Wednesday, December 30, 2020

Kilasbalik 2020 : gita karya di tengah pandemi.

 oleh : Arif Setiawan. E-mail : a.setiawan@swaraowa.org


bentangalam kawasan hutan Petungkriyono


Bulan januari 2020, rencana untuk kegiatan-kegiatan pelestarian primata khususnya jenis-jenis owa  sudah sedemikian rupa telah  disusun,  tanpa menaruh perhatian pada gemuruh badai global yang sudah begerak. 2 kegiatan utama yaitu  untuk konservasi Owa di Jawa Tengah dan Owa bilou di Kep.Metawai telah menjadi motivasi kuat untuk memperkuat kerja konservasi di tingkat tapak.

Kegiatan bersama dengan tim malinggai Uma Mentawai disiberut selatan, dilakukan dengan tujuan untuk  meningkatkan kapasitas anggota Malinggai Uma, dengan mengenalkan fotografi satwa untuk tujuan pelestarian budaya dan keanekargaman hayati. 2 anggota malinggai uma telah di persenjatai dengan 2 kamera yang akan digunakan untuk berburu satwa, merekam sejarah alam, dan meninggalkan kebiasaan berburu yang tidak lagi menggunakan adat.

Program ini telah sedikit banyak memberikan dampak langsung, dengan terbitnya buku burung Mentawai dan buku primata Mentawai. Kerja kolaboratif dengan mendorong warga sekitar sebagai actor utama “paraconservationist” .  Tidak hanya primata, namun mengenalkan keanekargaman hayati lainnya yang ada di mentawai sekaligus memperkuat nilai budaya asli.

Bilou (Hylobates klossii)

Kegiatan Mentawai di bulan januari tersebut, sebenarnya juga akan mengawali kegiatan promosi konservasi primata Mentawai melalui wisata pengamatan primata, promosi melalui  website https://wildgibbonindonesia.com/  juga sudah di mulai dan perjalanan ini sebenarnya sudah di lakukan untuk ujicoba sebuah trip wisata pengamatan primata endemik Mentawai, dengan kombinasi wisata budaya. Baca trip reportnya di sini. Namun hal ini juga tertuda untuk pengembangannya, kalau sejak bulan Maret sampai saat ini wisata ke Mentawai juga masih tertunda untuk wisatawan target primatewatching ini yang kebanyak dari luar negeri. Beberapa kelompok wisatawan sudah memesan perjalanan ini sejak promosi kami di akhir tahun 2019, namun harus di batalkan karena situasi pandemi global.

Bulan februari, menjadi bulan terakhir sebelum tatanan global berubah karena pandemi virus covid 19, kesempatan mengupgrade pengetahuan, dan pengalaman tentang primate-primata sumatera datang Ketika Noel Rowe PCI mengajak untuk melakukan  primate watching trip ke sumatera bagian tengah, dan yang menjadi target species adalah jenis-jenis Presbytis sp.

Konsep primate watching trip ini lebih mirip perjalanan overland, dengan kendaraan 4x4, yang melintas hutan-hutan yang dapat di lalui kendaraan roda 4, namun masih memungkinkan melihat primate-primata. Perjalanan dimulai dari Padang sumatera barat, Jambi, Riau, hingga ke Sumatera Utara, dan Kembali lagi ke Padang. Total panjang perjalanan ini adalah kurang lebih 3500 km, selama 24 hari. Selain melihat langsung dan mendokumentasikan species-species simpai sumatera bagian tengah, juga melihat langsung ancaman kelestarian habitat dan populasi monyet daun endemik Sumatera. Taksonomi jenis-jenis simpai Sumatra ini memang masih sangat membingungkan dan di perdebatkan, selain kurang di perhatikan di kalangan peneliti dan konservasionist.  Primate watching ini sebenarnya baru di inisiasi dan akan menjadi salah satu sumberpendaan kegiatan swaraowa, pengalaman merencanakan, handling tamu dan juga kondisi lapangan menjadi sarana latihan untuk tur primata. Cerita perjalanan ini dapat di ikuti di Instagram swaraowa mulai tanggal 5 februari sampai 25 Februari 2020. Beberapa spot lokasi untuk pengamatan Ungko dan siamang terdata dengan kemungkinan akan di kunjungi lagi  di waktu mendatang. Hari-hari terakhir primatewatching trip Sumatra, kabar mengenai virus corona 19 sudah menyebar, di berbagai negara, namun sepertinya di Indonesia masih belum mendapat perhatian serius.

Tim kopi owa ds.Tlogohendro

Bulan Maret 2020, kegiatan proyek kopi dan konservasi primata 2020, akan ada kunjugan resmi dari Ostrava zoo, yang di wakili staf kebun binatang dan wakil duta besar dari Ceko untuk Indonesia. Kegiatan yang di rencakan mengunjungi Sokokembang dan desa mendolo untuk melihat demplot budidaya Lebah, namun bersamaan dengan acara ini, kami mendapat surat edaran dari Bupati kabupaten Pekalongan kalau tidak boleh mengadakan acara yang sifatnya mengumpulkan orang dan berkerumun untuk mencegah penularan virus. Sangat kecewa tentusaja, tapi ini juga mengikuti aturan pemerintah, apalagi untuk menjaga situasi tetap kondusif di desa tempat kegiatan. Acara di batalkan dan kami hanya bertemu dengan perwakilan staff kebun binatang Ostrava Zoo di Kota Pekalongan, dan langsung balik ke Jakarta.

Bulan  Maret awal adan juga tim swaraowa yang ikut pameran di Indofest awal bulan maret juga harus kembali ke habitat asal, karena acara festival produk-produk outdoor dan wisata alam itu juga di tutup sebelum acara selesai. Acara ini sebenarnya juga menjadi media promosi wisata minat khusus, di habitat owa jawa, namun sepertinya juga banyak hal yang harus dipersiapkan dan tertunda untuk pengembangan wisata ini. Sepertinya kegiatan wisata juga yang paling terkena dampak dari pandemi covid19.

Dari semua kegiatan proyek kopi dan konservasi primata tahun 2020, yang paling terasa dampaknya adalah ketika rantai penjualan komoditas kopi ramah hutan yang bekerjasama dengan Singapore zoo, terhenti, karena cafĂ© shop  utama yang menjual kopi owa di Singapore tutup karena covid19. Stok kopi menumpuk di gundang kopi owa di Jogja, dan di rumah warga sekitar hutan habitat owa di Petungkriyono. Rencana kunjungan tim Wildlife Reserve Singapore dan journalist dari Singapore yang telah disusun pertengahan tahun 2019 juga harus di batalkan karena pandemi ini

Kuncitara terjadi dimana-mana, membatasi gerak manusia dan ekonomi , namun yang terjadi di habitat owa tidaklah sepenuhnya terkuncitara, dari pengamatan bulan Maret-Juni 2020, orang-orang sudah mulai jenuh dengan kondisi di rumah saja, dampaknya terhadap habitat owa apa ? hal ini juga masih menjadi tanda tanya. 2 bulan pertama lockdown saja jalan-jalan hutan sepi, setelah itu sepertinya hutan menjadi tempat hiburan di kala pandemi, wisatawan lokal setiap hari datang, entah hanya sekedar jalan-jalan, melihat hutan, dan beberapa spot  wisata  sungai juga menjadi tempat mengisi waktu. Kegiatan monitoring owa di sepanjang jalan dilakukan oleh warga di sokokembang, mencatat perjumpaan primate di sepanjang jalan antara Kroyakan hingga Sokokembang, kurang lebih 6 km.

Kegiatan panen madu klanceng di Ds. Mendolo

Kegiatan budidaya klanceng, yang telah berkembang di Dusun Mendolo,  kecamatan Lebakbarang, kabupaten Pekalongan, terus dipantau dari jarak jauh selama pandemic, meskipun tidak melihat langsung namun laporan-laporan perkembangan kegiatan terus di update tim di Mendolo.

Bulan Mei 2020, menjadi bulan baik untuk Owa Bilou, publikasi survey salah satu primata endemik Mentawai ini terbit di jurnal biodiversitas, yang di dukung penerbitannya oleh PERHAPPI melalui kongres primata Indonesia bulan September 2019.

Seri diskusi konservasi, menjadi kegiatan yang di tiadakan di tahun 2020, karena tidak memungkinkan untuk membuat acara mengumpulkan banyak orang di masa pandemi, kegiatan seri diskusi konservasi ini bertujuan untuk mengarus utamakan kegiatan pelestarian alam di habitat owa jawa, tidak hanya terkait dengan owa saja, tapi keanekaragaman hayati secara umum dan bagaimana memperkuat nilai tambahnya, sebagai bagian dari ekosistem, dan potensi sosial ekonominya. Sempat membuat acara pengganti seri diskusi konservasi ini dengan podcast swaraowa, yang kebetulan sempat menginterview Dr. Bas van Balen ketika berkunjung ke Petungkriyono. Podcastpun juga tidak dapat di lakukan secara berseri dengan kendala teknis.

Memasuki bulan juni 2020, ada 2 kegiatan penelitian di Sokokembang, perempuan-perempuan tangguh yang sangat tertarik untuk tidak terpaku diam di rumah, namun lebih memilih hutan dan membaur bersama warga sekitar hutan, yang pertama Nur Aoliya dari IPB yang meneliti perilaku bersuara owa jawa di wilayah pegunungan Dieng, yang mencakup 2 kabupaten, Batang dan Pekalongan. Baca cerita lapangan Aoliya disini  yang mengisahakan Owa seperti Diva di tengah rimba.  Yenni Rachmawati dari UNAIR tertarik meneliti keberadaan salah satu burung yang sangat terancam punah, Raja Udang Kalung Biru, yang ditemukan oleh tim swaraowa tahun 2018.  Kedua penelitian ini merupakan bagian dari program beasiswa Kopi Owa yang setiap tahun di adakan oleh proyek kopi dan konseravasi primata di Jawa Tengah.  Penelitian-penelitian ini masih terus berjalan hingga awal tahun 2021.

Bulan Agustus 2020, swaraowa menerima salah salah satu mahasiswa magang dari sebuah sekolah di Inggris, kegiatan magang ini juga bertujuan untuk memperluas jejaring konservasi owa dan meningkatkan kapasitas generasi muda untuk ikut dalam kegiatan lapangan konservasi owa secara langsung.

Memasuki akhir tahun 2020, kegiatan terkait budidaya lebah di desa Mendolo selain monitoring rutin setiap bulan, di bulan Oktober kami mengadakan kegiatan pelatihan pengolahan produk-produk turunan dari kegiatan perlebahaan ( beekeeping). Beeswax yang di hasilkan dari kegiatan pemanenan madu hutan di olah menjadi lilin dan pomade perawatan rambut. Produk-produk ini masih dalam taraf ujicoba dan memberikan contoh kepada warga sekitar hutan bahwa ada produk lain yang bisa di kembangkan dari kegiatan budidaya lebah . Bulan oktober juga menjadi hari Owa Internasional, tidak seperti biasanya kegiatan Pelatihan Metode Survey Primata ( MSP) yang dilakukan setiap tahun sejak tahun 2013 harus di tiadakan, tahun ini seharunya menjadi acara yang ke-8.

Kegiatan konservasi Bilou di Kep.Mentawai, bulan November 2020 aktif kembali, dengan melaksanakan kegiatan yang sempat tertunda  karena pandemi. Pelatihan guru-guru untuk meningkatkan pengalaman dan pengetahuan, serta metode mengajar yang menggunakan materi terkait dengan konservasi alam dan budaya Mentawai. Kegiatan ini didasari dari semakin terkikisnya budaya  asli Mentawai, yang juga semakin susahnya melihat primata-primata Mentawai , karena hilangnya hutan dan perburuan.

Salah satu kegiatan baru yang juga di inisiasi oleh tim swaraowa di masa  pandemi , adalah survey Monyet endemic pulau Natuna, Presbytis natunae. Bertujuan untuk mengupdate status dari jenis primata pemakan daun yang hanya ada di Pulau Natuna. Survey berhasil menemukan populasi Kekah Natuna di Pulau Bunguran. Hasil survey ini diharapkan juga dapat mengarusutamakan pelestarian primate di Pulau Natuna, dengan melibatkan pihak-pihak terkait .

Webinar Owa Indonesia menjadi salah satu kolaborasi aksi dengan pegiat konservasi primata Indonesia khususnya, jenis-jenis Owa dan hal ini terlaksana dengan adanya 3 seri diskusi online, seri Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Beberapa kegiatan tidak sempat terdokumentasikan di website atau blog swaraowa, karena keterbatasan waktu untuk menulis. Salah satu capaian penting namun juga tantanganbaru  untuk konservasi Owa di Kabupaten Pekalongan adalah , pengelolaan kolaboratif yang diinisiasi di tahun 2019, mendapatkan perhatian dari permerintah provinsi dengan adanya surat keputusan forum kolaboratif pengelolaan Kawasan hutan Petungkriyono, yang dalam hal ini forum bersama multipihak di wilayah kecamatan petungkriyono mengusulkan kurang lebih 5,173.80  ha, untuk dikelola secara kolaboratif, dalam usulan Kawasan Ekosistem Esensial.

Satu hal penting , pandemic global ini telah membatasi gerak  manusia, dimana kita juga berbagi ruang dengan alam dan segala isi dan permasalah sosial ekonominya. Praktik budaya konsumsi dan produksi yang berkelanjutan harus tempatkan di daftar prioritas, meskipun dalam sekala kecil, dan komunitas yang terbatas, karena ini  adalah pilihan yang harus kita ambil demi setiap gerak berdampak untuk alam.  

Kopi Owa Bilou


Akhir tahun 2020, kami tutup dengan meluncurkan Kopi Owa Bilou, yang bertujuan untuk mempromosikan kegiatan konservasi primata khususnya Bilou ( Hylobates klosii), owa endemik Mentawai.   Penjualan kopi ini di prioritaskan di wilayah sumatera barat khususnya Padang, dan Kepulauan Mentawai, bekerjasama dengan Malinggai Uma di Siberut Selatan.

Selamat tahun baru 2021.

 







Monday, November 30, 2020

Pelatihan Guru Budaya Mentawai : Memperkuat Nilai Budaya dan Pelestarian Primata

peserta pelatihan guru budaya mentawai di Uma Malinggai. (Foto. Mateus Sakaliou )


Pelatihan guru dan fasilitator budaya mentawai, telah sukses dilaksanakan tanggal 25-27 November 2020, berlokasi di Malinggai Uma Tradisional Mentawai, dusun Puro 2, Desa Mailepet, Siberut Selatan. Acara ini dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya nilai-nilai budaya dan nilai penting konservasi alam yang ada di Kepulauan Mentawai. Degradasi hutan dan perburuan yang tidak lagi menggunakan aturan adat menyebabkan primata-primata mentawai semakin susah di temukan, bahkan sudah ada yang sangat kritis dan terancam punah,generasi muda mentawai sendiri juga semakin sulit menjumpai primata-primata ini di hutan-hutan sekitar mereka. 

Tujuan kegiatan pelatihan untuk guru-guru ini adalah 1. untuk memperkenalkan kepada guru dan fasilitator budaya mentawai mengenai primata dan keanekaragaman hayati. 2 Meningkatkan kapasitas guru-guru sekolah dan pengajar budaya mentawai, melalui metode pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan terkait dengan primata dan hutan. Peserta yang ikut kegiatan ini ada 9 guru dari sekolah-sekolah di kecamatan siberut selatan dan siberut barat daya, 4 orang fasilitator sekolah budaya Mentawai, dan 7 orang dari malinggai Uma Mentawai. 

Kegiatan meliputi materi ruang yang disampaikan oleh pemateri undangan dan kegiatan pengamatan lapangan ke hutan Tololago, di Siberut Barat Daya. Guru-guru lokal ini terpilih karena mereka adalah aset konservasi primata dalam jangka panjang, yang selalu beinteraksi dengan siswa setiap hari sehingga dapat menyampaikan pesan-pesan pelestarian alam, dengan dukungan program pemerintah. Guru-guru peserta ini adalah warga yang menetap di Mentawai, jadi mereka dapat memahami situasi lebih baik terhadap anak didik sebagai generasi mendatang yang akan melajutkan tongkat estafet pelestarian alam dan budaya mentawai. 

Peserta di acara pembukaan pelatihan (Foto. Mateus Sakaliou)

foto bersama perwakilan pemeritah daerah Kab.Kep.Mentawai (Foto. Mateus Sakaliou)



Acara pembukaan dimulai tanggal 26 November 2020, dibuka oleh Camat siberut selatan, dan turut serta dalam memberikan sambutan acara ini adalah Sekertaris dinas Pariwisata Kab.Kepulauan Mentawai Bpk. Aban Barnabas dan perwakilan dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kep.Mentawai . Tokoh-tokoh adat dari siberut selatan juga turut hadir dalam pembukaan acara ini. Acara kemudian dilanjutkan dengan materi oleh pembicara utama Bpk. Nur Hidayat guru SMA 1 Petungkriyono, yang berbagi pengalaman tentang metode pembelajaran konservasi melalui permainan kartu dan boardgame owa. Pak Nur Hidayat yang sehari-hari mengajar biologi di sekolah habitat di sekitar habitat Owa jawa di Pekalongan Jawa Tengah, bersama rekan-rekan di sekolahan telah mengembangkan metode pembelajaran yang kreatif menggunakan kartu dan boardgame untuk mengenalkan Owa Jawa. 

Pemateri ke dua adalah pegiat konservasi primata dan burung dari Siberut dan Sipora, Ismael Saumanuk dan Mateus Sakaliou yang menceritakan pengalamanya mengamati primata mentawai di hutan dan burung-burung di Kep.Sipora, melalui foto-foto dan video dokumentasi yang mereka buat sendiri. Ika Cahya Ningrum dan Arif Setiawan mewakili swaraowa juga memberikan presentasi tentang dasar-dasar pengetahuan primata terutama terkait dengan primata asli mentawai yang dapat digunakan untuk penunjang muatan lokal pelajaran budaya mentawai. 
Perjalanan ke Tololago ( Foto. Mateus Sakaliou)


Foto Group 1. di hutan Tololago (Foto. Mateus Sakaliou)

Dalam acara ini peserta juga mendapatkan materi buku panduan lapangan primata Mentawai, burung-burung Mentawai, poster kupu-kupu dan capung dan poster tentang reptil dan amphibi, yang kesemua foto-foto nya diperoleh di habitat asli di Kep.Mentawai dari hasil survey visual hidupan liar tim Swaraowa dan Malinggai Uma. 

Acara kunjungan lapangan atau pengamatan primata semua peserta dibawa menuju ke hutan Tololago, yang berada di desa Teluk Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya, Lokasi ini merupakan salah satu kawasan hutan diluar kawasan konservasi Taman nasional siberut yang berdasarkan penelitian tim swaraowa dan malinggai uma, masih di huni oleh ke5 primata asli mentawai, dengan lokasi akses yang relatif lebih mudah, kurang lebih 1 jam melalui teluk Katurai. Pengamatan lapangan peserta dibagi menjadi 4 kelompok dengan masing masing kelompok ada 5-7 orang, yang berjalan di jalur-jalur pengamatan yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh tim Malinggai Uma. 

Foto bersama peserta di Tololago (Foto. Mateus Sakaliou)
 


Bilou ( Hylobates klosii) yang dijumpai group 1. (Foto. Mateus Sakaliou)

Pengamatan primata dan satwaliar ini bertujuan untuk mengenalkan kondisi hutan dan metode pembelajaran di alam untuk mengamati, mencatat, dan menganalisis hasil pengamatan dan presentasi hasil pengamatan kepada peserta lainnya, setelah kegiatan selesai. Pengamatan ini harapannya juga dapat menginspirasi para guru untuk mengajak anak didiknya tentang alam dan biodiversitas yang sangat terkait dengan nilai-nilai budaya yang ada di sekitar sekolahan atau suatu saat dapat mengembangkan muatan edukasi konservasi untuk kegiatan pembelajaran disekolah masing-masing.
Kelompok 1 sangat beruntung sekali dalam kegiatan ini yang dapat melihat langsung Bilou dan Bokkoi dijalur pengamatan mereka. Sementara itu kelompok 2 juga melaporkan menjumpai Bajing terbang siberut yang termasuk juga dalam satwa endemic siberut.

Rangkaian acara ini di fasitasi oleh tim swaraowa dan panitia lokal dari Malinggai Uma Mentawai yang telah menginisiasi kegiatan ini bekerjasama dengan malinggai uma mentawai sejak tahun 2017, khususnya untuk pelestarian owa mentawai, Bilou. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan simposium dan kongres primata 2019 PERHAPPI ( Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia yang didukung oleh Arcus foundation, dan Fortwayne Children’s Zoo yang mendukung konservsi Owa Mentawai melalui swaraowa.


Thursday, November 19, 2020

Kekah Natuna, Kesan Pertama Pengamatan Primata di Habitatnya

 ditulis oleh: Kurnia Latifiana − k.latifiana@gmail.com

Kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya.

Pertama kali pengamatan primata, pertama kali ke Natuna, pertama kali terjun ke lapangan dengan dua wanita hebat, tangguh, dan mandiri. Serba pertama kali yang dikemas secara epic. Semesta merestui kami − Mbak Kasih, Mbak Ika, dan aku − untuk melakukan survei primata endemik kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya. Kekah, biasa masyarakat lokal Natuna menyebutnya, salah satu jenis primata yang hanya ada di Pulau Natuna. Kekah Natuna dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Status konservasi secara global, terklasifikasi sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan atau vulnerable (VU) (IUCN SSC Primate Specialist Group, 2020) dan status perdagangan termasuk Appendix II CITES yaitu berpotensi terancam punah bila perdagangan dilakukan terus-menerus tanpa adanya hukum yang mengaturnya (CITES, 2016).

Hampir menuju penghujung September 2020, kami bertiga bergerak ke utara membelah khatulistiwa, dari Pulau Jawa menuju Pulau Natuna. Pulau kecil ini seluas 1.605 km2 dan di kelilingi lautan lepas. Jika kalian membuka Peta Indonesia, maka Pulau Natuna berada di paling utara Selat Karimata, di antara Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sering disebut Pulau Natuna Besar atau Pulau Bunguran, pulau utama terbesar di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Sesampainya di Natuna, kami langsung menuju Kantor KPHP Unit V Natuna, di Ranai. Berbekal informasi dari rekan-rekan KPHP Natuna yang lebih mengetahui persis lokasi kekah berada saat ini, kami berdiskusi untuk menentukan lokasi survei yang dapat kami jangkau. Beberapa lokasi target sudah kami tentukan, pun dengan pembagian siapa meluncur ke lokasi mana. Kami bersepakat untuk membagi tim menjadi tiga. Kami berpencar. Saatnya eksekusi.

 
Peta Pulau Natuna

***

Sebelumnya, aku sama sekali belum pernah melakukan pengamatan primata. Hanya sekedar field trip sebagai tourist, itu pun baru sekali. Survei ini adalah pengalaman pertamaku, dan langsung ke Natuna. What a surprise! Karena sesungguhnya aku yang dulu cukup lama menjadi teman setia dalam kegelapan bersama satwa nokturnal, herpetofauna. Ketika pengamatan sering nunduk dan hanya sesekali lihat ke atas. Namun, kali ini semua itu berkebalikan. Aku harus jalan pagi dan sore, mengamati atas tajuk. Seperti merubah algoritma default di otakku.

My first trial and error. Sebenarnya cukup khawatir njomplang (tidak seimbang) dengan kemampuan dua mbak senior yang sudah lihai kesana-kemari pengamatan primata. Njomplang dalam arti peluangku mendeteksi primata belum cukup terlatih, belum peka dengan keberadaannya. Mbak Kasih berkali-kali berpesan padaku, “Jalannya santai saja, kalem, slow. Ada area terbuka, berhenti dulu, amati sekitar. Kalau jumpa kekah, catat hal-hal prioritas. Jangan terlalu lama di titik itu, nanti kehilangan jejak untuk kelompok di depannya.” Aku ingat-ingat betul pesannya dan aku praktekkan sebisaku.

***

Rangkaian survei pertama kami di sekitar Ranai, yang merupakan pusat pemerintahan di Kabupaten Natuna, terletak di bagian timur pulau ini. Kami menyebar ke tiga lokasi survei sesuai rencana. Hari pertamaku pengamatan primata. Surprise! Sekelompok kekah menampakkan raut imutnya, sekitar 30 meter di depanku, berlokasi di kebun campur yang menyerupai hutan sekunder di sekitar permukiman warga. “Oh, ini toh dia (kekah) kalau di alam. Oh, begini wujudnya,” decak kagumku tak terhenti. Pertama kali dalam sejarah hidupku melihat Presbytis di alam. Mereka (kekah) auto sibuk berpindah dari pohon satu ke pohon lain untuk waspada sambil mengawasiku. Tak mau kalah sibuk, aku pun mengintip mereka melalui jendela kamera untuk mengabadikannya melalui foto. Beberapa frame sudah ku dapat, tapi belum puas, hasil gambar masih kabur karena terlalu bahagia sampai gemetaran pegang kamera. Hehehe. Ketika sampai penginapan, kami bertiga bertukar cerita. Hari pertama pengamatan, dua senior sekaligus guru dan sahabatku ini belum bertemu langsung dengan kekah. “Ini nih yang dinamakan keberuntungan pemula. Langsung ketemu di hari pertama pengamatan. Selamat ya!” tuturnya.

Hari berikut, masih di Ranai dan sekitarnya. Aku menuju jalur pendakian Gunung Ranai, gunung tertinggi di pulau ini. Gunung ini merupakan kawasan hutan lindung KPHP Natuna, dengan tutupan hutan lahan kering sekunder yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Sambil mendaki lereng curam, aku melihat pergerakan daun tak wajar sekaligus mendengar riuh suara kekah, sangat nyaring. Tanpa pikir panjang, aku merekam suaranya menggunakan ponsel pintarku. Iqbal, staff KPHP Natuna yang menemaniku, melihat kekah itu, “Ada (kekah), Kak. Ada 3 ekor,” ucapnya. Aku pun meneruskan jalur pendakian dengan lereng yang sangat tajam, diiringi latar suara kekah menemaniku terengah-engah mendaki Gunung Ranai.

Selepas seharian berpencar ke transek masing-masing, setibanya di penginapan, kami selalu bertukar cerita sekaligus berdiskusi merencanakan menuju target lokasi berikutnya. Hari itu Mbak Ika sangat beruntung jumpa kekah sekaligus mendapatkan fotonya, begitupun Mbak Kasih. Lengkap sudah, kami semua sudah bertemu dan mendapatkan foto kekah di alam. Tak lama, dua mbak senior ini sangat seru membicarakan kekah dan membandingkan dengan spesies Presbytis yang lain. Kira-kira begini, “Dia (kekah) di sisi luar tuh ada putihnya ya ternyata. Dia kalau pindah kalem banget, lebih slow daripada spesies ini loh... bla bla bla...” dan seterusnya. Hemm, aku cuma bisa diam dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan, mencoba mengekstrak tapi tetap saja nggak terbayang juga. Hahaha.

Selanjutnya pada trip kedua, kami berpindah berpencar untuk menjelajahi sisi Natuna bagian tengah-barat. Aku menuju Gunung Semala, yang hampir dua dekade silam dilaporkan ada kekah di sana (Lammertink et al., 2003). Di kaki gunung ini juga dimanfaatkan oleh para penambang batu untuk bertahan hidup. Menurut warga setempat, “Dulu memang banyak kekah, di sepanjang jalan menuju Gunung Semala juga ada. Namun, sekarang tak banyak, kalau di gunungnya justru tidak ada.” Pengamatanku kali ini nihil. Tak satupun primata teramati di Gunung Semala. Sunyi, tak terdengar suara satwa. Hanya sekali aku jumpa burung srigunting (nama lokal: sawe), terkadang teramati bajing kelapa.

Beberapa jenis satwa teramati ketika pengamatan kekah: srigunting/sawe, bajing kelapa, kangkareng perut putih/jungkak, elang ular bido/elang darat


Survei berikutnya menuju Natuna bagian selatan. Meminjam istilah Mbak Ika yaitu “kerajaan kekah”, karena baru jalan sebentar saja sudah jumpa kekah. Sangat memanjakan mata. Perbedaan yang sangat drastis dari lokasi pengamatanku sebelumnya. Dari informasi warga setempat, di jalur kebun buah memang sering dijumpai kekah. Aku segera menelusuri jalur yang dimaksud. Di jalur ini juga kerap mondar-mandir burung kangkareng perut putih (nama lokal: jungkak) dan sesekali teramati burung elang ular bido (nama lokal: elang darat). Tak membutuhkan waktu lama, setelah terdengar gemercik aliran sungai, terpantau olehku tujuh ekor kekah di atas pohon, lantas mereka bersuara. Aku mengira suara itu pasti ketua kelompok kekah yang memberikan “aba-aba” kepada kawanannya. Namun, kali ini lain, suaranya berbeda jika dibandingkan ketika aku merekamnya di Gunung Ranai. Entah itu tipe suara yang mana, yang penting aku rekam saja dulu. Di lokasi ini merupakan perkebunan campur yang berbatasan dengan hutan rawa sekunder. Aku coba mendatangi lokasi pohon di mana kekah tadi berkumpul. Pantas saja, ternyata ada pohon buah di situ. Kami masih mencoba untuk mengidentifikasi buah ini. Menurut warga setempat, kekah suka mengonsumsi bijinya saja. Selain itu, makanan favoritnya adalah biji buah karet, daun muda karet, biji rambutan, dan daun ubi.

Peluang perjumpaan kekah cukup tinggi di bagian selatan Natuna. Senang, namun sekaligus sedih, karena cukup mudah pula untuk diburu. Kami sempat menemui beberapa warga yang masih memelihara kekah di rumahnya. Berkaca-kaca ketika melihat sepasang kekah yang diikat dalam kandang seolah mereka berteriak ingin bebas, sedangkan aku belum bisa apa-apa. Pilu.

Kami berharap, melalui rangkaian kegiatan ini sebagai awalan baik untuk memicu aksi konservasi kekah Natuna yang saat ini populasinya semakin menurun. Sekaligus sebagai usaha untuk menghambat laju penurunan populasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap konservasi kekah sehingga dapat berdampingan berbagi ruang hidup (coexistence). Semoga ada kesempatan untuk berkunjung kembali ke Natuna, kediaman “kerajaan kekah”, dan tentunya saat musim buah. Tak hanya bagi kami, tetapi bagi siapapun yang berniat baik ke sana.

Terima kasih kami ucapkan kepada Primate Conservation Inc. (PCI), SwaraOwa, keluarga besar BBKSDA Riau, KPHP Unit V Natuna, serta pihak-pihak yang telah mendukung upaya pelestarian Kekah Natuna. Terima kasih kepada warga setempat di seluruh penjuru Natuna yang berkenan kami singgahi sebagai hunian sementara selama di Pulau Natuna.

Kesan pertama memang selalu melekat di hati :)


 Bersama keluarga besar KPHP Unit V Natuna (kiri) dan BBKSDA Riau (kanan)


***

 

Referensi:

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). (2016). Appendices I, II, and III. http://www.cites.org 

IUCN SSC Primate Specialist Group. (2020). IUCN Red List of Threatened Species 2020: Presbytis natunae. IUCN Red List of Threatened Species. Assessed by Setiawan, A, Cheyne, S. M., & Traehold, C. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T136500A17955492.en 

Lammertink, M., Nijman, V., & Setiorini, U. (2003). Population size, Red List status and conservation of the Natuna leaf monkey Presbytis natunae endemic to the island of Bunguran, Indonesia. Oryx, 37(4), 472–479. https://doi.org/10.1017/S003060530300084X 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2018). P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta, Indonesia.

 

Saturday, October 31, 2020

Pelatihan pemanfaatan dan pengembangan lilin lebah di Desa Mendolo, Lebakbarang, Pekalongan

Ditulis oleh : Sidiq harjanto, email : sidiqharjanto@gmail.com


produk jadi, lillin aroma terapi dan pomade rambut #wildlifefriendly

Kawasan hutan menjadi penyangga kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Hutan memberikan manfaat berupa hasil kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), maupun jasa lingkungan. Hutan menjadi habitat berbagai jenis fauna, termasuk jenis-jenis lebah. Lebah penghasil madu, sangat familiar sebagai salah satu contoh potensi HHBK. Jenis lebah yang paling banyak dipanen dari kawasan hutan adalah lebah hutan (Apis dorsata). Di samping memiliki nilai penting bagi ekosistem hutan sebagai agensia penyerbukan, lebah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat hutan. Pengembangan dan pemanfaatan produk turunan dari kegiatan perlebahan ini diharapkan dapat memberi contoh dan mendorong kegiatan ekonomi produktif dan tidak merusak hutan dari sekitar habitat Owa Jawa.

Salah satu contoh pemanfaatan HHBK madu berada di salah satu site kegiatan SwaraOwa, yaitu Desa Mendolo. Desa ini termasuk wilayah administratif Kecamatan Lebakbarang, Kab Pekalongan. Kawasannya terdiri dari hutan alam, lahan wanatani, sawah, dan pemukiman. Desa ini telah identik dengan pemanenan lebah hutan atau masyarakat menyebutnya ‘tawon nggung’. Nama ilmiahnya Apis dorsata. Memanen madu hutan menjadi keahlian mayoritas laki-laki dari desa ini.

praktek pengolahan lilin lebah


Barangkali sebagian besar masyarakat hanya mengetahui madu sebagai produk perlebahan. Madu memang dikenal sebagai komoditas paling popular, karena sebagian besar orang menyukai rasa manisnya. Madu dikonsumsi sebagai suplemen kesehatan, atau bahkan sebagai obat. Hanya sampai di situ saja pengetahuan orang terhadap lebah. Padahal, selain madu masih banyak produk yang dihasilkan oleh lebah. Komoditas-komoditas lainnya antara lain propolis, royal jelly, pollen lebah (beepollen), dan lilin lebah (beeswax).

Lilin lebah atau dikenal sebagai beeswax dihasilkan oleh kelenjar pada bagian segmen-segmen perut (abdomen) lebah. Lilin ini merupakan bahan utama penyusun sarang bagi lebah, berbentuk segi enam yang sangat khas itu. Fungsinya adalah sebagai pelindung larva dan pupa, serta penyimpanan makanan seperti madu, roti lebah (beebread), dan royal jelly.  Lilin lebah ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia. Biasanya lilin lebah diekstrak dari sisa kantong madu yang telah dipanen. Sisa-sisa kantong madu tersebut dipanaskan hingga mencair, kemudian disaring, dan dicetak. Produknya masih berupa lilin mentah yang bisa diproses lagi menjadi berbagai produk turunan.

bahan bahan untuk membuat pomade dan lilin aromaterapi
Pemanfaatan lilin lebah di beberapa peradaban kuno barangkali adalah sebagai lilin bakar untuk penerangan. Orang-orang Mesir kuno juga menggunakan lilin lebah sebagai bahan patung dan lukisan. Pada masa lalu, beeswax juga digunakan dalam kedokteran gigi, misalnya sebagai bahan terapi gigi yang berlubang seperti yang ditemukan di Slovenia. Lalu dalam perkembangannya, lilin lebah digunakan dalam pembuatan kosmetik, sabun, dll. Di Jawa, tradisi lilin lebah juga sudah relatif tua, yaitu sebagai bahan dalam pembuatan batik.

Sebagai kontribusi dalam pengembangan produk-produk HHBK berbasis lebah, SwaraOwa membuat pelatihan pengolahan lilin lebah bagi Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo pada Minggu, 18 Oktober 2020, bertempat di demplot perlebahan SwaraOwa di Desa Mendolo. Pelatihan ini bertujuan untuk mengenalkan produk-produk turunan dari lilin lebah. Sebagai langkah awal, pelatihan ini mengangkat dua produk turunan, meliputi pomade dan lilin aroma terapi. Pomade merupakan produk yang popular digunakan dalam penataan rambut, terutama di kalangan anak muda. Sedangkan lilin aroma terapi adalah lilin bakar yang telah diinput dengan aneka aroma dari essensial oil. Dua produk ini dipilih karena proses pembuatannya yang sederhana.

Selain proses pembuatan yang mudah, bahan-bahannya pun cukup mudah diperoleh. Lilin lebah merupakan produk yang dihasilkan sendiri oleh para pemanen madu lebah dorsata di Desa Mendolo, sedangkan bahan-bahan lainnya relatif mudah diperoleh di pasaran. Beberapa di antaranya bahkan bisa diproduksi sendiri. Untuk pembuatan pomade, lilin lebah menjadi salah satu bahan utama, selain beberapa bahan lain seperti microwax, vaseline, virgin coconut oil (VCO), castor oil, dan essential oil. Sedangkan bahan untuk pembuatan aroma terapi antara lain beeswax, minyak kelapa, essential oil, benang katun untuk sumbu lilin, dan gelas wadah lilin.

Dalam pelaksanaan pelatihan ini, SwaraOwa menggandeng salah satu praktisi produsen pomade di Kabupaten Pekalongan @timbankklimis sebagai narasumber. Selain mengenalkan bahan dan proses pembuatan produk, narasumber juga memberikan gambaran pemasaran produk tersebut. Antusiasme peserta nampak dari awal sampai selesainya kegiatan pelatihan ini.

Dengan adanya pelatihan ini diharapkan bisa memberikan inspirasi bagi pemuda di Desa Mendolo, terutama mereka yang tergabung dalam kelompok PPM- Mendolo, untuk bisa mengoptimalkan potensi yang ada di wilayah mereka. Lilin lebah, misalnya, yang selama ini hanya dijual dalam bentuk yang masih mentah, dapat diolah menjadi produk dengan nilai jual yang jauh lebih tinggi. Dengan bekal keterampilan yang telah diberikan, semoga akan muncul produk-produk baru dari Desa Mendolo yang mencerminkan identitas desa ini sebagai desa hutan dengan segenap potensi alamnya. Salam lestari!

 

Tuesday, September 22, 2020

“Beasiswa KOPI OWA”



Program “Kopi dan Konservasi Primata 2020 -SWARAOWA, mengajak anda berkontribusi melalui pembelian Kopi “jungle bean” dari habitat Owa Jawa, seharga Rp 120.000,00 anda akan mendapatkan 2 bungkus kopi Arabica dan Robusta. Keuntungan penjualan kopi ini akan di gunakan untuk biasiswa penelitian Owa jawa dan burung Raja Udang Kalung Biru, di Hutan Petungkriyono,Kab.Pekalongan, Jawa Tengah.

Owa Jawa 



Burung Raja Udang Kalung Biru

Saat ini ada 2 mahasiswa yang akan melakukan penelitian tentang perilaku bersuara Owa Jawa (Hylobates moloch), dan Distribusi dan habitat burung Raja Udang Kalung biru (Alcedo euryzona). Tentang burung Raja Udang Kalung Biru ini merupakan burung langka terancam punah (Critically Endangered) yang di temukan tahun 2018 oleh tim SWARAOWA.

Pembelian kopi ini juga menjaga produksi kopi Owa di masa pandemic, dimana sangat terdampak karena tutupnya outlet-outlet/coffee shop jaringan kopi Owa saat ini. Dukungan anda sangat penting tidak hanya untuk mendukung penelitian satwa terancam punah tetapi juga mondorong warga sekitar hutan untuk tetap produktif dan menjaga kelestarian hutan.

Sampai bulan Desember 2020, penelitian ini membutuhkan dana kurang lebih Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan saat ini sudah ada dana Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kegiatan kelapangan bulan September-November 2020. Penggalangan dana ini akan kami buka sampai akhir bulan November 2020, dan juga akan menjadi sekema berkelanjutan untuk upaya pelestarian primata dan burung langka di wilayah Jawa Tengah. Ikuti terus perkembangan kegiatan kami di sosial media SWARAOWA.

Pembelian bisa kopi kami layani melalui OWA COFFEE, no WA : 0823 1377 2667, Instagram dan twitter Owa Coffee, juga tokopedia : https://www.tokopedia.com/owacoffee

Wednesday, August 19, 2020

The Role Coffee Plays In Javan Gibbon Conservation

 Written by: Benehad Gabriel Yosep Ruritan | Email : ben.ruritan@gmail.com 


Who is SwaraOwa?

Back in August 2020, I enrolled myself in an internship program with SwaraOwa. A non-governmental organization (NGO) focused on the conservation work for Indonesian primates, especially Gibbon, the small apes. Swaraowa means a gibbon voice in Javanese.

The history of SwaraOwa led by Arif Setiawan originally started  in 2008, when he runs the project in Mt. Slamet Central Java, for Endangered Primate Conservation Project, this project supported by Rufford Foundation. Then -a supported project named "Coffee and Primate Conservation" in 2012 with the objective of Javanese gibbon's habitat preservation in Petungkriyono District located in the western part of Dieng Mountain.

The coffee part of the name came from the approach that was taken by the team in creating a compromise between the residents' needs and the conservation objective of the project.  Coffee naturally grows beneath the cover of the rainforest in which the Javanese gibbon resides. And thus. Coffee cultivation and production work to redirect the local's of Sokokembang from forest damaging economic activities and into the preservation of the forest via sustainable economic development. And as of now, some amount of coffee from Petungkriyono is managed and distributed by OwaCoffee, a subsidiary of SwaraOwa.




OwaCoffee For SwaraOwa

I was assigned to the OwaCoffee activity during the internship program. This coffee program of SwaraOwa has become quite a success story. Over the years, it has fostered relationships with several zoos worldwide, such as the Singapore Zoo, Fort Wayne Children's Zoo and  Zoo Ostrava.  Through this coffee program, SwaraOwa enables itself to be self-sustainable and empowers the residents of the Sokokembang Village, seen from the growth of farming groups and infrastructure improvement the area has received over the years.

I met Dr. Muhammad Ali Imron from the Gadjah Mada University Forestry Faculty, which explained that most Indonesian NGOs inherits the problem of self-sustainability due to how they were founded.  Specifically, most NGOs grew from a time and funding limited project into an ongoing program. This condition hampers the transition process and induces financial problems in the future. SwaraOwa’s ability to be self-sustainable through its OwaCoffee program has been quite the inspiration to many other NGOs in Indonesia.

Predicaments Faced By OwaCoffee

However, the operation of OwaCoffee is not as smooth as it may seem. As lined out by Saladin Akbar from the BlackJava roastery located in Yogyakarta, the problem faced by this organization can be divided into three major categories, which are: farming, production, and distribution. 

 In farming, they face the need to educate local farmers of Petungkriyono in increasing their quality of coffee cherries, which in itself is no easy task knowing the deep level of intricacies revolving around coffee plantation such as managing the ground condition, understanding the need of the plants, knowing what and when to harvest. 

"the jungle beans" gibbon friendly coffee -  OwaCoffee

 While production includes everything post-harvest, this includes grading, hulling, storage, roasting, and many others, which greatly plays into the quality of the finished product. Lastly is the distribution, which talks about public intake of the product. Currently, single-origin coffee only makes a small percentage of Indonesian coffee consumption. 

 Akrom, the owner of Mari-ngopi a  coffee shop in Yogyakarta, informed me that the lack of specialty coffee absorption is due to the condition that Indonesians do not need specialty coffee. The masses are satisfied with the commercialized and easy to drink coffee mixers, which does not require high-grade coffee to be enjoyed.  This condition caused SwaraOwa to look for new ways for their coffee, the ex-situ distribution efforts, such as creating a bond with the Singaporean Zoo to market their products.

During my internship, I found SwaraOwa to be particularly ingenious.  Their ability to utilize Petungkriyono’s coffee as a medium to converse the Javanese primates, utilizing local empowerment through coffee plantations, was a breakthrough by itself. Through this kind of collaboration, sustainability was provided for the conservation activity that many have never recognized. SwaraOwa has ensured the continuity of the program via a separate entity, namely OwaCoffee that has a high interest in the market.

From this experience, I found out that conservation activities can be strengthened through public participation by various means, including market-based methods. The Indonesian gibbons at Petungkriyono District in Central Java are one of the benefactors of this mechanism.

 

Tuesday, July 21, 2020

Owa Jawa : Kopi dan Konservasi Primata

Oleh : A.Setiawan (a.setiawan@swaraowa.org)

Owa jawa (Hylobates moloch)

Kabar terbaru dari habitat owa jawa, minggu ini kami melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena pandemi Covid_19. Progam Kopi dan Konservasi Primata yang telah di mulai sejak tahun 2012, untuk mendukung pelestarian owa jawa di wilayah Jawa Tengah. Kopi yang menjadi pilihan komoditas yang dapat menggerakkan roda ekonomi di sekitar hutan habitat Owa memberikan harapan positif, dengan munculnya unit-unit kelompok usaha kopi di sekitar hutan Owa. Perubahan yang Nampak terlihat ketika panen kopi dibanding awal kita mulai project ini, kalau dulu jalan di dusun-dusun di Petungkriyono ini banyak kopi yang di jemur di jalan dengan kondisi kopi yang di jemur campur, sekarang sudah sebagian sudah ada  menjemur biji kopi lebih bersih, setidaknya sekarang sudah ada perbedaan dan peningkatan dalam mengelola kopi. Untuk melihat dan komunikasi lasung dan mendapatkan produk-produk ini dapat berkunjung langsung ke dusun Sokokembang, di Petungkriyono, Pekalongan,  swaraowa headquarter di Yogyakarta atau melalui sosial media owa coffee. 


Proses penjemuran kopi di Sokokembang

Selain peningkatan pengetahuan tentang pengolahan kopi, melalui proyek ini kami juga mencoba melihat kemungkinan pengembangan unit usaha kopi di sektor hulu, melalui penyediaan bibit kopi, selain mengantisipasi produksi di masa mendatang, kegiatan ini juga memberikan dampak positif untuk pengembangan pengetahuan, pengalaman, dan sebagai alternatif pendapatan ekonomi dari produksi kopi itu sendiri. Adanya unit-unit kelola kopi yang tersebar di beberapa dusun di Petungkriyono, saat ini sudah ada alat sangrai kopi yang banyak di gunakan warga sekitar untuk menyangrai kopi untuk dikonsumsi sendiri atau pun di jual kembali. Apresiasi terhadap kopi itu sendiri juga sudah mulai terlihat, bahwa warga juga sudah menghargai kopi mereka sendiri, kemudian mengajak oranglain untuk menghargai kopi mereka yang mereka produksi.

Pembibitan Kopi di Sokokembang yang dimulai tahun 2018

Bibit bibit kopi ini kami kembangkan dari varietas yang sudah ada saat ini, jenis Kopi Arabica  varietas typica, atau di kenal dengan nama kopi jawa dan kopi Robusta. Yang sudah ada sejak jaman Belanda di kawasan ini. Pemilihan jenis ini lebih karena adaptasi yang sudah sejak lama, di kawasan pegunungan Jawa bagian Tengah. Pendekatan yang kami lakukan karena kegiatan ini dalam rangka mendukung kegiatan pelestarian Owa Jawa dan habitat aslinya, kami berkomunikasi dengan para pemburu-pemburu satwaliar di Petungkriyono, mencoba menyampaikan bahwa aktifitas perburuan yang dilakukan tidak akan mendatangkan uang yang membawa kebaikan  dan sudah pasti  juga merusak hutan.


Pembibitan kopi ini selain kami buat di dusun Sokokembang, juga kami buat di dusun Candi, dan tahun ini berhasil memproduksi bibit kopi kurang lebih 1500 bibit kopi yang sudah siap tanam, dan ada kuranglebih 20,000 bibit yang sedang dalam prooses. Bibit ini kami distribusikan ke petani di sekitar habitat Owa Jawa, di wilayah Jawa Tengah dan juga kami gunakan untuk fundrising, di jual untuk umum, dana yang terkumpul dari penjualan ini akan di gunakan kembali untuk kegiatan lapangan. Untuk taham pertama kami mengirim bibit kopi ke Dusun Gunung Malang di Purbalingga, Jawa Tengah. Hutan Gunung Slamet adalah habitat dari primata endemik dan mamalia Jawa 1, 2, 3.  Ada salah satu warga yang dulu juga terlibat dalam kegiatan survey Owa1, dan kebetulan juga mantan pemburu yang mau mengelola dan menanam kopi di lahannya.  Kami juga sempat melihat langsung habitat Owa di Gunung slamet ini, dan lokasi dimana kopi akan ditanam. Ancaman pembukaan hutan untuk perkebunan sepertinya masih ada, meningkatnya industri tanaman sayur di kawasan ini sudah tentu akan memberi tekanan tinggi terhadap tegakan hutan alam yang ada. Aktifitas kawasan penyangga hutan alam, kopi yang di bawa ke dusun Gunung Malang ini harapannya dapat memberikan alternative komoditas yang dapat di kelola bersamaan dengan tanaman pangan lainnya. Sistem budidaya wana tani yang mencampurkan berbagai macam komoditas akan memberikan nilai ekonomi sekaligus mendukung praktik terbaik dari pertanian di kawasan sekitar hutan.

Kawasan penyangga hutan lindung G.Slamet, lereng timur

Aktifitas para pemburu hutan untuk aktif mengelola lahan kopi akan menjadi kesibukan tersendiri yang sudah jelas hasil yang akan di peroleh, daripada harus berburu kehutan tanpa ada hasil yang pasti. Kegiatan berburu yang sifatnya mengeksplotasi sumberdaya alam di gantikan dengan kegiatan ekonomi produktif yang melestarikan hutan.


Daftar pustaka :
1. Setiawan, A., Wibisono, Y., Nugroho, T.S., Agustin, I.Y., Imron, M.A. and Pudyatmoko, S., 2010. Javan Surili: A Survey Population and Distribution in Mt. Slamet Central Java, Indonesia. Jurnal Primatologi Indonesia, 7(2).
2. Setiawan, A., Nugroho, T.S., Wibisono, Y., Ikawati, V. and SUGARDJITO, J., 2012. Population density and distribution of Javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 13(1).
3. Maharadatunkamsi, M., 2017. Profil Mamalia Kecil Gunung Slamet Jawa Tengah. Jurnal Biologi Indonesia, 7(1).

Friday, July 3, 2020

Nyanyian Owa Jawa : diva di tengah rimba

Oleh : Nur Aoliya , email :  nuraoliya@apps.ipb.ac.id

 

Sepasang Owa Jawa

“Emang ada Owa Jawa di Pekalongan?” itu pertanyaan pertama saya saat mendengar program konservasi owa jawa oleh Coffee and Primate Conservation Project atau sekarang lebih dikenal SwaraOwa  di desa sukokembang, kecamatan petungkriyono kabupaten pekalongan tahun 2014. Sampai sekarang tahun 2020 masih ada orang yang mempertanyakan akan hal itu, bahkan orang pekalongan sendiri ada yang tidak tahu kalo ada Owa Jawa di Pekalongan.

Salah satu yang unik dari owa adalah suara atau nyanyiannya, bak sebuah lagu. Baik owa betina maupun jantan dapat bersuara, namun waktu dan tipe suaranya berbeda. Owa jantan cenderung bersuara sebelum fajar sedangkan Owa betina cenderung bersuara setelah terang dan kadang siang hari. Jenis-jenis owa menghasilkan  nyanyian lagu yang keras dan panjang yang sebagian besar dipamerkan oleh pasangan yang telah kawin. Biasanya, pasangan menggabungkan nyanyian ini  (repertoire) dalam interaksi vokal, tepat waktu, dan kompleks untuk menghasilkan  pola duet yang baik.1

Perbedaan waktu bersuara Owa Jawa ini, kenapa seperti itu juga belum banyak yang meneliti. Di dunia hanya Owa dari Jawa dan Owa dari Mentawai dimana antara jantan dan betina tidak menyanyi bersama.

Lebih menarik lagi suara yang dinyanyikan owa betina pada pagi hari yang disebut great call, karena suaranya sangat khas. Suaranya dimulai dengan suara “waa” dengan interval lambat yang semakin cepat sampai ke lengkingan panjang dan diakkhiri dengan interval yang semakin melambat.  Mungkin karena itulah satwa ini lebih dikenal sebagai owa-owa/ uwek-uwek karena suarnya terdengar melafalkan kata tersebut. Suara betina selain khas juga memiliki peranan sangat penting, yaitu sebagai tanda daerah teritorinya. Setiap kelompok owa memiliki area yang digunakan sebagai tempat mencari makan, istirahat, reproduksi, dan segala aktifitasnya. Area tersebut akan dijaga dan tidak akan mengijinkan owa dari kelompok lain untuk memasuki area mereka. Tugas owa betina ini menyiarkan batas-batas areanya melalui suaranya tiap pagi.

Lantas bagaimana owa tau bahwa ini suara betina yang mana? Dan dari kelompok mana? ini menjadi daya tarik saya untuk mepelajari variasi great call owa di sokokembang sebagai skripsi yang didukung oleh Swaraowa. Ternyata setelah saya mempelajari lebih lanjut baik secara literature maupun penelitian langsung setiap suara betina ini memiliki perbedaan. Perbedaanya dapat kita lihat dengan cara memvisualisasikan suara nyanyiannya, dan perbedaan yang utama  dari nadanya, durasinya dan frekuensinya (lihat gambar dan video). Seperti suara manusia yang berbeda-beda sehingga kita bisa membedakan manusia hanya dari suaranya tanpa melihat wujudnya kan? owa jawa juga begitu.

Visualisasi suara 3 individu Owa jawa

Saat ada satu betina yang bersuara maka akan memancing betina lain akan bersuara.  Antar betina yang beda kelompok tidak akan bersuara bersamaan alias bergantian, agar pesan  masing-masing kelompok tersampaikan. Biasanya betina remaja akan belajar bersuara bersama induk betinanya, tapi kadang suaranya masih nanggung atau tidak seharmoni induknya. Owa tidak akan bersuara saat hujan atau malam harinya hujan. Soalnya suaranya akan lebih sulit terdengar oleh kelompok lain dan butuh energi lebih saat hujan.  Jadi dari pada energi terbuang sia-sia untuk bersuara lebih baik digunakan untuk menghangatkan badan. Sama seperti kita kalo hujan juga penginya rebahan ajah, tidak  buang-buang energi.

Demikianlah sebagian fakta unik tentang owa jawa. Mudah-mudahan owa jawa dimanapun khususnya di Petungkriyono akan tetap lestari,  owa membantu regenerasi alami pohon-pohon alam, kita butuh hutan  dan owa jawa sebegai satu kesatuan, menikmati udara segar, air sungai yang deras dan jernih, sumber ekonomi dan  ilmu pengetahuan  yang harus kita rawat dan kelola dengan bijaksana. Menikmati nyanyiannya di hutan setidaknya akan memberikan rasa kedamaian diantara riuhnya suara-suara gemuruh pembangungan anthroposentris , nyanyian Owa seperti diva di tengah belatara, yang menunjukkan bahwa hutan tempat hidupnya masih terjaga. Melestarikan owa jawa dan hutan sama sajah menjamin kehidupan untuk manusia generasi selanjutnya.

 

Daftar Pustaka

1. Geissmann, T. dan V. Nijman. 2001. Calling Behaviour of Wild Javan Gibbons Hylobates moloch In Java, Indonesia dalam Forest (and) Primates. Conservation and ecology of the endemic primates of Java and Borneo. Tropenbos Kalimantan Series