Wednesday, December 24, 2025

Menyempitnya Wilayah Jelajah Owa Jawa: Laporan Monitoring di Sawahan, Mendolo


Oleh : Kurnia Ahmaddin

Monitoring Owa jawa di dusun sawahan desa Mendolo berawal dari kegelisahan Pemuda PPM Mendolo yang mengindikasi bahwa Owa jawa di bukit sebelah Barat desa mereka terindikasi terisolasi. Banyaknya wilayah hutan yang telah beralih fungsi sejak 2010 hingga saat ini menjadi kebun durian dan kebun kopi non-shadegrown. Melalui program koridor kehidupan yang sudah di mulai sejak tahun 2022, Kami mengubah kegelisahan mereka dalam inisiasi program penanaman pohon sehingga Owa jawa yang telah berpisah dari induknya diharapkan dapat memiliki koridor hutan untuk wilayah jelajah sendiri. Untuk itu swaraOwa bersama PPM Mendolo untuk sebisa mungkin mengikuti pergerakan Owa jawa di bukit sisi Barat desa mereka. 

 Kondisi fragmentasi hutan di bukit Kupel (sisi barat dusun Sawahan desa Mendolo) tidak dapat terlihat dari citra satelit. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah bukit Kupel adalah perkebunan karet milik PTPN.  Terdapat sedikit wilayah (kuning pada peta) tidak terawat sejak penebangan terakhir di tahun 2017 yang kemudian telah menjadi hutan sekunder dan sebagian lainnya adalah kebun durian dan kopi. Dari hasil groundcheck hanya tersisa 70 Ha kawasan dengan tegakkan pohon hutan dari 200 Ha wilayah bukit Kupel.

Hasil dari pengamatan sejak Januari-Oktober 2025 terdapat 74 Laporan perjumpaan yang diperoleh tim Monitoring dan data penelitian Nur Azizah ( mahasiswi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)  pada bulan April-Juni. Hanya 1 catatan yang melaporkan menyebrang melintasi kebun durian, sisanya hanya dijumpai pada pohon hutan. Owa jawa target beranggotakan sepasang induk, 2 remaja dan 1 bayi. Selama periode monitoring, wilayah jelajah Owa target kurang lebih seluas 32,9 Ha.  Namun, pada bulan Agustus 2025 area kuning pada peta (7,29 Ha) yang merupakan hutan baru milik PTPN kembali dilakukan pemotongan untuk panen kayu. Sehingga jika luasan jelajah dikurangi dengan wilayah tebangan, kelompok Owa target di mendolo hanya memiliki area seluas 25,61 Ha. Dalam wilayah tersebut masih terdapat area tumpang tindih alami dengan kelompok Owa lain yang berisi 4 individu seluas  4,72 Ha (merah pada peta). 


Hasil monitoring menunjukkan area tanpa titik perjumpaan dalam wilayah jelajah (hijau pada peta) merupakan kebun durian dan kopi non-shadegrown terlihat dari bagian kosong dalam lingkaran hijau tanpa titik perjumpaan. Mengingat hanya terdapat 1 perjumpaan melintasi kebun durian maka  area jelajah kelompok Owa target berpotensi semakin menyempit jika tidak ada pendampingan pertanian yang bijak. 

Perilaku Owajawa di Sawahan

Kami menyadari bahwa kami belum konsisten dalam hal pengumpulan data lapangan. Kami hanya melakukan pencatatan perilaku singkat selama periode monitoring, dikarenakan kelompok Owa jawa di sawahan belum sepenuhnya terhabituasi. Kami hanya melakukan monitoring selama setengah hari belum mengikuti waktu bangun sampai tidur. Terkadang kendala lapangan seperti hujan juga membuat jam pengamatan semakin singkat. Pencatatan perilaku ini hanya dengan sekali pengamatan, belum menggunakan interval waktu terukur.

prosentasi aktifitas Owa di Mendolo

Perilaku yang kami catatan adalah jika owa teramati saat makan, beristirahat ataupun tidur, berpindah, dan bermain, kawin, grooming, serta bersuara kami masukkan dalam perilaku sosial. Hasil dari observasi lapangan rata-rata jarak perjumpaan berada pada  95, 1 m dari pengamat. Kondisi owa masih dominan waspada dan cenderung akan pergi pada jarak di bawah 100 m dari pengamat. Meski jarak teredekat dengan pohon tengger sekitar 30 m namun, tim monitoring selalu bersembunyi agar Owa jawa tidak ketakutan. Kami berusaha untuk menggunakan seragam yang konsisten setiap mengikuti kelompok Owa sawahan ini. Kelompok ini beraktivitas pada kanopi pohon dengan rata-rata 25,7 m tinggi dari permukaan tanah.

Aktivitas yang paling banyak tercatat adalah berpindah hal ini dimungkinkan juga karena kelompok ini belum terhabituasi. Sedangkan aktivitas paling sedikit adalah aktivitas sosial. Pada aktivitas sosial, kami hanya mencatat aktivitas bermain pada anak pertama hingga ketiga, grooming, bersuara (Greatcall ataupun alarmcall). Namun, tidak sekalipun kami mencatat aktivitas perkembangbiakan. Kami cukup sering menjumpai kelompok ini ketika sedang beristirahat yaitu, duduk, tiduran dan tidur siang. Lebih sering kami menjumpai ketika sedang melakukan aktivitas makan. Karena jarak objek yang cukup jauh kami sejauh ini belum mampu mengidentifikasi serangga yang dimakan oleh kelompok ini. Namun demikian, di Mendolo sejauh ini kami telah mencatat 27 jenis pohon pakan Owa.


Tuesday, December 23, 2025

SwaraOwa dan Sekolah Mentawai: Membangun Sikap Pro-Konservasi Sejak Dini

 

foto bersama dengan siswa SMA 1 Siberut Selatan

Oleh : Nur Aoliya

Program edukasi konservasi primata telah diselenggarakan oleh swaraOwa dengan komunitas lokal di Mentawai sejak tahun 2019, dengan fokus awal pada pelatihan bagi guru budaya Mentawai. Dan tahun 2025 ini, sasaran program kali dialihkan kepada siswa SD-SMA dengan tujuan sebagai berikut :

1. Memberikan pemahaman dasar kepada siswa-siswi mengenai keanekaragaman, peran ekologis, serta ancaman terhadap primata endemik Mentawai. 

2. Mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dan kearifan budaya lokal dalam pembelajaran tentang konservasi primata Mentawai. 

3. Mendorong terbentuknya sikap peduli lingkungan dan perilaku pro-konservasi pada siswa-siswi sejak usia dini.

Rencana awal kegiatan dilaksanakan pada tanggal 19-20 November 2025, karena terkendala badai menyebabkan kegiatan mundur pada tanggal 21-22 November 2025 di Siberut Selatan. Sesi pertama berlangsung di SMP Negeri Siberut Selatan dengan peserta 42 siswa kelas VIII. Pada hari yang sama, agenda dilanjutkan di SD Negeri 06 Madobag dengan peserta sebanyak 46 siswa dari kelas IV–VI. Pada hari terakhir, program diikuti oleh 39 siswa SMA Negeri 1 Siberut Selatan yang tergabung dalam organisasi OSIS, Sispala, Pramuka, dan PKS.

Materi disampaikan oleh Eka Arismayanti untuk siswa SD dan SMP, sedangkan untuk siswa SMA materi disampaikan oleh Kurnia Akhmadin. Kegiatan dimulai dengan perkenalan singkat mengenai SwaraOwa, dilanjut presentasi interaktif selama kurang lebih 60 menit dan diakhiri diskusi ringan dan kuis berhadiah untuk siswa. Penyampaian materi disesuaikan dengan usia peserta dikarenakan kemampuan penalaran tiap jenjang pendidikan berbeda, serta metode pembelajaran yang sesuai untuk masing-masing kelompok. 

pengenalan keragaman primata Mentawai untuk Siswa SMP N 2 Siberut Selatan

Materi yang disampaikan kepada siswa SD dan SMP pada umumnya sama, mencakup ekologi dan primata, ancamannya, keterkaitan budaya Mentawai dengan primata, serta peran manusia dalam upaya konservasi. Perbedaan terletak pada metode penyampaian materi, di mana pada tingkat SD digunakan lebih banyak gambar dan alat peraga berupa boneka primata. Kedua jenjang sekolah menunjukkan fokus yang baik selama penyampaian materi. Namun, pada sesi diskusi terlihat perbedaan tingkat partisipasi, di mana diskusi pada tingkat SD cenderung bersifat satu arah dari pemateri. Sementara siswa SMP menunjukkan interaksi tanya jawab dua arah anatara pemateri dan siswa. 

pemberian buku burung dan primata Menawai ,
karya tim swaraowa, untuk guru SD N 6 Madobag

Siswa SMA mendapatkan materi yang lebih mendalam mengenai isu konservasi kaitanya dengan siklus air, manfaat flora dan fauna, Ekologi primata Mentawai dan kaitanya dengan budaya Mentawai, serta peluang keterlibatan generasi muda dalam aksi konservasi. Diskusi pada tingkat SMA tidak hanya melibatkan pemateri dan siswa, namun juga terjadi pertukaran pendapat antar siswa sehingga diskusi berlangsung intraktuf dan multi arah. Salah satu isu yang menjadi pro-kontra antar siswa adalah terkait satwa primata yang dijadikan bahan makanan diluar kegiatan adat. 

Pendekatan presentasi dan diskusi terbuka terbukti efektif untuk mendorong partisipasi siswa pada jenjang SMP dan SMA. Sementara itu, untuk siswa SD diperlukan penguatan metode yang lebih interaktif agar keterlibatan peserta dapat meningkat. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam menumbuhkan kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap upaya pelestarian primata dan lingkungan.


Siapa yang Menjaga Bilou Siberut Saat Hutan Berpindah Tangan?

Oleh : Aloysius Yoyok

Survei populasi bilou, Owa mentawai -Hylobates klossii ini dilakukan di kawasan hutan yang secara administratif masuk ke dalam wilayah desa Maileppet. Sebagian besar kawasan hutan di wilayah desa ini sudah beralih kepemilikan secara adat. Dari kelompok-kelompok uma (suku) yang menguasai lahan hutan itu secara turun-temurun, belakangan ini terutama ketika pembangunan infrastruktur berupa akses jalan secara masif dilakukan oleh pemerintah, pada umumnya lahan-lahan itu sudah dikapling-kapling dengan ukuran yang bervariasi dan kini sudah dikuasai oleh kelompok-kelompok penduduk migran. 

Di Kawasan desa Maileppet yang terletak di pesisir timur pulau ini carut-marut klaim kepemilikan lahan dan hutan yang berlarut-larut telah turut memberikan efek negatif terhadap isu-isu konservasi alam. Sebagian besar lahan hutan ini adalah lahan yang secara adat masih menjadi sengketa antara kelompok uma Sarubei yang tinggal di Maileppet dengan kelompok uma Sarereake yang tinggal di Saliguma dan kelompok uma Samalinggai yang tinggal di Muara Siberut. Penjualan lahan yang dilakukan oleh beberapa oknum anggota uma itu adalah salah satu strategi untuk menguasai dan mendapatkan keuntungan tunai cepat dari lahan dan hutan itu. 

Hutan alam yang tersisa di desa Maileppet ini terletak di sekitar perbatasan Desa Maileppet dengan desa Saliguma. Di era 70-80 an kawasan ini pernah menjadi wilayah konsesi HPH yang dikuasai oleh PT. CPPS. Setelah beberapa tahun berlalu, ketika alam berlahan memulihkan diri, ketika kayu-kayu pioner mulai mengisi celah-celah kosong di sepanjang jalur jalan logging, pada tahun 2000 an penduduk Siberut seolah berlomba-lomba membuka hutan kembali secara masif terutama di daerah dataran yang memiliki lapisan tanah subur yang cocok untuk bertanam nilam. Komoditi penghasil minyak atsiri ekspor ini pernah mengalami masa keemasannya di wilayah ini pada tahun-tahun itu. 

Kini sesudah pemerintah kabupaten memutuskan untuk membuka akses penghubung antar kecamatan, di ruas jalur jalan yang menghubungkan Desa Maileppet- Desa Saliguma itu jalur jalan yangdisebut sebagai jalur Trans  Siberut ruas Maileppet-Saliguma itu dibangun  dengan memanfaatkan bekas jalur jalan logging yang pernah dibangun oleh PT. CPPS itu. Namun pembukaan jalur jalan itu telah mendorong terjadinya peralihan kepemilikan lahan dari kelompok-kelompok adat ke tangan kelompok-kelompok penduduk migran. 

Kondisi habitat bilou di hutan Mailepet

Lokasi 

Survei populasi bilou ini dilaksanakan di kawasan hutan di sekitar bantaran sungai Panasalat yang mengalir dari lereng perbukitan Simaelu-elu dan bermuara di Teluk Sadabak. Di kawasan ini masih terdapat beberapa fragmen hutan yang telah tersekat-sekat oleh perladangan tradisional dengan vegetasi utama berupa tanaman pohon durian, cempedak, kelapa dan jenis-jenis tanaman tradisional lainnya dan sebagian lahan yang lain kini adalah lahan-lahan kosong, hutan alam itu telah dibabat dan ditebang. Karena pemilik lahan itu sebagian besar adalah etnis pendatang, nampaknya sebagian kawasan itu akan dikelola dengan teknik dan cara yang tidak lagi seperti dahulu. Kelompok-kelompok penduduk penduduk itu dari etnis pendatang (Batak, Nias, Minangkabau). 

Kegiatan survei populasi bilou di kawasan ini dilakukan karena adanya pengalaman tim survei yang masih mendengar suara-suara dari kelompok-kelompok bilou yang masih menempati kawasan itu saat kebetulan melintasi kawasan itu. 

Pelaksanaan kegiatan 

Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode triangulasi, metode survei dengan pengambilan data suara di 3 titik pengamatan yang dilaksanakan selama 4 hari, terhitung dari tanggal 12-15/12/2025. Penentuan ke 3 titik triangulasi sempat mengalami sedikit kendala. Generasi muda yang berasal dari Maileppet kurang begitu mengenali lekuk-liku lingkungan alam yang pernah menjadi milik mereka itu. Ke 3 titik pengamatan suara mengambil titik masing-masing 2 titik pengamatan di dekat hulu sungai Panasalat dan 1 titik pengamatan di dekat hulu sungai Simanggeak.

Hari pertama, 12/12/2025

Sesudah sempat tertunda selama 3 hari akibat cuaca yang terus-menerus hujan di akhir tahun ini, tim akhirnya berangkat menuju kawasan yang sudah direncanakan. Jam menunjukkan pukul 05.15 saat hujan sudah mereda 1 jam sebelum tim berangkat. Namun meski cuaca agak mendung di pagi itu pada pengamatan suara di hari pertama ke 2 tim yang mengamati di titik LPS 1 dan 2 berhasil mendengar 4 suara bilou, 1 sumber suara terdengar cukup dekat, hanya berjarak sekitar 200 meter saja dari titik LPS 1, sementara 1 kelompok bilou dari arah dekat sungai Panasalat memperdengarkan suara great call-nya. 2 sumber suara bilou yang lain tidak memperdengarkan great call, hanya morning call saja. Sesudah jam pengamatan suara berlalu di pukul 10.00 WIB, tim dari LPS 1 kemudian bergerak perlahan-lahan menuju arah suara bilou yang berjarak sekitar 200 meter saja dari titik LPS. Namun sayangnya tim belum berhasil melihat langsung kelompok kecil bilou itu karena hujan kemudian turun dengan intensitas cukup deras. Namun meski demikian kelompok kecil ini kemungkinan besar terdiri dari 2 individu saja, ditilik dari suara yang dihasilkan oleh kelompok kecil itu, ada 2 variasi suara morning call, 1 individu dewasa dan 1 individu remaja.

Hari ke dua, 13/12/2025

Pada survei yang dilaksanakan pada hari ke 2, cuaca kembali cenderung berawan, matahari hanya sedikit memunculkan sinarnya dan kembali hujan gerimis turun. Pada survei hari ke dua itu tim dari LPS 1 berhasil mendengar suara morning call dari kelompok bilou,hanya berjarak sekitar 300 meter dari titik pengamatan. Sesudah jam pengamatan suara berlalu, tim kembali bergerak untuk melihat langsung kelompok bilou itu. Kali ini tim berhasil melihat langsung kelompok bilou itu yang terdiri dari 2 individu dewasa dan 1 individu remaja. 

Demikian juga tim yang melakukan pengamatan di titik LPS 3 rupanya juga bertemu dengan kelompok bilou yang sedang bergerak aktif di kanopi pepohonan, tidak jauh dari titik LPS 3. Kelompok bilou itu terdiri dari 2 individu dewasa, 1 individu remaja menjelang dewasa, 2 individu remaja dan 1 individu anak-anak.

Kondisi hutan di tempat pengamatan LPs 2

Hari ke 3, 14/12/2025

Pada hari ke 3 pengamatan cuaca cenderung cerah namun pagi itu angin berhembus cukup kencang. Sampai jam pengamatan berakhir ke 3 tim tidak berhasil mendengar suara bilou. 

Hari ke 4, 15/12/2025

Pengamatan yang dilakukan pada hari ke 4 juga gagal mendeteksi suara bilou. Pagi itu cuaca cenderung berawan namun tidak lagi ditingkahi hembusan angin kencang seperti pada pengamatan yang dilakukan pada hari ke 3. Namun meski cuaca cenderung lebih baik, pengamatan suara pada hari ke 3 itu hanya berhasil mendengar suara dari kelompok simakobu (Simias concolor) saja yang bersuara saat mendengar bunyi pesawat terbang melintas di udara.

Potensi dan peluang 

Kawasan di mana kegiatan survei populasi bilou ini dilakukan merupakan kawasan yang cukup terjangkau dari pemukiman di Maileppet. Maileppet sendiri merupakan gerbang masuk di Siberut bagian selatan karena di desa ini terletak dermaga utama untuk bersandar kapal yang tiba dari Padang. Selama 4 hari kegiatan survei populasi bilouini dilakukan, tim berhasil melihat langsung keberadaan 2 kelompok bilou yang masing-masing terdiri dari 3 individu dan 5 individu. Sementara 1 kelompok yang terdengar bersuara great call serta 1 kelompok yang terdengar bersuara morning call belum berhasil diidentifikasi ukuran kelompok itu. Kegiatan survei populasi primata ini berhasil membuktikan jika di kawasan hutan yang relatif kurang bagus (siutable) itu ternyata masih terdapat kelompok-kelompok bilou. 

Di waktu dan tempat yang berbeda tim juga berhasil berdiskusi dengan Kepala Desa Maileppet dan melakukan share informasi terkait hasil kegiatan survei populasi bilou itu. Secara umum Kepala Desa Maileppet mendukung kegiatan konservasi bilou di wilayah administratifnya dan berencana untuk turut mengembangkan potensi desa itu sebagai destinasi wisata minat khusus pengamatan satwa liar.

Namun meski kawasan ini adalah wilayah konservasi dari BKSDA Sumatra Barat namun kawasan hutan ini memiliki kerumitan yang sangat khas. BKSDA sebagai pemangku kepentingan utama sebagai wakil dari pemerintah seolah tidak berdaya mengelola kawasan yang menjadi tanggung jawabnya ini. Penduduk setempat selama ini terus saja melakukan jual-beli kapling-kapling lahan hutan di kawasan itu. Penebangan kayu-kayu besar untuk kebutuhan konstruksi penduduk setempat sebagian besar berasal dari wilayah itu, demikian pula pembukaan hutan untuk pengambangan perladangan penduduk terus saja berlangsung. Demikian pula perburuan liar yang kini dilakukan oleh generasi muda dengan menggunakan senapan angin yang lebih modern; dilengkapi dengan teleskop dan peredam suara juga semakin masif dan belum ada kontrol dari pihak manapun. Hal ini tentu saja merupakan tantangan besar untuk konservasi hutan dan keanekeragamanhayati di wilayah hutan ini, terutama mengingat sebagian kawasan hutan itu kini secara tradisional sudah berpindahtangan dari penduduk setempat ke tangan penduduk dari etnis pendatang meskipun belum memiliki legalitas sah dari pihak yang berwenang.


Monday, December 22, 2025

Dari Tuapejat ke Beriulou: Catatan Perjalanan Pengamatan Satwa di Pulau Sipora

 

hutan di Beriulou

oleh : Ismael Saumanuk

Kegiatan kali ini berupa pengamatan satwa ke Hutan Beriulou dan jalur logging Betumonga, berlangsung pada 11–13 Desember 2025. Tujuan utama perjalanan adalah melakukan pengamatan terhadap potensi keberadaan primata Mentawai serta jenis-jenis burung di kawasan tersebut.

Akses dan Rute

Hutan Beriulou berbatasan dengan Betumonga, Sagitcik, Marah, dan Taraet. Di sepanjang punggung perbukitan sudah terdapat jalan lintas yang dibangun oleh perusahaan lama pada tahun 2019. Jalur ini masih bisa dilalui sepeda motor hingga ke kawasan hutan. Sementara itu, jalan logging menuju Betumonga kini tertutup rapat oleh semak paku ransam (osap), sehingga tidak lagi bisa dilewati masyarakat.

Untuk mencapai lokasi pengamatan, kami menempuh perjalanan darat dengan sepeda motor dari Tuapejat, pusat Kabupaten Kepulauan Mentawai di Pulau Sipora. Waktu tempuh sekitar tiga jam. Bersama Mateus Sakaliau dan Erwin, saya berangkat dari Café Bilou di Goisoinan pukul 13.00 WIB, tiba di Sioban pukul 14.00 WIB untuk makan siang, lalu melanjutkan perjalanan pukul 15.00 WIB dan sampai di lokasi survei pukul 16.30 WIB. Kami mendirikan tenda sebagai pos pengamatan, kemudian berjalan di sekitar lokasi hingga menjelang malam. Pada pukul 17.45 WIB, kami melihat seekor joja di atas pohon, sedang mencari tempat tidur, hanya berjarak sekitar 20 meter dari posisi kami.

Kondisi Hutan

Hutan Beriulou dan jalur logging Betumonga masih didominasi pohon-pohon besar. Namun, di sepanjang jalan utama Beriulou terlihat aktivitas penebangan kayu dengan chainsaw, baik untuk kebutuhan rumah pribadi maupun dijual ke resort. Selama berada di hutan, kami mendengar lima kali suara chainsaw, bahkan ada satu yang beroperasi hingga tengah malam (pukul 20.00–00.00 WIB).

Berbeda dengan jalur logging Betumonga, kawasan ini relatif lebih aman karena akses mobil belum memungkinkan akibat jalan yang belum diperkeras.

Hasil Pengamatan Primata

Simias concolor ( Masepsep)

Brachypodius melanocephalos- (Taktak)


Macaca pagensis -Siteut

Walaupun cuaca kurang baik, kami berhasil mencatat empat kelompok bilou yang bersuara di beberapa titik:

Kelompok 1: Bagian selatan, mulai pukul 04.31–05.10 WIB, jarak ±1,5 km.

Kelompok 2: Mulai pukul 04.49–05.45 WIB, jarak ±1,5 km.

Kelompok 3: Mulai pukul 05.07–05.37 WIB, jarak ±1 km.

Kelompok 4: Hari ketiga, bagian barat jalan Beriulou, pukul 04.22–04.35 WIB, jarak ±1 km.

Keempat kelompok bilou tersebut tidak melakukan great call.

Selain itu, kami juga menjumpai langsung beberapa primata:

Seekor bokkoi menyeberangi jalan utama Beriulou.

Seekor joja di tepian jalan, sedang mencari tempat tidur.

Hari kedua di jalur logging Betumonga: tiga kelompok bokkoi dan dua kelompok joja.

Hari ketiga di jalur Beriulou: satu kelompok joja dan satu kelompok masepsep (simakobuk / Simias concolor).

Total perjumpaan primata: 9 kelompok, terdiri dari 4 kelompok bokkoi, 4 kelompok joja, dan 1 kelompok simakobuk.

Catatan Umum

Meski vegetasi hutan di jalur Beriulou mulai berkurang akibat pembangunan resort di Bosua dan Katiet serta kebutuhan kayu masyarakat, kawasan ini masih memiliki vegetasi yang bagus dan strategis. Kelimpahan satwa, khususnya primata, masih mudah dijumpai. Akses pengamatan pun relatif mudah karena bisa ditempuh langsung dengan sepeda motor hingga ke lokasi.


Saturday, December 20, 2025

Membangun Gerakan Imuwan Warga : Monitoring Primata di Desa Mendolo , Desa Kayupuring dan Desa Pacet.

Oleh : Kurnia Ahmaddin

Kegiatan ini merupakan kontribusi swaraOwa sebagai anggota forum Kolaborasi Pengelolaan Hutan Petungkriyono yang telah mendapatkan SK Gubernur Jawa Tengah no 660.1/26 Tahun 2020. Dengan melibatkan warga, kegiatan monitoring keanekaragaman hayati tahun 2025 berfokus di 3 Desa yaitu Desa Mendolo dan Kayupuring di Kabupaten Pekalongan serta Desa Pacet di Kabupaten Batang. Secara rutin kami melakukan survei selama minimal 7 hari dalam 1 bulan yang dilakukan oleh 14 pemuda lokal. Kegiatan ini juga sebagai upaya pendampingan 5 pemburu aktif agar mendapatkan alternatif penghasilan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan monitoring ataupun patrol hutan. Kegiatan ini juga bertujuan meningkatkan kapasitas, dan mendorong kesadaran konservasi untuk warga sekitar hutan, yang dapat mengubah kegiatan exploitasi sumberdaya hutan menjadi kegiatan ekonomi produktif. Mengumpulkan informasi keanekaragaman hayati yang sangat potensial untuk di kembangkan sebagai asset daerah dan pelestarian alam berbasis komunitas. Seluruh data keragaman primata, geospasial dan catatan lain di lapangan diinput melalui aplikasi ‘KOBOTOOLBOX’. Perolehan data dari aplikasi ini belum sepenuhnya terukur menggunakan metode yang konsisten. Beberapa laporan merupakan sumbangan dari tim monitoring ketika sedang melintas dan bertemu dengan primata sehingga dapat dikatan perolehan data ini adalah data ‘citizen science’.

grafik perjumpaan primata 

Berdasarakan survei populasi owa pada tahun 2021 desa Kayupuring merupakan kawasan high suitable habitat untuk Owa Jawa. Sehingga patroli yang dilakukan adalah dengan menelusuri jalur-jalur rawan perburuan di desa tersebut. Metode patroli serupa juga kami lakukan di desa Pacet yang merupakan titik sebaran Owa jawa paling Timur di pegunungan Dieng. Mengingat banyak hutan yang telah beralih fungsi menjadi kebun durian dan kebun kopi non-shadeground di Mendolo, patroli dilakukan sebisa mungkin dilakukan dengan mengikuti pergerakan Owa jawa untuk mengetahui jalur pergerakan, preferensi pakan dan perilaku di low suitable habitat. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan program penanaman pohon. Sehingga titik penanaman pohon yang bertujuan agar Owa jawa dengan indikasi terisolasi di Mendolo memiliki koridor penyeberangan alami dikemudian hari.

Selama 10 bulan berjalan, hasil monitoring yang telah terinput oleh tim monitoring adalah 242 catatan perjumpaan dengan 5 spesies primata Jawa. Seluruh data Geospasial yang tercatat memiliki rata-rata akurasi GPS sebesar 7.327892 m dari gawai yang digunakan tim monitoring. Dengan mengeliminasi catatan mengenai Owa jawa yang berusaha untuk diikuti di Mendolo, karena kami anggap sebagai 1 grup. Hasil dari pengamatan dengan catatan perjumpaan terbanyak adalah Lutung jawa (Trachypithecus auratus). Spesies tersebut tercatat sebanyak 75 kali perjumpaan, dengan 15 individu terbanyak dalam 1 kelompok dan rata-rata jumlah individu dalam sekali pengamatan adalah 5 individu. Sedangkan Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan jenis yang paling jarang tercatat, hanya 3 kali perjumpaan dengan 1 individu teramati pada tiap kali teramati.

Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis) menempati rangking ke 2 terendah dalam hal catatan perjumpaan dengan 31 kali perjumpaan. Meskipun demikian, spesies ini menempati peringkat pertama dalam hal jumlah individu terbanyak dalam 1 kelompok yaitu 18 individu dengan rata-rata 8,13 individu. Catatan perjumpaan dengan Rekrekan (Presbytis comata fredericae) adalah 34 kali perjumpaan, dengan jumlah individu tertinggi adalah 16 individu dan rata-rata 5,059 individu.

Perjumpaan dengan Owa jawa (Hylobates moloch) diluar wilayah jelajah kelompok yang diikuti di Mendolo adalah 57 kali laporan perjumpaan dengan rata-rata jumlah individu Owa yang terhitung adalah 2,54 jumlah individu dan 8 individu terbanyak dalam satukali pengamatan di desa Kayupuring. Seluruh perhitungan rata-rata dan jumlah individu ini adalah catatan perjumpaan dengan primata yang mengikutsertakan laporan dari suara terdengar tanpa terlihat yang kami hitung sebagai 1 individu.

Persebaran primata

sebaran perjumpaan Owa Jawa

Area hutan desa Kutorojo, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan merupakan wilayah hutan dengan catatan primata paling Barat di Kawasan hutan pegunungan Dieng pada monitoring periode ini. Area hutan tersebut hanya absen jenis Kukang jawa (Nyticebus javanicus) karena tim tidak melakukan monitoring pada malam hari ketika mengunjungi desa tersebut. Meski tidak dijupai secara langsung namun berdasarkan wawancara dengan masyarakat lokal, mereka dapat menyebutkan ciri fisik dengan baik hingga waktu terbaik untuk bertemu dengan satwa ini pada puncak musim bunga kopi. Di luar kawasan tersebut,  Kukang jawa (Nyticebus javanicus) selama periode monitoring hanya di jumpai di desa Mendolo. Hanya 3 catatan perjumpaan di area hutan dengan shadeground kopi di bawahnya dan rata-rata altitude di ketinggian 624 mdpl.

 Dari 31 catatan perjumpaan dengan Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), 13 kali tercatat di desa Mendolo dan 10 kali di Kayupuring dengan rata-rata sering teramati pada ketinggian 542.2954 mdpl. Hanya terdapat 1 catatan di ketinggian 1007,64 mdpl di Sawanganronggo dan tidak laporan perjumpaan di desa Pacet dan kawasan lain dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl selain di Sawanganronggo. Meski catatan perjumpaan menunjukkan habitat spesies ini cukup moderat mulai dari perkebunan pinus, karet, dan durian namun, perjumpaan di kawasan hutan tergolong minim. Catatan di Kayupuring misalnya, meskipun habitat pada umumnya adalah hutan, namun catatan perjumpaan dengan spesies ini terkonsentrasi di sepanjang jalan utama. Hal ini dimungkinkan karena setidaknya 4 grup telah terhabituasi dengan kehadiran manusia. Kami masih mendapat laporan bahwa masyarakat dan wisatawan lokal sering memberi pakan Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis) di sepanjang jalan utama menuju Petungkriyono. Beberapa laporan lain menginformasikan bahwa grup di pintu masuk hutan sudah mulai mengejar manusia yang membawa kantong plastik.

Lutung jawa (Trachypithecus auratus) tercatat pada ketinggian dan habitat yang lebih moderat jika dibandingkan dengan jenis lain di lansekap ini. Tercatat mulai dari ketiggian 404.651 mdpl di kayupuring hingga 1770.83 mdpl di Pacet, dengan habitat mulai dari perkebunan hingga hutan alami. Sedangkan catatan Rekrekan (Presbytis comata fredericae) di sisi Barat tercatat pada ketinggian 393.76 mdpl di Kutorojo. Sedangkan di sisi Timur yaitu desa Pacet tercatat pada 1637.3 mdpl sehingga rata-rata ketinggian 658.2403 mdpl dari 34 catatan perjumpaan di seluruh wilayah monitoring. Habitat perjumpaan spesies ini mirip dengan Lutung jawa (Trachypithecus auratus), bahkan 2 catatan perjumpaan berada di perkebunan teh yang memiliki pohon Afrika (Maesopsis eminii) sebagai tanaman penaung teh.

 Selama periode monitoring, Owa jawa (Hylobates moloch) hanya tercatat pada habitat hutan alam dengan toleransi tanaman kopi shadeground di bawah naungan hutan. Dilaporkan kera jenis ini dijumpai pada ketinggian rata-rata 596.516 mdpl. Catatan ketinggian terendah berada di 320.58 mdpl di Kutorojo dan tertinggi 1566.71 mdpl di Pacet. Keduanya mewakili catatan sebaran paling Barat dan paling Timur selama periode monitoring. Di Pacet teramati 3 individu teramati di curug Silawe  meski hanya 1 kali tercatat. Sedangkan di Kutorojo  teramati 5 individu dalam 1 kelompok.

Saturday, December 6, 2025

Titian Lestari: Koridor Kehidupan Untuk Owa Jawa

 oleh : Sidiq Harjanto

tari kreasi baru dari Mendolo " Jingkrak Sundhang" di pentaskan dalam acara peresmian program  "Titian Lestari"

Pada Sabtu, 29 November 2025 telah dilaksanakan Kick Off Program Konservasi Fauna "Titian Lestari: Koridor Kehidupan Untuk Owa Jawa". Program ini merupakan kolaborasi antara SwaraOwa dengan Yayasan Astra Honda Motor (AHM) dan Affiliated Company AHM. Program “Titian Lestari” dihadirkan sebagai upaya komprehensif dan multidimensinal untuk merajut kembali keterhubungan hutan, hati, pikiran, dan harapan keharmonisan manusia dan alam. Target utama program ini adalah pelestarian owa jawa di Kawasan Hutan Petungkriyono-Lebakbarang.

Program ini didesain dengan mengintegrasikan berbagai aspek –konektivitas hutan, kesadaran masyarakat, dan partisipasi parapihak; dengan kesadaran bahwa upaya mewujudkan kelestarian alam membutuhkan pendekatan yang holistik. Program berbasis “Tiga Titian” –tiga jembatan penghubung strategis. Titian Alam, berupa aksi nyata merawat konektivitas fisik hutan melalui penanaman pohon. Titian Pengetahuan, membangun koneksi antara manusia dengan alam, dalam hal ini owa jawa dan hutan habitatnya melalui edukasi dan penyadaran. Titian Peran, membangun jembatan peran dan partisipasi masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan.

Acara Kick Off yang digelar di Dusun Sawahan, Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang ditandai dengan serah terima pohon secara simbolis dari Ketua Yayasan AHM, Bapak Ahmad Muhibbuddin kepada Yayasan SwaraOwa, yang diwakili Sidiq Harjanto selaku koordinaror program Titian Lestari. Turut hadir menyaksikan, antara lain: Ibu Sri Handayani selaku Camat Lebakbarang beserta Muspika Lebakbarang, Bapak Kaliri selaku Kepala Desa beserta perangkat Desa Mendolo, Bapak Catur mewakili Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur, utusan dari kantor CDK IV Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Tengah, dan segenap tamu undangan.

peluncuran program Tititan Lestari, penamanan untuk koridor kehidupan

Dalam Kick Off ini juga dilakukan simbolis penanaman berbagai jenis pohon, antara lain: Kayu Sapi (Pometia sp.) Kayu Babi (Crypteronia sp.), Kepayang/kluwek (Pangium edule), Aren (Arenga pinnata), Rau (Dracontomelon dao), dan Sentul (Sandoricum koetjape). Jenis-jenis pohon ini yang nantinya akan dibibitkan dan ditanam di area-area habitat penting owa jawa. Sebagian jenis pohon adalah potensial pakan bagi owa jawa, sebagian lainnya memiliki nilai penting dalam konservasi air, dan sebagian lagi memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat.

Titian Lestari diharapkan membawa dampak positif sebagai berikut: Pertama, terpeliharanya koridor habitat yang mendukung pergerakan dan regenerasi owa jawa. Sebagai satwa arboreal, owa jawa bergantung pada tajuk pohon yang saling terhubung untuk aktivitas bergerak, mencari makan, dan berkembang biak. Alih fungsi lahan, seperti pertanian monokultur, berisiko menyebabkan fragmentasi habitat bagi owa jawa. Berdasarkan penelitian Widyastuti et al. (2023) menyebutkan ancaman populasi owa jawa muncul karena indikasi fragmentasi di habitat seluas 8,341 ha, di wilayah Petungkriyono-Lebakbarang.

 Melalui program “Titian Alam”, bibit-bibit pohon rencananya ditanam pada sempadan dan daerah aliran sungai (DAS) Wisnu & Sengkarang untuk menjadi koridor hutan di masa depan, sekaligus untuk konservasi air dan tanah. Dengan model agroforestri yang diperkaya, aneka bibit buah hutan juga ditanam di lahan-lahan garapan guna meningkatkan ketersediaan pohon pakan bagi owa jawa.

simbolis acara penanaman bersama

 Kedua, meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat umum dalam konservasi. Owa jawa dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita, karena bersifat monogami atau setia pada satu pasangan, dan protektif terhadap keluarga. Aspek-aspek kehidupan owa jawa ini selaras dengan nilai-nilai masyarakat yang kita pegang, dan perilaku bersuaranya mengajarkan bentuk komunikasi yang efektif.

 Dibingkai dalam “Titian Pengetahuan”, edukasi dan kampanye konservasi, terutama kepada generasi muda di sekitar habitat owa jawa akan dilakukan menggunakan metode-metode kreatif dan menyentuh sisi emosi. Salah satunya melalui media seni, seperti tari Jingkrak Sundang karya Bapak Sujono seniman multitalenta dari Keron, Magelang. Tari ini menggambarkan kemarahan dan keputusasaan satwa liar yang kehilangan habitat, diharapkan membangkitkan empati para penari maupun audiensnya.

 Ketiga, tersedia ruang partisipasi bagi kaum perempuan pada konservasi. Skema pelestarian hutan perlu membumi dan menjangkau berbagai kalangan. Salah satu kelompok yang perlu diberi ruang adalah kaum perempuan. Kepentingan mereka terhadap hutan bisa dilihat dari akses kepada pangan lokal dan obat-obatan alami. Perempuan umumnya juga pembuat keputusan dalam hal konsumsi rumah tangga, terutama pangan, yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi hutan.

 “Titian Peran” mengajak partisipasi kaum perempuan untuk memperkaya perspektif konservasi dalam keputusan-keputusan sehari-hari (misalnya, memilih produk yang ramah lingkungan atau bijak dalam penggunaan kayu bakar) sehingga dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi tekanan pada habitat Owa Jawa. Membuka peluang ekonomi berkelanjutan seperti pengembangan produk hasil hutan bukan kayu juga akan menjadi fokus utama program ini.

 Atas terlaksananya Kick Off Program Konservasi Titian Lestari ini, kami ucapkan terima kasih kepada mitra/kolaborator: Yayasan Astra Honda Motor, PT Musashi Auto Parts Indonesia, PT Astemo Bekasi Manufacturing, PT Yutaka Manufacturing Indonesia, PT Suryaraya Rubberindo Industries. Juga kepada para pihak yang telah turut mendukung kesuksesan acara, antara lain: Muspika Lebakbarang, Pemerintah Desa Mendolo, Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur, CDK IV Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Tengah, Dinas Pertanian Kab Pekalongan, Paguyuban Petani Muda Mendolo, Kelompok Wanita Tani Brayanurip Mendolo, dan segenap masyarakat Desa Mendolo.