oleh : Sidiq Harjanto
foto bersama peserta pelatihan budidaya lebah. Foto : Sulton Afifudin/ELTI |
Sebagai
bagian dari implementasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), setiap
perusahaan perkebunan sawit anggota RSPO, diwajibkan untuk mengelola kawasan
dengan nilai konservasi tinggi (NKT). Kawasan NKT atau HCV (High Conservation
Value) merupakan kawasan yang memiliki fungsi konservasi. NKT/HCV adalah
nilai-nilai biologis, ekologis, sosial, atau budaya yang dianggap sangat
signifikan atau penting, pada tingkat nasional, regional, atau global.
Kawasan HCV
dengan hutan yang masih baik memiliki manfaat ekologis maupun ekologis bagi
masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu peluang usaha bagi masyarakat
di sekitar kawasan HCV adalah budidaya lebah madu. Kawasan hutan sangat ideal
sebagai lokasi budidaya lebah. Menurut FAO, budidaya lebah madu merupakan salah
satu alternatif ekonomi terbaik bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
hutan. Hal ini, antara lain karena adanya dua sisi manfaat, yaitu manfaat
ekonomis dan ekologis. Dari sisi ekonomi, madu dan produk perlebahan lainnya
memiliki nilai jual yang tinggi. Sementara dari sisi ekologi, lebah-lebah yang
dipelihara merupakan agen penyerbukan yang menjadi kunci regenerasi hutan.
menjelaskan secara langsung tentang lebah kelulut. Foto : Sulton Afifudin/ELTI |
lebah kelulut dari koloni alam. Foto : Sulton Afifudin/ELTI |
Goodhope Asia Holdings Ltd., sebagai salah satu perusahaan sawit
yang memiliki kebun di Provinsi Kalimantan Tengah, berupaya untuk menjadikan
kawasan HCV memiliki fungsi ekologis sekaligus memberikan manfaat bagi
masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Sebagai bentuk upaya nyata untuk
menunjukkan komitmen tersebut maka Goodhope bekerjasama dengan EnvironmentalLeadership & Training Initiative (ELTI) dan SWARAOWA mengadakan kegiatan pelatihan budidaya lebah
kelulut bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HCV.
Lebah
kelulut atau biasa dikenal dengan lebah tanpa sengat dipilih karena beberapa
alasan. Pertama; negara kita, Indonesia, merupakan salah satu negara dengan
potensi kelulut terbesar di dunia. Tak kurang 40 jenis kelulut hidup di wilayah
negara kita ini. Kedua; pengembangan budidaya kelulut minim modal, dan
pemeliharaan lebah tanpa sengat ini cenderung lebih mudah dilakukan daripada
jenis-jenis lebah bersengat. Ketiga; kelulut atau lebah tanpa sengat bisa
dikatakan merupakan masa depan perlebahan dunia, terutama di saat budidaya
lebah bersengat (Apis mellifera)
menghadapi berbagai permasalahan seperti Colony
Collapse Disorder (CCD), perubahan iklim, dll.
Kegiatan
yang bertajuk ‘Pelatihan Budidaya Lebah Madu Untuk Masyarakat di Sekitar
Kawasan HCV Kebun Sawit’ ini dilaksanakan pada tanggal 5-7 November 2019,
bertempat di Training Center milik Goodhope di Kalimantan Tengah. Swaraowa
sendiri telah memiliki pengalaman dalam pengembangan budidaya kelulut di
site-site kegiatannya. Pengembangan budidaya kelulut bagi masyarakat di sekitar
habitat owa bertujuan antara lain untuk: 1. Memberikan alternatif ekonomi bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. 2. Meningkatkan awareness masyarakat tentang pentingnya
menjaga ekosistem hutan. 3. Pelestarian jenis-jenis lebah lokal (native bees) sebagai agensia
penyerbukan.
SWARAOWA berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan ini karena
memiliki kepentingan dalam upaya pelestarian primata di kawasan HCV. Hasil
survei primata yang dilakukan Swaraowa di kawasan HCV Goodhope di Bukit Santuai-Bukit Hawuk menemukan
jenis-jenis primata yaitu Owa (Hylobates
albibarbis), Beruk (Macaca nemestrina), Monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis), dan Lutung merah (Presbytis rubicunda). Temuan sarang
mengindikasikan masih adanya Orangutan (Pongo
pygmaeus), di kawasan hutan ini. Dengan adanya beberapa jenis primata
tersebut, maka kawasan HCV perlu dikelola dengan serius.
Kawasan bernilai tinggi di dalam konsesi perkebunan sawit,
diharapkan menjadi prioritas untuk pelestarian primata endemik Kalimantan seperti
Owa-owa. Nilai penting tersebut adalah habitat yang masih alami dapat di
pertahankan fungsinya, dalam hal ini lebah yang membutuhkan sumber pakan berupa
nectar dan pollen sangat mungkin berkembang di kawasan yang masih alami di
antara tanaman kelapa sawit. Manfaatnya akan sangat penting bagi warga sekitar
kawasan HCV yang dapat memanfaatkan keberadaan lebah sebagai penghasil madu
ataupun sebagai serangga pollinasi untuk tanaman pangan.
Dr. Insyah menjelaskan jenis jenis pohon penting bagi lebah. Foto : Sulton Afifudin/ELTI |
Tak kurang
40 orang warga masyarakat yang berasal dari 12 desa yang berada di sekitar
perkebunan kelapa sawit Goodhope di Kalimantan Tengah, dan juga beberapa staf
Goodhope terlibat dalam kegiatan ini. Antusiasme peserta pelatihan terasa sejak
awal sampai akhir kegiatan. Acara dibuka oleh GM PT Agro Indomas, Ganapathy
Karpan. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa Goodhope selalu
berkomitmen dalam menjaga fungsi kawasan HCV, sekaligus memberdayakan
masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Dalam
pelatihan ini, SWARAOWA berbagi pengalaman pengembangan perlebahan dilokasi yang telah di kembangkan di Jawa Tengah di habitat Owa jawa. Materi-materi yang diberikan meliputi pengenalan biologi lebah
kelulut, praktek analisa daya dukung lingkungan, pembuatan stup (hive box), teknik pemasangan stup topping, praktek transfer koloni lebah
dari koloni liar ke dalam stup, hingga materi strategi pemasaran produk
perlebahan. Dr Arbainsyah, atau akrab dipanggil Pak Insya dari ELTI membantu
mengidentifikasi dan mengumpulkan data potensi tanaman pendukung budidaya lebah
kelulut, berupa tanaman penghasil nektar, pollen, dan resin.
Dengan
adanya kegiatan pelatihan ini, diharapkan masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan HCV memiliki bekal pengetahuan teknis budidaya lebah kelulut. Sehingga
ke depannya masyarakat bisa mendapat manfaat yang lebih banyak dari keberadaan
HCV di perkebunan sawit Goodhope Group, melalui pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK). Para alumni pelatihan ini diharapkan akan mampu membentuk jejaring
peternak kelulut yang akan menjadi motor penggerak perlebahan di Kalimantan
Tengah.