Monday, August 12, 2024

Mereguk Manisnya Budidaya Lebah di Desa penyangga habitat Owa Jawa

 

Rohim menunjukkan hasil panen madunya

oleh : Sidiq Harjanto

Datangnya musim kemarau pada pertengahan tahun 2024 membawa berkah bagi para peternak lebah klanceng di Desa Mendolo, Pekalongan. Semenjak bergulirnya program “Beekeeping for Gibbon Conservation” pada 2017, Swaraowa terus membersamai para peternak lebah klanceng untuk semakin mengoptimalkan manfaat lebah mungil nirsengat tersebut. Budidaya lebah menjadi tawaran alternatif ekonomi lestari bagi masyarakat di sekitar habitat owa jawa.

Adalah Tarjuki, sebagai perintis budidaya klanceng di desa Mendolo, pada bulan Juli lalu telah memanen belasan botol berkapasitas 450 ml. Senyum ceria menghias wajahnya saat berbagi cerita kepada kami. Madu sebanyak itu dipanen dari kotak-kotak klanceng yang ia taruh di beberapa lokasi kebunnya di Dusun Mendolo Wetan. Ia optimistis panenan tahun ini akan meningkat dibandingkan dengan panenan tahun lalu.

Kegiatan ibu-ibu di Kebun Brayan Urip


Senada dengan Tarjuki, Yukni Buhan seorang peternak lainnya juga memprediksi hasil panenan yang lebih melimpah musim ini.  Pemuda yang tinggal di Dusun Sawahan ini kini mengelola 9 kotak klanceng dari jenis Heterotrigona itama dan sekira 40 kotak Tetragonula laeviceps. “Koloni pertama yang saya pelihara ini didapat dari memasang perangkap pakai kotak kosong,” kenangnya sembari menunjukkan kotak kayu dengan lubang kecil yang dijejali lebah-lebah mungil hilir mudik keluar-masuk.

Ia pun telah memanen madu dari koloni-koloni itama-nya. Rata-rata satu kotak menghasilkan seliter madu. Sementara kotak-kotak laeviceps, jenis klanceng yang ukuran tubuhnya lebih kecil, akan dipanennya saat musim bunga durian, dua atau tiga bulan ke depan. Menurut pengalamannya, puncak-puncak musim madu itu saat musim bunga kayu babi (Crypteronia sp.), lalu bunga durian, dan terakhir saat musim bunga kayu sapi (Pometia pinnata) yaitu saat musim hujan tiba.

Yukni sedang panden madu
Yukni berencana untuk terus menambah kotak-kotak lebah kalnacengnya dengan teknik pemecahan koloni (splitting) dan pemasangan perangkap. Ditanya tentang kesiapan daya dukung lingkungan di lokasi budidaya, Yukni bertekad untuk terus menanam aneka tanaman yang mampu memperkaya ketersediaan pakan bagi lebah, termasuk kayu-kayu hutan.

Para peternak tidak hanya mendapatkan kemudahan pemanenan madu yang diperoleh dari usaha budidaya. Nusri Nurdin, peternak yang juga berprofesi sebagai pemanen madu lebah liar mendapatkan berkah lain. Selain memanen madu lebah hutan Apis dorsata, ia juga memanen madu klanceng liar sebagai sampingan. Di kalangan pemanen madu liar di Mendolo, pria yang akrab disapa Udin ini adalah salah satu yang paling pemberani. Ia tak ragu memanjat pohon-pohon tinggi yang dianggap ekstrem oleh kawan-kawan seprofesinya.

Bapak dua anak itu menuturkan bahwa semenjak maraknya budidaya yang dijalankan warga Mendolo, ia semakin mudah mendapatkan koloni lebah klanceng liar. Ia menduga seiring terus bertambahnya koloni yang dipelihara membuat populasi lebah klanceng di alam juga semakin terjaga. “Saya sudah panen tujuh koloni klanceng pada musim ini. Semuanya kini telah di pindahkan ke dalam kotak,” katanya.

Pendampingan Swaraowa untuk kegiatan budidaya lebah
Tujuh tahun yang lalu, kondisinya sangat berbeda. Kala itu, para pemanen lebah klanceng liar masih melakukan pemanenan yang tidak berkelanjutan. Mereka membongkar sarang untuk mengambil madu lalu meninggalkannya begitu saja sehingga koloni musnah. Tak terhitung berapa banyak koloni lebah yang hilang. Tentu saja, kita juga kehilangan manfaat para lebah sebagai serangga penyerbuk.

Melalui serangkaian program pelatihan, para pemanen madu klanceng liar diarahkan untuk menyelamatkan koloni lebah liar yang dipanen dari alam. Koloni-koloni dipindahkan ke dalam kotak untuk dibudidayakan. Cara-cara berkelanjutan juga diperkenalkan, seperti teknik pemecahan koloni, pencangkokan, dan pemasangan kotak perangkap.

Pembibitan kayu sapi, salah satu sumber bunga untuk lebah
Kini, tak kurang 25 orang warga Mendolo telah menjalankan usaha budidaya lebah klanceng dan menikmati manisnya usaha yang ramah lingkungan ini. Jumlah koloni yang dipelihara masing-masing peternak bervariasi. Namun, rata-rata tak kurang dari 5 kotak. Sebagian bahkan sudah lebih dari 20 kotak.

Jika para bapak dan pemuda cenderung membudidaya untuk memproduksi madu, hal berbeda dilakukan kelompok perempuan di Dusun Sawahan. Mereka yang menamakan diri “Kelompok Brayan Urip” ini memelihara lebah untuk mengoptimalkan jasa penyerbukan. Di sebidang tanah yang ditanami aneka sayur mayur, kotak-kotak klanceng dari jenis Tetragonula laeviceps ditempatkan.

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa spesies klanceng berukuran kecil ini efektif membantu penyerbukan tanaman sayur seperti cabai. “Untuk tanaman cabai yang tanpa dipupuk dan tanpa perawatan intensif, hasilnya lumayan,” terang Sri Windriyah yang dipercayai sebagai ketua kelompok. Hasil panen dari kebun kolektif itu dijual dengan harga murah ke anggota untuk kebutuhan rumah tangga masing-masing. Keuntungannya disisihkan sebagai uang simpanan kelompok.

Bersebelahan dengan kebun sayur yang dikelola Kelompok Brayan Urip, sebuah persemaian sederhana tampak dijejali ratusan polybag berisi bibit aneka jenis tanaman. Kesadaran bahwa budidaya lebah membutuhkan lingkungan yang mendukung, terutama keberadaan hutan, mendorong komunitas peternak lebah untuk melakukan gerakan menanam. Untuk itulah persemaian ini dibuat, sebagai penyuplai kebutuhan bibit.

Rohim selaku penanggungjawab pembibitan di Sawahan menuturkan bahwa tahun ini persemaian yang dikelolanya akan menyediakan setidaknya 700 batang bibit kayu hutan seperti kayu sapi (Pometia pinnata), kayu babi (Crypteronia sp), klepu, manggis, dan salam. Ratusan batang bibit itu disiapkan untuk ditanam saat musim penghujan nanti.

“Tahun kemarin, dua ratusan batang bibit tanaman pucung telah tertanam di sepanjang alur-alur sungai di Dusun Sawahan ini,” kata Rohim. Penanaman dua ratusan bibit tanaman pucung (Pangium edule) itu dilakukan secara partisipatif. Sekira 20 orang petani menyediakan lahannya untuk ditanami. Warga semakin termotivasi untuk giat menanam setelah merasakan kekurangan air dampak fenomena el-nino tahun kemarin.

 Bagi Swaraowa, keterlibatan dalam kolaborasi program penanaman ini merupakan bentuk upaya untuk meningkatkan kualitas habitat bagi primata maupun hidupan liar lainnya. Desa Mendolo sendiri merupakan habitat bagi lima jenis primata jawa: owa jawa, lutung jawa, rekrekan, monyet ekor panjang, dan kukang jawa. Format konservasi dengan membuka ruang bagi masyarakat sebagai subjek utama telah dimulai dari desa ini.


Wednesday, July 31, 2024

Kontribusi lokal untuk rantai pasok kopi yang berkelanjutan

 oleh : Sidiq Harjanto dan Vika Bayu Irianto

Kopi kembali menjadi primadona bagi para petani. Harganya tetiba meroket, khususnya jenis robusta. Di tingkat petani, untuk kopi asalan saja sempat mencapai Rp. 68.000,-/kg. Harga ini tentu bervariasi tiap wilayah, ada yang lebih tinggi ataupun sedikit lebih rendah. Tahun kemarin harga per kilogram tertinggi mencapai kisaran Rp. 45.000,-. Artinya, ada kenaikan lebih dari 40% dan mencapai all time high.

peran perempuand dalam rantai pasok produksi kopi

Menurut laporan Nikkei Asia, harga robusta yang menggila dua tahun terakhir dipicu oleh beberapa faktor. Cuaca ekstrim berupa peningkatan suhu dan kekeringan menjadi faktor pemicu pertama. Hal ini membuat produksi kopi dari negara-negara produsen kopi robusta utama seperti Vietnam dan Indonesia turun signifikan. Petani hanya menghasilan sedikit kopi. Bahkan, sebagai adaptasi terhadap kekeringan, sebagian petani memilih beralih ke komoditas lain yang lebih adaptif.

Faktor kedua, di saat produksi kopi turun justru permintaannya meningkat. Dilaporkan adanya peningkatan sebanyak 20% konsumsi kopi masyarakat dunia. Juaranya China, yang pertumbuhan kelas menengahnya sedang tinggi-tingginya, mencapai kenaikan permintaan sebanyak 130%. Di luar China, peningkatan permintaan yang signifikan juga dialami negara-negara produsen kopi seperti Vietnam dan Indonesia sendiri.

Kopi merupakan komoditas yang dihasilkan oleh tak kurang dari 12 juta petani di banyak negara. Namun, Vietnam dan Brazil menguasai lebih dari setengah ekspor global kopi. Hal ini, menurut Bloomberg memicu adanya intensifikasi konsentrasi pasar. Negara-negara penghasil kopi menata ulang peta distribusi atau penjualan hasil produksinya.

Risiko tersembunyi di balik peningkatan harga

Kenaikan harga yang sangat signifikan cenderung memotivasi petani untuk menjual kopi sesegera mungkin karena kekhawatiran ketinggalan momentum. Khawatirnya, kualitas kopi yang dihasilkan justru akan menurun. Pertama, ada peluang petani memanen kopinya sebelum benar-benar matang sementara untuk mendapatkan kopi yang bagus, harus dimulai dari buah yang matang sempurna. Kedua, proses pascapanen tidak lagi menjadi prioritas. Kenapa harus memproses dengan cara-cara yang butuh usaha ekstra ketika harga kopi asalan saja sudah sangat menggiurkan.

Kedua, ada kemungkinan terjadinya perluasan kebun kopi di masa-masa yang akan datang. Petani sangat mungkin termotivasi untuk menambah luasan kebun dengan harapan bisa menambah kuantitas produksinya. Jika ada perluasan kebun, lahan-lahan hutan yang tersisa bisa-bisa semakin terdesak. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perluasan kebun kopi menjadi salah satu ancaman serius bagi kawasan hutan di negeri kita.

musim panen kopi 2024
Kontribusi lokal petani kopi di habitat Owa Jawa

Peningkatan harga menjadi berkah tersendiri bagi para petani kopi, termasuk petani kopi dari sekitar kawasan hutan habitat owa jawa di Kecamatan Petungkriyono dan Lebakbarang. Merekalah para petani yang telah lama bermitra dengan kami dalam upaya menumbuhkan usaha-usaha berkelanjutan bagi masyarakat di desa-desa penyangga habitat primata. Tanaman kopi telah lama menjadi bagian tak terpisahkan bagi area hutan alam maupun kebun-kebun penyangga habitat owa jawa.

Pada tahun ini, Swaraowa bersama Owa Coffee memfasilitasi para petani kopi untuk meningkatkan kualitas panen. Beberapa program telah dijalankan, meliputi fasilitasi sarana-prasarana, peningkatan kapasitas pengolahan, dan upaya membuka peluang pasar yang baru, sekaligus menyepakati hal-hal yang terkait perlindungan hutan dan pelestarian satwaliar. Dome pengering dibangun di tiga desa penghasil kopi di sekitar habitat owa jawa, yaitu: Kayupuring, Yosorejo, dan Mendolo. Tujuan fasilitasi dome pengering ini adalah agar proses penjemuran biji-biji kopi lebih terkontrol dan terhindar dari potensi terpapar bahan pengotor.

pelatihan pasca panen kopi
Program lainnya yang telah dijalankan adalah peningkatan kapasitas pengolahan pascapanen untuk para petani dan prosesor. Sebelum musim panen arabika, tepatnya bulan Maret lalu, kami berkumpul bersama para pemroses kopi dari Tlogohendro, Yosorejo, dan Kayupuring untuk merencanakan skema produksi dan saling berbagi pengetahuan dalam hal pemrosesan pascapanen. Pada awal Juni, bersamaan awal musim panen kopi robusta, kami mengorganisir kegiatan peningkatan kapasitas petani kopi di Mendolo, desa yang punya potensi robusta yang cukup besar. Kegiatan ini diikuti oleh 15 orang petani dari berbagai usia.

Kami meyakini bahwa salah satu kunci keberhasilan untuk menjamin keberlanjutan rantai pasok kopi adalah dengan mempertahankan peran-peran pihak yang terlibat. Riset kecil yang kami lakukan tahun lalu menyimpulkan bahwa ada kecenderungan keseimbangan peran gender dalam rantai produksi kopi di desa-desa penghasil. Kaum laki-laki dan perempuan memberikan kontribusi yang setara, namun pada bentuk aktivitas yang berbeda. Katakanlah kaum laki-laki lebih banyak menangani urusan kebun, sementara kaum perempuan punya peran besar pada proses-proses pascapanen seperti penjemuran, penyortiran, dan penyangraian. Peran-peran ini perlu dilestarikan agar tidak ada pihak yang tersisihkan.

dome pengeringan kopi 



Agroforestri untuk kebun yang ramah hidupan liar

Meskipun saat ini harga kopi sedang tinggi, tetapi kita harus siap jika koreksi harga datang sewaktu-waktu. Ketimbang melakukan ekstensifikasi, akan lebih baik mengoptimalkan kebun-kebun yang sudah ada. Skema agroforestri yaitu mengombinasi berbagai komoditas dalam satu luasan menjadi strategi yang bisa diambil oleh para petani. Melalui agroforestri, petani menghasilkan tidak hanya satu komoditas. Semisal, satu lahan berisi tanaman kopi, durian, jengkol, pisang, dll. Dengan demikian ketika terjadi koreksi harga kopi, petani masih punya komoditas lain yang bukan tidak mungkin justru harganya sedang naik.

Owa jawa ( Hylobates moloch)
Pada awal tahun ini, Swaraowa juga berkolaborasi dengan masyarakat pembudidaya lebah klanceng di Mendolo untuk melakukan penanaman pucung atau buah kepayang. Pucung ditanam di area sempadan, atau menjadi tanaman sela pada kebun agroforestri. Melalui penanaman ini, ada potensi diversivikasi produk petani; dan di sisi lain, diharapkan bisa memperbaiki kualitas habitat bagi satwa liar, khususnya primata. Mendolo sendiri merupakan habitat bagi lima spesies primata: owa jawa, lutung jawa, rekrekan, monyet ekor panjang, dan kukang jawa.

Monday, July 8, 2024

Workshop Aviturisme di Desa Kayupuring: Pengamatan Burung Sebagai Wisata Edukasi

 Oleh : Imam Taufiqurrahman

Foto bersama seluruh peserta workshop, 4 Juli 2024

Sebagai kegiatan yang bermuatan sains, dalam pengamatan burung terkandung unsur pendidikan lingkungan yang bisa menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Terkait itu, SwaraOwa bersama pengelola obyek wisata Welo Asri mengadakan Workshop Aviturisme bertema “Pengamatan Burung sebagai Wisata Edukatif”.

Workshop yang didukung ASAP dan OBC sebagai bagian dari pengembangan program konservasi raja-udang kalung-biru ini dilaksanakan di obyek wisata Welo Asri, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, 3-4 Juli 2024. Kegiatan dimaksudkan agar pengelola dapat memiliki bekal dan pengalaman dalam merancang, mengelola hingga menyelenggarakan wisata pengamatan burung bermuatan edukasi dan konservasi.

 Para pelajar dari Desa Kayupuring saat mengamati burung, 4 Juli 2024


Pengelola obyek wisata Welo Asri sebagai wadah yang bergerak di bidang wisata alam, telah memiliki potensi dan sarana prasana yang mendukung. Beragam jenis burung sebagai potensi dan obyek kegiatan utama dapat dijumpai di area obyek wisata. Selain itu, terdapat sarana dan prasarana yang cukup representatif untuk terlaksananya kegiatan, seperti area kemping, area terbuka, serta ruang pertemuan.

Workshop menghadirkan narasumber Zulqarnain Assiddiqi, Direktur Endemic Indonesia Society, Yogyakarta. Lembaga konservasi keragaman hayati tersebut memiliki bidang pendampingan bidang wisata alam dan edukasi dalam eco-education trip.

Zulqarnain Assiddiqi dalam sesi sharing hasil pengamatan, 4 Juli 2024
Pada pelaksanaan di hari pertama, narasumber membekali pengelola obyek wisata Welo Asri dasar-dasar pemahaman dan wawasan mengenai pendidikan lingkungan. Pemaparan pada sembilan orang peserta tersebut kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan persiapan pelaksanaan kegiatan wisata edukasi yang berlangsung di hari berikutnya.

Para pengelola diarahkan untuk mampu merancang kegiatan. Terutama dari merancang bentuk dan tujuan, menyiapkan jalur pengamatan, hingga pembagian tugas dan peran sebagai fasilitator.

Rancangan tersebut kemudian dijalankan di hari berikutnya. Sebanyak 21 remaja usia SMP-SMA dari pedukuhan Kayupuring dan Setipis, Desa Kayupuring, mengikuti kegiatan ini. Mereka dibagi dalam empat kelompok. Tiap kelompok didampingi oleh 1-2 anggota pengelola obyek wisata Welo Asri yang telah mendapat pembekalan di hari sebelumnya.

Jenis-jenis burung yang dijumpai tiap kelompok saat pengamatan, 4 Juli 2024


Sebagian besar remaja yang menjadi peserta mengaku belum pernah melakukan kegiatan pengamatan burung. Namun demikian, mereka tampak antusias mengikuti kegiatan serta mampu mengamati dan mengenali berbagai jenis burung di sekitar mereka.

Mereka diberi penugasan untuk mengamati jenis dan perilaku burung yang dijumpai, mengenali habitat, serta membuat gambar atau sketsa burung yang teramati. Dalam tiga jam pengamatan di sekitar obyek wisata Welo Asri, beberapa jenis burung berhasil dijumpai peserta, di antaranya cucak kutilang, merbah corok-corok, julang emas, dan cabai bunga-api.

Usai pengamatan, para peserta didampingi fasilitator bergiliran mempresentasikan hasil pengamatan mereka. Tak hanya itu, mereka pun diminta untuk berbagi kesan serta pengalaman selama mengikuti pengamatan.

Di akhir acara, para peserta diminta untuk memberikan evaluasi dan penilaian pada pengelola obyek wisata Welo Asri. Terdapat 12 aspek yang dinilai, mulai dari kejelasan tujuan kegiatan, kecakapan pengelola kegiatan, hingga kebermanfaatan kegiatan.

Secara umum, kegiatan dinilai cukup baik dan menyenangkan. Para peserta memberi skor 9,4 pada pengelola obyek wisata Welo Asri. Sementara, kemampuan fasilitator dalam memandu mendapat skor 9.

Para peserta mengungkapkan bahwa kegiatan pengamatan burung yang mereka ikuti terasa menarik dan memberi manfaat. Bagi pengelola obyek wisata Welo Asri sebagai penyelenggara, poin-poin penilaian tersebut menjadi masukan yang positif dan membangun untuk mereka dapat menjalankan dan mengembangkan kegiatan serupa ke depannya.

 

Wednesday, May 15, 2024

Pelatihan wisata pengamatan burung (Avitourism) Desa Mendolo

Oleh : Imam Taufiqurrahman

Foto bersama peserta avitorism workshop

Keragaman burung di kawasan lanskap pegunungan Dieng bagian utara-barat memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai ekowisata pengamatan burung atau aviturisme. Beberapa penyelenggaraan telah diinisiasi oleh Yayasan SwaraOwa sebagai upaya memperkenalkan dan mengekspos potensi burung yang ada, seperti Petungkriyono Bird Race, trip durian danburung, hingga Pertemuan Pengamat Burung Indonesia.

Dua kegiatan terakhir di atas terlaksana di Desa Mendolo dengan Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo sebagai organisasi penyelenggara. Kegiatan-kegiatan tersebut terbukti mampu menarik minat banyak orang untuk datang dan berdampak positif dalam konservasi serta perekonomian masyarakat desa.

Terkait hal itu, guna mengasah kemampuan para anggota PPM Mendolo dalam menata, mengelola dan melaksanakan trip aviturisme, Yayasan SwaraOwa mengadakan Workshop Aviturisme bertema “Pengelolaan Ekowisata Kukila Berbasis Masyarakat Desa”. Kegiatan ini mengawali upaya konservasi raja-udang kalung-biru Alcedo euryzona yang jadi bagian dari program dalam proyek yang didanai oleh ASAP Species Conservation Fund.

Acara berlangsung pada 1-3 Mei 2024, menghadirkan dua narasumber, yakni Waskito Kukuh Wibowo dari Birdikari Birding Tour dan Kelik Suparno dari Kelompok Tani Hutan Wanapaksi. Dalam sesi di hari pertama, Waskito mengawali pematerian dengan berbagi mengenai seluk-beluk aviturisme dan kepemanduan. Pematerian dihadiri oleh 27 peserta, mewakili tiga pedukuhan, yakni Sawahan, Mendolo Wetan, dan Mendolo Kulon.

Penyampaian materi oleh narasumber

Waskito berbagi pengalamannya berkecimpung dalam avitursime yang berawal dari hobinya dalam bird watching. Hobi tersebut memiliki banyak sisi manfaat, mencakup rekreasi, seni, olahraga, ilmu pengetahuan, dan konservasi. Hobi yang ditekuninya semenjak perkuliahan itu kemudian berlanjut hingga mampu ia kembangkan dan kelola sebagai bisnis profesional, tanpa meninggalkan aspek konservasi dan pemberdayaan masyarakat.

Di sela pematerian, Rohim, salah satu peserta, bertanya, “Sistemnya seperti apa, sehingga burung bisa dijual bukan dalam bentuk ditangkap atau diambil?”

Waskito memberi penjelasan, yakni dengan menjaga burung tetap di alam, tidak dieksploitasi atau diburu habis-habisan. Agar kalau burungnya ada dan menarik, orang yang punya hobi bird watching akan datang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri karena pasar yang semakin berkembang dengan kemudahan informasi dari media sosial.

“Berburu memang mendatangkan nilai ekonomi, tapi akan sampai kapan?,” sebut Waskito. Burung bisa cepat habis, apalagi burung-burung kicau. Terlebih lagi, semua burung sekarang laku. “Jadi,” ungkap Kukuh, “mung bakale payu sepisan”.

Sementara, aviturisme memberikan pilihan atau profesi untuk burung bisa hidup secara berkelanjutan. Sebagai bagian dari ekowisata, aviturisme akan mengutamakan konservasi, pemberdayaan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

Dalam pengelolaan aviturisme berbasis masyarakat desa, kerja-kerja yang ada dilakukan dalam tim atau kelompok. Mulai dari menyiapkan burung sebagai atraksi yang harus dilakukan pemantauan bersama hingga bagaimana mendatangkan tamu atau klien. Sehingga, ketika dikelola dengan baik akan dapat memberikan manfaat dan nilai ekonomi langsung ke banyak pihak di masyarakat, seperti guide atau pemandu, penyediaan penginapan, juga makanan dan oleh-oleh.

diskusi pembuatan jalur interpretasi

Sebagai pemandu, terdapat prinsip dan skill yang harus dikuasai. Itu mencakup pengetahuan area wisata, kemampuan komunikasi, empati dan pengertian, tidak membosankan, improvisasi dan adaptasi, fokus membangun hubungan, pendongeng dan aktor yang menarik, luwes, tepat waktu dan disiplin, profesional, serta keinginan untuk selalu belajar dan berbagi. Penguasaan-penguasaan di bidang itulah yang akan menjadi salah satu kunci bagi pemandu dalam aviturisme. Pemandu yang baik akan menguntungkan bagi keberlangsungan bisnis yang menjadi salah satu alternatif untuk menekan dampak eksploitasi burung di alam liar tersebut.

Dalam bisnis aviturisme, paling tidak ada tiga tipe atau kategori atau karakter wisatawan, yakni bird watcher, twitcher, dan bird photographer. Terkait hal tersebut, Kelik Suparno kemudian melanjutkan dalam materi ke-2 dengan memberikan gambaran mengenai dunia kepemanduan dan pengelolaan hide. Ia berbagi pengalaman dari yang dijalankannya bersama KTH Wanapaksi dalam memandu dan mengelola lokasi untuk menjadi area pengamatan.

Bagi peminat fotografi burung, keberadaan hide atau bilik persembunyian menjadi penting. Kelik memaparkan kebutuhan untuk membuat hide, baik untuk burung yang bersarang maupun untuk feeding. Hide harus terjamin keamanannya, baik untuk burung maupun untuk tamu. Dapat membuat orang tersembunyi dengan baik dan tidak terlihat oleh burung

Kelik pun memberi saran dalam pembuatan harus memperhitungkan waktu yang tepat. Dalam hide untuk burung bersarang, baru dibuka ketika burung sudah memasuki masa pengasuhan. Jangan di masa awal bersarang atau pengeraman yang menjadi periode sensitif.

Usai pemaparan dari Waskito dan Kelik, di sesi ke-3, Sidiq Harjanto mewakili Swaraowa memberikan pengantar simulasi pendataan sarang lewat aplikasi KoboCollect. Aplikasi yang dikelola secara internal tersebut cukup mudah dan sederhana. Namun demikian, mampu untuk melakukan pengumpulan data sarang dengan cepat sehingga kelak PPM Mendolo dapat mengetahui kecenderungan atau tren musim burung bersarang di desanya. Terpenting, mereka dapat dengan cepat mengidentifikasi penemu sarang dan pemilik lahan, yang nantinya akan menjadi pihak penerima manfaat ekonomi langsung dari aviturisme di Desa Mendolo.

Simulasi dan Praktik

simulasi dan praktik kepemanduan pengamatan burung

Hari ke-2 dilanjutkan dengan simulasi dan praktik. Terdapat empat materi yang dilaksanakan, yakni simulasi pembuatan jalur birding, pendataan sarang, praktik teknik guiding, dan hide. Para peserta dibagi dalam dua kelompok.

Dari simulasi pembuatan jalur pengamatan burung, para peserta diarahkan untuk mengidentifikasi potensi yang ada pada jalur, mengevaluasi kelebihan dan kekurangan, serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan jalur. Hasil dari simulasi tersebut dituangkan dalam peta interpretasi yang dipresentasikan masing-masing tim. Saat presentasi, para peserta juga mengidentifkasi dan mengevaluasi hide yang telah ada.

burung Caladi tikotok jawa (Hemicircus concretus) di Ds.Mendolo


Dalam diskusi mengenai praktik kepemanduan, para peserta mendapati beberapa kesulitan yang ditemui. Terutama dalam mengidentifikasi jenis, mengarahkan orang lain untuk melihat burung, serta mengidentifikasi sarang aktif atau tidak aktif. Seperti yang terjadi beberapa hari sebelum acara ini, ada temuan burung pelatuk, dikiranya itu pelatuk yang umum terlihat di sekitar hutan Mendolo, ternyata adalah salah satu jenis burung pelatuk endemik Jawa.

Para narasumber yang mendampingi memberi masukan bahwa kemampuan mengenali jenis burung menjadi dasar yang harus terus dilatih atau diasah. Hal tersebut merupakan keterampilan akan semakin baik ketika terus dilakukan atau seiring tingginya jam keker peserta. Termasuk penguasaan alat, seperti binokuler dan monokuler. Mengetahui nama-nama jenis burung dalam bahasa Indonesia juga diperlukan, mengingat para peserta yang terbiasa menyebutkan nama burung dalam bahasa setempat.

Para narasumber juga memberikan tips, misalnya selalu menghidupkan suasana saat pengamatan. Kemampuan dalam membangun komunikasi yang interaktif kepada para tamu nantinya sangat berguna. Seorang pemandu dapat bercerita soal potensi yang tidak hanya soal jenis burung, tetapi hal-hal lain yang ditemui, macam tanaman, serangga, kebiasaan, dan sebagainya.

 

 

 

 

 

 

Monday, April 22, 2024

Bokkoi, primata endemik Mentawai mencoba selfie dengan camera trap

 oleh Arif Setiawan

Bokkoi ( Macaca siberu)

Primata mentawai dengan segala keunikannya sudah seharusnya menjadi perhatian banyak pihak, 6  jenis primate endemik hanya ada di temui di Kepulauan Mentawai, Bilou – (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca siberu),Siteut ( Macaca pagensis), Atapaipai ( Presbytis potenziani), Joja ( Presbytis siberu), dan Simakobu ( Simias concolor), yang terakhir ini bahkan endemic di level genus- monotypic genus.  

Status konservasi ke-6 primata ini,terancam punah semuanya bahkan simakobu sudah masuk kategori kritis, artinya apabila tidak ada internvensi  konservasi sangat mungkin primata-primata asli kepulauan Mentawai ini akan punah.

Malinggai Uma Mentawai, sebagai salah satu organisasi sosial Masyarakat telah dan sedang menginisiasi pelestarian primata Mentawai dengan melakukan monitoring rutin dengan menggunakan camera jebak.

Pemasangan camera jebak oleh tim Malinggai Uma

Sejak bulan awal tahun ini, swaraowa berkolaborasi dengan tim malinggai uma mentawai di siberut untuk memantau jenis-jenis primata Mentawai, khususnya untuk jenis yang sering turun ketanah. Bokkoi  atau beruk Mentawai meskipun hidup dalam kelompok yang relative besar namun perjumpaan langsung melalui kegiatan survey sangat rendah sekali  encounter rate-nya, karena mereka telah mengalami tekanan yang tinggi dari perburuan, sehingga ketika mendeteksi keberadaan manusia langsung secepatnya lari dan bersembunyi. Namun mereka  biasanya kadang bisa kita deteksi dari jejak-jejak sisa-sisa makanan, dan suara  dan  pergerakannya. 

Kelompok Bokkoi sedang makan di depan camera

Tim Malingai Uma Mentawai di Siberut, telah mencoba memasang camera trap untuk mendeteksi keberadaan Bokkoi, camera ini di pasang di hutan di siberut Selatan, selama dua minggu, tujuannya adalah mencoba melihat ukuran kelompok dari Bokkoi, ada berapa jumlah individu bokkoi dalam satu kelompok.

Pemasangan di bulan Maret 2024 oleh tim Malinggai menggunakan umpan yang di letakkan di depan camera trap, berupa batang sagu dan buah cempedak hutan, sebelum pemasangan lokasi terlebih dahulu di survey, dan keberadaan Bokkoi telah terdeteksi dari suara , jejak dan sisa sisa makannya yang ditinggalkan.

Kamera dipasang selama kurang lebih dua minggu, dan menggunakan mode video dan berhasil mendapatkan video 2 jenis primata yaitu Joja dan Bokkoi.

 Joja ( Presbytis siberu)


Wednesday, April 17, 2024

Sekali tanam, tak habis petik manfaat

 Oleh: Sidiq Harjanto

 

Persemaian Mendolo, membuat bibit durian


Musim kemarau tahun 2023 yang diwarnai dengan fenomena el-nino membawa dampak kekurangan air di berbagai wilayah. Tak terkecuali dirasakan pula oleh masyarakat di site kegiatan kami Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang. Di Dusun Mendolo Wetan, suplai air melalui Pamsimas untuk kebutuhan rumah tangga bahkan tidak mencukupi. Sumber air di Gunung Pawon tak lagi mampu mengairi sekira lima puluh rumah warga. Beruntungnya, ada beberapa mata air kecil di sekitar dusun yang masih mengeluarkan air.

 Masyarakat Dusun Sawahan, yang mayoritas merupakan petani durian, terpaksa berebut air untuk mengairi pohon-pohon durian usai musim pembungaan. Kalau tidak disusul dengan penyiraman, buah-buah muda bisa-bisa rontok tak bersisa. Beberapa mata-air yang muncul di alur-alur/anak sungai yang masuk ke Kali Wisnu debitnya jauh menyusut dampak kemarau panjang.

 Kali Wisnu sendiri adalah badan air yang membelah Desa Mendolo dan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sengkarang. Menjadi urat nadi kehidupan masyarakat, keberadaan sungai ini menunjang kebutuhan sehari-hari, menyuplai kebutuhan pertanian, dan menjadi sumber energi melalui pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

 Kondisi kekeringan telah menebalkan tekad masyarakat Desa Mendolo untuk melakukan gerakan penanaman di area-area terbuka. Program pembibitan pohon hutan yang dikelola Paguyunan Petani Muda Mendolo menghasilkan sekira 200 bibit pucung (Pangium edule) yang mulai ditanam sejak awal tahun ini. Jenis ini dipilih karena dua alasan utama. Pertama, pucung sangat baik menjaga tata air. Kebanyakan mata air di Mendolo terlindung di antara pohon-pohon pucung berukuran raksasa.

bibit pohon Pucung, di persemaian Mendolo
 Alasan kedua, biji buah pucung bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Dikenal sebagai buah kepayang, biji pucung mengandung racun sianida. Tentu sangat berbahaya jika dikonsumsi langsung. Namun, jika diproses dengan benar, biji pucung menjelma menjadi olahan lezat. Masyarakat menyebutnya blibar. Kalau difermentasi lebih lanjut sampai 40 hari, bisa dihasilkan kluwak, bumbu masak berwarna hitam yang khas digunakan untuk brongkos dan rawon. Di Pekalongan sendiri, ada kuliner pindang tetel yang memakai kluwak sebagai bumbu utama.

 Ciptakan koridor satwa

Dengan menanam pohon, banyak manfaat bisa dipetik. Terjaganya suplai air, misalnya. Pepohonan punya fungsi dalam melindungi tanah dari erosi dan aliran permukaan (surface runoff), serta mampu menyimpan air. Pohon dan hutan yang lestari menjadi kunci bagi ketersediaan air yang mencukupi. Tentu masih banyak manfaat lainnya dari aktivitas menanam pohon dan memelihara hutan bagi ekosistem kita.

 Menanam pohon tidak hanya mendatangkan manfaat bagi manusia. Satwa liar juga diuntungkan saat pohon-pohon di hutan masih terawat.  Pada konteks Mendolo, menanam pohon ditujukan untuk menciptakan koridor-koridor agar populasi primata dan aneka satwa lainnya tetap saling terkoneksi. Swaraowa sangat mendukung program rehabilitasi sempadan Kali Wisnu, mengingat kawasan ini juga sangat penting bagi aneka hidupan liar, seperti: jenis-jenis primata, burung, herpetofauna, ikan, dan banyak jenis serangga.

 Terinspirasi dari program jangka panjang konservasi berbasis masyarakat untuk howler monkey di Belize (https://www.howlermonkey.org/), kami memfasilitasi para petani yang lahan kelolaannya dilalui sungai maupun anak-anak sungai untuk menghijaukan kembali area sempadannya. Zona sempadan inilah, sebagaimana dimaksud di atas, nantinya berfungsi menjadi koridor-koridor yang menghubungkan populasi-populasi satwa sehingga terhindar dari ancaman penurunan kualitas gen atau hanyutan genetik (genetic drift) akibat fragmentasi atau isolasi habitat.


Kukang Jawa ( Nycticebus coucang), di habitat wanatani durian ds.Mendolo

 Lebih jauh lagi, masyarakat diharapkan menjadi bagian aktif dari gerakan konservasi primata itu sendiri. Kawasan hutan Desa Mendolo menjadi habitat bagi lima jenis primata jawa: owa jawa, lutung jawa, rekrekan/surili, monyet ekor panjang, dan kukang jawa. Dengan kekayaan jenis-jenis primata dan kesadaran serta partisipasi masyarakatnya yang terus tumbuh, desa ini potensial untuk menjadi pionir dalam gerakan konservasi primata berbasis masyarakat.

 Selain jenis-jenis primata, burung raja udang kalung biru (Alcedo euryzona) menjadi spesies prioritas lainnya. Burung ini membutuhkan habitat sungai yang ternaungi hutan alam. Fragmentasi habitat dan pengurangan tutupan vegetasi menjadi ancaman serius bagi jenis burung dengan status keterancaman kritis (CR) ini. Oleh karenanya, merawat vegetasi di sempadan sungai dan merehabilitasi area-area terbuka menjadi keniscayaan dalam upaya melestarikan si burung pemalu ini.

Raja udang Kalung Biru ( Alcedo euryzona) 

 Para peternak lebah jadi ujung tombak

Komunitas peternak lebah klanceng di Dusun Sawahan memelopori gerakan penanaman ini. Dari kurang lebih 20 orang petani yang merelakan lahannya ditanami, sebagian merupakan pembudidaya lebah klanceng (lebah nirsengat). Keseimbangan ekosistem menjadi isu penting bagi peternak lebah. Dari situlah semangat menanam muncul. Menanam pohon berarti menyediakan habitat, pakan, maupun kebutuhan vital lainnya bagi kelangsungan hidup lebah.

 Seturut dengan warga Sawahan, Kelompok Tani Hutan Podo Dadi Dusun Mendolo Wetan, yang sebagian besar anggotanya juga peternak lebah dan pemanen madu hutan juga berencana melakukan kegiatan pembibitan dan penanaman serupa. Sebelumnya, para peternak lebah di Mendolo Wetan telah mengidentifikasi lebih dari 30 jenis pohon hutan yang penting dalam mendukung usaha perlebahan yang telah mereka rintis. Beberapa jenis pohon hutan paling disukai oleh lebah, antara lain: sarangan, kayu babi, dan nagasari.

 Program budidaya lebah telah diinisiasi oleh Swaraowa pada 2017, bertujuan untuk menumbuhkan alternatif ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan. Budidaya lebah juga digadang mampu menjadi media untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya merawat hutan. Sebagai serangga penyerbuk yang dominan, keberadaan populasi lebah sangat bernilai bagi keberlanjutan ekosistem hutan itu sendiri. 

 

Tuesday, March 5, 2024

Partisipasi Swaraowa di Acara Perayaan Hari Satwaliar Sedunia

 World Wildlife Day Regional Youth Symposium 24-25 February 2024, Singapura

Oleh : Kurnia Ahmaddin dan Nur Aoliya




World Wildlife Day (WWD) merupakan hari untuk merayakan keragaman satwaliar di seluruh dunia dan memperingati penandatanganan pertama Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tanggal 3 Maret 1973. Dalam rangka perayaan global ini, National Parks Board (NParks) Singapura menggagas acara World Wild Life Day Regional Symposium yang menyoroti hidupan liar  Asia Tenggara. Acara ini diselenggarakan oleh anak muda ( dibawah usia 35 tahun) yang tergabung dalam program Youth Stewards for Nature dari NParks. Agenda tahunan yang dimulai sejak 2022 ini di selenggarakan pada tanggal 24-25 Feb 2024 di Singapura. Acara ini dihadiri lebih dari 300 peserta, yang terdiri dari anak-anak muda dari regional asia Tenggara yang tertarik atau sedang belajar dan bahkan terlibat dalam konservasi alam dan satwa liar. Peserta juga merupakan perwakilan dari regional negara anggota ASEAN yang diundang oleh peyelenggara. Lebih dari 10 lembaga konservasi dari Indonesia diundang untuk mengikuti simposium ini, termasuk kami dua orang delegasi yang mewakili  Swaraowa

Tema global WWD 2024 adalah “Connecting People and Planet: Exploring Digital Innovation in Wildlife Conservation”. Sesuai dengan tema tersebut acara ini memiliki lima tujuan utama, yaitu : 1) Membangun jaringan konservasi generasi muda di Asia Tenggara. 2) Menghubungkan generasi muda dengan mentor di bidang konservasi satwa liar. 3) Meningkatkan kesadaran internasional akan praktik konservasi inovatif di Asia Tenggara. 4) Menyoroti solusi digital baru untuk pemantauan dan perlindungan satwa liar. 5) Mendorong pengelolaan lingkungan dan perlindungan alam untuk masa depan. Acara terdiri dari seminar dari para ahli yang bergeak dibidang konservasi alam dan satwaliar, focus group discussion, workshop dan youth show case.


Acara pada hari pertama dimulai dengan pembukaan berupa sambutan oleh ministry for national development Singapore Mr. Desmond Lee. Sambutan kedua disampaikan oleh Dr. Sonja Luz yang merupakan CEO Mandai Nature dan ditutup dengan pesan yang disampaikan oleh Ms. Ivonne Higuero sebagai Sekretaris Jenderal CITES melalui video yang dibuat khusus untuk membuka acara ini.  Acara dilanjukan dengan seminar sesi pertama mengenai konservasi biodiveritas yang dibantu dengan teknologi. Pemateri pertama adalah Mr Nguyen Van Thai dari Vietnam yang menyampaikan presentasi mengenai penggunaan kamera trap, drone, SMART patrol dan GPS tracker untuk patroli pemantauan satwa liar dan tindak perburuan di Vietnam. Garis besar paparannya adalah penggunaan kamera trap yang diengkapi dengan penguat sinyal untuk pemantaun perburuan secara ‘realtime’. Lebih lanjut lagi beliau bercerita mengenai penggunaan GPS tracker untuk mengetahui keberadaan Trenggiling (Manis sp.) dan untuk mencari keberadaan tregiling tersebut antena tracker dipasangkan pada drone sehingga jangkauan pencarian lebih luas dan cepat dibandingkan tracking manual hanya mengandalkan manusia.

Pemateri selanjutnya adalah Mr. Malcom Soh dari National Park Board Singapore yang mempresentasikan mengenai koleksi data satwa liar dan tumbuhan dengan kamera trap dan alat perekam pasif serta upaya pencegahan konflik antara manusia dan satwa Liar. Pemateri ketiga adalah Anton L. Delgado dari Pulitzer Center Cambodia point besar penyampaiannya adalah pentingnya penggunaan sosial media oleh anak-anak muda dalam melaporkan atau memberitakan kejahatan perdagangan satwa liar di Kamboja. Selepas makan siang  Ms Trang Nguyen dari WildAct Vietnam dan Ms. Reaksmey Luy dari CEPA Kamboja bercerita mengenai pentingnya pendidikan dan peranan wanita dalam perlindungan satwa liar di negara mereka. Sebagai penutup sesi seminar Bapak Alex Waisimon  dari Isyo Hill’s Eco-Tourism Papua Indonesia menuturkan kepada kami para peserta untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dan satwa liar. Beliau bercerita mengenai proses merubah pemburu burung untuk aktif menjadi guide wisata pengamatan burung di Papua.


Menutup rangkaian hari pertama acara, semua peserta mengikuti focus group discussion yang difasilitasi oleh youth biodiversity leaders dari seluruh ASEAN. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil 10-12 orang/kelompok dan diberikan sekenario tertentu dimana setiap orang dalam kelompok tersebut memilik peran masing-masing sebagai pemangku kepentingan.  Dari kegiatan ini peserta belajar mengenai tantangan dan peluang dalam pelibatan pemangku kepentingan untuk konservasi keanekaragaman hayati.

Hari kedua peserta dibebaskan memilih workshop yang diadakan, dimana tersedia 10 workshop dari Lembaga-lembaga di Sigapura. Beberapa workshop diantaranya adalah kunjungan ke Mandai Nature untuk melihat konservasi burung secara ex-situ  dan mengetahui bagaimana penggunaan teknologi dalam Singapore Zoo. Peserta yang tertarik dengan konservasi terumbu karang juga dapat mengujungi workshop di St John’s Island National Marine Laboratory (SJINML). Peserta yang lebih tertarik dengan kegiatan kampanye dapat mengikuti wokshop di ArtScience Museum, WWF-Singapore Workshop, Global Youth Biodiversity Network Southeast Asia, dan Nature Storytelling Workshop. Kami memilih untuk mengikuti Ethnobotany Workshop: Connecting People, Plants and Culture di Singapore Botanic Gardens dan LKCNHM Workshop: Revealing Conservation Narratives through Taxonomy di Lee Kong Chian Natural History Museum (LKCNHM).

Acara terakhir ditutup dengan youth show case yang merupakan presentasi dari proyek-proyek konservasi yang diprakarsai oleh pemuda di kawasan ASEAN. Adapun penampilan proyek tersebut berupa pemaparan poster dan Indonesia menampilkan dua  proyek yaitu dari Nusa Biodiversitas Indonesia dan PROGRES Sulawesi yang menampilkan kegiatan pendampingan masyarakat di Lombok dan Sulawesi. Kami juga menyaksikan presenter poster dari negara lain seperti Kamboja, Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Acara ditutup dengan foto bersama seluruh peserta yang mengikuti rangkaian acara.

Kami merasa sangat beruntung menjadi bagian dari Simposium pemuda ini. Hal ini karena kami mendapatkan pengetahuan baru yang disampaikan oleh pengisi seminar dan fasilitator workshop, kami juga dapat menambah jaringan pertemanan di Asia Tenggara. Bayaknya peserta muda yang hadir merupakan secercah harapan mengenai regenerasi dan tersambungnya rantai generasi konservasi biodiversitas di Asia Tenggara. Salam Konservasi