Saturday, December 24, 2022

Owa jawa : Mempererat jejaring konservasi tingkat dunia


Bulan November-Desember 2022 SwaraOwa mendapat kunjugan pihak-pihak yang selama ini mendukung penuh pengembangan program konservasi Owa jawa di Jawa Tengah khususnya Kabupaten Pekalongan.

Perwakilan Mandai Nature dari Singapore, berkunjung ke habitat Owa tanggal 18- 22 November 2022, Mandai Nature adalah nama baru dari Lembaga yang sebelumnya membantu swaraowa yaitu Wildlife reserve Singapore yang mendukung program swaraowa sejak tahun 2014, melalui proyek Kopi dan Konservasi Primata.  Tahun 2022 ini swaraowa juga berkolaborasi dengan Chance for Nature dari Jerman yang juga mendukung program-program yang telah berjalan melalui proyek kopi owa dan memberikan input baru untuk monitoring owa jawa dan menjadi pemateri tamu di acara tahunan pelatihan metode survey primata tanggal 12-15 Desember 2022.

menikmati kopi di swaraowa headquarter bersama tim Mandai Nature


Tamu tamu istimewa dari kedua lembaga tersebut berkunjung melihat langsung program yang telah di kembangkan selama ini. Di rumah produksi owa coffee di Yogyakarta, yang menjadi headquartered organisasi tim kopi owa mengenalkan komodities yang di produksi melalui proyek, terutama kopi yang telah di kirim ke Singapura setiap tahun sejak tahun 2016. Mengengalkan tim dan mengenalkan karkter kopi dari beberapa lokasi sekaligus mendiskripsikan rasa dari masing-masing kopi tersebut menjadi kegiatan utama di Yogyakarta.

Darmawan dari ds. Tembelan memjelaskan tentang Lebah madu ( Apis cerana)
 kepada tim Mandai Nature



Tim Mandai Nature dirumah Bp Kepala Desa Tlogohendro


Beralih ke lapangan, di Sokokembang kami menginap di field station swaraowa, yang telah di bangun dan disiapkan untuk mendukung kegiatan lapangan, ditempat ini dapat melihat langsung tempat produksi kopi owa robusta alas, yang di kelola bersama dengan warga.  Produksi gula aren juga sebagian dapat disaksikan lansung di field station swaraowa.

Mengamati primata yang ada di sokokembang sudah tentu menjadi istimewa, karena primata-primata inilah yang menghubungkan swaraowa dan mereka selama ini. Semua primata yang ada diwilayah ini dapat di jumpai lansung, lutung jawa, Owa, Rekrekan dan Monyet ekor panjang semuanya dapat dijumpai langsung oleh tamu-tamu istimewa ini tanpa harus jalan masuk ke hutan melainan pengamatan di sepanjang jalan dari Kroyakan hingga Sokokembang.

tim Mandai Nature melihat lokasi budidaya lebah di desa Mendolo

Christian dari Chance for Nature bersama perangkat Desa Mendolo

Dirk Meyer dari Chance for Nature bersama peserta MSP2022


Berinteraksi langsung dengan orang-orang  dari Petungkriyono dan Lebakbarang yang selama ini terlibat langsung dalam pengembangan kegiatan komoditas hutan dan konservasi. Berkunjung ke Tlogohendro melihat produksi kopi Arabica dan lokasi pembibitan, dan juga melihat budidaya lebah di desa Kayupuring Setipis, dimana pengembangan lebah asli ( Apis cerana) dikembangkan untuk madu lebah yang bernilai ekonomi.

Di Desa Mendolo, bertemu dengan perangkat desa dan melihat kegiatan budidaya lebah klaceng yang sudah sejak tahun 2017 di kembang dan didukung dengan pendanaan dari Mandai Nature.

Kunjungan-kunjungan mitra pendukung ini juga selain memperkuat komunikasi antara swaraowa dan pihak sponsor, juga menambah rasa percaya diri dan bangga terhadap apa yang dimiliki oleh  warga sekitar hutan bahwa apa yang dilakukan selama ini juga diapresiasi oleh orang-orang  dari luar negri. Terlebih lagi kunjunga ini juga setidaknya akan memperkuat narasi konservasi yang selama ini dibangun, mengamplifikasi kegiatan-kegiatan dari habitat asli primata Indonesia, ke dunia luar.

 

Wednesday, December 7, 2022

Symposium Primata Asia ke-8, laporan dari Vietnam

Oleh : Arif Setiawan

Setelah pandemic covid19, inilah konfrence  international pertama untuk yang terkait primata-primata di Asia. Symsposium Asian primate ini untuk ke 8 kallinya di adakan di  fakultas Kehutanan Universitas Vietnam, Hanoi.

Pada kesempatan ini selain saya , dari tim SWARAOWA ada Aoliya yang akan presentasi di symposium ini , dan saya  juga  menjadi salah satu anggota komite scientific,mewakili Indonesia. Sebuah kebanggaan juga dapat berktontribusi untuk komunitas global dari Indonesia. Sejak bulan agustus 2022, informasi tentang symposium ini mulai disebarluaskan, termasuk melaui sosial media. Harapan nya banyak perwakilan dari Indonesia, sendiri sebagai negara di Asia  terbanyak  yang memiliki spesies primata.

Vietnam memiliki 24 jenis primata,mulai dari jenis Kukang ( Lorisiidae), jenis owa ada 6 dan semuanya dari genus nomascus yang berarti berjambul ( crested), dan dari famili Cercopitecidae monyet dan lutung (colobinae), jenis-jenis lutung di Vietnam memiliki warna yang sangat mencolok dan indah. Namun sayangnya hampir semua primata di Vietnam di 90 % dambang kepunahanan, 10 species diantaranya sudah critically endangered.

Seperti kita tahu sejarah kelam perang Vietnam dengan Jepang, Prancis , Cina dan Amerika telah membentuk kultur dan geopolitik yang mempengaruhi keanekaragaman hayati Vietnam sendiri. Vietnam adalah salah episentrum biodiversity hot spot di asia tenggara, namun juga menjadi pusat perdagangan satwaliar dunia. Pekerjaan yang tidak mudah untuk para pegiat pelestari alam di Vietnam. Dan berkunjung ke Vietnam adalah kesempatan melihat langsung situasi dilapangan bagaimana upaya-upaya pelestarian alam, khususnya primata ini dikembangkan.

Ketika pertama kali mendapat undangan ke Vietnam, tentu saja langsung menyambut hangat dan membuat rencana perjalanan untuk primate watching, meskipun kondisi di lapangan tentu akan berbeda . Cat Tien National park, menjadi target field trip sebelum acara inti symposium. Terletak di bagian selatan Vietnam, Taman Nasional ini menjadi target pengamatan kita adalah Nomascus gabrielle ( Yellow cheeked gibbon) dan Black Shanked Douc Langur ( Pygathrix nigripes). Dari bandara Ho Chi Min, perjalanan ke Cat Tien National Park kami tempuh dengan menggunakan taxi, dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam.

di depan pintu gerbang Cat Tien National Park

Yang menarik dari Cat Tien National park, mempunyai logo badak Jawa. Ya subspecies badak jawa  ( (Rhinocero sondaicus annamiticus )pernah hidup di Vietnam, dan tahun 2010 badak terakhir yang hidup di temukan mati, dibunuh oleh pemburu. Oleh pihak berwenang badak ini di temukan telah tertembak dan culanya sudah hilang, cula badak adalah salah satu bahan untuk pengobatan tradisional cina.

jalur pengamatan di Cat Tien National Park

Masuk kawasan TN, hanya membeli tiket 60,000 VND, sekitar Rp 38,000 cukup murah untuk ukuran taman nasional di Indonesia, Karena di kelilingi sungai TN Cat Tien juga merupakan wetland area, penyeberangan sungai menggunakan perahu yang stanby dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam. Untuk pengamatan owa, di TN Cat Tien ada biaya tersendiri 200,000 VND, di damping oleh staff TN dan harus menginap, karena harus berangkat pagi hari jam 4.30, dimana biasanya owa bersuara  ( morning call),  kemudian setelah mendengar arah owa bersuara, pemandu akan melokalisir lokasi dimana arah nya, dan berjalan menuju lokasi tersebut. Sangat susah untuk menemukan kelompok Owa ketika sudah hari terang, karena biasanya mereka berada di kanopi teratas dari pohon-pohon dan tidak ada lokasi spotting yang ideal untuk mengamati pohon atau kanopi yang rapat..

Namun kami, tidak memilih opsi ini, kami putuskan untuk trekking sendiri tanpa pemandu di hari pertama, dan jalan di taman nasional ini sudahsangat bagus, karena bisa di lalui mobil dan kendaraan, tapi khusus untuk wisatawan saja.


Black Shanked Douc Langur, jantan dewasa

Black Shanked Douc Langur, remaja


Macaca fascicularis


Perjumpaan primata Vietnam yang pertama kali  adalah dengan Black Shanked Douc lagur ( Pygathrix nigripes), sejenis lutung yang seukuran bekatan kalau di Indonesia, berwarna kombinasi hitam dan putih, dan bagian pahanya hitam mengkilap.  Jenis ini sudah critically endangered statusnya. Seperti lutung pada umumnya yang pemakan daun, jam-jam perjumpaan kita adalah jam istirahat, dimana lutung mecerna daun-daun yang dimakannya. Ada 2 kelompok yang kita jumpai pagi itu, dan sepertiya sudah cukup terhabituasi dengan pengunjung.

Hari ke-dua kami mencoba pengamatan lagi, kali ini menggunakan sepeda yang di sewa di kantor TN. Jalur sepeda sebenarnya cukup nyaman, tapi sepedanya kadang tidak dalam kondisi yang prima untuk dikendarai, mengingat rute yang cukup panjang hingga 9 km lebih. Pengamatan dengan naik sepeda ini juga tidak seperti jalan kaki yang bisa mendengarkan setiap pergerakan di pohon. Namun jarak yang jauh bisa melihat berbagai tipe habitat yang ada di dalam kawasan Cat Tien. 1 kelompok  Monyet ekor panjang ( Macaca fasciularis), 1 kelompok beruk ( Macaca leonina) dan 1 kelompok duc langur, berhasil kita jumpai di pengamatan hari ke-dua.

Acara Symposium

Kultur ilmuwan primata dan konservasionist di Vietnam secara umum sudah cukup maju, terlihat dari banyakknya para ahli primata dari Vietnam yang menjadi panitia acara, dan juga Lembaga-lembaga konservasi internasional, yang turut mendukung kegiatan ini. Acara pembukaan  symposium pada tanggal 14 November 2022, pagi hari waktu Hanoi berlokasi di auditorium  Vietnam university of forestry faculty di buka plenary talk oleh Cristian Roos tentang genomic Asian primates. Menyampaikan keragaman dan sejarah genetic dari jenis-jenis primata asia.

Saya sendiri mempunya jadwal presentasi di salah satu symposium bertema : “ Non human primate interaction and conflict” dengan  empat presenter lainnya, dengan judul presentasi "..." abstract semua presentasi dapat dibaca disini.

Ada satu symposium yang menarik tentang penggunaan drone thermal untuk survey dan monitoring populasi primata di Cat Tien National park, menggunakan komersial drone yang ada di pasaran, teknik pengambilannya malam hari, dengan pertimbangan pergerakan primata yang cenderung diam, dan suhu dimalam hari lebih dingin, disbanding siang hari, sehingga suhu primata dengan mudah terdeteksi lebih panas di sensor camera.

Saya juga menjadi moderator di salah satu symposium, bertema “human  non-human interaction and conflict” dengan 4 presenter.  Kebetulan sekali presentasinya berasal dari Indonesia semua. Yang pertama dari Center for Orangutan Protection, Octaviana Sawitri yang mempresentasikan kasus konflik orangutan di Kalimantan Timur, kemudian Nur Aoliya  yang mewakili swaraowa mempresentasikan Solusi dari kematian primata yang ada di Petungkriyono yang tersengat jaringan listrik. Presentasi ke tiga adalah Jochen Menner, meskipun dari Jerman namun beliau aktif di Prigen Conservation Breeding Ark,Taman Safari yang mempresentasikan perdagangan online primata Indonesia.  Dan yang terakhir adalah Indira Nurul Qomariah dari COP yang juga mempresentasikan illegal primate trade in Indonesia.

Hari Kedua, 15 November 2022, adalah field trip ke Chuc Puong National Park, yang di tempuh kuranglebih 4 jam perjalanan menggunakan bus. Di ikuti oleh semua peserta, dan ini kali ke-2 sya mengunjungi Chuc Puong National Park dan melihat lagi pusat rehabilitasi primata yang ada disini dan juga jenis-jenis satwa terancam punah lainnya. Pusat rehabilitasi primata  EPRC ( Endangered Primate Rescue Center) ini didirikan tahun 1993 dengan tujuan untuk merehabilitasi primata hasil sitaan perdaganggan illegal dan juga mendukung program pelestarian melalui captive breeding, apabila prasyarat pelepasan liar kembali ke habitatnya telah dipenuhi, akan di lepaskan kembali. Jenis-jenis Duc  dan lutung sangat attractive dan warna yang mencolok, bisa membayangkan apabila di alam habitat aslinya, yan beberapa di antaranya berada di kawasan ekstrim sepert karst. Sayangnya kondisi di alam sangat terancam karena perburuan.

Golden Headed langur di EPRC

Ada pusat rehabiltasi dan konservasi reptile, jenis kura-kura dan mamalia lain seperti trenggiling dan carnivor kecil lainnya. Semua fasilitas ini sebagian di antaranya digunakan untuk kegiatan edukasi kepada pengunjung, dimana staff dan keeper yang ada disini dapat menjelaskan kegiatan yang dilakukannya untuk menyelamatkan hidup dari satwa-satwa asli Vietnam ini. Namun seperti di awal saya ceritakan kalau Vietnam ini merupakan episentrum dari perdagangan satwa dunia, merilis satwa-satwa liar ini bisa jadi kepunahan mereka, karena akan di tangkap lagi dan dimakan atau di jual belikan.

Nomascus gabrielle

Nomascus siki

sepasang owa pipi kuning ( Nomascus gabrielle)

Ada dua jenis Owa yang saya jumpai berada di kawasan semi liar di dekat rehabilitasi, karena berada di luar kendang, terlihat seperti di habitat aslinya. Nomascus Gabriele dan Nomascus siki. Berbeda dengan owa di Indonesia, dua jenis owa berjambul ini sexual dicromatism, artinya jantan dan betina berbeda warna bulu rambut, jantan dewasa berwarna hitam dan betina orange. Waktu owa baru lahir owa lahir berwarna orange, kemudian ketika tumbuh dewasa, jantan akan berubah warna menjadi hitam dan betina tetap berwarna orange. 

Kunjungan kedua setelah Chuc Puong National Park ini adalah ke kawasan Van Long Nature Reserve, untuk primate watching di  kawasan wetland karst yang ikonik sekaligus melihat jenis lutung. Sayangnya setiba di lokasi ini hujan sangat deras dan akhirnya acara di batalkan. Sayang sekali, konon katanya inilah tempat primate watching paling  banyak di kunjungi di Vietnam sebelum pandemic. Silahkan googling sendiri foto-foto van long nature reserve ini ya. Dan sekaligus ini menjadi akhir dari kunjungan symposium di Vietnam, karena saya harus balik ke Indonesia esok paginya.

Apresiasi untuk panitia symposium, terutama Three monkeywildlife sanctuary dan mengucapkan terimakasih kepada IUCN SSA  dan Fortwayne Children's Zoo yang mendukung keberangkatan saya dan Aoliya ke Vietnam, sampai jumpa lagi di symposium Asian primate tahun 2024 yang kemungkinan akan dilaksanakan di Indonesia.

 

 



Monday, December 5, 2022

Kekah Watching : Wisata minat khusus untuk melestarikan Primata endemik Natuna

 Oleh : Arif Setiawan

Presbytis natunae- Kekah Natuna

Perjalan primate watching  bulan September 2022 menuju pulau di ujung utara nusantara, Pulau Natuna. Informasi tentang Natuna ini di awali dari expedisi ke natuna pada bulan November 2020. Kami berangkat ke Natuna, dari Pontianak, karena kebetulan ada kegiatan di Ketapang, Kalimantan Barat, kemudian ke Batam. Kurang lebih 1.45 menit penerbangan dari Batam menuju Natuna, tanggal 8 September 2022, pukul 16.20 saya menginjakkan kaki  dan menghirup udara segar bumi Natuna, sebuah pulau yang menjadi impian sejak lama untuk di kunjungi karena keberadaan jenis primata pemakan daun Kekah ( Presbytis natunae). Tujuan kami adalah Desa Mekar Jaya, di Kecamatan Bunguran Barat.  Bang Ahdiani , sudah menunggu kami, beliau adalah lokal hero, yang banyak membantu menyuarakan pelestarian primata asli natuna

Bang Ahdiani langsung mengajak kami ke salah satu lokasi istimewa yang menjadi land mark alami di Kepulauan Natuna, sejarah alam yang terbentuk dari era dinasaurus ada disini,  singkapan batuan granit dengan ukuran yang luar biasa dengan kombinasi bentang alam pantai, pemandangan yang tidak cukup diceritakan dengan kata-kata.

singkapan geologis kala jurasik di Natuna, dengan latar G.Ranai

Menurut penelitian geologi, Kepulauan Natuna terletak pada tumbukan antara kerak Samudera Hindia dan  paparan sunda  (Sundaland- dimana pada saat itu sebagian besar asia tenggara masih jadi satu daratan)  pada zaman Jurassic kira kira 200 juta tahun yang silam, yang nampak sekarang  adalah  singkapan batuan  granit  yang kokoh dan spektakuler di pantai-pantai di Pulau Natuna. Potensi geoheritage dan keanekargaman hayati yang ada didalamnya merupakan sejarah alam yang harus di lestarikan untuk ilmu pengetahuan dan warisan kekayaan alam generasi selanjutnya.

Terkait dengan Kekah Natuna ( Presbytis natunae) mari kita coba runut sejak kira-kira dari 6000  hingga 20.000 tahun yang silam, ketika sebagian besar  wilayah asia tenggara ini masih berupa daratan, bernama Sundaland .  Kemudian kalau kita melihat jaringan sungai purba saat itu, Natuna berada pada sekitaran sungai purba  Molengraff, sesuai dengan nama peneliti geologi dan penjelajah alam Gustaf Frederic Molengraff dari Belanda yang mempelajari sungai-sungai purba di dataran sudanland pada tahun 1800an. Sudah tentu kawasan ini adalah salah satu  pusat keanekargaman hayati bumi waktu itu. Perubahan iklim global dan vegetasi yang terjadi dalam ratusan kali siklus tentu membuat yang tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan menjadi mati atau punah. Bukti-bukti sejarah alam tersebut yang kini kita coba rangkai  untuk merekonstruksi peristiwa yang terjadi.

Untuk melihat perubahan daratan menjadi lautan pada saat itu dapat dilihat disini:

Sundalan dan perode glasiasinya

https://atlantisjavasea.files.wordpress.com/2015/09/sundaland-in-the-last-glacial-period.gif

Ketika itulah diperkirakan ketika jaman dinosourus punah mamalia termasuk jenis-jenis monyet pemakan daun seperti Kekah menyebar dari daratan utama benua Asia  hingga menghuni dataran luas Sundaland. Hingga ke jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Proses naik turunnya muka airlaut di kawasan ini diperkirakan terjadi dalam waktu berulang-ulang , merubah vegetasi dan iklim dari hutan dan padang rumput juga dalam periode waktu hingga 2 juta tahun. Speciasi atau penyesuaian dengan kondisi lingkungan yang ada, evolusi membentuk ciri khas berbeda dari masing-masing jenis-jenis primata khususnya Presbytis di kawasan sunda yang sudah terpisah-pisah menjadi Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Perbedaan  ciri-ciri morfologi dari warna rambut, ukuran tubuh, tengkorak dan suara, hingga saat ini yang digunakan sebagai dasar penentuan taxonomi kekah, dengan jenis Presbytis lainnya di pulau lainnya, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil sekitarnya seperti Bintan, Singapura, dan semenanjung Malaysia.

Mantau Kekah, inisiasi dari Mekarjaya, Bunguran Barat Natuna


Melihatnya langsung hidup di habitat alam, “lifer” menjadi sebuah prestis tersendiri untuk pengamat primata, dan Kekah pada hari itu adalah lifer bagi saya. Melihat pertama kali di habitat kebun karet campur yang dekat dengan kawasan rawa mangrove. Pada jarak kurang lebih 65 meter. Terlihat jelas warna hitam tegas di kepala membentuk seperti mahkota, puggung hitam sampai di bagian tangan dan kaki,  sementara warna rambut putih bersih di bagian dada dan samping dada hinggak ke perut  bagian dalam dan paha bagian bawah , dan lingkar mata putihnya dan bagian hidung dan mulut , terlihat seperti memakai kacamata dan masker.

Kami berjalan menyusuri tepi desa, jalan yang sudah diperkeras, mempermudah pengamatan dan sepertinya Kekah di Mekar jaya aini sudah relatif terhabituasi, artinya tidak terlalu takut dengan keberadaan manusia. Kelompok pertama yang kita jumpai ada sekitar 3 individu. Beberapa meter kemudian kami menjumpai lagi, masih di kebun campur karet dan pohon kayu alam.



Landscape hutan di Natuna









Dalam satu hari itu kami terus menyusuri kebun hutan di sekitar Mekar jaya, melihat landscape yang lebih luas kondisi habitat dan perjumpaan-perjumpaan dengan kekah selanjutnya semakin mudah dan dekat. Biji pohon karet ternyata menjadi kesukaan kekah di Mekarjaya.

Pada pertemuan kongres primata di Equador tahun lalu, Kekah Natuna ini masuk dalam salah satu yang di pertimbangkan dalam 25 primata paling terancam punah di dunia, karena tidak ada informasi update apapun dari sejak pertama kali specimen ditemukan 86 tahun lalu, hanya ada 3 penelitian tentang Kekah Natuna,(bacalaporan lengkapnya di sini). Baru-baru ini ada satu publikasi  penelitian terbaru untuk Kekah di Mekarjaya  yang menyebutkan estimasi Kekah di 3 tipe habitat di sekitar dusun dengan luasan 1.236, 17 ha ini ada sekitar 928,2 individu Kekah. Penelitian ini dapat di baca selengkapnya disini : https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfkh/article/view/52427

 Kami juga melakukan pengamatan malam di Mekarjaya, dan sangat senang melihat Kubung (Galeopterus variegatus) dapat dengan mudah di jumpai. Target kami Kukang sayangnya dalam 2 malam tidak beruntung menemukannya. Yang sangat berkesan di mekarjaya ini adalah masakan lautnya, dan bang Ahdiani Mengajak kami berperahu melihat pulau-pulau kecil disekitar Mekarjaya. Melihat lokasi sea-ranch, pembiakan ikan napoleon di pulau Sedanau merupakan salah satu komoditas ekonomi utama yang sudah di ekspor dari Natuna, dan menikmati sajian kuliner khas natuna kepiting lada hitam.

Sajian kuliner natuna di sela sela kegiatan Kekah watching









Kegiatan Kekah Watching , mantau kekah  merupakan salah satu turunan dari produk penelitian primata, dengan keterbatasan untuk melakukan penelitian yang lebih jauh lagi tentang Kekah Natuna, menyelamatkan specimen hidup di habitat aslinya, merupakan langkah yang nyata. Pengamatan kekah dapat mendorong munculnya kesadaran nilai penting keanekaragaman hayati untuk mempertahankannya di antara gelombang pembangunan infrastruktur dan aktifitas manusia. Pengamatan kekah sudah tentu akan mendorong juga kegiatan ekonomi lokal, kebutuhan penginapan sajian kuliner dan pemandu pengamatan memanfaatkan dan bekerjasama sumberdaya yang ada di sekitar. Untuk jenis-jenis yang tidak banyak orang tahu seperti kekah, kunjungan kunjungan seperti ini akan memotivasi warga sekitar untuk lebih menghargai dan merasa memiliki keberadaan primata. Menguatkan mereka melakukan kegiatan yang meskipun kecil dan sederhana tapi berarti besar buat kelestarian Kekah.

Kekah di balik batang pohon karet

Anak kekah yang masih bayi berwarna putih

Pengamatan kekah juga mendorong peranserta masyarakat umum ( citizen science) dalam ilmu pengetahuan, primate life-listing kegiatan pengamatan dapat digunakan untuk informasi  sebagai dasar dalam pengelolaan populasi  dan habitat Kekah. Harapannya nilai tambah keberadaan kekah di Natuna dapat di optimalkan dalam berbagai hal termasuk ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kekah natuna, dapat menjadi identitas yang dapat di gunakan secara global.  Kegiatan mengamati Kekah, dapat menjadi pilihan wisata minat khusus di Natuna, diantara pilihan-pilihan wisata yang sudah ada dan berkembang saat ini. Tidak menangkap, tidak memelihara dan tidak mengganggu Kekah dan menjaga habitatnya tetap ada, dapat dilakukan oleh siapa saja secara partisipatif dengan peran di bidang masing-masing.

Mengapa repot-repot mengamati primata? Pertama  kegiatan ini menyenangkan dan menawarkan pengalaman yang berbeda, mendekatkan anda ke alam, beriteraksi dengan warga setempat  disekitar habitat primata yang memiliki budaya dan latar belakang  yang bermacam-macam  yang mungkin tidak akan pernah Anda lihat sebelumnya,  ini akan menyehatkan mental anda ! Terlebih lagi, dengan membagikan penampakan Anda kepada orang lain, Anda dapat memperluas pemahaman ilmiah tentang makhluk unik ini,dan bisa jadi anda laporan anda akan sangat penting bagi ilmu pengetahuan.


Daftar pustaka :

Harrison, T., Krigbaum, J. and Manser, J., 2006. Primate biogeography and ecology on the Sunda Shelf islands: a paleontological and zooarchaeological perspective. In Primate biogeography (pp. 331-372). Springer, Boston, MA.