oleh : Sidiq Harjanto
Bersama ke hutan mencari bahan makanan |
Pangan merupakan kebutuhan vital bagi makhluk hidup termasuk manusia. Bagi manusia, pangan tidak hanya sekadar sumber nutrisi penopang kehidupan, tetapi juga memiliki makna-makna lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Prof. Triwibowo Yuwono, guru besar di bidang pertanian Universitas Gadjah Mada, dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan Pertanian: Membangun Ideologi Pangan Nasional” menyebutkan bahwa pangan merupakan entitas ekonomi, simbol/identitas budaya, dan entitas pertahanan.
Sebagai
entitas ekonomi maksudnya adalah pangan merupakan komoditi yang bisa diperjualbelikan
dan turut membangun perekonomian bangsa. Dari sudut pandang budaya, pangan yang
diproduksi dan dikonsumsi merupakan simbol atau identitas budaya masyarakatnya.
Misalnya, gudeg menjadi identitas budaya Yogyakarta, atau papeda yang identik
dengan kultur masyarakat Papua. Lebih jauh lagi, kemampuan dalam mencukupi
kebutuhan pangan rakyatnya merupakan aspek penting pertahanan sebuah bangsa.
Bagaimana suatu bangsa bisa bertahan menghadapi krisis jika ketersediaan
pangannya saja tidak tercukupi?
Memilah jenis-jenis tanaman dari hutan untuk diolah menjadi makanan |
Saking
pentingnya pangan bagi peradaban manusia, masyarakat dunia memperingati Hari
Pangan Sedunia setiap tanggal 16 Oktober. Peringatan ini sudah dimulai sejak
era awal 80-an sebagai pengingat bahwa
pangan mesti menjadi perhatian serius bagi setiap orang. Isu pangan semakin
menguat dengan perkembangan situasi global seperti pandemi Covid 19 dan
peperangan yang sangat mungkin akan
menggagalkan skenario dalam mewujudkan dunia bebas kelaparan dan
malnutrisi pada 2030, sesuai tujuan kedua SDG’s.
Turut
menyemarakkan Hari Pangan Sedunia tahun ini, Swaraowa bersama Paguyuban Petani
Muda (PPM) Mendolo membuat sebuah perayaan kecil di sudut kawasan hutan habitat
owa jawa di Kabupaten Pekalongan, tepatnya di Desa Mendolo, Kecamatan
Lebakbarang. Kami ingin menjadi bagian dari upaya membumikan isu-isu global,
termasuk ancaman krisis pangan dan perubahan iklim sekaligus mengajak
masyarakat membuat aksi di lingkungan terkecil mereka.
Jenis tanaman pakis yang bisa diolah |
Desa
Mendolo sebagai salah satu desa hutan di Kabupaten Pekalongan memiliki potensi
bahan pangan lokal yang melimpah berikut pengetahuan pengolahan yang mumpuni.
Namun, data mengenai potensi pangan maupun rangkuman pengetahuan masyarakat
tersebut belum terdokumentasi dengan baik. Hal ini memunculkan kekhawatiran
bahwa generasi muda tidak lagi merawat tradisi berharga tersebut.
Ada
beberapa poin pesan Hari Pangan Sedunia yang hendak disampaikan di Mendolo.
Pertama, kita perlu merespon situasi global yang semakin tidak menentu,
ditandai dengan dampak pandemi yang masih terasa, ancaman krisis akibat perang,
kenaikan harga bahan bakar minyak, inflasi yang melanda dunia, hingga ancaman
pemanasan global yang terus mengancam ketahanan pangan seluruh umat manusia.
Sesuai dengan tema hari pangan dunia tahun ini: leave no one behind, kami memandang bahwa masyarakat perdesaan tak
boleh ketinggalan dalam mempersiapkan komunitasnya mempersiapkan segala
kemungkinan, termasuk ancaman krisis pangan. Akses terhadap wawasan global
menjadi hak siapa saja, tak terkecuali petani di pinggiran hutan.
Ibu-ibu dari Sawahan mengolah bahan makanan dari hutan |
Kedua, desa
perlu menggali kembali potensi pangan lokal yang dimilikinya yang umumnya kian
tergerus oleh serbuan pangan impor. Ada indikasi desa mengalami krisis regenerasi
keahlian pengelolaan pangan, misalnya dilihat dari turunnya kemampuan generasi
muda mengenali jenis-jenis tumbuhan potensial pangan di lingkungan sekitar.
Kemungkinan terburuknya adalah kegagalan generasi Millennial, generasi Z, dan
generasi Alpha meneruskan tradisi pemanfaatan pangan lokal. Padahal, kunci
resiliensi masyarakat tropis dalam menghadapi krisis pangan terletak pada
kemampuan mengelola keanekaragaman hayati yang sangat melimpah, termasuk dalam
konteks pangan.
Menikmati sajian makanan dari hutan |
Rangkaian perayaan
Hari Pangan Sedunia di Desa Mendolo diawali dengan pengumpulan dan pendataan
potensi pangan lokal yang tersedia di kebun dan hutan sekitar kampung. Sekira
pukul 08.00 WIB, sekelompok ibu paruh baya dibantu oleh para pemuda-pemudi di
Pedukuhan Sawahan mulai menyisir jalan-jalan setapak yang membelah kebun hingga
kawasan hutan, sembari mengumpulkan aneka jenis tanaman pangan. Para
pemuda-pemudi mencatat dan mendokumentasikan setiap jenis bahan pangan
tersebut.
Sore
harinya, sebuah acara Focus Group Discussion (FGD) digelar dengan menghadirkan
unsur pemerintah desa, perwakilan sesepuh desa, kalangan perempuan, dan
generasi muda. Dalam FGD yang difasilitasi Swaraowa, terungkap bahwa ada
setidaknya 80 jenis tumbuhan yang merupakan bahan pangan. Aneka jenis tumbuhan sebagai
sumber karbohidrat, protein, sayur mayur, hingga buah-buahan yang disediakan
hutan tersebut telah dimanfaatkan secara turun temurun. Namun, tak bisa
dimungkiri bahwa ada kecenderungan pergeseran pola konsumsi. Keahlian mengenali
dan mengolah pangan lokal di komunitas masyarakat mulai luntur seiring dengan
serbuan komoditi pangan industri yang umumnya menawarkan kepraktisan. FDG
diakhiri dengan membuat rencana aksi bersama dalam menjawab beberapa
permasalahan yang terkuak dalam diskusi.
pentas seni memperingati hari pangan |
Malam yang
dingin di Mendolo tidak menyurutkan sekira lima puluh warga dari berbagai usia
berkumpul di kediaman salah satu warga. Sarasehan dan pentas seni kecil-kecilan
disambut sangat antusias oleh segenap warga. Acara dimulai dengan sambutan oleh
Koordinator PPM Mendolo, Cashudi. Dalam sambutannya, ia menekankan agar
generasi muda mulai belajar mengenali dan memanfaatkan potensi pangan lokal di
sekitar wilayah masing-masing. Bapak Kaliri, Kepala Desa Mendolo, menyampaikan himbauan
bagi warga untuk menghidupkan kembali tradisi pertanian pangan yang mulai memudar
terutama di kalangan generasi muda.
Yurizal
Rahman, petani muda di Mendolo, menyampaikan kegelisahannya tentang masa depan pertanian
di desanya melalui sebuah karya puisi berjudul “Suara Hati Tani”. Puisi
tersebut dibawakan dengan sangat brilian oleh rekannya, Ja’an, yang berhasil
membuat gemuruh tepuk tangan memecah kesunyian malam. Pesan yang disampaikannya
melalui pembacaan puisi tersebut sangat jelas yaitu ajakan untuk kembali
menghidupkan kembali tradisi bertani karena pertanian adalah salah satu
penopang utama peradaban.
Puncak
acara sarasehan adalah penyampaian hasil diskusi sore tadi. Rohim, selaku perwakilan
forum diskusi memaparkan rencana aksi hasil kesepakatan bersama. Ia memaparkan
bahwa perlu adanya penyusunan data dasar potensi pangan lokal yang nantinya
bisa digunakan sebagai media transfer pengetahuan lintas generasi. Proyek
tersebut bakal menjadi pekerjaan kolektif dan lintas generasi. Generasi tua
diharapkan mentransfer pengetahuan mereka dalam pengenalan dan pengolahan
pangan sementara generasi muda mendokumentasikan sebanyak yang mereka mampu.
Inovasi dan
promosi dalam pengolahan pangan lokal menjadi isu penting lainnya. Inovasi
sederhana bisa dilakukan dengan cara memperkaya produk olahan. Sementara itu, gerakan
menyajikan olahan pangan khas Mendolo kepada setiap tamu yang datang dari luar
daerah bisa menjadi ajang promosi. Pemerintah Desa siap menjadi leader dalam hal ini. Dalam waktu dekat,
kata Rohim, akan dibuat kebun koleksi dan kebun pembibitan bagi beberapa
tumbuhan pangan strategis yang akan dikelola oleh komunitas perempuan dan PPM
Mendolo.
Tepuk
tangan dan gelak tawa kembali menggema saat beberapa pemuda mementaskan
permainan “Uwi-uwinan”. Dua orang pemain berperan sebagai petani, sedangkan
beberapa yang lain berperan sebagai umbi uwi (Dioscorea sp). Dengan kata lain, uwi-uwinan merupakan permainan
peran. Permainan ini sangat populer sampai kalangan generasi 90an. Namun,
akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi dimainkan. Anak-anak menyimak dengan
antusias adegan demi adegan yang dibawakan oleh para pemain.
Minggu, 16
Oktober 2022, untuk pertama kalinya warga Mendolo bergabung dengan masyarakat
global menuju puncak perayaan Hari Pangan Sedunia. Semenjak pagi, kelompok
perempuan telah sibuk di dapur, mengolah beragam menu masakan dengan
bahan-bahan pangan yang dikumpulkan dari hutan. Setidaknya, ada 18 jenis menu masakan
dihasilkan ibu-ibu tersebut. Beberapa di antaranya: sayur ketupuk, urap pakis,
oseng cowetan, perkedel talas, gulai ikan sungai, dan sambal klanthing (bunga
gorang).
Siang hari,
segenap warga kembali berkumpul. Doa bersama dipimpin Bapak Cahyono, dengan
maksud memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia alam yang memberikan
penghidupan bagi warga. Juga permohonan keselamatan untuk waktu-waktu selanjutnya.
Menu makan siang kali ini terasa sangat istimewa. Banyak menu yang baru pertama
kali dicicipi oleh generasi muda. Sementara bagi generasi tua, menu-menu yang
disajikan membangkitkan kenangan masa muda mereka yang sangat akrab dengan
aneka olahan tersebut.
Demikianlah,
rangkaian peringatan Hari Pangan Sedunia di Mendolo berakhir. Namun, akhir
rangkaian ini justru menjadi permulaan bagi warga masyarakat untuk memberikan makna
baru dalam bidang pangan bahwa merawat aneka pangan dari hutan merupakan modal
resiliensi menghadapi berbagai situasi global ke depan. Atau, setidaknya
seperti itulah yang diharapkan. Swaraowa memiliki kepentingan dalam perayaan
hari pangan ini sebagai medium dalam menyemangati masyarakat desa hutan
khususnya di sekitar habitat Owa jawa, untuk terus memelihara keberagaman pangan
mereka yang pada muaranya sama saja dengan mengonservasi keanekaragaman hayati dan
ekosistem hutan.
Selamat
Hari Pangan Sedunia 2022.
sangat menarik
ReplyDeletesangat menarik
ReplyDelete