Friday, July 27, 2018

Owa jawa : dalam riuh derasnya Kali Paingan





Halo, perkenalkan saya Fadhil mahasiswa tingkat akhir departemen Biologi Universitas Diponegoro, Semarang, penikmat masakan ibu dan saya suka berkegiatan di alam.

Menjelang akhir tahun 2017, pergolakan dalam hati saya semakin menuju titik puncaknya, ketika teman seangkatan sebagian besar sudah memiliki konsep yang akan mereka bawa untuk tugas akhirnya. namun saya, jangankan konsep topik saja saya tidak punya, karena ilmu biologi murni itu sangat luas.

Saya baru ingat, sebelumnya saya sempat mengikuti kegiatan pelatihan dan pengamatan Owa Jawa di Petungkriyono, yang di selenggarakan oleh Swaraowa tahun lalu,  saya sadar begitu kayanya Indonesia dengan banyak spesies primata endemik yang mendiami bumi pertiwi. Kecintaan akan primata semakin bertumbuh, saya kemudian memutuskan mewujudkannya dalam topik tugas akhir yang menghantarkan saya jauh ke pedalaman hutan tropis sungai Kali Paingan, di Desa Linggo Asri, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan.
Jalur Jurang Jero, Kalipaingan

Secara topografi, sungai yang berada 2 kilometer dari objek wisata Linggo Asri ini dikelilingi oleh perbukitan hutan tropis yang lebat. Kawasan hutan lindung ini dikelola oleh Perhutani dan sebagian lainnya digarap sebagai perkebunan dan pertanian oleh warga. Aktivitas pariwisata menjadi primadona disini, LMDH Kali Paingan sebagai pengelola menyediakan beragam fasilitas wisata seperti outbond, fun rafting, river tubbing, serta jungle tracking. Selain itu fasilitas penunjang berupa mushalla, aula, makanan & minuman, perpustakaan dan toilet. Semuanya lengkap dan terangkum menempatkan sungai Kali Paingan menjadi porosnya.

Dalam penelitian ini saya berusaha untuk mengetahui berapa populasi Owa jawa yang mendiami hutan lindung kali paingan dengan menggunakan metode jalur “line transect”. Jalur yang saya gunakan berupa jalan setapak dengan 2 jalur berbeda yakni jalur kali wadas mewakili sisi timur dan jalur jurang jero yang mewakili sisi barat kali paingan. Pada bulan april lalu saya menetap dan tinggal bersama kru “Kali Paingan Adventure” selama hampir 1 bulan. Sepuluh hari bersih digunakan untuk pengamatan, masing 5 hari pada pada dua jalur berbeda.

 
Owa yang mencari makan di Pohon Benda
Pengamatan pertama jalur Kali wadas. Nama jalur ini diambil dari nama anak sungai Kali Paingan. Jarak yang harus ditempuh adalah sekitar 4 km dari pemukiman warga terdekat. Jarak yang lumayan jauh dan medan yang cukup sulit menguji ketahanan fisik saya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal saya mensiasati untuk memulai aktivitas pengamatan lebih pagi sekitar jam 05.30 WIB. Hari pertama membuahkan hasil, setelah perjalanan dan beberapa jam penantian, akhirnya terpantau 2 individu jantan dan betina yang sedang bergelantungan pada pohon Pukuran (Ficus sinuata). Saya rasa ini merupakan pasangan muda karena sekilas perawakan tubuhnya tidak terlalu besar untuk sekelas owa jawa dewasa. Keesokan harinya saya kembali lagi, dengan kondisi hari yang masih pagi buta saya mempercepat gerak langkah agar tidak kehilangan momentum sedikitpun. Ketika hampir sampai pada pos pengamatan, tiba – tiba terdengar suara gemuruh pada pohon, saya berusaha agar tetap tenang dan mengamati kondisi sekitar, dugaan saya benar. Terdapat 2 individu dewasa dan 1 individu muda sedang melakukan akrobatik berpindah dari satu pohon menuju pohon Benda (Artocarpus elasticus (Blume)).
Habitat Owa Jawa di Kalipaingan

Pada ujung jalur ini terdapat lahan pertanian warga dan juga sebuah gubuk petani yang saya gunakan untuk beristirahat dan mengamati owa jawa dan primata lain karena lokasinya yang cukup strategis. Selain Owa jawa, beberapa primata endemik seperti rekrekan dan lutung juga dijumpai disini. Pada jalur ini vegetasi bambu (Bambusa vulgaris), beberapa pohon pakan lainnya seperti pohon Benda (Artocarpus elasticus (Blume)) dan pohon pukuran (Ficus sinuata )  adalah yang mendominasi sehingga jalur ini memang habitat yang cocok untuk primata melangsungkan hidupnya. Pengamatan tetap dilanjutkan hingga hari kelima, namun tidak ada tanda – tanda kehadiran kembali owa jawa.
Peta lokasi penelitian di Kalipaingan

Pengamatan kedua di jalur Jurang Jero. Seperti namanya, jalur ini berada diatas jurang yang terhubung dengan sungai kali paingan di bawahnya. Jarak yang ditempuh cukup singkat di banding jalur kali wadas yakni sekitar 2 km namun harus melewati jalan setapak yang menanjak. Pengamatan hari pertama saya menemukan 3 individu, 2 individu dewasa dan 1 individu muda. Kelompok ini sedang melakukan brakhiasi pada percabangan pohon buluh (Urostigma glaberrimum (Blume)). Hari kedua tidak membuahkan hasil, namun keesokan harinya, ada yang membuat saya terkagum – kagum. Saya menemukan 1 kelompok owa jawa yang lengkap, terdapat 4 individu, dua diantaranya pasangan induk dan dua lainnya adalah satu juvenile dan 1 bayi (infant) yang masing dalam gendongan induknya.

Dari keseluruhan data yang telah diperoleh, saya berhasil menemukan 4 kelompok Owa jawa  dengan ukuran beragam. Komposisi 2 pasangan induk dan 1 anak menjadi ukuran kelompok tertinggi yang dapat dijumpai pada dua jalur. Vegetasi kedua jalur sangat mendukung kehidupan owa jawa maupun primata yang lain. Pohon pakan favorit seperti pohon Benda, rumpun Bambu, pohon buluh dan pohon Pukuran tersedia pada dua jalur ini. 

bersama crew Kalipaingan

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Swaraowa yang sudah mendukung kegiatan penelitian ini, tak lupa juga kepada seluruh kru “Kali Paingan Adventure” terutama mas Sidik yang telah mendukung dan memfasilitasi kegiatan pengamatan selama di lapangan. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan menjadi salah satu bagian dari agen konservasi owa jawa. Semoga penelitian dapat bermanfaat bagi kita semua.


Panjang umur konservasi!


Penulis :
M. Fadhil Randa Putra

randa_fadhil@yahoo.com










Sunday, July 15, 2018

SwaraOwa di Kongress Asosiasi untuk Biologi Tropis dan Konservasi 2018


Bertemu dengan komunitas global, merupakan salah satu sumber pengetahuan yang selama ini  sangat berguna untuk membangun jaringan di tingkat internasional untuk pelestarian Owa di Indonesia. Hal itu sangat terasa sekali ketika swaraowa menghadiri acara kongres tahunan Associatio for Tropical Biodiversity and Conservation  (ATBC) tanggal1-5 Juli 2018 di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Acara ini adalah pertemuan para peneliti, akademisi, pegiat konservasi, pemerintah, NGO, untuk mempresentasikan, ide, hasil penelitian, kisah sukses dan juga  tantangan kegiatan konservasi untuk keanekaragaman hayati di berbagai tipe habitat, di banyak negara-negara tropis asia pasifik. Kurang lebih ada 800 peserta terdaftar di acara ini,mewakili  60 negara.
Poster presentasi, di kongress ATBC Kuching, Sarawak, Malaysia 2018

Acara ini swaraowa membawa poster presentasi tentang kegiatan pengembangan komunitas disekitar habitat asli primata terancam punah di Jawa Tengah (Owa jawa) dan Kepulauan Mentawai (Bilou). Baca disini presentasi poster kami berjudul “ Grassroot initiative for conservation of Endangered Gibbon in Mentawai and Java” .  Kesempatan bertemu dengan para ahli, belajar metode-metode penelitian, aplikasi teknologi untuk konservasi dan lebih khusus lagi berjumpa dengan pemerhati primata dari berbagai negara menjadi ajang saling bertukar informasi dan membangun jaringan untuk pelestarian keanekargaman hayati. Saling menguatkan bahwa kita mempunyai keanekaragaman hayati yang menjadi identitas kita di komunitas global.

Meskipun kami terlambat 2 hari di acara ini, baru datang dan mempresentasikan kegiatan kami di hari ke-tiga, masih banyak presentasi-presentasi yang menarik untuk di ikuti. Beberapa presentasi yang sempat  kami ikuti mulai hari ke 3, di antaranya : presentasi dari salah satu keynote speaker berjudul “ Supermarkets – Superhigways : The wildlife trade in Southeast Asia, oleh Kanitha Krishnasamy (TRAFFIC), dan sungguh kalau melihat langsung presentasi ini betapa satwaliar bisa dibilang adalah komoditas yang nilai ekonominya sangat tinggi, dan ini melalui pasar illegal global. Perdagangan satwaliar inilah, yang menghilangkan populasi di alam, melalui jaringan kriminal global, asia tenggara, sebagai pusat keanekargaman hayati tropis, ternyata juga menjadi jalur perdangangan utama, tempat transit, transaksi dan konsumen dari perdagangan satwaliar di asia sendiri, bahkan dunia.Beruntung sekali menemukan rekaman presentasi ini di youtube, simak disini :



Ada presentasi lain, tentang prediksi kepunahan beberapa species mamalia di sunda land, terkait dengan teori island biogeography dan pengaruh manusia, di presentasi ini menyebutkan Owa dari Mentawai (Hylobates klossii) yang di prediksi mengalami kepunahan di massa mendatang. Presentasi-presentasi tentang community development dan pembangunan berkelanjutan juga menjadi topik khusus juga dan sepertinya juga di beberapa tahun kedepan akan mejadi tema besar dan terus berkembang, melihat banyaknya presentasi di bidang ini, 3 hari terakhir symposium.

Simposium khusus tentang penelitian dan konservasi jenis-jenis Owa di hari terakhir, kami melakukan live tweet di acara ini, baca thread nya disini :


informasi lebih lanjut baca di http://atbc2018.org/

Monday, July 9, 2018

Pelatihan Jurnalistik : Melatih kemampuan menyampaikan berita konservasi


Ketika mendapat email berisi undangan tentang pelatihan Jurnalistik dari Borneo Nature Foundation (BNF) merasa sangat beruntung sekali, karena inilah dari beberapa skill khusus yang di saat ini sangat di butuhkan di dalam sebuah tim konservasi, dan sudah lama menantikan pelatihan semacam ini terkait dengan konservasi atau pelestarian alam. Jurnalism, kalau di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia Jurnalistik berarti kewartawanan, berasal dari suku kata warta, atau berita. Wartawan atau journalist  orang yang menyampaikan berita, berdasarkan KKBI online wartawan/ juru warta : orang yang pekerjaanya mencari dan menyusun berita untuk dibuat dalam surat kabar, majalah radio televesi,  atau media massa lainya video documenter, juga melalui internet, dan media sosial .
Mas Een dari Infis, peran video dokumenter penting bagi konservasi

Tanggal 23-26 Juni, bertempat di kota habitat  7 jenis primata Kalimantan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menjadi motivasi tersendiri untuk memenuhi undangan pelatihan ini, melihat langsung primata di habitat aslinya. Orangutan, owa, lutung merah, adalah beberapa primata Kalimantan yang masuk dalam daftar harus dilihat kalau ke Kalimantan. Selain itu motivasi untuk ikut bergabung dengan acara ini adalah untuk mengasah ketrampilan menyuarakan mereka yang “tidak bisa bersuara”, menyuarakan pelestarian hidupan liar dan keberlanjutan lingkungan sekitar kita.
Tira dan Sue memandu acara pelatihan 

Ada 2 jurnalist internasional yang di undang memandu acara ini yaitu,  Tira Subbart dan Sue Phillips, keduanya adalah journalist pemenang berbagai penghargaan internasional yang kini selain bekerja sebagai jurnalist, kedua sahabat ini juga  beraktifitas untuk konservasi Badak di Afrika. Tira Subbart bisa di baca profilnya disini http://www.tirashubart.com/index.html, dan Sue Philiphs adalah Network Director Aljazeera baca disini : https://www.independent.co.uk/news/media/my-life-in-media-sue-phillips-837999.html.

Hari pertama pelatihan Tira dan Sue , menekankan bahwa informasi tentang konservasi ini harus dengan mudah di sampaikan kepada audience, oleh karena itu target audience juga perlu pertimbangan, pemilihan bahasa untuk komunikasi. Misalnya bahasa untuk warga sekitar hutan, tentu sangat berbeda dengan menulis berita untuk para pembuat kebijakan, untuk publik, juga untuk target donor atau pihak-pihak yang telah mendukung program konservasi yang sedang kita jalankan.
Sue philiphs, menekankan pentingnya International audience, karena biasanya public  international lebih tertarik dengan berita-berita tentang hidupan liar dan konservasi. Contohnya tentang berita kematian Badak putih beberapa waktu lalu, menjadi headline hampir semua media mainstream. Sue juga menekankan kita sebagai feeder  untuk para jurnalist, karena kita punya keterbatasan menulis dan bahasa yang kadang terlalu akademis. Cotohnya kita memberikan informasi kepada jurnalist dan jurnalist akan menulis dan menyebarkan ke seluruh dunia melalui jaringan penyiarannya.

Budaya jurnalisme di Indonesia mungkin juga ada bedanya dengan jurnalisme di beberapa negara maju, hal ini juga menjadi topik diskusi bersama bahwa kondisi di daerah, dimana merupakan habitat asli keanekaragaman hayati belum mempunyai porsi yang cukup, di koran misalnya berita lingkungan ini sangat sedikit sekali di tampilkan. Dan juga seringkali untuk di banyak daerah di Indonesia untuk menampilkan berita juga harus mengeluarkan biaya tidak sedikit, untuk sebuah event yang dimuat di harian surat kabar. Kadang meskipun sudah ada biaya untuk mengundang jurnalist datang beritanya juga tidak dimuat. Membangun budya jurnalisme yang sehat masih menjadi tantangan tersendiri untuk berita-berita konservasi dan keanekaraman hayati.

Teknik-teknik penyampaian informasi juga menjadi kunci dari sebuah berita, profiling sebuah isu, berita positif seperti temuan keanekargaman hayati, atau keberhasilan sebuah upaya konservasi bisa menarik perhatian publik, selain berita negatif yang menyajikan kerusakan-kerusakan dan kehilangan keanekargaman hayati. Dan pemilihan kata-kata yang sesuai mudah di pahami oleh masyarakat luas akan mempermudah menyampaian pesan-pesan konservasi. Contohnya orang dengan mudah memahami bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia ini seluas lapangan sepak bola per bulan, daripada ukuran 1 hektar per bulan.

Sosial media juga sangat penting saat ini digunakan, oleh karena itu juga harus di gunakan secara serius, untuk menyampaikan pesan-pesan konservasi. Tira menceritakan kenapa dia lebih memilih twitter untuk bersosial media, karena twitter ada faktor human intelligent disbanding facebook atau yang lainnya yang menggunakan  algoritma.
Peserta pelatihan, sedang mendengarkan pemaparan peneliti BNF

Rahmadi Rahmad dari Mongabay Indonesia juga turut berbagi pengalaman di acara ini, menceritakan kisah-kisah peliputan sebuah kasus konservasi yang terjadi di Indonesia. Yang terbaru adalah tentang gajah Bunta yang di racun dan di ambil gadingnya, foto-foto ketika Bunta masih hidup ketika bekerja digunakan untuk mengusir serangan gajah-gajah liar di tampilkan dan sangat sadis ketika gajah ini mati di racun dengan rahang mengaga lebar di potong gadingnya  (baca disini : https://www.mongabay.co.id/2018/06/10/tangkap-pembunuh-gajah-patroli-di-cru-aceh-timur/ ) Mas Rahmadi Rahamad, menjelaskan bahwa untuk berita-berita itu tidak perlu menunggu moment, tapi harus bisa menciptakan moment.

Een Erawan Putra, dari INFIS (Indonesian Nature Film Society) memberikan cerita di acara ini dengan pengalaman-pengalama memvisualisasikan informasi lingkungan dan dampaknyat terhadap pengambil kebijakan. Salah satunya adalah tentang tambang batu sinabar sebagai penghasil merkuri atau air raksa di Banten dan Maluku, dari liputan ini data-data penelitian pendukung sangat penting, dan ternyata saat ini Indonesia adalah penghasil merkuri terbesar di dunia, melebihi jumlah produksi merkuri yang pernah membuat penduduk di teluk Minamata, Jepang yang menderita cacat syaraf seumur hidup( baca :Minamata desease) . Visualisasi berita yang berdasarkan data-data ilmiah dan disajikan dalam grafis yang menarik akan membantu mengkomunikasikan isu penting di tingkat pengambil kebijakan. lihat di sini tentang liputan-liputan INFIS .

Fieldtrip dalam rangkaian pelatihan ini berkunjung  ke lokasi penelitian BNF di areal  rehabilitasi lahan gambut yang sejak tahun 90 an di Kelola melelaui proyek CIMTROP Universitas Palangkaraya. Melihat hutan gambut secara langsung , manfaat dan permasalahnnya sangat menarik di jelaskan oleh para peneliti dan staff BNF yang merupakan warga sekitar Sebagau, merekalah ujung tombak penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini.
rel lori, yang digunakan menuju lokasi camp penelitian BNF

Kelasi (Presbytis rubicunda) teramati sedang istirahat

Di akhir acara, yang saya cari-cari akhirnya ketemu juga, Lutung Merah (Presbytis rubicunda) salah satu penghuni hutan rawa gambut Sebagau, Kelasi  nama lokal jenis monyet pemakan daun ini,  yang tersebar hampir di seluruh Kalimantan. Warna bulu yang coklat kemerahan dan wajahnya sangat khas berwana agak kebiruan  ada bantalan pipinya. Salah satu primata identitas Kalimantan, yang saat ini juga semakin susah di jumpai karena hutan sebagai habitat aslinya semakin hilang. Kami menjumpai kelasi ini sedang duduk tertidur di cabang di atas pohon yang tingginya kurang lebih 20 Meter. Jenis-jenis monyet pemakan daun ini mempunyai sistem pencernaan yang istimewa dengan ruang-ruang di lambung dan juga bakter fermentasi untuk mencerna daun-daun yang dicerna. Seringkali terlihat diam istirahat, namun sebenarnya monyet ini sedang bekerja untuk mencerna daun-daunan, hampir seperti sapi yang mempunyai kebiasaan diam, namun sebenarnya sedang mencerna makanannya. Hal yang menarik tentang sebagau ternyata Kelasi ini lebih dari 70 % makanannya adalah biji-bijian, dan konsumsi daun-danan ternyata di bawah dari yang di perkirakan untuk jenis-jenis monyet pemakan daun. Nah…kenapa seperti itu ya? Masih banyak yang menarik untuk dipelajari lagi…dan lagi…

Daftar pustaka :

EHLERS SMITH, D.A., Husson, S.J., EHLERS SMITH, Y.C. and Harrison, M.E., 2013. Feeding Ecology of Red Langurs in Sabangau Tropical PeatS wamp Forest, Indonesian Borneo: Extreme Granivory in a NonM asting Forest. American Journal of Primatology75(8), pp.848-859