Ketika mendapat email berisi undangan tentang pelatihan Jurnalistik
dari Borneo Nature Foundation (BNF) merasa sangat beruntung sekali, karena
inilah dari beberapa skill khusus yang di saat ini sangat di butuhkan di dalam
sebuah tim konservasi, dan sudah lama menantikan pelatihan semacam ini terkait
dengan konservasi atau pelestarian alam. Jurnalism, kalau di terjemahkan
kedalam bahasa Indonesia Jurnalistik
berarti kewartawanan, berasal dari
suku kata warta, atau berita. Wartawan
atau journalist orang yang menyampaikan berita, berdasarkan
KKBI online wartawan/ juru warta : orang yang pekerjaanya mencari dan menyusun
berita untuk dibuat dalam surat kabar, majalah radio televesi, atau media massa lainya video documenter,
juga melalui internet, dan media sosial .
Mas Een dari Infis, peran video dokumenter penting bagi konservasi |
Tanggal 23-26 Juni, bertempat di kota habitat 7 jenis primata Kalimantan, Palangkaraya,
Kalimantan Tengah, menjadi motivasi tersendiri untuk memenuhi undangan pelatihan
ini, melihat langsung primata di habitat aslinya. Orangutan, owa, lutung merah,
adalah beberapa primata Kalimantan yang masuk dalam daftar harus dilihat kalau
ke Kalimantan. Selain itu motivasi untuk ikut bergabung dengan acara ini adalah
untuk mengasah ketrampilan menyuarakan mereka yang “tidak bisa bersuara”, menyuarakan
pelestarian hidupan liar dan keberlanjutan lingkungan sekitar kita.
Tira dan Sue memandu acara pelatihan |
Ada 2 jurnalist internasional yang di undang memandu acara
ini yaitu, Tira Subbart dan Sue Phillips,
keduanya adalah journalist pemenang berbagai penghargaan internasional yang
kini selain bekerja sebagai jurnalist, kedua sahabat ini juga beraktifitas untuk konservasi Badak di Afrika.
Tira Subbart bisa di baca profilnya disini http://www.tirashubart.com/index.html,
dan Sue Philiphs adalah Network Director Aljazeera baca disini : https://www.independent.co.uk/news/media/my-life-in-media-sue-phillips-837999.html.
Hari pertama pelatihan Tira dan Sue , menekankan bahwa
informasi tentang konservasi ini harus dengan mudah di sampaikan kepada
audience, oleh karena itu target audience juga perlu pertimbangan, pemilihan
bahasa untuk komunikasi. Misalnya bahasa untuk warga sekitar hutan, tentu
sangat berbeda dengan menulis berita untuk para pembuat kebijakan, untuk
publik, juga untuk target donor atau pihak-pihak yang telah mendukung program
konservasi yang sedang kita jalankan.
Sue philiphs, menekankan pentingnya International audience,
karena biasanya public international
lebih tertarik dengan berita-berita tentang hidupan liar dan konservasi.
Contohnya tentang berita kematian Badak putih beberapa waktu lalu, menjadi
headline hampir semua media mainstream. Sue juga menekankan kita sebagai feeder untuk para jurnalist, karena kita punya
keterbatasan menulis dan bahasa yang kadang terlalu akademis. Cotohnya kita
memberikan informasi kepada jurnalist dan jurnalist akan menulis dan
menyebarkan ke seluruh dunia melalui jaringan penyiarannya.
Budaya jurnalisme di Indonesia mungkin juga ada bedanya
dengan jurnalisme di beberapa negara maju, hal ini juga menjadi topik diskusi
bersama bahwa kondisi di daerah, dimana merupakan habitat asli keanekaragaman
hayati belum mempunyai porsi yang cukup, di koran misalnya berita lingkungan
ini sangat sedikit sekali di tampilkan. Dan juga seringkali untuk di banyak
daerah di Indonesia untuk menampilkan berita juga harus mengeluarkan biaya
tidak sedikit, untuk sebuah event yang dimuat di harian surat kabar. Kadang meskipun
sudah ada biaya untuk mengundang jurnalist datang beritanya juga tidak dimuat. Membangun
budya jurnalisme yang sehat masih menjadi tantangan tersendiri untuk
berita-berita konservasi dan keanekaraman hayati.
Teknik-teknik penyampaian informasi juga menjadi kunci dari
sebuah berita, profiling sebuah isu,
berita positif seperti temuan keanekargaman hayati, atau keberhasilan sebuah upaya
konservasi bisa menarik perhatian publik, selain berita negatif yang menyajikan
kerusakan-kerusakan dan kehilangan keanekargaman hayati. Dan pemilihan
kata-kata yang sesuai mudah di pahami oleh masyarakat luas akan mempermudah
menyampaian pesan-pesan konservasi. Contohnya orang dengan mudah memahami bahwa
laju kerusakan hutan di Indonesia ini seluas lapangan sepak bola per bulan,
daripada ukuran 1 hektar per bulan.
Sosial media juga sangat penting saat ini digunakan, oleh
karena itu juga harus di gunakan secara serius, untuk menyampaikan pesan-pesan
konservasi. Tira menceritakan kenapa dia lebih memilih twitter untuk bersosial
media, karena twitter ada faktor human intelligent
disbanding facebook atau yang lainnya yang menggunakan algoritma.
Peserta pelatihan, sedang mendengarkan pemaparan peneliti BNF |
Rahmadi Rahmad dari Mongabay Indonesia juga turut berbagi
pengalaman di acara ini, menceritakan kisah-kisah peliputan sebuah kasus
konservasi yang terjadi di Indonesia. Yang terbaru adalah tentang gajah Bunta
yang di racun dan di ambil gadingnya, foto-foto ketika Bunta masih hidup ketika
bekerja digunakan untuk mengusir serangan gajah-gajah liar di tampilkan dan
sangat sadis ketika gajah ini mati di racun dengan rahang mengaga lebar di potong
gadingnya (baca disini : https://www.mongabay.co.id/2018/06/10/tangkap-pembunuh-gajah-patroli-di-cru-aceh-timur/
) Mas Rahmadi Rahamad, menjelaskan bahwa untuk berita-berita itu tidak perlu
menunggu moment, tapi harus bisa menciptakan moment.
Een Erawan Putra, dari INFIS (Indonesian Nature Film
Society) memberikan cerita di acara ini dengan pengalaman-pengalama
memvisualisasikan informasi lingkungan dan dampaknyat terhadap pengambil
kebijakan. Salah satunya adalah tentang tambang batu sinabar sebagai penghasil
merkuri atau air raksa di Banten dan Maluku, dari liputan ini data-data
penelitian pendukung sangat penting, dan ternyata saat ini Indonesia adalah
penghasil merkuri terbesar di dunia, melebihi jumlah produksi merkuri yang
pernah membuat penduduk di teluk Minamata, Jepang yang menderita cacat syaraf seumur hidup( baca :Minamata desease) .
Visualisasi berita yang berdasarkan data-data ilmiah dan disajikan dalam grafis
yang menarik akan membantu mengkomunikasikan isu penting di tingkat pengambil
kebijakan. lihat di sini tentang liputan-liputan INFIS .
Fieldtrip dalam rangkaian pelatihan ini berkunjung ke lokasi penelitian BNF di areal rehabilitasi lahan gambut yang sejak tahun 90
an di Kelola melelaui proyek CIMTROP Universitas Palangkaraya. Melihat hutan
gambut secara langsung , manfaat dan permasalahnnya sangat menarik di jelaskan
oleh para peneliti dan staff BNF yang merupakan warga sekitar Sebagau,
merekalah ujung tombak penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini.
rel lori, yang digunakan menuju lokasi camp penelitian BNF |
Kelasi (Presbytis rubicunda) teramati sedang istirahat |
Di akhir acara, yang saya cari-cari akhirnya ketemu juga,
Lutung Merah (Presbytis rubicunda)
salah satu penghuni hutan rawa gambut Sebagau, Kelasi nama lokal jenis
monyet pemakan daun ini, yang tersebar
hampir di seluruh Kalimantan. Warna bulu yang coklat kemerahan dan wajahnya
sangat khas berwana agak kebiruan ada
bantalan pipinya. Salah satu primata identitas Kalimantan, yang saat ini juga
semakin susah di jumpai karena hutan sebagai habitat aslinya semakin hilang.
Kami menjumpai kelasi ini sedang duduk tertidur di cabang di atas pohon yang
tingginya kurang lebih 20 Meter. Jenis-jenis monyet pemakan daun ini mempunyai sistem
pencernaan yang istimewa dengan ruang-ruang di lambung dan juga bakter
fermentasi untuk mencerna daun-daun yang dicerna. Seringkali terlihat diam
istirahat, namun sebenarnya monyet ini sedang bekerja untuk mencerna
daun-daunan, hampir seperti sapi yang mempunyai kebiasaan diam, namun
sebenarnya sedang mencerna makanannya. Hal yang menarik tentang sebagau
ternyata Kelasi ini lebih dari 70 % makanannya adalah biji-bijian, dan konsumsi
daun-danan ternyata di bawah dari yang di perkirakan untuk jenis-jenis monyet
pemakan daun. Nah…kenapa seperti itu ya? Masih banyak yang menarik untuk
dipelajari lagi…dan lagi…
EHLERS SMITH, D.A., Husson, S.J., EHLERS SMITH, Y.C. and Harrison, M.E., 2013. Feeding Ecology of Red Langurs in Sabangau Tropical Peat‐S wamp Forest, Indonesian Borneo: Extreme Granivory in a Non‐M asting Forest. American Journal of Primatology, 75(8), pp.848-859
No comments:
Post a Comment