Wednesday, March 28, 2018

Owa Jawa Hutan Sokokembang

Infografis Owa jawa hutan Sokokembang, Petungkriyono

Info grafis primata hutan Sokokembang ini dibuat berdasarkan penelitian Setiawan et. al 2012, penelitian-penelitian dasar terkait data populasi dan ancaman merupakan informasi awal yang sangat penting untuk menentukan langkah konservasi yang lebih lanjut.  dari penelitian-penelitian seperti inilah kegiatan konservasi yang sekarang dilakukan berdasarkan prioritas permasalahan dan kemungkinan keberhasilannya di pilih untuk di lakukan.

Menyampaikan hasil penelitian agar mudah di pahami masyarakat luas sepertinya masih menjadi tantantang tersendiri bagi akademisi, apalagi di gunakan sebaga rujukan pengambil kebijakan masih sangat perlu untuk di arus utamakan. sebagai contoh ,di tingkat lapangan dinamika sosial ekonomi dan perubahan penggunaan lahan tentu terus terjadi dari waktu ke waktu, dan tentu sedikit banyak mempengaruhi kondisi Owa Jawa di Sokokembang hingga saat ini.

Owa Jawa

Yang sering di tanyakan  orang mengenai Owa jawa biasanya  ada berapa populasinya? apakah banyak atau tidak? dan  ini adalah pertanyaan logis, juga  penting tapi  populasi saja sebenarnya tidak cukup untuk yang menjadi kriteria untuk sebuah kelestarian. banyak faktor lain yang mempengaruhi, apalagi dalam jangka waktu tertentu. dan sebenarnya owa jawa hanya bagian kecil dari keseluruhan pengelolaan habitat yang melampaui bentang alam dan administratif. Terlebih lagi jenis-jenis primata seperti Owa jawa telah menjadi perhatian komunitas global.

Penelitian-penelitian yang terus di perbaharui juga tentunya akan sangat membantu mendorong upaya konservasi yang menyesuaikan dengan situasi terbaru juga. Populasi Owa jawa khususnya di hutan Sokokembang, umumnya di Jawa Tengah ini memang perlu di update lagi, mudah-mudahan ini menjadi prioritas pekerjaan bersama pihak terkait untuk memperbaharui informasi ini sebagai masukan untuk pengelolaan yang berkelanjutan.

Referensi :

Setiawan, A., Nugroho, T.S., Wibisono, Y., Ikawati, V. and SUGARDJITO, J., 2012. Population density and distribution of Javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity13(1).

Saturday, March 17, 2018

Uliat Bilou : Tarian Bagi Roh

Bilou , Owa endemik Mentawai

Sebuah kehormatan berada di antara warga asli Pulau Siberut yang merayakan upacara adat. Tentu saja ini pengalaman yang sangat berharga. Suku-suku Mentawai adalah yang salah satu komunitas tertua di Indonesia tercatat sejak 2000-500 tahun sebelum masehi sudah ada catatan mengenai keberadaan manusia di kepulauan yang terpisah dari daratan Sumatera itu. Banyak hal yang menarik tentang interaksi manusia-alam khususnya di Mentawai, hingga sekarang meskipun arus budaya modern tiada henti menggerus budaya asli Mentawai, namun adat istiadat masyarakat Mentawai sejak ribuan tahun silam masih dapat kita jumpai.

sikerei sedang melakukan ritual

Salah satu acara adat yang minggu ini kita ikuti adalah Punen Panunggru, upacara untuk “mendamaikan” roh-roh orang yang telah meninggal dunia. Kepercayaan terhadap roh atau jiwa dalam setiap benda masih melekat erat di masyarakat Mentawai khususnya di Siberut. Kepercayaan akan tentang roh dapat di katakan bahwa nyaris setiap tempat, setiap hewan, setiap tumbuhan, dan setiap fenomena alam memiliki kesadaran dan perasaan, dan dapat berkomunikasi dengan manusia secara langsung. Sebenarnya hubungan yang relatif kompleks, namun dapat di mengerti dan ada yang dapat membantu komunikasi antar entitas-entitas non material ini yaitu para “Sikerei”. Mereka semua dapat berkomunikasi melalui perantara tarian, nyanyian, binatang yang di kurbankan, atau upacara.
Karena berangkat dari ketertarikan terhadap primata, dalam upacara adat punen panunggru, yang telah di selenggarakan selama beberapa hari ada kalanya para sikerei ini berkomunikasi dengan para roh ini dengan tarian.

Teulaka, salah satu Sikeri yang memimpin acara punen panunggru

Salah satu tarian yang di lakukan oleh para sikerei ini adalah  tarian Bilou,  Owa Mentawai (Hylobates klossii),  ‘turuk uliat bilou’ yang menceritakan 3 individu yang sedang bergembira di hari yang cerah. Dengan iringan tetabuhan hentakan kaki sikerei juga menambah harmonisasi antara penabuh, penari dan pesan yang disampaikan. Simak video berikut ini :


Tentu saja hal seperti ini banyak mengundang ketertarikan banyak orang, dan tentunya sudah ratusan orang menulis tentang adat, budaya dan alam mentawa ini. Upaya melestarikan pengetahuan alam, memperkaya budaya dan isinya khususnya di Mentawai, menjadi tantangan tersendiri, identitas ini bisa jadi ini sebuah romantisme belaka, keunikan alam dan budaya ini hanya indah dalam laporan dan tulisan sementara itu kepunahan-kepunahan akan akan terus terjadi dalam sekala micro. Pesan-pesan yang tersirat dalam  upacara ini harusnya menjadi renungan untuk terus di sampaikan kepada generasi sekarang,bahwa sejarah alam sangatlah tergantung kepada manusia, kita bisa membuat sakit, rusak, punah alam budaya kita, namun kita juga di bekali akal, tenaga, dan kemampuan berkomunikasi yang sempurna untuk mengelola alam dengan bijaksana.

Referensi:

Reeves, G., 1999. History and ‘Mentawai’: Colonialism, Scholarship and Identity in the Rereiket, West Indonesia. The Australian journal of anthropology10(1), pp.34-55.

Whittaker, D. & Geissmann, T. 2008. Hylobates klossii. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T10547A3199263. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T10547A3199263.enDownloaded on 16 March 2018.