Oleh : Kurnia Ahmaddin
Tim monitoring bersama |
Dua kecamatan di Kabupaten Pekalongan yaitu Kecamatan Petungkriyono dan Kecamatan Lebakbarang, memiliki landscape yang istimewa, dari sisi keanekargaman hayati, di kawasan ini setidaknya mewakili tipe habitat hutan tropis di pulau Jawa bagian Tengah, mulai hutan dataran rendahnya hingga ke hutan pegunungan. Kawasan ini karena merupakan pegunungan juga menjadi penting dari sisi hidrologis, karena curah hujan yang tinggi terjadi di wilayah ini, dan menjadi lebih penting karena air sebagai bahan baku untuk kawasan di bawahnya. Untuk Owa jawa, kawasan pegunungan selatan di Pekalongan ini memiliki kesesuaian yang tinggi sebagai habitat Owa Jawa (Widyastutiet al, 2020), yang di huni kurang lebih 800-1000 individu ( Setiawan et al, 2012).
Salah satu bentuk kontribusi SwaraOwa sebagai anggota forum
Kolaborasi pengelolaan hutan Petungkriyono yang di inisiasi tahun 2018 dan
mendapatkan SK Gubernur Provinsi Jawa Tengah adalah melakukan monitoring
keanekargaman hayati di wilayah Hutan
Petungkriyono dan di Kecamatan disekitarnya yang masih dalam satu landscape hutan
pegununungan selatan Pekalongan.
Paok pancawarna (Hydrornis guajana) foto doc. PPM Mendolo |
Kegitan monitoring satwa liar kami bersama masyarakat adalah pencarian burung Raja-udang kalung-biru di DAS Sengkarang. Kegiatan selanjutnya pada pertengahan Januari hingga pertengahan maret tahun 2023, kami melakukan pendataan 5 taksa dengan Paguyuban Petani Mendolo di Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, Indonesian Dragonfly Society (IDS) dan Biolaska UIN Sunan Kalijaga. Hasil sementara dari survei tersebut adalah 131 jenis Kupu-kupu, 27 jenis capung, 65 jenis Anggrek, 36 spesies herpetofauna dan 97 spesies burung telah teridentifikasi.
Lebih lanjut lagi, 112 jenis burung telah
teridentifikasi oleh PPM Mendolo. Data ini diperoleh secara mandiri dengan melakukan survey hutan sejak akhir
Agustus 2021 hingga bulan Februari 2023 dengan pengamatan rutin yang dilakukan oleh
anggotannya. Tidak hanya data pengamatan, lebih dari 50 spesies burung dan 5
jenis primata jawa juga telah terdokumentasi dengan baik.
Kami juga melibatkan instansi pemerintahan dalam monitoring populasi
Owa Jawa di hutan Sokokembang, di Kecamatan Petungkriyono. Pada tanggal 11-14
Februari 2023 bersama dengan BKSDA Jawa Tengah, CDK Wilayah 4, dan Perhutani KPH Pekalongan Timur kami melakukan pemantauan populasi Owa Jawa.
Macan tutul hitam/Kumbang ( Panthera pardus melas) |
Kijang (Muntiacus muntjak) |
Pemasangan camera trap |
Penggunaan Camera Trap dan Perekam Suara Pasif
Perjumpaan dengan satwa liar secara langsung memiliki keterbatasan hanya ketika kita berada di
lapangan. Usaha kami dalam memperbaiki keterbatasan ini adalah dengan
pemasangan kamera jebak ( Camera trap) dan alat rekam suara yang keduanya merupakan
alat monitoring dan penelitian yang pengamabilan datanya dilakukan secara otomatis
dan alat-alat tersebut di letakkan di tinggal di hutan selama beberapa waktu. Kegiatan
monitoring ini mendapat dukungan dari Mandai Nature dan Chance for Nature
sebagai mitra donor dari Swaraowa, selama periode 7 bulan ini sejak bulan September 2023 telah terpasang 14
titik kamera trap dan 12 titik perekam suara pasif di hutan Sokokembang dan Mendolo.
Selama periode ini, kedua jenis alat tersebut kami pasang
selama 10 hingga 36 hari sebagai perwakilan data pada bulan basah. Hasil dari
perekam suara dan kamera trap yang telah terpasang menjadi update keberadaan
satwa yang ada di hutan Mendolo dan Sokokembang. Hasil sementara dari kamera trap yang telah
terpasang adalah perjumpaan dengan Macan Kumbang Pantera pardus, kijang
muncak Muntiacus muntjak dan babi hutan.
Sementara hasil dari alat perekam suara pasif menunjukkan spesies Owa
Jawa masih terdengar dengan baik pada ketinggian di atas 1000 mpdl di sisa
hutan yang ada di kecamatan Lebakbarang. Perjumpaan dengan satwa-satwa tersebut
semakin menegaskan bahwa hutan di kabupaten Pekalongan merupakan habitat bagi
jenis-jenis mamalia besar.
Perburuan burung.
Selama pemasangan kamera dan pengamatan langsung di hutan, masih
di jumpai sisa-sisa jejak dari pemburu burung. Berkurangnya jumlah burung tentu
akan mengurangi keseimbangan fungsi hutan karena berkurangnya komponen
penyusunnya. Hampir semua burung pemakan serangga menjadi incaran pemburu karena suara yang menarik. Hal
ini bisa saja menjadi pemicu semakin banyaknya serangga hama. Lebih buruk lagi
serangan serangga menjadi bencana ekologis yang merugikan manusia karena
populasi tidak terkontrol akibat hilangnya pemangsa.
Penurunan jaring burung (foto doc. Perhutani KPH Pekalongan Timur) |
Perburuan Babi hutan dan Monyet ekor panjang
Meskipun tidak banyak namun ada masyarakat yang masih
berpikiran bahwa monyet ekor panjang dan babi hutan adalah hama yang boleh
dibunuh. Hal ini bisa saja menjadi ancaman besar jika terjadi perburuan secara
masif. Besar harapan kami supaya perburuan satwa ini dapat di kendalikan , karena dapat memicu konflik dengan predator yang lebih besar akibat hilangnya pakan
mereka, yaitu ketidak seimbangan rantai makanan di alam. Keberadaan komunitas berburu yang melakukan perburuan tanpa pertimbangan ekologis bisa memperparah konflik antara manusia dan satwaliar di hutan.
Urgensi Forum Kolaboratif Pengelolaan Hutan
Dampak positif keberadaan forum kolaboratif pengelolaan hutan di Petungkriyono juga menjadi
media komunikasi antar pihak terkait terutama pembuat kebijakan diwilayah ini. Sebagai contoh beberapa waktu lalu ada laporan tentang Jaring hantu,
jaring yang di tinggal pemburu burung di hutan, karena di tinggal dan dalam
kondisi terbentang, banyak jenis burung dan mamalia terbang mati terjerat di
jaring ini. Laporan ke anggota forum langsung di respon dan menurunkan jaring
tersebut. Tanggal 25 Februari 2023, ada di temukan macan tutul terluka di kawasan hutan Kroyakan,
laporan temuan ini juga langsung diresponse BKSDA dan Perhutani untuk
mengevakuasi macan tutul tersebut. Kegiatan monitoring ataupun patroli bersama ini harapannya dapat di laksanakan secara rutin,
No comments:
Post a Comment