Friday, February 28, 2025

Seni untuk semua: memasyarakatkan seni untuk konservasi

 Sidiq Harjanto & Kurnia Ahmadin

Pentas Seni untuk Konservasi Ds. Mendolo. Foto IDS

Para pembaca tentu sudah sangat akrab dengan istilah “seni”. Secara sederhana, kita bisa mendefinisikan seni sebagai segala buah karya manusia dalam bentuk visual, audio, ataupun pertunjukkan yang mengungkapkan gagasan dan imajinasi. Seni digunakan sebagai hiburan, ekspresi diri, media penyampaian informasi, pendidikan-pembelajaran, hingga alat untuk mempengaruhi khalayak. Seni mempunyai kemampuan unik untuk membangkitkan minat, merangsang imajinasi, dan menggerakkan atensi individu kepada isu tertentu.

Swaraowa melihat potensi seni dalam mewarnai ruang diskursus mengenai konservasi alam yang terus berkembang dewasa ini. Untuk itu, pada bulan Januari kemarin kami membantu memfasilitasi masyarakat di dukuh Sawahan Desa Mendolo untuk mengarusutamakan seni dalam isu konservasi. Berkolaborasi dengan Indonesia Dragonfly Society-IDS, Green Community, dan masyarakat lokal; sebuah pertunjukan seni dipersiapkan untuk mengisi puncak acara Jambore Capung Indonesia, 24-26 Januari 2025 di Mendolo.

Kami dibantu Sujono dan Yuwono, dua seniman dan praktisi seni dari Sanggar Saujana, Desa Keron, Kecamatan Sawangan, Kab Magelang. Sujono, atau akrab dipanggil Pak Jono Keron, dikenal sebagai seniman multitalenta. Beliau  adalah kreator wayang serangga. Juga menghasilkan karya lukis, topeng, patung, hingga kreasi tari. Sedangkan Yuwono, kami memanggilnya Pak No, telah akrab dengan seni tari sejak belia.

Dalam kesempatan kali ini, secara khusus Pak Jono Keron dan Pak No mengenalkan dan melatih dua tarian untuk para pemuda dan anak-anak, juga merancang dan mempersiapkan panggung pertunjukan. Waktu yang hanya tersedia sekira satu minggu dioptimalkan untuk melatih tari “Jingkrak Sundang” kepada para pemuda. Tarian ini merupakan kreasi Pak Jono sendiri pada awal 2000-an, diilhami oleh kegelisahannya akan nasib binatang-binatang yang habitatnya kian rusak. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar, dikenalkan tari “Geculan Bocah”.

 

Tata panggung  menggunakan bahan ramah lingkungan. foto IDS

Tata panggung ramah lingkungan

Panggung menjadi elemen penting dalam sebuah pertunjukan seni. Sebagai tempat pementasan, panggung perlu dibuat semenarik mungkin agar membangkitkan minat para penontonnya. Panitia kesenian tak jarang harus menginvestasikan banyak uang untuk mengadakan panggung yang megah dengan ornamen atau dekorasi yang indah dan mahal.

Namun, kepiawaian Pak Jon dan Pak No mampu menyuguhkan sebuah panggung ciamik tanpa harus mahal. Bahkan, tak hanya murah, ini adalah sebuah panggung yang ramah lingkungan. Rahasianya terletak pada ornamen-ornamen panggung yang sebagian besar menggunakan limbah dan sampah.

Tebon atau batang tanaman jagung, biji dan kulit durian, serta daun kering paku-pakuan disulap menjadi dekorasi panggung yang sangat cantik. Banyak limbah pertanian ataupun bahan-bahan lokal seperti dedaunan yang bisa dimanfaatkan untuk dekorasi panggung, murah dan ramah lingkungan, menurut dua seniman yang telah lama aktif dalam Komunitas Lima Gunung, sebuah komunitas seniman yang memotori even budaya rutin “Festival Lima Gunung” di lingkup kawasan Merapi-Merbabu-Andong-Sumbing-Menoreh.

 

Gunungan Duren membuka acara pentas seni ds. Sawahan

Semua berkesenian, kesenian untuk semua

Pentas seni digelar pada 25 Januari 2025 bertepatan dengan malam keakraban Jambore Capung 2025. Seni instalasi, seni tari, seni musik, dan seni lukis melalui body painting berpadu menyemarakkan malam itu. Atas inisiatif dari warga Sawahan, acara dibuka dengan “Slametan Duren” berupa arak-arakan dua gunungan durian dan doa bersama. Slametan duren menjadi media bagi kaum tani untuk memanjatkan rasa syukur atas limpahan hasil bumi, sekaligus doa untuk keselamatan kampung.

Tari Geculan Bocah, anak-anak desa Sawahan. Foto IDS

Empat penampil seni susul-menyusul menyuguhkan pertunjukan yang menarik. Penampil pertama dari kelompok seni hadroh ibu-ibu Sawahan. Tari Geculan Bocah menampilkan delapan orang anak dukuh Sawahan dengan make-up eksentrik. Tari ini menceritakan tentang kegembiraan anak-anak perdesaan bermain dengan dunianya. Kelompok kerawitan yang dipimpin langsung oleh Kades Mendolo mengisi jeda antar-penampil.

Pada puncaknya, ditampilkan tari Jingkrak Sundang. Kurnia Ahmadin membuka dengan penampilan tarian owa jawa. Panggung langsung bergemuruh oleh riuh sambutan penonton. Adin sukses mempersonakan sesosok owa jawa dengan mempertontonkan perilakunya yang khas seperti memanjat, bergantungan, hingga menyambar lalu memakan buah-buahan yang tersaji di meja.

Disusul delapan orang penari bertopeng yang menampilkan gerakan rampak. Tarian ini menceritakan binatang-binatang berkaki empat yang habitatnya dirusak oleh perilaku manusia. Gerakan-gerakannya menggambarkan kemarahan hingga kesedihan atau keputusasaan para binatang itu.

Tari Jingkrak Sundang ini diharapkan membangkitkan rasa empati para audience terhadap binatang-binatang yang kehilangan habitat. Ke depan, Pak Jono berharap agar Jingkrak Sundang bisa diadaptasi di Mendolo dengan satwa-satwa lokal yang ada di sana. Desa Mendolo sendiri memiliki banyak satwa liar seperti lima jenis primata jawa, macan tutul, kijang, landak, dll.

 

salah satu karakter dalam tari Jingkrak Sundhang. Foto IDS

Seni yang membuat nyawiji

Nilai keberhasilan suatu pertunjukan bukan saja terletak pada unsur artistiknya yang mampu menghibur, tapi juga pemaknaan bagi pelakunya. Dalam membawakan tari Jingkrak misalnya, para pemuda perlu menjiwai setiap gerakan. Berusaha membayangkan bagaimana hewan-hewan yang putus asa karena habitatnya yang rusak, lalu mengekspresikan dalam bentuk gerakan. Hal ini pada gilirannya bisa menjadi sarana untuk melatih rasa empati dan welas asih bagi semua makhluk.

Tak kalah penting ialah tersampaikannya pesan yang hendak dicapai. Tentu saja tidak mudah mengukurnya. Namun, melihat dari antusiasme dan partisipasi masyarakat maupun audience, barangkali bisa disimpulkan bahwa seni mampu menggerakkan banyak orang saling bekerja sama untuk satu tujuan bersama.

Tak kurang dari lima puluh orang warga terlibat dalam penciptaan karya seni kali ini, mulai dari penari dewasa, penari anak-anak, kelompok seni hadroh, kelompok seni kerawitan, hingga para warga yang membantu pada setiap proses produksi, seperti penyediaan bahan dekorasi hingga penataan panggung pertunjukan. Kolektivitas ini tak kalah indahnya dengan karya seni yang ditampilkan itu sendiri.

Kami ucapkan terima kasih kepada para fasilitator (Sujono dan Yuwono dari Keron), Indonesia Dragonfly Society, Green Community, Pemdes Mendolo, Kelompok Kerawitan, Kelompok Hadroh, PPM Mendolo, Kelompok Brayan Urip, segenap peserta Jambore Capung 2025, seluruh warga Desa Mendolo, penata panggung, penata lampu, penata suara, dan semua pihak yang telah membantu acara ini.

No comments:

Post a Comment