di tulis oleh: Sundah Bagus Wicaksono
e-mail : sbw_genetiq@yahoo.com
|
Macan Tutul yang tertangkap camera jebak |
Sebagai
seorang pengagum felids atau
kucing-kucingan saya sangat antusias untuk mempelajari lebih jauh akan makhluk
cantik nan eksotis ini. Jika dilihat dari persebaran subspesiesnya terbersit
pertanyaan di benak saya, mengapa mereka bisa melanglangbuana sampai ke pulau
Jawa, padahal mereka tidak ditemukan di pulau-pulau Indonesia yang lain bahkan Sumatera
dan Bali atau Kalimantan sekalipun? Tidak seperti tiga kerabat besarnya yang
lain (singa, harimau, dan jaguar) yang memiliki persebaran linear serta
beraturan di tiap benua. Apakah ini salah satu contoh hasil survival dari mereka?
Perlu
lagi kita ketahui bahwasannya negara kita dikaruniai satu dari beberapa
subspesies mereka, namun perhatian kita selalu luput darinya dan melihat kepada
spesies lain yang kita anggap jauh lebih penting untuk dipedulikan. Mungkin sebagian
orang tidak mengetahui bahwa mereka termasuk satwa yang tergolong langka dan
hampir hilang eksistensinya di bumi. Organisasi Konservasi Flora-Fauna Dunia;
IUCN (International Union for
Conservation of Nature) menyatakan bahwa status mereka sangat kritis saat
ini, sama seperti sepupu lorengnya di Sumatera. Jumlahnya di alam tidak lebih
dari 400 ekor yang tersebar di seluruh pulau Jawa.
Hampir
sama seperti kasus di India, mereka sering terlibat konflik dengan manusia
karena berbagai faktor. Banyak sekali informasi yang didapat tentang masuknya mereka
ke kampung dan memangsa ternak lalu berakhir dengan kematian karena dibantai.
Kita telah kehilangan dua subspesies kucing besar sekarang, apakah iya kita
harus kehilangan satu lagi? Seyogyanya perhatian kita kepada mereka tidak kalah
dibanding satwa langka yang lain dan selalu menjaga kelestariannya untuk masa
depan. Menurut saya, sang raja hutan celingus dari Jawa ini adalah subspesies
yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.
“Satwa
ini dianggap setan karena menjadi makhluk yang jarang dan sulit untuk dijumpai
secara langsung.”
Sedikit
cerita saya mengenai satu kejadian dimana macan tutul Jawa masuk kampung dekat
hutan Petungkriyono dan membuat heboh seisi kampung. Kisah ini saya dapat dari
penuturan salah seorang warga kampung tersebut. Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) atau orang dusun tesebut biasa menyebutnya
macan kembang asem merupakan satu-satunya
spesies kucing besar yang hingga saat ini masih hidup di tanah Jawa dan diisukan
pernah berkeliaran di sekitar hutan Petungkriyono. Menurut Pak Kliwon, salah
seorang warga Dusun Tinalum, satwa ini dianggap setan karena menjadi makhluk
yang jarang dan sangat sulit dijumpai secara langsung, namun segelintir orang mengaku
pernah berpapasan dengannya.
Di
awal tahun 2000 dikabarkan bahwa ada kembang
asem turun gunung lalu masuk ke pemukiman dan memangsa ternak milik warga.
Adalah Dusun Sokokembang, sebuah dusun yang berada di Desa Kayupuring, Kec.
Petungkriyono, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah yang menjadi sasaran si kembang asem. Dusun ini adalah tetangga
sebelah dari Dusun Tinalum. Selain menyerang ternak milik warga, kembang asem yang keluar dari
persembunyiannya ini juga membuat resah warga kampung sehingga warga menjadi
takut untuk melakukan aktivitas keseharian mereka apalagi di malam hari. Setelah
beberapa hari kembang asem meneror,
maka tekad warga untuk menangkapnya semakin bulat.
Petang
menjelang. Setelah hewan peliharaan milik warga diamankan ke kandang, segeralah
para bapak dan remaja lelaki bersiap diri di rumah masing-masing dengan
beberapa alat pertahanan diri dan penangkap. Beberapa rumah menjadi sukarelawan
penyedia umpan seekor ayam untuk memancing si kembang asem keluar. Benar saja setelah beberapa saat ditunggu,
seekor ayam salah seorang warga mulai mengeok, layaknya di terkam sesuatu.
Aba-aba inilah yang dinantikan oleh warga kampung untuk segera melakukan penggerebekan.
Pertama-tama pemilik rumah yang mendapati umpannya diterkam memberitahukan ke
tetangganya yang tidak terlalu jauh untuk memberi kabar ke semua warga kampung agar
keluar rumah untuk bersiap melakukan eksekusi.
Satu
persatu warga berdatangan menuju rumah yang mendapati umpannya telah dimangsa.
Dengan langkah pelan mereka berjalan mendekati rumah tersebut dengan tujuan
agar kehadiran mereka tidak terdeteksi si kembang
asem. Setelah bersiap di posisi masing-masing, salah seorang warga
memberanikan diri untuk mendekati kandang ayam yang di duga menjadi tempat kembang asem menyantap hidangannya.
Berhasil. Seorang warga tadi berhasil melakukan penyerangan kepada kembang asem tepat dibadannya
menggunakan sebilah kayu. Brukkk! Di bagian samping perut lah sebilah kayu
tersebut mengenai. Sontak saja, si kembang
asem langsung berlari menuju ke luar kandang. Karena menemukan jalan buntu
akibat dihadang warga dan tidak bisa kabur kembali ke hutan, akhirnya kembang asem ini memilih masuk ke salah
satu rumah warga yang aksesnya masih terbuka. Untung saja sudah tidak ada orang
di dalamnya. Sorak riuh suara warga menambah ketegangan Dusun Sokokembang malam
itu. Seperti sedang ada peristiwa pencurian atau pembunuhan.
“Dikarenakan
tubuh sudah tidak bisa bergerak maupun meronta oleh jepitan bambu, maka dengan
sekali ayunan tepat mengarah ke kepala lah kembang asem malang ini tumbang.”
Setelah
hampir satu jam si kembang asem bersembunyi,
warga pun beraksi lagi. Sekarang banyak dari warga yang memberanikan diri menjadi
relawan untuk melakukan penyergapan langsung, karena mereka tahu bahwa si kembang asem saat ini telah terluka. Eksekusi
dimulai kembali. Rumah yang dimasuki kembang
asem dikunci dan ditutup rapat dari luar sehingga kembang asem tidak bisa lagi kabur. Warga memasukkan bambu-bambu
panjang yang telah dipersiapkan untuk mengantisipasi tubuh kembang asem meronta melalui beberapa celah rumah yang memang bolong
dan tidak tertutup. Tidak mudah, namun dengan masuknya kembang asem di bagian dalam rumah yang sempit menjadikan warga
lebih mudah melakukan penggencetan badan. Sekali-dua kali kembang asem meronta, mungkin karena rasa takut dan luka memar yang
menimpanya. Si kembang asem ini
seperti kehilangan tenaga dan jarang sekali melawan. Dengan nafas terengah-engah
dan sedikit merinding, seorang warga bersiap memukul dengan tongkat kayu yang
lumayan keras tepat ke arah kepala. Dikarenakan tubuh sudah tidak bisa bergerak
oleh jepitan bambu, maka dengan sekali ayunan tepat mengarah ke kepala lah kembang asem malang ini tumbang. Ya,
macan tutul tersebut mati seketika dengan cedera parah di bagian belakang
kepalanya.
Penggerebekan
kasus pencurian telah usai dengan akhir kematian si kembang asem.
Seakan teror yang dilakukan oleh kembang
asem di Dusun Sokokembang lenyap seketika malam itu. Warga memastikan macan
tutul tersebut telah mati. Satu per satu warga masuk ke dalam rumah eksekusi, menyeret,
dan mengarak tubuh lemas si kembang asem keliling
kampung, menandakan mereka berhasil menang mengalahkankan lawannya. Gembira, takut,
lega, dan tentu saja rasa geram warga kampung menyulut aksi mereka untuk mulai
menyembelih, menguliti, hingga beberapa ada yang memasak dagingnya untuk dimakan.
Entah kenapa euphoria kemenangan
warga kampung menjadikan mereka melakukan hal tersebut. Dengan adanya peristiwa
malam itu menjadikan Dusun Sokokembang kembali aman dan tidak ada lagi cerita heboh
oleh ulah kembang asem lain yang dapat
meresahkan warga. Selama beberapa tahun warga tidak menjumpai lagi keberadaannya
di sekitar hutan dan juga sangat jarang ada cerita warga bertemu langsung dengannya.
Sekali lagi kembang asem menjadi setan.
“Selama beberapa tahun
warga tidak menjumpai lagi keberadaan macan tutul di sekitar hutan dan juga
sangat jarang ada cerita warga bertemu langsung dengan macan tutul. Sekali lagi
kembang asem menjadi setan.”
Pada
pertengahan tahun 2015 kemarin, tepatnya bulan Mei-Juni, kami tim peneliti dari
UGM melakukan penelitian
tentang Mamalia Kecil di Hutan Petungkriyono. Kami memulai survei dengan
menulusuri habitat hutan kopi di sekitar Dusun
Tinalum dan Dusun Sokokembang, dusun yang telah dan sedang dikenal melalui
kegiatan pelestarian Owa Jawa melalui Proyek
Kopi dan Konservasi Primata. Di hutan di sekitar dusun ini kami, kemudian kami memasang
jebakan kamera (Camera trap), di
titik-titik yang telah kami survey sebelumnya.Untuk
meminimalisir kesalahan dalam identifikasi maka camera trap kami setting
menjadi mode video.
Lama
menunggu, hasil video dari rekaman camera
trap yang di dapat tidak tanggung-tanggung. Banyak sekali ternyata jenis
fauna yang mendiami hutan Petungkriyono. Sebagian besar dari mereka bersifat
nokturnal (aktif dalam melakukan aktivitas di malam hari) dan beberapa ada yang
diurnal (aktif di siang hari).
Akan
tetapi dari ratusan video yang dihasilkan hanya dua video lah yang membuat tim terkesima,
khususnya saya yang benar-benar terkesima. Masing-masing video tersebut merekam
satu spesies satwa yang terlihat sedang melintasi jalan setapak buatan warga
untuk masuk hutan. Satu video agak kurang jelas karena posisi objek yang
terlalu dekat dan satunya lagi sangat jelas. Satwa tadi memiliki ciri-ciri yang
familir bagi saya. Satwa tersebut jelas dari kalangan karnivora. Rambutnya
berwarna dasar kuning kejinggaan dengan pola tutul roset hitamnya dan bagian
ujung ekor yang menghitam. Ya, indah sekali, sangat memanjakan mata. Tidak
salah lagi ini adalah penampakan macan tutul Jawa alias sang raja celingus
alias kembang asem. Walaupun bagian
tubuh si kembang asem yang terekam di
video tersebut hanya tampak belakang dan atasnya saja akan tetapi dapat
dipastikan kalau satwa ini benar-benar Panthera
pardus melas. Rasa lelah saya terbayarkan. Bukan main senangnya saya
bersama tim mendapatkan hasil bonus dari penelitian yang lumayan mengerakan tenaga
dan pikiran ini.
“Satwa
tersebut jelas dari kalangan karnivora. Rambutnya berwarna dasar kuning
kejinggaan dengan pola tutul roset hitamnya dan bagian ujung ekor yang
menghitam. Ya, indah sekali, sangat memanjakan mata.”
Kedua
video kembang asem tadi diambil dari camera trap yang terpasang tidak jauh
dari pemukiman penduduk. Dengan melihat akses pergerakannya menggunakan jalan
setapak milik warga, sebenarnya kembang
asem tersebut sehari-hari hidup berdampingan dengan mereka hanya saja
enggan untuk menampakkan diri. Mengapa kembang
asem tersebut memakai jalan setapak milik warga untuk masuk ke hutan sebagai
pergerakannya? Sebab spesies-spesies satwa karnivora seperti kucing-kucingan
atau musang-musangan diketahui memang sering memakai jalur lintasan yang
relatif terbuka dari tetumbuhan untuk pergerakan, seperti halnya kita bila
berjalan di atas rumput, terasa risih dan
geli di kaki dan lebih memilih berjalan di atas tanah kosong. Selain itu memang
beberapa hari sebelum kembang asem tersebut
melintas camera trap merekam video
kijang betina yang kelihatannya bunting sedang lewat. Kemungkinan ini yang menarik
perhatian si kembang asem untuk
berada disana. Menurut beberapa ahli felids
dunia, spesies macan tutul dan jaguar berburu mangsanya dengan trik stalker (membuntuti) dan mulai menyerang
disaat mangsanya lengah.
|
si Kembang asem |
Adanya
rekaman dari dua video ini menjadi bukti nyata bahwa kembang asem masih bernafas bebas di seputar masyarakat sekitar hutan
Petungkriyono. Meski sekarang kembang
asem hadir di dekat warga kampung disaat melakukan aktivitas keseharian tanpa
sepengetahuan mereka namun kembang asem
tersebut tidak akan mengganggu. Tidak seperti dulu. Seolah-olah mereka berdua
mengerti jika hidup berdampingan dan saling memahami satu sama lain adalah
tujuan hidup yang harmonis. Penuturan warga kampung yang berpapasan langsung dengan
kembang asem kini mulai bermunculan. Kisah
kembang asem yang telah hilang
ditelan zaman hingga hampir satu dekade ini pun akhirnya kembali. Tidak menjadi
raja hutan yang celingus lagi.