Showing posts with label Natuna. Show all posts
Showing posts with label Natuna. Show all posts

Monday, February 12, 2024

PERTEMUAN PENGAMAT BURUNG INDONESIA (PPBI)

Dari Natuna belajar dari PPBI XI di Pekalongan

Oleh Ahdiani

Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI), sebuah acara yang baru bagi saya. Ternyata pertemuan Tingkat Nasional ini sudah dilaksanakan 10 kali dan segera diselenggarakan yang ke 11 di desa Mendolo kecamatan Lebakbarang, Pekalongan. Informasi pertama kali saya dapatkan dari Mas Wawan, founder swaraowa. Swaraowa sendiri merupakan mitra terpenting bagi kami dari komunitas MANTAU KEKAH dalam melakukan Upaya konservasi kekah Natuna,dari beliau kami banyak belajar dan inspirasi akan eksistensi kekah natuna sebagai endemik di pulau bunguran, tempat saya tinggal. 

11 Januari 2024 sekitar jam 10 pagi, saya menadapat pesan singkat dari Mas Wawan. “Mau berangkat ke sini gak?. Swaraowa sediakan transportnya untuk satu orang dari Natuna.” Begitulah pesan singkat yang disertai dengan poster PPBI XI yang akan diselenggarakan di desa Mendolo, Pekalongan dari tanggal 19 hingga 21 Januari 2024. Tanpa berfikir Panjang, saya langsung mengiyakan dengan harapan bisa belajar banyak dalam pertemuan tersebut. Sebagai pemula dalam Upaya konservasi, tentu saya harus banyak belajar dari kegiatan-kegiatan seperti ini. Saya pun langsung mendaftarkan diri dengan biaya pendaftaran Rp. 250.000,- sesuai dengan dengan arahan dari panitia penyelenggara.

Kami pun mempersiapkan perjalanan menuju Pekalongan. Skenario perjalanan dari Natuna menuju Pekalongan akhirnya kami sepakati menggunakan pesawat Natuna ke Jakarta, dilanjutkan menggunakan kereta api dari Jakarta menuju Pekalongan. Tanggal 18 Januari 2024 saya berangkat seorang diri dari kediaman, desa Mekar Jaya kecamatan Bunguran Barat menuju bandara Ranai. Pukul 15.00 saya berangkat menuju Batam yang merupakan bandara transit pesawat yang saya tumpangi. Barulah pukul 18.40 WIB saya sampai di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Dari bandara saya harus bergerak lagi ke stasiun Senen untuk melanjutkan perjalanan ke Pekalongan menggunakan kereta api. Saya baru sampai di stasiun Pekalongan pukul 05.00 WIB. Pekalongan untuk pertama kalinya saya sampai, membuat saya sangat terkagum dengan suasananya. Tentu sangat jauh berbeda dengan Natuna. Merupakan kepulauan terluar Indonesia, Natuna dikelilingi oleh laut China Selatan dan berbatasan langsung dengan beberapa negara. 

Saya langsung bergabung dengan beberapa peserta lain yang kebetulan tiba disaat yang sama di stasiun. Kami pun langsung bersiap bergerak ke lokasi yang diarahkan oleh panitia. Menggunakan taksi online, kami tiba di Kantor KPH Pekalongan dan bergabung dengan para peserta yang sudah sampai duluan. Sesuai jadwal, pukul 08.00 WIB kegiatan pun dimulai. Seminar Nasional Pengamat Burung Indonesia yang bertemakan “Kendurian Lawan Kepunahan” yang diisi oleh beberapa para narasumber yang sangat luar biasa dan kompeten dan mereka merupakan pelaku lapangan, membuat saya sangat terkagum dan banyak sekali ilmu dan inspirasi baru yang saya dapatkan. Selain ilmu, tentu juga semangat bergerak akan menjadi tambahan modal bagi saya agar bisa memaksimalkan upaya pelestarian satwa-satwa yang ada di Natuna.

Menggunakan “doplak”, peserta bergerak ke desa Mendolo begitu acara seminar selesai. Sampai di desa, peserta diarahkan ke homestay (rumah warga) yang memang sudah disiapkan oleh panitia. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, peserta diarahkan untuk makan malam. Selesai makan malam, semua peserta berkumpul melakukan kegiatan diskusi bersama terkait berbagai potensi kegiatan yang bisa lakukan bersama untuk melawan kepunahan itu sendiri. Yang paling menarik dikegiatan malam pertama ini adalah, peserta disuguhi berbagai macam varian durian yang merupakan hasil petani lokal. Kebetulah dan memang sudah direncanakan sebelumnya oleh PPM Mendolo sebagai panitia untuk menyesuaikan waktu pelaksanaan bertepatan dengan musim durian.

Hari ke-2 dari rangkaian kegiatan PPBI XI di desa Mendolo ini adalah pengamatan burung yang ada di sekitaran hutan desa. Yang menjadi perhatian saya adalah pagi hari saya dibangunkan oleh nyanyian owa. Mendengar suara nyanyian owa merupakan pengalaman pertama bagi saya. Berikutnya setelah sarapan, peserta dibagi menjadi 2 tim dan bergerak di 2 lokasi yang berbeda. Saya sendiri memilih untuk melakukan pengamatan burung dilokasi dusun tempat kami menginap. Selama pertemuan pengamatan burung di desa Mendolo, kami diajak untuk menjelajahi berbagai habitat burung di sekitar desa. Burung-burung berkicau mengisi udara segar di pagi hari di tengah-tengah hutan durian yang penuh dengan buah durian yang siap untuk dipanen. Sungguh pemandangan yang luar biasa dan mengagumkan.

Dalam aktifitas hari kedua ini, kami juga diperlihatkan bagaimana kegiatan budidaya lebah yang dilakukan oleh Masyarakat Mendolo. Tentu sangat menarik perhatian saya karena memang sebelumnya juga saya sudah merencanakan melakukan hal yang sama untuk tujuan edukasi dan konservasi di Natuna terkait lebah yang sudah kami temukan berbagai jenis.

Selain pengamatan burung, kegiatan ini juga memberi kami, khusunya saya kesempatan untuk bertemu langsung dan belajar dari para ahli serta pengamat burung dari berbagai daerah. Diskusi-diskusi yang kami adakan membahas isu-isu konservasi dan pentingnya melestarikan habitat alam bagi burung. Ini adalah kesempatan langka untuk memperdalam pemahaman kami tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di seluruh Indonesia.


Foto bersama adalah sesi akhir di hari terakhir kegiatan sebelum para peserta kembali ke daerah asalnya masing-masing. Saat akhirnya tiba waktu untuk meninggalkan desa Mendolo, Pekalongan, kami membawa pulang kenangan yang tak terlupakan dari petualangan kami. Dari keindahan alam Natuna hingga keanekaragaman burung di desa Mendolo, setiap langkah diikuti oleh keajaiban alam yang mengagumkan. Kami berharap bahwa pengalaman ini tidak hanya akan menjadi sebuah laporan perjalanan, tetapi juga akan menjadi dorongan untuk melindungi dan memelihara kekayaan alam Indonesia untuk generasi mendatang, khususnya bagi saya pengalaman dari kegiatan ini menjadi nutrisi semangat baru untuk lebih giat bergerak agar semua pihak bisa sadar bersama akan eksistensi dari keberadaan satwa-sata di sekitar kita.


Monday, December 5, 2022

Kekah Watching : Wisata minat khusus untuk melestarikan Primata endemik Natuna

 Oleh : Arif Setiawan

Presbytis natunae- Kekah Natuna

Perjalan primate watching  bulan September 2022 menuju pulau di ujung utara nusantara, Pulau Natuna. Informasi tentang Natuna ini di awali dari expedisi ke natuna pada bulan November 2020. Kami berangkat ke Natuna, dari Pontianak, karena kebetulan ada kegiatan di Ketapang, Kalimantan Barat, kemudian ke Batam. Kurang lebih 1.45 menit penerbangan dari Batam menuju Natuna, tanggal 8 September 2022, pukul 16.20 saya menginjakkan kaki  dan menghirup udara segar bumi Natuna, sebuah pulau yang menjadi impian sejak lama untuk di kunjungi karena keberadaan jenis primata pemakan daun Kekah ( Presbytis natunae). Tujuan kami adalah Desa Mekar Jaya, di Kecamatan Bunguran Barat.  Bang Ahdiani , sudah menunggu kami, beliau adalah lokal hero, yang banyak membantu menyuarakan pelestarian primata asli natuna

Bang Ahdiani langsung mengajak kami ke salah satu lokasi istimewa yang menjadi land mark alami di Kepulauan Natuna, sejarah alam yang terbentuk dari era dinasaurus ada disini,  singkapan batuan granit dengan ukuran yang luar biasa dengan kombinasi bentang alam pantai, pemandangan yang tidak cukup diceritakan dengan kata-kata.

singkapan geologis kala jurasik di Natuna, dengan latar G.Ranai

Menurut penelitian geologi, Kepulauan Natuna terletak pada tumbukan antara kerak Samudera Hindia dan  paparan sunda  (Sundaland- dimana pada saat itu sebagian besar asia tenggara masih jadi satu daratan)  pada zaman Jurassic kira kira 200 juta tahun yang silam, yang nampak sekarang  adalah  singkapan batuan  granit  yang kokoh dan spektakuler di pantai-pantai di Pulau Natuna. Potensi geoheritage dan keanekargaman hayati yang ada didalamnya merupakan sejarah alam yang harus di lestarikan untuk ilmu pengetahuan dan warisan kekayaan alam generasi selanjutnya.

Terkait dengan Kekah Natuna ( Presbytis natunae) mari kita coba runut sejak kira-kira dari 6000  hingga 20.000 tahun yang silam, ketika sebagian besar  wilayah asia tenggara ini masih berupa daratan, bernama Sundaland .  Kemudian kalau kita melihat jaringan sungai purba saat itu, Natuna berada pada sekitaran sungai purba  Molengraff, sesuai dengan nama peneliti geologi dan penjelajah alam Gustaf Frederic Molengraff dari Belanda yang mempelajari sungai-sungai purba di dataran sudanland pada tahun 1800an. Sudah tentu kawasan ini adalah salah satu  pusat keanekargaman hayati bumi waktu itu. Perubahan iklim global dan vegetasi yang terjadi dalam ratusan kali siklus tentu membuat yang tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan menjadi mati atau punah. Bukti-bukti sejarah alam tersebut yang kini kita coba rangkai  untuk merekonstruksi peristiwa yang terjadi.

Untuk melihat perubahan daratan menjadi lautan pada saat itu dapat dilihat disini:

Sundalan dan perode glasiasinya

https://atlantisjavasea.files.wordpress.com/2015/09/sundaland-in-the-last-glacial-period.gif

Ketika itulah diperkirakan ketika jaman dinosourus punah mamalia termasuk jenis-jenis monyet pemakan daun seperti Kekah menyebar dari daratan utama benua Asia  hingga menghuni dataran luas Sundaland. Hingga ke jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Proses naik turunnya muka airlaut di kawasan ini diperkirakan terjadi dalam waktu berulang-ulang , merubah vegetasi dan iklim dari hutan dan padang rumput juga dalam periode waktu hingga 2 juta tahun. Speciasi atau penyesuaian dengan kondisi lingkungan yang ada, evolusi membentuk ciri khas berbeda dari masing-masing jenis-jenis primata khususnya Presbytis di kawasan sunda yang sudah terpisah-pisah menjadi Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Perbedaan  ciri-ciri morfologi dari warna rambut, ukuran tubuh, tengkorak dan suara, hingga saat ini yang digunakan sebagai dasar penentuan taxonomi kekah, dengan jenis Presbytis lainnya di pulau lainnya, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil sekitarnya seperti Bintan, Singapura, dan semenanjung Malaysia.

Mantau Kekah, inisiasi dari Mekarjaya, Bunguran Barat Natuna


Melihatnya langsung hidup di habitat alam, “lifer” menjadi sebuah prestis tersendiri untuk pengamat primata, dan Kekah pada hari itu adalah lifer bagi saya. Melihat pertama kali di habitat kebun karet campur yang dekat dengan kawasan rawa mangrove. Pada jarak kurang lebih 65 meter. Terlihat jelas warna hitam tegas di kepala membentuk seperti mahkota, puggung hitam sampai di bagian tangan dan kaki,  sementara warna rambut putih bersih di bagian dada dan samping dada hinggak ke perut  bagian dalam dan paha bagian bawah , dan lingkar mata putihnya dan bagian hidung dan mulut , terlihat seperti memakai kacamata dan masker.

Kami berjalan menyusuri tepi desa, jalan yang sudah diperkeras, mempermudah pengamatan dan sepertinya Kekah di Mekar jaya aini sudah relatif terhabituasi, artinya tidak terlalu takut dengan keberadaan manusia. Kelompok pertama yang kita jumpai ada sekitar 3 individu. Beberapa meter kemudian kami menjumpai lagi, masih di kebun campur karet dan pohon kayu alam.



Landscape hutan di Natuna









Dalam satu hari itu kami terus menyusuri kebun hutan di sekitar Mekar jaya, melihat landscape yang lebih luas kondisi habitat dan perjumpaan-perjumpaan dengan kekah selanjutnya semakin mudah dan dekat. Biji pohon karet ternyata menjadi kesukaan kekah di Mekarjaya.

Pada pertemuan kongres primata di Equador tahun lalu, Kekah Natuna ini masuk dalam salah satu yang di pertimbangkan dalam 25 primata paling terancam punah di dunia, karena tidak ada informasi update apapun dari sejak pertama kali specimen ditemukan 86 tahun lalu, hanya ada 3 penelitian tentang Kekah Natuna,(bacalaporan lengkapnya di sini). Baru-baru ini ada satu publikasi  penelitian terbaru untuk Kekah di Mekarjaya  yang menyebutkan estimasi Kekah di 3 tipe habitat di sekitar dusun dengan luasan 1.236, 17 ha ini ada sekitar 928,2 individu Kekah. Penelitian ini dapat di baca selengkapnya disini : https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfkh/article/view/52427

 Kami juga melakukan pengamatan malam di Mekarjaya, dan sangat senang melihat Kubung (Galeopterus variegatus) dapat dengan mudah di jumpai. Target kami Kukang sayangnya dalam 2 malam tidak beruntung menemukannya. Yang sangat berkesan di mekarjaya ini adalah masakan lautnya, dan bang Ahdiani Mengajak kami berperahu melihat pulau-pulau kecil disekitar Mekarjaya. Melihat lokasi sea-ranch, pembiakan ikan napoleon di pulau Sedanau merupakan salah satu komoditas ekonomi utama yang sudah di ekspor dari Natuna, dan menikmati sajian kuliner khas natuna kepiting lada hitam.

Sajian kuliner natuna di sela sela kegiatan Kekah watching









Kegiatan Kekah Watching , mantau kekah  merupakan salah satu turunan dari produk penelitian primata, dengan keterbatasan untuk melakukan penelitian yang lebih jauh lagi tentang Kekah Natuna, menyelamatkan specimen hidup di habitat aslinya, merupakan langkah yang nyata. Pengamatan kekah dapat mendorong munculnya kesadaran nilai penting keanekaragaman hayati untuk mempertahankannya di antara gelombang pembangunan infrastruktur dan aktifitas manusia. Pengamatan kekah sudah tentu akan mendorong juga kegiatan ekonomi lokal, kebutuhan penginapan sajian kuliner dan pemandu pengamatan memanfaatkan dan bekerjasama sumberdaya yang ada di sekitar. Untuk jenis-jenis yang tidak banyak orang tahu seperti kekah, kunjungan kunjungan seperti ini akan memotivasi warga sekitar untuk lebih menghargai dan merasa memiliki keberadaan primata. Menguatkan mereka melakukan kegiatan yang meskipun kecil dan sederhana tapi berarti besar buat kelestarian Kekah.

Kekah di balik batang pohon karet

Anak kekah yang masih bayi berwarna putih

Pengamatan kekah juga mendorong peranserta masyarakat umum ( citizen science) dalam ilmu pengetahuan, primate life-listing kegiatan pengamatan dapat digunakan untuk informasi  sebagai dasar dalam pengelolaan populasi  dan habitat Kekah. Harapannya nilai tambah keberadaan kekah di Natuna dapat di optimalkan dalam berbagai hal termasuk ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kekah natuna, dapat menjadi identitas yang dapat di gunakan secara global.  Kegiatan mengamati Kekah, dapat menjadi pilihan wisata minat khusus di Natuna, diantara pilihan-pilihan wisata yang sudah ada dan berkembang saat ini. Tidak menangkap, tidak memelihara dan tidak mengganggu Kekah dan menjaga habitatnya tetap ada, dapat dilakukan oleh siapa saja secara partisipatif dengan peran di bidang masing-masing.

Mengapa repot-repot mengamati primata? Pertama  kegiatan ini menyenangkan dan menawarkan pengalaman yang berbeda, mendekatkan anda ke alam, beriteraksi dengan warga setempat  disekitar habitat primata yang memiliki budaya dan latar belakang  yang bermacam-macam  yang mungkin tidak akan pernah Anda lihat sebelumnya,  ini akan menyehatkan mental anda ! Terlebih lagi, dengan membagikan penampakan Anda kepada orang lain, Anda dapat memperluas pemahaman ilmiah tentang makhluk unik ini,dan bisa jadi anda laporan anda akan sangat penting bagi ilmu pengetahuan.


Daftar pustaka :

Harrison, T., Krigbaum, J. and Manser, J., 2006. Primate biogeography and ecology on the Sunda Shelf islands: a paleontological and zooarchaeological perspective. In Primate biogeography (pp. 331-372). Springer, Boston, MA.