Wednesday, August 28, 2019

Tradisi Pemanenan Madu Hutan Desa Mendolo


oleh : Sidiq Harjanto
  •  Desa Mendolo, Kecamatan Lebak Barang, Kabupaten Pekalongan memiliki tradisi turun temurun berburu madu di Hutan.
  •  Lebah hutan (Apis dorsata) adalah jenis lebah madu terbesar.
  •  Pada musim yang bagus, seperti tahun 2016, lebih dari 2,5 ton madu yang keluar dari Desa Mendolo
  • Mempertahankan kualitas lingkungan, terutama kelestarian hutan sebagai penopang kehidupan lebah hutan adalah salah satu kunci keberlanjutan produksi madu di Mendolo


Praktik pemanenan madu hutan di Desa Mendolo
Desa Mendolo terletak di Kec Lebakbarang, Kab Pekalongan. Kawasan desa ini didominasi oleh hutan alam, sedangkan sisanya merupakan kawasan wanatani atau agroforest. Tim swaraowa, pertamakali masuk ke Mendolo tahun 2010, ketikasurvey Owa Jawa di wilayah Kecamatan Lebak Barang, dan mulai intensif mengamati owa di desa ini 3 tahun terakhir ini. Desa ini identik dengan pemanenan lebah hutan atau masyarakat menyebutnya tawon nggung. Nama ilmiahnya Apis dorsata. Memanen madu hutan adalah keahlian mayoritas laki-laki dari desa ini. Ini adalah tradisi turun-temurun. Tidak ada yang tahu kapan mereka mulai memanen lebah. Jika ditanya kapan mulai, tidak ada yang mampu menjawab dengan detail. ‘Sudah dari nenek moyang kami’, jawab mereka. Artinya, tradisi ini memang sudah berlangsung sejak lama sekali. Memang ada perubahan dalam motif pemanenan lebah hutan. Dari yang dulunya memanen lebah untuk kebutuhan sendiri (subsisten), berubah menjadi mata pencaharian alternatif.

Madu bukan tujuan utama bagi masyarakat jaman dulu. Saat harga madu masih belum seperti saat ini, atau bahkan tidak laku dijual. Orang-orang justru memanen anakan lebah, pupa lebih tepatnya. Pupa atau kepompong lebah menjadi sumber protein tinggi bagi masyarakat pada masa itu. Hingga kemudian pada dua dekade terakhir, madu mulai menjadi komoditas yang banyak diburu. Harganya pun cukup menjanjikan. Para pemanen madu merubah pola kerjanya. Mereka hanya mengambil sarang madu saja, meninggalkan bagian anakan lebah.
Koloni Apis dorsata "tawon nggung"
Lebah hutan (Apis dorsata) adalah jenis lebah madu terbesar. Lebah ini hidup berkoloni, membangun sarang pada dahan-dahan pohon tinggi. Mereka bisa memproduksi madu dalam jumlah yang besar. Satu sarang bahkan bisa lebih dari 20 kilogram madu. Sesuai namanya, lebah hutan membutuhkan habitat hutan yang masih bagus. Lebah hutan membutuhkan sumber pakan dalam jumlah besar. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion dengan masyarakat Mendolo, setidaknya ada lebih dari 40 jenis tanaman sumber pakan bagi lebah hutan. Salah satu sumber pakan lebah yang cukup dominan adalah Crypteronia sp. Masyarakat menyebutnya ‘kayu babi’. Jenis lainnya seperti kayu sapi (Sapindaceae), pakel (Mangifera foetida), dan durian (Durio sp.)
Bunga durian, sumber nectar bagi lebah



Bunga kayu Babi ( Cryptorenia sp)
Saat koloni-koloni lebah berdatangan untuk bersarang, biasanya mulai bulan Juli, orang-orang nyaris tiap hari masuk hutan untuk mencari keberadaan sarang lebah. Mereka membentuk tim-tim kecil. Sebuah tim pemanen madu terdiri dari dua atau lebih anggota tim. Satu orang berperan sebagai pemanjat dan pengambil sarang, sedangkan sisanya menjadi asisten. Menyiapkan peralatan, dan membantu proses panen madu. Alat-alat yang digunakan antara lain sige, upet, pisau/parang, karung, tali, ember, dan saringan. Sige adalah bambu yang digunakan untuk melakukan pemanjatan, terdiri dari dua bagian yaitu banthol (pengait), yang akan disambung dengan lonjoran (jumlahnya bisa lebih dari satu batang tergantung ketinggian sarang yang dipanjat). Sedangkan upet adalah bahan pembuat asap. Biasanya upet dibuat dari dedaunan yang diikat, kemudian dibakar di bagian ujungnya. Hasil pembakaran dedaunan yang masih agak basah ini menghasilkan asap untuk membuat lebah lebih tenang.

Pemanjat memotong bagian kepala sarang yang berisi madu. Bagian brood yang berisi telur, larva dan pupa dibiarkan. Harapannya sarang akan kembali terisi madu dan nantinya bisa dipanen kembali. Dengan cara seperti ini, pemanenan bisa dilakukan dua atau tiga kali untuk setiap sarang. Teknik pemanenan ini relatif aman bagi keberlanjutan koloni-koloni lebah. Hasil panen dari tiap sarang sangat bervariasi. Bila beruntung bisa lebih dari 10 botol ukuran 650ml, dan kalau tidak beruntung bisa pulang dengan tangan hampa.

Karakter warna dan rasa yang beragam madu hutan desa Mendolo
Musim puncak panen madu biasanya berlangsung antara Juli-Oktober. Pada musim yang bagus, seperti tahun 2016, lebih dari 2,5 ton madu yang keluar dari desa ini. Di Mendolo sendiri saat ini ada 8 orang pengepul lokal, yang menampung hasil panen madu dari para pemanen. Produk lain yang sudah termanfaatkan adalah lilin lebah (beeswax). Lilin diekstrak dari sisa perasan sarang madu yang dipanaskan hingga mencair, kemudian disaring menggunakan kain. Lilin cair ini setelah dingin akan mengeras membentuk balok-balok lilin. Harga jual lilin mentah ini sekitar Rp. 50.000,-. Produk lebah lain yang potensial namun belum termanfaatkan adalah beepollen (roti lebah). Beepollen dihasilkan oleh fermentasi serbuk sari bebungaan yang disimpan di sarang lebah.

Melihat dari sekilas uraian di atas, beberapa tantangan kedepan masih dihadapi dalam tradisi pemanenan madu di Desa Mendolo, antara lain:
1.      Memperbaiki tata kelola pemanenan madu ditingkat desa.
2.      Mempertahankan kualitas lingkungan, terutama kelestarian hutan sebagai penopang kehidupan lebah hutan.
3.      Menjaga kualitas produk madu; mengingat semakin banyak pemanen madu bisa beresiko menurunkan kualitas, misalnya dari sisi umur panen, higienitas, dll.
4.      Diversifikasi produk, untuk meningkatkan nilai tambah. Misalnya produk beepollen, dan aneka produk turunan lebah.

Kita semua tentu saja berharap bahwa tradisi pemanenan madu di Desa Mendolo akan terus lestari dan memberikan manfaat untuk warga disana, dan yang tidak kalah pentingnya selain madu, peran lebah sebagai serangga penyerbuk ini tidak dapat digantikan oleh manusia dengan alat apapun, pollinasi. 

Saturday, August 3, 2019

Burung Burung Kepulauan Mentawai

kegiatan tahun 2010 di Siberut


"The gibbon of Siberut", karya Tonny Whitten adalah salah satu buku menginspirasi saya untuk ke siberut, saya dapat buku ini tahun 2000, berisi catatan perjalanan Tonny Whitten dan istrinya pada tahun 1975-1978 di Siberut, dan tahun 2010 saya pertama kali menginjakkan kaki pertama kali di bumi Sikerei, hingga awal tahun 2012 banyak cerita dan pengalaman bersama tim lapangan dari Siberut Selatan. 
kegiatan tahun 2012 di Siberut Barat Daya

Kemudian tahun 2017 bersama SWARAOWA kegiatan untuk mendorong peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk kawan-kawan yang aktif di Uma Malinggai Tradisional Mentawai, di Siberut Selatan dimulai. Dengan menggabungkan kegiatan pengamatan satwa dan fotografi setiap ke lapangan mendokumentasikan foto dan video satwa-satwa liar kep.Mentawai.
tim Malinggai Uma, kegiatan tahun 2017


Kegiatan pengamatan yang awalnya hanya fokus untuk jenis-jenis primata, juga mengumpulkan foto-foto satwa lainnya. Untuk jenis-jenis burung karena awalnya memang tidak tahu namanya, beruntung sekali ada salah satu orinitologist dari Yogyakarta Imam Taufiqurrahman turut serta ke Mentawai, foto-foto yang di kumpulkan oleh tim Malinggai Uma satu persatu mulai di identifikasi.
Penyusunan buku ini akhirnya di rencanakan setelah Imam ikut beberapa kali ke Mentawai, mengunjungi Siberut dan Sipora. Menurut catatan Imam ada 178 jenis burung Mentawai, yang sudah tercatat dalam publikasi Imiah, dan foto yang di kumpulkan selama pengamatan lapangan meskipun kita tidak ada di Mentawai juga semakin bertambah.
Buku Burung-Burung Kepulauan Mentawai

Hingga akhir 2018, setidaknya sudah 82 jenis burung sudah dijumpai dan ada foto nya. Penyusunan buku  burung Mentawai yang di motori Oleh Imam akhirnya menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan dukungan support yang kita dapatkan dari FortwayneChildren’s Zoo.
Bulan Mei 2019, Imam dan kawan-kawan dari Malinggai Uma ( Damianus, Ismael dan Mateus) bertemu Bupati Mentawai, Bp Yudas Sabagalet, membawa draft buku burung Mentawai dengan memohon untuk memberikan sambutan di buku yang disusun bersama ini. Pertemuan dengan kepala daerah menjadi motivasi tersendiri bagi tim penyusun buku ini.

Setelah mendapatkan no ISBN dari perpustakaan nasional buku burung-burung Mentawai ini telah secara resmi di publikasikan, dan kami juga menjual buku ini untuk selanjutnya keuntungan penjualan buku ini akan digunakan untuk mendukung kegiatan lapangan di Mentawai.  Kami mengajak anda untuk mengenal dan melestarikan kekayaan alam Mentawai, untuk pembelian buku ini silahkan melalui link ini: https://shopee.co.id/Burung-Burung-Kepulauan-Mentawai-i.4837480.2432705311