan negara tetangga kita - Australia juga melaju cepat dalam mengembangkan lebah meliponin (stingless bee).

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan adanya ancaman CCD dan berbagai hama musuh lebah eropa seperti Varroa dan Nosema; maka negara kita yang kaya akan jenis lebah perlu berbenah. Kita memiliki Apis cerana dan jenis-jenis lebah potensial lainnya yang kiranya layak untuk dikembangkan sebagai pengasil madu khususnya untuk mendukung kebutuhan nasional yang saat ini masih defisit. Berhadapan dengan parasit seperti Varroa, jenis lebah native yang kita miliki jauh lebih tangguh. Terlebih, jenis lebah lokal tentunya lebih cocok dengan kondisi alam di Indonesia. Diperlukan komitmen untuk pengembangan teknik pemeliharaan jenis lebah lokal, mulai dari desain peti lebah, teknik perbanyakan koloni, teknik pemanenan produk, hingga manajemen hama-penyakit. Perlu disadari pula bahwa pengembangan perlebahan seringkali berhadapan dengan permasalahan umum seperti penggunaan pestisida. Dengan begitu, kegiatan perlebahan sangat perlu didukung dengan konsep pertanian yang ramah lingkungan.
Penyerbukan bunga kopi Robusta oleh lebah

SwaraOwa, melalui kegiatan "Kopi dan Konservasi Primata" berupaya untuk memberikan kontribusi kecil bagi pengembangan perlebahan bersama masyarakat sekitar hutan di Kecamatan Petungkriyono, Kab. Pekalongan.  kegiatan pelestarian Owa jawa yang menjadi awal progam, telah dan sedang berkembang dengan hal baru yang sebenarnya juga sangat terkait dengan kelestarian hutan dan kegiatan ekonomi lokal yang bersumber dari sumbedaya hutan. Ternak lebah merupakan salah satu kegiatan ekonomi terbaik bagi masyarakat di sekitar hutan. Di satu sisi kegiatan ekonomi ini tidak membutuhkan modal yang besar, dan tidak terbatas kepemilikan lahan. Di sisi lain dengan terpeliharanya populasi lebah, maka peran mereka dalam membantu penyerbukan sebagian besar tanaman hutan akan terus terjaga. Hutanpun akan terus lestari. Masyarakat di Petungkriyono sendiri telah memiliki pengalaman cukup panjang dalam pemeliharaan lebah lokal Apis cerana. Mereka membuat gelodok dari batang tanaman paku tiang, atau peti papan dengan desain yang sederhana.

Apa yang dapat kami lakukan saat ini adalah mendorong masyarakat untuk membangkitkan kembali semangat memelihara lebah lokal, mengembangkan teknik pemeliharaan yang ‘modern’, dan tentu saja membangun pasar yang mau memberikan apresiasi terhadap produk yang dihasilkan lebah lokal. Kami meyakini bahwa dengan pengelolaan yang tepat, maka lebah lokal akan mampu ‘memberikan perlawanan’ terhadap lebah import dalam hal produktivitas madu maupun produk-produk lebah lainnya. Dan yang lebih penting lagi, peran penting lebah lokal bagi kelestarian hutan selama ribuan tahun atau bahkan jauh lebih lama lagi, akan tetap terjaga.