Sunday, December 1, 2019

Pengembangan budidaya lebah di habitat Owa kalimantan


oleh : Sidiq Harjanto

foto bersama peserta pelatihan budidaya lebah. Foto : Sulton Afifudin/ELTI

Sebagai bagian dari implementasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), setiap perusahaan perkebunan sawit anggota RSPO, diwajibkan untuk mengelola kawasan dengan nilai konservasi tinggi (NKT). Kawasan NKT atau HCV (High Conservation Value) merupakan kawasan yang memiliki fungsi konservasi. NKT/HCV adalah nilai-nilai biologis, ekologis, sosial, atau budaya yang dianggap sangat signifikan atau penting, pada tingkat nasional, regional, atau global.
Kawasan HCV dengan hutan yang masih baik memiliki manfaat ekologis maupun ekologis bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu peluang usaha bagi masyarakat di sekitar kawasan HCV adalah budidaya lebah madu. Kawasan hutan sangat ideal sebagai lokasi budidaya lebah. Menurut FAO, budidaya lebah madu merupakan salah satu alternatif ekonomi terbaik bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Hal ini, antara lain karena adanya dua sisi manfaat, yaitu manfaat ekonomis dan ekologis. Dari sisi ekonomi, madu dan produk perlebahan lainnya memiliki nilai jual yang tinggi. Sementara dari sisi ekologi, lebah-lebah yang dipelihara merupakan agen penyerbukan yang menjadi kunci regenerasi hutan.
menjelaskan secara langsung tentang lebah kelulut. Foto : Sulton Afifudin/ELTI 
lebah kelulut dari koloni alam. Foto : Sulton Afifudin/ELTI 


Goodhope Asia Holdings Ltd., sebagai salah satu perusahaan sawit yang memiliki kebun di Provinsi Kalimantan Tengah, berupaya untuk menjadikan kawasan HCV memiliki fungsi ekologis sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Sebagai bentuk upaya nyata untuk menunjukkan komitmen tersebut maka Goodhope bekerjasama dengan EnvironmentalLeadership & Training Initiative (ELTI) dan SWARAOWA  mengadakan kegiatan pelatihan budidaya lebah kelulut bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HCV.

Lebah kelulut atau biasa dikenal dengan lebah tanpa sengat dipilih karena beberapa alasan. Pertama; negara kita, Indonesia, merupakan salah satu negara dengan potensi kelulut terbesar di dunia. Tak kurang 40 jenis kelulut hidup di wilayah negara kita ini. Kedua; pengembangan budidaya kelulut minim modal, dan pemeliharaan lebah tanpa sengat ini cenderung lebih mudah dilakukan daripada jenis-jenis lebah bersengat. Ketiga; kelulut atau lebah tanpa sengat bisa dikatakan merupakan masa depan perlebahan dunia, terutama di saat budidaya lebah bersengat (Apis mellifera) menghadapi berbagai permasalahan seperti Colony Collapse Disorder (CCD), perubahan iklim, dll.

Kegiatan yang bertajuk ‘Pelatihan Budidaya Lebah Madu Untuk Masyarakat di Sekitar Kawasan HCV Kebun Sawit’ ini dilaksanakan pada tanggal 5-7 November 2019, bertempat di Training Center milik Goodhope di Kalimantan Tengah. Swaraowa sendiri telah memiliki pengalaman dalam pengembangan budidaya kelulut di site-site kegiatannya. Pengembangan budidaya kelulut bagi masyarakat di sekitar habitat owa bertujuan antara lain untuk: 1. Memberikan alternatif ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. 2. Meningkatkan awareness masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan. 3. Pelestarian jenis-jenis lebah lokal (native bees) sebagai agensia penyerbukan.

SWARAOWA berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan ini karena memiliki kepentingan dalam upaya pelestarian primata di kawasan HCV. Hasil survei primata yang dilakukan Swaraowa di kawasan HCV  Goodhope di Bukit Santuai-Bukit Hawuk menemukan jenis-jenis primata yaitu Owa (Hylobates albibarbis), Beruk (Macaca nemestrina), Monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis), dan Lutung merah (Presbytis rubicunda). Temuan sarang mengindikasikan masih adanya Orangutan (Pongo pygmaeus), di kawasan hutan ini. Dengan adanya beberapa jenis primata tersebut, maka kawasan HCV perlu dikelola dengan serius.

Kawasan bernilai tinggi di dalam konsesi perkebunan sawit, diharapkan menjadi prioritas untuk pelestarian primata endemik Kalimantan seperti Owa-owa. Nilai penting tersebut adalah habitat yang masih alami dapat di pertahankan fungsinya, dalam hal ini lebah yang membutuhkan sumber pakan berupa nectar dan pollen sangat mungkin berkembang di kawasan yang masih alami di antara tanaman kelapa sawit. Manfaatnya akan sangat penting bagi warga sekitar kawasan HCV yang dapat memanfaatkan keberadaan lebah sebagai penghasil madu ataupun sebagai serangga pollinasi untuk tanaman pangan.
Dr. Insyah menjelaskan jenis jenis pohon penting bagi lebah. Foto : Sulton Afifudin/ELTI 

Tak kurang 40 orang warga masyarakat yang berasal dari 12 desa yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit Goodhope di Kalimantan Tengah, dan juga beberapa staf Goodhope terlibat dalam kegiatan ini. Antusiasme peserta pelatihan terasa sejak awal sampai akhir kegiatan. Acara dibuka oleh GM PT Agro Indomas, Ganapathy Karpan. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa Goodhope selalu berkomitmen dalam menjaga fungsi kawasan HCV, sekaligus memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Dalam pelatihan ini, SWARAOWA berbagi pengalaman pengembangan perlebahan dilokasi yang telah di kembangkan di Jawa Tengah di habitat Owa jawa. Materi-materi yang diberikan meliputi pengenalan biologi lebah kelulut, praktek analisa daya dukung lingkungan, pembuatan stup (hive box), teknik pemasangan stup topping, praktek transfer koloni lebah dari koloni liar ke dalam stup, hingga materi strategi pemasaran produk perlebahan. Dr Arbainsyah, atau akrab dipanggil Pak Insya dari ELTI membantu mengidentifikasi dan mengumpulkan data potensi tanaman pendukung budidaya lebah kelulut, berupa tanaman penghasil nektar, pollen, dan resin.

Dengan adanya kegiatan pelatihan ini, diharapkan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HCV memiliki bekal pengetahuan teknis budidaya lebah kelulut. Sehingga ke depannya masyarakat bisa mendapat manfaat yang lebih banyak dari keberadaan HCV di perkebunan sawit Goodhope Group, melalui pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Para alumni pelatihan ini diharapkan akan mampu membentuk jejaring peternak kelulut yang akan menjadi motor penggerak perlebahan di Kalimantan Tengah. 

Friday, November 29, 2019

Orangutan dan twitter : dari belantara ke sosial media

oleh : Arif Setiawan (email: wawan5361@gmail.com)


Orangutan Kalimantan ( Pongo pygmaeus)

Saat ini dengan mudah anda dapat melihat hidupan liar, dengan terus scroll layar gadget anda dapat belajar dan tentang satwa-satwa yang terancam punah, harusnya ini lebih mudah untuk mendukung pelestarian satwaliar. Namun koneksi antara satwaliar dengan social media tidak sesederhana itu.
Foto, tulisan, komentar, video atau apapun dapat dengan mudah sekali kita temukan di sosial media, entah itu baik atu buruk, benar atau hoax dapat membentuk opini yang mempengarui persepsi public bahkan policy terkait perlindungan satwa liar dan alam.

Dengan Drone Emprit Academic, kita bisa mencoba menangkap pembicaraan di dunia maya ini, dan twitter menjadi salah satu platform media sosial yang menjadi sumber data yang bisa di tambang kapan pun dan dimanapun.

Saya mencoba melihat percakapan di twitter tentang konservasi orangutan di Indonesia, dengan hashtag #orangutan sebagai kata kunci utama dan menambahkan kata kunci : greatApe, Indonesian primates, BorneoOrangtuan, SumateraOrangutan dan TapanuliOrangutan . Orangutan seperti sudah kita ketahui saat ini adalah salah satu kera besar di Indonesia, menjadi perhatian global, ada 3 species orangutan, yaitu Pongo pygmaeus di Kalimantan, Pongo abelii di Sumatera dan Pongo tapanuliensis di Tapanuli,Sumatera Utara.

Seberapa populer orangutan di twitter, berapa orang yang membicarakannya,  siapa yang membicarakannya, dari mana saja, dan apa saja yang di bicarakan terkait orangutan di twitter menjadi pertanyaan dasar yang coba saya gali dari twitter dalam waktu 1 minggu. Saya mengajukan project kecil ini lewat Drone Emprit Aademic tanggal 22 November hingga 29 November 2019.
Dan hasilnya adalah seperti ini :
Mentions
Twitter
2,508
Total
2,508

Ada 2508 yang membicarakan Orangutan di twitter, dengan trend selama satu minggu seperti grafik dibawah ini, Sebenarnya kita juga bisa liat dalam analisis itu tanggal itu apa yang banyak di mention pengguna twitter tentang orangutan, ada yang mention (twit) , kemudian me-reply dan me retwitt, nilai interaksinya juga terlihat menarik, bahwa pengguna twitter akan merespons setiap pengguna lain yang memposting terkait orangutan, dan itu puncaknya itu terjadi pada tanggal 26 November 2019.

engagement #orangutan 

Saya mencoba melihat dan memetakan  kota-kota mana dan negara mana yang menjadi base dari pengguna twitter yang membicarakan orangutan ini. Hasilnya ternyata Orangutan malah lebih banyak di bicarakan di negara luar, Amerika dan UK yang tertinggi, Indonesia berada di tempat ke 3 dengan terbanyak di Pulau Jawa, meskipun orangutan tidak ada di Jawa, mungkin karena pemerhati Orangutan ini banyak tinggal di Jawa. Dari sumatera hanya ada satu mention di Sumatera Barat, meskipun pusat-pusat konservasi orangutan tidak ada di Sumatera barat. Dari Kalimantan juga hanya terlihat satu mention selama 1 minggu ada di Kalimantan Barat.
mention #orangutan di dunia

 
sebaran pembicaraan #orangutan di Indonesia

Kalau kita lihat aktivitasnya postingan dengan hashtag #orangutan ini juga di barengi dengan hashtag yang lain, ada 3 hashtag yang dominan di gunakan terkait dengan orangutan, yaitu, Orangutan, GreatApe, dan Bonobo. Kita tahu bahwa orangutan ini adalah kerabesar yang hanya ada di Indonesia, dan Bonobo ini adalah kera besar yang ada di Afrika.
Ada kelompok hashtag yang lain yang juga terkait dengan orangutan misalnya Etsy, ini adalah salah satu marketplace global yang menjual produk-produk untuk mendukung kegiatan konservasi atau pengembangan komunitas. Palm Oil juga digunakan sebagai hashtag terkait orangutan, kita tau masalah palm oil ini juga sedang ramai di eropa, karena katanya produk sawit di Indonesia banyak menghilangkan habitat asli orangutan.

 
Hashtag yang paling sering digunakan

Top influencer, ini seperti perekat di jaringan twitter, percakapan tidak akan muncul kalau tidak di awali oleh akun-akun ini. Dan ada satu akun yang tidak asing bagi saya,  @BorneanOU menjadi salah satu top influencer untuk percakapan tentang Orangutan di twitterverse.
Kita juga melihat kelompok-kelompok yang aktif di twitter membentuk interaksi saling terkait, dengan akun-akun tertentu yang dominan. Dari gambar sosial network analisis terlihat seperti dibawah ini. Akun @orangutanprosp ini membetuk ruang yang besar dengan interaksi yang kuat dengan pengguna twitter lainnya, dan tidak terkait dengan kelompok lainnya misal @rainmaker1973 membentuk jaringan  interakasi di ruang yang lebih kecil dibanding @orangutanprosp. Kita bisa cek akun –akun ini sebenaranya profil akun-akun ini, untuk melihat apa yang menjadi pembicaraan dan isu apa yang ingin di munculkan untuk mendapat perhatian di jagad maya twitter.

top influencer #orangutan
 
Social network analisis

Secara umum untuk analisis ini ,masih perlu di pertajam namun saya menyebut ini adalah “rising tools” yang dapat digunakan untuk para konservasionist mengembangkan public awareness untuk pelestarian alam.  Kekuatan sosial media sangat mungkin mempengaruhi kebijakan politik dan sosial media juga mempunyai potensi mendekatkan pengguna sosial media ke alam, dan untuk lebih menghargai alam. Salam lestari.


Bacaan :
Wich, S.A., Setia, T.M. and van Schaik, C.P. eds., 2010. Orangutans: geographic variation in behavioral ecology and conservation. OUP Oxford.


Tuesday, October 29, 2019

Pelatihan Pemodelan Distribusi Spesies menggunakan MaxEnt untuk Konservasi Primata Indonesia


Oleh : Luhur Septiadi
Jurusan Biologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia, 
email : luhur.septiadi@gmail.com

Sebagai agenda lanjutan dari Simposium dan Kongres Primata pada 18-20 September 2019 lalu, maka dilaksanakan Workshop MaxEnt sebagai upaya konservasi Primata di Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan bekerjasama dengan Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan ini dilaksanakan mulai dari 25-26 Oktober 2019 dan diikuti oleh sebanyak 25 peserta yang telah diseleksi sebelumnya,  dari berbagai macam universitas, komunitas, praktisi BKSDA, NGO, dan berbagai macam instansi lain dari Jawa dan ada juga beberapa peneliti dari Kalimantan.

Kegiatan ini eksklusif dilaksanakan di Malang, dalam upaya meningkatkan  kapasitas peneliti muda dan juga berjejaring dengan pegiat konservasi primata dan satwaliar khususnya yang ada di Jawa Timur. Acara ini diisi dengan pengenalan teori pada hari pertama sekaligus praktik pemodelan distribusi yang dilaksanakan pada hari berikutnya. Agenda pertama diisi oleh Iwan Kurniawan dari  Javan Langur Center- Aspinall Foundation Indonesia Program, yang menjelaskan terkait pengetahuan dasar mengenai primata di Indonesia, pola perdagangan primata di Jawa, perlakuan dalam konservasi primata, proses rehabilitasi primata, sekaligus upaya konservasi yang sejauh ini telah dilakukan khususnya di wilayah Jawa Timur diantaranya di Coban Talun dan Pantai Kondang Merak. Dari pemaparannya, upaya konservasi primata khususnya di Jawa Timur memerlukan perhatian yang lebih.

Agenda selanjutnya diisi oleh Salmah Widyastuti, Mahasiswi Program Magister Biologi Institut Pertanian Bogor, yang menjelaskan terkait Pengantar Model Distribusi Spesies menggunakan MaxEnt. Melalui penelitiannya tentang model kesesuian habitat Owa Jawa di daerah Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa habitat dari Owa Jawa telah terfragmentasi, berdasarkan variabel lingkungannya berupa hutan alami, ketinggian, jarak ke wilayah produksi, dan temperatur. Dari sini, peserta dapat memahami cara kerja dan penggunaan MaxEnt untuk konservasi primata, yang kemudian akan dilanjutkan keesokan harinya untuk praktiknya dalam aplikasi secara langsung.
Foto Bersama peserta Workshop MaxEnt di Ruang Sidang Jurusan Kehutanan, UMM 2019

Keesokan harinya, agenda pelatihan MaxEnt dipandu langsung oleh Swiss Winasis dari Burungnesia. Peserta dibimbing secara intensif, dalam pengoperasian platform penganalisis spasial seperti ArcGIS dan MaxEnt. Dari praktiknya secara langsung, diketahui bahwa penggunaan MaxEnt akan lebih efektif apabila yang dimodelkan distribusinya merupakan spesies spesifik, memiliki preferensi habitat tertentu, dan dalam skala yang lebih luas.

foto bersama perserta pelatihan di hari ke-2

Pemodelan distribusi habitat dari suatu spesies spesifik khususnya primata sangatlah diperlukan dewasa ini, mengingat konversi lahan dan deforestasi di pulau Jawa yang kian hari kian meningkat. Keberadaan satwa-satwa primata di Indonesia sangatlah penting untuk di lestarikan, dan diharapkan peserta workshop kali ini dapat menerapkan ilmu yang didapatkan, untuk diterapkan ke lingkungan dan bidang ilmunya masing-masing. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan upaya konservasi Primata di Indonesia juga semakin mendapatkan prioritas dan perhatian lebih di seluruh lapisan dan elemen masyarakat.

Acara Workshop MaxEnt – Post Congress Training Program, Indonesia Primate Symposium & Congress 2019, dengan tema “Pemodelan Distribusi Spesies & Aplikasinya dalam Konservasi Primata Indonesia”, terselenggara berkat dukungan dari banyak pihak diantaranya Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang, Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PERHAPPI), Kongress PrimataIndonesia, ARCUS Foundation, dan SwaraOwa.

Informasi mengenai rangkuman dalam cara dan penggunaan terkait teknis dalam analisis MaxEnt, dapat diunduh pada link dibawah ini.


Thursday, October 24, 2019

Pelatihan Metode Survey Primata untuk Hari Owa Sedunia



Untuk ke 7 kalinya tahun ini, proyek kopi dan konservasi primata menyelenggarakan acara tahunan untuk mengarus utamakan konservasi Owa di Indonesia. Seperti acara-acara sebelumnya acara ini di laksanakan bekerjasama dengan Kelompok Pemerhati dan Peneliti Primata (KP3 Primata) dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sebagai panitia teknis acara. Tanggal 11-13 Oktober 2019,  sebanyak 25 peserta dari berbagai universitas , organisasi komunitas, BKSDA, Perhutani,  juga turut hadir dalam acara ini.

Acara tahun ini juga dilaksanakan untuk merayakan hari Owa internasional, yang di peringati setiap tanggal 24 Oktober 2019. Acara International Gibbon day sendiri juga di promosikan oleh IUCN gibbon specialist group, dan biasanya di adakan secara global di berbagai negara habitat asli owa owa, dan para peneliti dan pemerhati Owa di dunia. Acara ini dapat di ikuti di sosial media dengan hashtagh #IGD2019 atau #InternationalGibbonDay.
Foto bersama peserta MSP 2019

Tanggal 11 Oktober 2019, para peserta yang di organize oleh panitia yang di ketuai Giot Simanulang, sudah mulai berdatangan ke sokokembang, tercatat ada perwakilan dari Jakarta (UIN), Bandung ( Unpad), Yogyakarta (UGM), Semarang (Undip), kelompok pecinta alam, kelompok pegiat wisata di kabupaten Pekalongan, dan beberapa peserta yang merupakan warga di sekitar habitat Owa di Kecamatan Petungkriyono . Peserta tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kalau sebelumnya kita mengirim undangan untuk lembaga, atau kelompok studi untuk mengirimkan perwakilan peserta, namun kali ini peserta tahun ini di buat terbuka tidak dengan undangan namun dengan mengirimkan surat motivasi, menyebutkan alasan kenapa ingin bergabung ikut acara ini dan menceritakan sedikit latar belakang kegiatan yang sudah dilakukan.  Yang menarik dari sebaran peserta tahun ini ada dari sekitar habitat Owa sendiri dan yang terjauh dari Sumatera Utara, mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung.


Acara dibuka langsung oleh perwakilan pemerintah desa Kayupuring, yang di wakili oleh Bapak Markuat kepala dusun Sokokembang, pak kadus memperkenalkan kepada peserta bahwa Sokokembang ini terkenal sebagai tempat wisata pendidikan, yang datang kesini biasanya untuk belajar tentang hutan dan segala isiniya. Panitia acara dari KP3 Primata juga memberikan sambutan selamat datang kepada peserta dan menjelaskan acara akan dimulai malam ini dengan materi pengantar oleh tim swarowa tentang metode line transect untuk survey primata.
Hari ke dua 12 Oktober 2019, jam 6.30 smua peserta sudah bersiap untuk menuju hutan untuk praktek lapangan metode line transek, ada 3 jalur yang sudah disiapkan oleh tim swaraowa,dengan peserta juga di damping oleh pemandu dari warga setempat. Beberapa peserta yang baru pertama kali masuk hutan dan merasakan langsung susahnya topography di hutan sokokembang ini. Pengalaman ini juga di ungkapkan beberapa peserta langsung dan berikut komentar salah satu peserta dari Sumatera Utara.
Mas Anton bercerita tentang pengalaman lapangannya

Acara sore hari tanggal 12 oktober adalah sesi sharing dari pembicara tamu, yaitu mas Anton Nurcahyo dari BOS foundation, dan Mbak Salmah  Widyastuti mahasiswa pascasarjana Institute Pertanian Bogor. Mas Anton menceritakan pengalamannya sejak mahasiswa S1 hingga saat ini. Pengalaman organisasi di kampus dan aktif dalam kegiatan Pengamat burung di Yogyakarta, menjadi motivasi awal mas Anton untuk terus berkegiatan terkait dengan konservasi alam, kemudian bergabung dengan WCS Indonesia di sumatera selatan untuk penelitian siamang dan ungko. Setelah dengan WCS mas anton sempat bergabung dengan TNC dan BOS Foundation untuk konservasi Orangutan.Penelitian terbaru dari mas Anton adalah tentang Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) dimana beliau salah satu yang terlibat langsung untuk meneliti sampel sampel tengkorak orangutan di seluruh dunia yang ada terutama yang ada di museum-museum sejarah alam.
Persiapan sebelum ke hutan

Pembicara kedua acara ini adalah mbak Salmah Widyastuti yang mempresentasikan tentang penelitiannya di Pegunungan Dieng untuk kesesuaian habitat Owa jawa. Penelitian ini sedang berjalan dan hasil awal penelitian ini menyebutkan bahwa sebaran owa jawa ini meliputi di 4 kabupaten, yaitu Batang, Pekalongan, Banjarnegara, dan Wonosobo, dan wilayah hutan di kabupaten Pekalongan merupakan wilayah dengan kesesuaian habitat tertinggi untuk Owa Jawa.

Hari ketiga, 13 oktober 2019, acara pelatihan untuk metode vocal count, khusus untuk Owa Jawa, metode ini menggunakan suara Owa sebagai dasar untuk estimasi populasi dan distribusi Owa, dengan menyiapkan titik-titik pengamatan sebagai Listening Post, peserta sudah mulai di lokasi sejak pukul 06.00 pagi, mencatat setiap suara yang terdengar, mencatat arahnya dan mengestimasi jaraknya. Mengenali suara owa juga menjadi pengalaman berbeda bagi para peserta, ada 2 lokasi yang mana perta menggunakan sebagai titik pengamatan (LPS), pengambilan data dilakukan hingga jam 8.30, dimana setelah jam ini sudah tidak terdengar ada owa yang bersuara lagi. Kemudian peserta kembali dari lapangan untuk menganalisis data yang diperoleh selama pengamatan suara dan mempresentasikan hasil pengamatan yang dilakukan.

Acara pelatihan MSP ini menjadi acara tahunan di Sokokembang bekerjasama dengan teman-teman dari KP3 Primata dan Forestation Fakultas Kehutanan UGM, dan acara yang ke-7 kali ini merupakan bagian dari kegiatan ProyekKopi dan Konservasi Primata yang didukung oleh Wildlife Reserve Singapore, Ostrava Zoo, dan Fortwayne Children’s Zoo.

Wednesday, September 25, 2019

Mentawai Primates : Strengthen cultural Identity and Grassroots Conservation

written by : Arif Setiawan
Kloss's Gibbon Photograped by Ismael, a day before departure to Yogyakarta


Biggest meeting of  Indonesian Primate  enthusiast have been done this week in Yogyakarta, 18-20 September 2019. Nearly 300 people gathered together, participants, invited guest, and officials, Indonesian primate enthusiast coming with their recent presentation talk and posters. Here I notice my personal insight towards Mentawai primates and it’s conservation effort on during the conference.
 
First, about opening ceremony, it has been long discussion with organizing committee, to perform something entertain but related to Indonesian primates. Than come up with two option i.e  : hanuman classic dance or Mentawai Primate traditional dance, than the committee select Mentawai primate dance that will be perform during opening ceremony. 
dance training before the real stage, it was in Uma

Seprianus perform as an eagle flying, training in Uma

Honestly it was not easy to make it, fortunately we have been working with a Mentawaian community since several years ago, with the Uma Malinggai Traditional Mentawai, so I talk to the team in Uma about this plan and to do  perform traditional dance from Mentawai, introducing mentawai culture and nature to the special guest of Indonesian primate congress and symposium. . So  the team prepare all the things in less than one month, 6 students from southern siberut  was selected by UMA elders to come and perform in the opening ceremony of the 5th congress of Indonesian Primatological Association and symposium on  Indonesian primates. 

Every week I got update from Siberut, this is will be the first experience of these mentawaian going out far away from their home. While the dance team always send me update during practice, and dance have decided will perform about Mentawai gibbon dance and bird of prey dance.  

Long way trip, from Siberut to Yogyakarta, have made some Uma members are exhausted,  6 hours by ferry, a night stop at Padang than fly to Jogjakarta, 14 September leaving for Yogyakarta, and arrived on 16 September. One day arrived in Yogya this Mentawai team have opportunity to do dance exercise in the venue and prepare all the things with conference  organizer team.

On the day, opening ceremony everybody are nervous, when the host calling and introduction all dancers are so gorgeous and amazing, they did so confidence and attract audience. Watch here for their performance :


This dance  are perform usually for traditional ceremony in Mentawai, there are 3 gibbons who live  happily in the forest and looking for water to drinks.

Mentawai primate talks, compare to number of Mentawai primates species,  there are still lack of research and conservation works in Mentawai, I noticed some talks presentation about Mentawai primates, and meet people who work and interested on Mentawai Primate conservation fieldwork. There are 3 presentation talk about Mentawai primates, first is on the Biomedical and Biomolekular Symposium, Rizka Hasanah from Bogor Agricultural University, present her research entitled with Analisis Keragaman Genetik berdasarkan marka D-loop mtDNA dan gen TSPY pada Siamang Kerdil (Hylobates klossii) Kepulauan Mentawaifrom her presentation the conclusion is there is four haplotype based on mtDNA of Kloss gibbon in Mentawai, however need more sample for to get more information on the genetic.

Mentawai wildlife watching trip, have been launch during  Indonesian Gibbon Symposium 

Second talk is from Damianus Tateburuk, replace his colleague Ismael Saumanuk for a talk entitle with “ Gibbon Watching : Promosi Konservasi Primata Mentawai”, a collaborative work between Uma Malinggai and my team at swaraowa to promote conservation of Mentawai primates. Dami was said that we have been prepare sites for primate watching and launch a trip for primate watching in Mentawai,with a wildlife tour based in Yogyakarta (Loontour). Pocket guide of Mentawai also have been finished and ready to use for educational purposes among mentawaian and field guide reference. And my talk it self is about distribution status of kloss gibbon in Mentawai, based on 2011-2012 survey and 2017 fieldwork. I met two other students have been doing study in Mentawai for Siberut langur ( Presbytis poteziani) and Kloss's gibbon ( Hylobates klossii) however they do not give any presentation. Simakobu  (Simias concolor) and Mentawai macaques (Macaca siberu and Macaca pagensis)  haven't any update from participants. 


Pocket Guide of Mentawai Primates : a field guide reference for primate watching in Mentawai Island. official introduction conducted at NGOPI (Ngobrol Primata Indonesia), collaborative authors for this pocket guide book are : Kasih Putri Handayani, Ika Yuni Agustin, who did field work in Northen Siberut in 2011, and three members of Uma , i.e Mateus Sakaliau, Ismael Saumanuk, And Damianus Tateburuk. This book available for sell and can be purchased at Swaraowa’s booth during the conference, if you want to buy online please do through this link.

Pocket guide of Mentawai Primates

It was a great opportunity to introduce Mentawai primates and it’s cultural value among primatologist, with hope will gain more attention to support conservation fieldwork in Mentawai. The most important is to bring new experience and motivation for the Mentawaian who involved directly in this meeting, I am sure they will back to their native habitat with good memories that their primates and culture value received highest appreciation.

Monday, September 23, 2019

Konservasi Primata Jawa dengan Board Game OWA

Oleh : Nur Hidayat & Nunuk Riza Puji , SMAN 1 Petungkriyono

"Life of the gibbon " Owa Board Game

Pelestarian Owa Jawa di Hutan Lindung Petungkriyono telah dan sedang dilakukan oleh banyak pihak, pemerintah, mahasiswa, peneliti, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan juga warga sekitar hutan. Namun, generasi muda khususnya anak-anak sekolah sepertinya belum menjadi prioritas untuk menjadi pelaku langsung yang berkontribusi untuk konservasi Owa.
Siswa sekolah sebagai generasi penerus  seharusnya merupakan target prioritas untuk menghadapi tantang upaya konservasi Owa, sebagai generasi muda yang akan menjadi pelaku konservasi di tahun-tahun mendatang, setidaknya ada pengetahuan tambahan  tentang Owa Jawa, sebagai satwa yang ada di sekitar sekolah mereka. Pengetahuan ini meskipun ada dalam mata pelajaran sekolah, namun dengan keterbatasan sarana, waktu dan tenaga kadang informasi penting tentang Owa ini tidak di ketahui oleh anak-anak sekolah. Invoasi pembelajaran dan pengalaman lapangan juga menjadi tantangan tersendiri untuk mengenalkan muatan-muatan lokal yang sebenarnya bisa menjadi identias global untuk anak-anak dari habitat owa ini.



Pengenalan board game “OWA” ini berlangsung di sela-sela acara Simposium dan Kongres Primata 18-20 September 2019, Perhimpunan Peneliti dan Pemerhati Primata Indonesia, dengan presentasi oral berjudul “ Memperkenalkan konservasi Owa Jawa dengan media Boardgame”. Acara terbesar pertemuan ahli dan pemerhati primata di Indonesi yang di laksanakan oleh PERHAPPI ( Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia). Sekilas tentang boardgame OWA (Life of the Gibbon) dapat di saksikan di youtube. 




Kami, sebagai pengajar di Sekolah Menengah Atas di Kec. Petungkriyono bekerjasama dengan Swaraowa, membuat sebuah permainan edukasi untuk megenalkan Owa Jawa, dengan menggunakan media board game yang bertemakan Konservasi Owa Jawa. Boardgame  merupakan  jenis permainan yang menggunakan papan sebagai alat permainannya. Contoh board game yang populer adalah Ular Tangga, Monopoli, Ludo, dan Halma. Sayangnya, jenis permainan ini sampai sekarang hanya berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Padahal dengan berbagai potensinya, board game mampu menjadi sebuah media kreatif yang efektif untuk menyampaikan pesan pegetahuan selain juga permainan yang menyenangkan.

Pemilihan board game sebagai media pengenalan pelestarian owa jawa sangat cocok untuk siswa sekolah karena merupakan sebuah media yang kreatif dan menyenangkan. Selain itu board game ini dapat diintegrasikan sebagai media pembelajaran Biologi di SMA. Melalui pembelajaran biologi dengan board game ini siswa dapat memahami dan menyadari pentingnya konservasi Owa jawa di hutan lindung petungkriyono.

papan permainan OWA

Board game yang digunakan dalam pembelajaran biologi merupakan bentuk simulasi kehidupan Owa Jawa. Siswa berperan sebagai Owa Jawa yang mengumpulkan buah ficus sebagai makanan dengan melewati beberapa ekosistem di Hutan Lindung Petungkriyono. Ekosistem tersebut ada yang menguntungkan sehingga siswa mendapatkan buah ficus yang banyak dan ada pula yang kurang mendukung sehingga buah ficus yang didapat sedikit. Selain itu ada lingkungan yang rusak sehingga ketika dilewati akan kehilangan buah ficus. Penggambaran macam-macam ekosistem ini diharapkan mampu menimbulkan kesadaran siswa akan arti penting ekosistem yang baik untuk kelestarian Owa Jawa.
token permainan, gambar buah ficus makanan kesukaan Owa

Kartu interaksi

Owa Jawa juga akan melewati ekosistem yang dihuni manusia seperti pemukiman, ladang, objek wisata dan jalan raya. Pada ekosistem ini terdapat kartu interaksi yang isinya berupa perilaku manusia yang dapat merugikan atau menguntungkan Owa Jawa. Hal ini sebagai pengetahuan bagi siswa tentang perilaku manusia yang dapat membahayakan kehidupan ataupun yang mendukung kelestarian Owa Jawa.

Siswa bermain board game sambil belajar mengenai pelestarian lingkungan dengan aktif. Bermain board game dengan teman juga meningkatkan interaksi sosial antar siswa yang selama ini kurang karena dampak penggunaan smartphone. Pada akhirnya ketika bermain boardgame ini tanpa disadari siswa telah mempelajari cara hidup Owa Jawa dan faktor yang dapat mengancam ataupun mendukung kelestarian Owa Jawa. Dengan demikian akan tertanam sikap hidup positif untuk mendukung kelestarian Owa Jawa dalam diri siswa yang merupakan generasi muda Petungkriyono.

Wednesday, August 28, 2019

Tradisi Pemanenan Madu Hutan Desa Mendolo


oleh : Sidiq Harjanto
  •  Desa Mendolo, Kecamatan Lebak Barang, Kabupaten Pekalongan memiliki tradisi turun temurun berburu madu di Hutan.
  •  Lebah hutan (Apis dorsata) adalah jenis lebah madu terbesar.
  •  Pada musim yang bagus, seperti tahun 2016, lebih dari 2,5 ton madu yang keluar dari Desa Mendolo
  • Mempertahankan kualitas lingkungan, terutama kelestarian hutan sebagai penopang kehidupan lebah hutan adalah salah satu kunci keberlanjutan produksi madu di Mendolo


Praktik pemanenan madu hutan di Desa Mendolo
Desa Mendolo terletak di Kec Lebakbarang, Kab Pekalongan. Kawasan desa ini didominasi oleh hutan alam, sedangkan sisanya merupakan kawasan wanatani atau agroforest. Tim swaraowa, pertamakali masuk ke Mendolo tahun 2010, ketikasurvey Owa Jawa di wilayah Kecamatan Lebak Barang, dan mulai intensif mengamati owa di desa ini 3 tahun terakhir ini. Desa ini identik dengan pemanenan lebah hutan atau masyarakat menyebutnya tawon nggung. Nama ilmiahnya Apis dorsata. Memanen madu hutan adalah keahlian mayoritas laki-laki dari desa ini. Ini adalah tradisi turun-temurun. Tidak ada yang tahu kapan mereka mulai memanen lebah. Jika ditanya kapan mulai, tidak ada yang mampu menjawab dengan detail. ‘Sudah dari nenek moyang kami’, jawab mereka. Artinya, tradisi ini memang sudah berlangsung sejak lama sekali. Memang ada perubahan dalam motif pemanenan lebah hutan. Dari yang dulunya memanen lebah untuk kebutuhan sendiri (subsisten), berubah menjadi mata pencaharian alternatif.

Madu bukan tujuan utama bagi masyarakat jaman dulu. Saat harga madu masih belum seperti saat ini, atau bahkan tidak laku dijual. Orang-orang justru memanen anakan lebah, pupa lebih tepatnya. Pupa atau kepompong lebah menjadi sumber protein tinggi bagi masyarakat pada masa itu. Hingga kemudian pada dua dekade terakhir, madu mulai menjadi komoditas yang banyak diburu. Harganya pun cukup menjanjikan. Para pemanen madu merubah pola kerjanya. Mereka hanya mengambil sarang madu saja, meninggalkan bagian anakan lebah.
Koloni Apis dorsata "tawon nggung"
Lebah hutan (Apis dorsata) adalah jenis lebah madu terbesar. Lebah ini hidup berkoloni, membangun sarang pada dahan-dahan pohon tinggi. Mereka bisa memproduksi madu dalam jumlah yang besar. Satu sarang bahkan bisa lebih dari 20 kilogram madu. Sesuai namanya, lebah hutan membutuhkan habitat hutan yang masih bagus. Lebah hutan membutuhkan sumber pakan dalam jumlah besar. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion dengan masyarakat Mendolo, setidaknya ada lebih dari 40 jenis tanaman sumber pakan bagi lebah hutan. Salah satu sumber pakan lebah yang cukup dominan adalah Crypteronia sp. Masyarakat menyebutnya ‘kayu babi’. Jenis lainnya seperti kayu sapi (Sapindaceae), pakel (Mangifera foetida), dan durian (Durio sp.)
Bunga durian, sumber nectar bagi lebah



Bunga kayu Babi ( Cryptorenia sp)
Saat koloni-koloni lebah berdatangan untuk bersarang, biasanya mulai bulan Juli, orang-orang nyaris tiap hari masuk hutan untuk mencari keberadaan sarang lebah. Mereka membentuk tim-tim kecil. Sebuah tim pemanen madu terdiri dari dua atau lebih anggota tim. Satu orang berperan sebagai pemanjat dan pengambil sarang, sedangkan sisanya menjadi asisten. Menyiapkan peralatan, dan membantu proses panen madu. Alat-alat yang digunakan antara lain sige, upet, pisau/parang, karung, tali, ember, dan saringan. Sige adalah bambu yang digunakan untuk melakukan pemanjatan, terdiri dari dua bagian yaitu banthol (pengait), yang akan disambung dengan lonjoran (jumlahnya bisa lebih dari satu batang tergantung ketinggian sarang yang dipanjat). Sedangkan upet adalah bahan pembuat asap. Biasanya upet dibuat dari dedaunan yang diikat, kemudian dibakar di bagian ujungnya. Hasil pembakaran dedaunan yang masih agak basah ini menghasilkan asap untuk membuat lebah lebih tenang.

Pemanjat memotong bagian kepala sarang yang berisi madu. Bagian brood yang berisi telur, larva dan pupa dibiarkan. Harapannya sarang akan kembali terisi madu dan nantinya bisa dipanen kembali. Dengan cara seperti ini, pemanenan bisa dilakukan dua atau tiga kali untuk setiap sarang. Teknik pemanenan ini relatif aman bagi keberlanjutan koloni-koloni lebah. Hasil panen dari tiap sarang sangat bervariasi. Bila beruntung bisa lebih dari 10 botol ukuran 650ml, dan kalau tidak beruntung bisa pulang dengan tangan hampa.

Karakter warna dan rasa yang beragam madu hutan desa Mendolo
Musim puncak panen madu biasanya berlangsung antara Juli-Oktober. Pada musim yang bagus, seperti tahun 2016, lebih dari 2,5 ton madu yang keluar dari desa ini. Di Mendolo sendiri saat ini ada 8 orang pengepul lokal, yang menampung hasil panen madu dari para pemanen. Produk lain yang sudah termanfaatkan adalah lilin lebah (beeswax). Lilin diekstrak dari sisa perasan sarang madu yang dipanaskan hingga mencair, kemudian disaring menggunakan kain. Lilin cair ini setelah dingin akan mengeras membentuk balok-balok lilin. Harga jual lilin mentah ini sekitar Rp. 50.000,-. Produk lebah lain yang potensial namun belum termanfaatkan adalah beepollen (roti lebah). Beepollen dihasilkan oleh fermentasi serbuk sari bebungaan yang disimpan di sarang lebah.

Melihat dari sekilas uraian di atas, beberapa tantangan kedepan masih dihadapi dalam tradisi pemanenan madu di Desa Mendolo, antara lain:
1.      Memperbaiki tata kelola pemanenan madu ditingkat desa.
2.      Mempertahankan kualitas lingkungan, terutama kelestarian hutan sebagai penopang kehidupan lebah hutan.
3.      Menjaga kualitas produk madu; mengingat semakin banyak pemanen madu bisa beresiko menurunkan kualitas, misalnya dari sisi umur panen, higienitas, dll.
4.      Diversifikasi produk, untuk meningkatkan nilai tambah. Misalnya produk beepollen, dan aneka produk turunan lebah.

Kita semua tentu saja berharap bahwa tradisi pemanenan madu di Desa Mendolo akan terus lestari dan memberikan manfaat untuk warga disana, dan yang tidak kalah pentingnya selain madu, peran lebah sebagai serangga penyerbuk ini tidak dapat digantikan oleh manusia dengan alat apapun, pollinasi. 

Saturday, August 3, 2019

Burung Burung Kepulauan Mentawai

kegiatan tahun 2010 di Siberut


"The gibbon of Siberut", karya Tonny Whitten adalah salah satu buku menginspirasi saya untuk ke siberut, saya dapat buku ini tahun 2000, berisi catatan perjalanan Tonny Whitten dan istrinya pada tahun 1975-1978 di Siberut, dan tahun 2010 saya pertama kali menginjakkan kaki pertama kali di bumi Sikerei, hingga awal tahun 2012 banyak cerita dan pengalaman bersama tim lapangan dari Siberut Selatan. 
kegiatan tahun 2012 di Siberut Barat Daya

Kemudian tahun 2017 bersama SWARAOWA kegiatan untuk mendorong peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk kawan-kawan yang aktif di Uma Malinggai Tradisional Mentawai, di Siberut Selatan dimulai. Dengan menggabungkan kegiatan pengamatan satwa dan fotografi setiap ke lapangan mendokumentasikan foto dan video satwa-satwa liar kep.Mentawai.
tim Malinggai Uma, kegiatan tahun 2017


Kegiatan pengamatan yang awalnya hanya fokus untuk jenis-jenis primata, juga mengumpulkan foto-foto satwa lainnya. Untuk jenis-jenis burung karena awalnya memang tidak tahu namanya, beruntung sekali ada salah satu orinitologist dari Yogyakarta Imam Taufiqurrahman turut serta ke Mentawai, foto-foto yang di kumpulkan oleh tim Malinggai Uma satu persatu mulai di identifikasi.
Penyusunan buku ini akhirnya di rencanakan setelah Imam ikut beberapa kali ke Mentawai, mengunjungi Siberut dan Sipora. Menurut catatan Imam ada 178 jenis burung Mentawai, yang sudah tercatat dalam publikasi Imiah, dan foto yang di kumpulkan selama pengamatan lapangan meskipun kita tidak ada di Mentawai juga semakin bertambah.
Buku Burung-Burung Kepulauan Mentawai

Hingga akhir 2018, setidaknya sudah 82 jenis burung sudah dijumpai dan ada foto nya. Penyusunan buku  burung Mentawai yang di motori Oleh Imam akhirnya menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan dukungan support yang kita dapatkan dari FortwayneChildren’s Zoo.
Bulan Mei 2019, Imam dan kawan-kawan dari Malinggai Uma ( Damianus, Ismael dan Mateus) bertemu Bupati Mentawai, Bp Yudas Sabagalet, membawa draft buku burung Mentawai dengan memohon untuk memberikan sambutan di buku yang disusun bersama ini. Pertemuan dengan kepala daerah menjadi motivasi tersendiri bagi tim penyusun buku ini.

Setelah mendapatkan no ISBN dari perpustakaan nasional buku burung-burung Mentawai ini telah secara resmi di publikasikan, dan kami juga menjual buku ini untuk selanjutnya keuntungan penjualan buku ini akan digunakan untuk mendukung kegiatan lapangan di Mentawai.  Kami mengajak anda untuk mengenal dan melestarikan kekayaan alam Mentawai, untuk pembelian buku ini silahkan melalui link ini: https://shopee.co.id/Burung-Burung-Kepulauan-Mentawai-i.4837480.2432705311