Thursday, December 19, 2024

Terbaru ! Survey Owa jawa dan Avifauna di Desa Pacet , Kabupaten Batang.

 Oleh : Alek Rifa’i dan Iman Sofiana

Pemasangan alat rekam pasif untuk Owa Jawa

Kami tiba di Desa Pacet, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang sore hari pada tanggal 17 November 2024. Desa yang menurut kami cocok untuk healing karena sepanjang mata memandang penuh dengan kebun teh milik warga desa. Berbeda dengan desa kami (Mendolo, Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan) yang pemandangannya penuh dengan pohon durian. Suasana di desa Pacet sangat dingin dan hampir sepanjang hari diselimuti oleh kabut.

Malam hari kami berjalan disekitar desa untuk mencari mamalia ataupun burung yang ada disekitar desa. Namun cuaca kabut menyulitkan kami untuk melakukan survei pada malam hari sehingga kami memutuskan untuk kembali untuk menyiapkan tenaga guna pemasangan alat rekam pasif di esok harinya. Hari pertama survei kami berjalan menuju jalur gunung Kemulan yang ada di Selatan desa. Pada pukul 09.30 kami disambut dengan suara Great call Owa jawa yang terdengar cukup jauh di sebelah barat bukit yang kami telusuri. Hari pertama survei ini, kami juga melakukan pemasangan 2 alat perekam suara pasif setelah mengikuti pelatihan di Sokokembang bulan lalu untuk setting dan cara pemasangan alat perekam suara. Kami hanya mendengar suara Owa Jawa pada hari pertama survei ini untuk pendataan jenis primata. Selain primata kami juga mecatat 17 jenis burung meski pada awalnya agak kesulitan karena jenis ketinggian berbeda dengan jenis burung di tempat kami. Beberapa jenis yang menurut kami baru adalah Sikatan bodoh (Ficedula hyperythra) dan Takur Bututut (Psilopogon corvinus) karena kedua jenis ini merupakan burung khas ketinggian di pulau Jawa. Malam harinya kami kembali melakukan penulusuran tepat sebelum hujan kami bertemu dengan burung Paruh-kodok Jawa (Batrachostomus javensis).

Ciung Mungkal Jawa -Jantan

Dua hari berikutnya kami juga melakukan penelusuran pada Kawasan desa Pacet dan mencatat perjumpaan dengan Lutung jawa (Trachypithecus auratus) serta Rekrekan (Presbytis fredericae). Namun kami belum berhasil mendapatkan foto kedua jenis primata tersebut. Hal ini karena hampir sepanjang hari kami survei, cuaca gerimis dan kabut menemani perjalanan kami sehingga cukup menghambat perjalanan kami. Beruntungnya kami mendapatkan foto burung Ciung-mungkal Jawa (Cochoa azurea) yang merupakan jenis endemik Jawa. Beberapa burung endemik Jawa lain yang kami jumpai adalah Tesia jawa (Tesia superciliaris), Wergan jawa (Alcippe pyrrhoptera), Cikrak jawa (Phylloscopus grammiceps), Tepus dada-putih (Stachyris grammiceps) dan Takur tohtor (Psilopogon armillaris). 

salah satu sudut Desa Pacet

Berdasarkan informasi dari warga,  Owa jawa hanya dijumpai di sisibarat gunung Kemulan. Perburuan terutama jenis burung masih menjadi ancaman untuk kelestarian satwa liar di hutan tersebut. Namun yang mengesankan bagi kami adalah warga desa Pacet benar-benar menjaga hutan tidak berusaha untuk mengubahnya menjadi lahan pertanian. Kami sangat senang menjadi bagian dari tim survei bertemu dengan orang-orang dengan pemikiran lain. Dan yang utama mengeksplore wilayah lain untuk melihat dan memotret jenis-jenis satwa yang tidak ada di desa kami.


Wednesday, December 4, 2024

Inovasi Pangan setelah 70 Tahun, Desa Mendolo.

 Penulis: Alex Rifa’i1 & Sri Windriyah2; Penyunting: Sidiq Harjanto

1Koordinator Divisi Konservasi Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo

2Ketua Kelompok Brayan Urip, Desa Mendolo

 

Aneka olahan Umbi Gadung

"Dari hutan ke meja makan, setiap langkah punya cerita luar biasa. Ini cerita perjalanan panjang aneka bahan pangan bersama harapan semua orang yang terlibat di dalamnya". Begitulah kira-kira rangkuman rangkaian acara Hari Pangan Sedunia 2024 di Desa Mendolo pada tahun ini.

Pada tanggal 19-20 Oktober 2024 Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo berkolaborasi dengan Kelompok Petani Perempuan Brayan Urip merayakan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Adapun tujuan perayaan ini adalah untuk mengenalkan kepada semua orang yang ikut berpartisipasi dalam acara ini tentang keanekaragaman pangan lokal yang ada di sekitar hutan Desa Mendolo.

Mengusung tema Hari Pangan Sedunia tahun 2024 ini yaitu "Hak Atas Pangan untuk Kehidupan yang Lebih Baik dan Masa Depan yang Lebih Baik", kami sekaligus melaunching produk olahan umbi gadung dan memfasilitasi kelompok Brayan Urip untuk memaparkan segala tentang produk yang dihasilkan.

Agenda Perayaan Hari Pangan tahun ini tidak sepadat dan sekompleks perayaan hari pangan tahun kemarin. Rangkaian acara yang kami selenggarakan dimulai dari kegiatan meramban (mencari dan memanen sayur, jamur, dan buah di hutan) bersama-sama dengan kawan-kawan dari Indonesia Dragonfly Society (IDS), Green Community, dan para kaum muda-mudi Desa Mendolo. Acara meramban ini berlangsung pada tanggal 19 Oktober 2024 dari pagi sampai siang.

Ibu-Ibu pahlawan di belakang layar

Setelah hasil meramban dirasa cukup, pada siang sampai sore kami menyortir semua bahan pangan lokal dari hutan yang sudah terkumpul, mulai dari jenis sayur, jamur, buah-buahan kita kelompokkan masing-masing menurut jenisnya. Sayangnya, hasil meramban tahun ini sedikit kurang maksimal dikarenakan cuaca yang ekstrem sehingga banyak bahan pangan lokal yang tidak bisa kami temukan di hutan. Sorenya, para ibu sudah memulai mengolah bahan yang sekiranya akan memakan waktu lama.

Di hari kedua, para ibu disibukkan di bagian dapur mulai dari pagi-pagi sekali mengolah semua bahan makanan yang akan kita santap bersama di siang hari nanti. Seperti tahun lalu, kali ini panitia kembali mengadakan workshop ditujukan bagi anak-anak untuk mengisi kegiatan di pagi hari. Workshop ini berupa latihan bersama membuat bungkus makanan dari daun pisang. Kami menyebutnya "takir".

Setelah acara workshop selesai, semua panitia mulai membantu semua persiapan yang masih belum sempurna. Siangnya, kami merayakan Hari Pangan Sedunia 2024 dengan makan bersama dengan menu yang berasal dari hutan sekitar desa kami. Para warga desa membaur dengan tamu dari luar desa dengan antusias luar biasa bersama-sama menikmati hasil meramban semua sajian, seperti: jenis-jenis sayuran, jamur, bunga kecombrang, dan buah-buahan hutan.

pemotongan tumpeng nasi Gadung

Setelah makan bersama selesai, kami bersama-sama menuju lapangan untuk memulai segala rangkaian acara yaitu launching produk olahan umbi gadung hasil inovasi kelompok Brayan Urip. Rangkaian acara meliputi sambutan dari ketua PPM Mendolo, sambutan Bapak Kepala Desa Mendolo, disusul acara inti yaitu Launching Produk Olahan Gadung secara simbolis melalui pemotongan tumpeng nasi gadung.

Selanjutnya, Sri Windriyah selaku koordinator kelompok brayan urip sekaligus ketua panitia acara perayaan hari pangan sedunia pada tahun ini memaparkan produk-produk inovasi gadung yang telah dihasilkan kelompok Brayan Urip.  Acara ditutup dengan pertunjukan seni musik gamelan oleh Sanggar Seni Puspita Sari dan Sanggar Seni Chandra Laras.

antusias warga ke lokasi perayaan hari pangan yang guyur hujan

Bukan hanya menjadi superhero di bagian konsumsi selama acara hari pangan berlangsung, kali ini dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) kelompok Ibu-ibu Kebun Brayan Urip ingin menunjukkan keterampilanya dalam perayaan hari pangan sedunia kali ini.

Umbi Gadung kita bisa menyebutnya, atau dalam bahasa ilmiahnya Dioscorea hispida merupakan tanaman umbi-umbian yang tumbuh subur di sekitar hutan di Desa Mendolo. Tanaman dengan batang berduri yang merambat di pohon-pohon hutan yang lebih tinggi di sekelilingnya.

Kelompok Brayan Urip yang beranggotakan para ibu rumah tangga berupaya untuk mewarisi skill dan keterampilan dari leluhur. Salah satunya dalam pengolahan umbi gadung ini. Melalui proses yang panjang dan sangat membutuhkan ketelatenan, umbi beracun sianida bisa diubah menjadi berbagai macam makanan yang sangat lezat dan aman.

Fakta luar biasanya, tepung gadung ini menjadi terobosan baru dari kelompok ibu-ibu brayan urip,  setelah puluhan tahun lamanya umbi gadung hanya diproses sederhana untuk dijadikan makanan pengganti beras pada krisis pangan karena perang, dan di tahun 50-an ada orang dari luar desa mengajari pengolahan umbi gadung menjadi keripik.

workshop pembuatan Takir untuk anak-anak
Pada jaman dahulu, para tetua desa kami mengolah umbi gadung dengan cara direndam untuk menetralkan racun, lalu dibakar/dikukus dan langsung bisa disantap. Lazimnya metode memasak orang dulu adalah dibakar dalam bentuk gumpalan, tanpa melalui proses penjemuran lagi untuk dijadikan tepung, karena fungsi gadung kala itu adalah untuk sumber karbohidrat pengganti beras.

Kira-kira tujuh puluh tahun lamanya untuk sampai di tahun 2024, munculah ide dan inovasi-inovasi baru dari olahan umbi gadung, dan salah satu inovasi yang ditawarkan kali ini adalah pembuatan tepung dari umbi gadung.

Secara garis besar, proses pembuatan tepung menggunakan proses penetralan racun yang sama dengan apa yang telah diwariskan oleh para leluhur. Produk akhirnya saja yang berbeda. Gadung iris dilumuri abu dapur di hari pertama untuk untuk selanjutnya ke proses penjemuran. Setelah kering, umbi gadung direndam di air yang mengalir minimal selama 3 hari 2 malam, dan dicuci sehari 2 kali pagi dan sore agar sisa-sisa racun dan abu hilang.

pentas seni sanggar Seni Puspita Sari dan Sanggar Seni Chandra Laras.


Setelah proses perendaman selesai, umbi gadung masih melalui proses penjemuran kembali hingga kering. Pengeringan gadung sangat terbantu dengan adanya dome pengering yang difasilitasi Swaraowa beberapa waktu lalu. Sesudah kering pasca penjemuran ini, barulah umbi gadung bisa diproses untuk dijadikan tepung. Dengan cara ditumbuk hingga halus, lalu diayak.

Tepung gadung yang dihasilkan memiliki aroma dan rasa khas, dan teksturnya sedikit kasar. Tepung gadung bisa digunakan untuk membuat berbagai olahan berbahan dasar tepung pada umumnya, seperti: kerupuk, brownies, kue lapis, bahkan menjadi nasi tiwul gadung seperti yang kami sajikan pada saat pemotongan tumpeng sebagai penanda launching produk.

Bukan tidak mungkin akan muncul inovasi-inovasi olahan umbi gadung lain yang akan muncul di masa yang akan datang. Atau bahkan akan muncul olahan keanekaragaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari hutan Desa Mendolo yang lain lagi. Hutan Mendolo kaya dengan potensi.

Selain keanekaragaman hayati pangan lokal, masih ada juga fauna yang banyak jenisnya. Satwa-satwa penghuni hutan Desa Mendolo sangat menarik untuk diperbincangkan, dan keunikan hutan Desa Mendolo adalah menjadi tempat hidup bagi lima satwa primata jawa, yaitu: Owa jawa (Hylobates moloch), Lutung jawa (Trachypithecus auratus), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Rek-rekan (Prebytis comata fredericae), Kukang jawa (Nycticebus javanicus).

Tentunya, perayaan Hari Pangan Sedunia ini bisa menjadi salah satu langkah awal bagi kami para warga Desa Mendolo untuk tetap menjaga kelestarian hutan dan hidup berdampingan dengan semua makhluk hidup yang ada di dalamnya. Harapan kami adalah tetap terjaganya kelestarian hutan Desa Mendolo yang selama ini menjadi sumber penghidupan kami serta warga desa lain yang juga ikut mendapatkan manfaatnya. Dengan terjaganya kelestarian dan keanekaragaman hayati hutan, alam akan memberikan kita banyak manfaat untuk kehidupan sekarang dan masa depan.

Ucapan terimakasih kepada Pemerintah Desa Mendolo, SwaraOwa, Indonesia Dragonfly Society, dan Green Community yang sudah ikut berkolaborasi dalam acara perayaan Hari Pangan Sedunia tahun 2024. Tak lupa kepada seluruh warga Desa Mendolo, Sanggar Seni Puspita Sari, dan Sanggar Seni Chandra Laras yang sudah ikut meramaikan acara ini.

Wednesday, November 20, 2024

Gibbon Camp 2024, perayaan hari Owa sedunia

 Oleh : Nurlita Uswatun Khasanah dan Dinka Aulia Nurul Ikhsan

lokasi camping

Setiap tanggal 24 Oktober diperingati sebagai Hari Owa Sedunia. Hal tersebut sebagai bentuk pengingat pentingnya keberadaan jenis satwa ini. Peran ekologis sebagai penyebar biji di hutan yang begi tu penting menjadikan satwa ini sangat perlu dijaga kelestariannya. Owa jawa sebagai primata endemik jawa juga mempunyai nilai sosial sebagai indentitas global. Oleh karena itu, Kelompok Pengamat, Peneliti, dan Pemerhati Primata (KP3 Primata) UGM bekerja sama dengan SwaraOwa menyelenggarakan acara Gibbon Camp ini sebagai bagian acara peringatan Hari Owa Sedunia.

Tujuan acara ini adalah 1) untuk kampanye menyuarakan dan juga menyebarluaskan kesadaran konservasi kepada khalayak dan khususnya untuk anggota KP3 Primata terkait dengan Konservasi Owa. 2)Meninformasikan status keberadaan Owa dan habitat aslinya kepada khalayak umum.

Tanggal 1-3 November 2024, bertempat di Welo Asri sebanyak 15 peserta gibbon camp berkumpul di area camping ground welo asri, desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono. Acara dibuka oleh ketua pokdarwis WeloAsri mas Muhammad Kuswoto dan pengantar diskusi  dan pengenalan konservasi Owa di Petungkriyono dari Swaraowa oleh  mas Wawan.

Peserta Gibbon Camp 2024

Tanggal 2 November pengamatan dilakukan dengan jalan kaki sepanjang kuranglebih 2-3 km dari Sokokembang ke Kroyakan, dibagi menjadi tiga kelompok yang masing kelompok ada setidaknya 5 orang dengan 1 guide dari swaraOwa. Dimulai dari jam 6.30 hingga jam 9.30 menjumpai 4 individu Rekrekan ( Presbytis fredericae), 14 individu Lutung jawa ( Trachypithecus auratus), dan 4 individu Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis). Siang hari dan sore hari karena hari hujan kegiatan pengamatan di hentikan.

Tanggal 3 November pengamatan dilakukan disekitar welo asri, dan sangat beruntung sekali kami bisa melihat Owa jawa,ada 3 kelompok owa yang kami amati dari sekitar welo asri, dengan total 9 individu. Mencatatkan jumlah individu owa teramati  terbanyak dalam waktu kurang lebih 2 jam, di satu lokasi.

Rekrekan ( Presbytis fredericae)

Owa Jawa ( Hylobates moloch)

Lutun Jawa ( Trachypithecus auratus)


Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis)

Pengamatan di Weloasri 

Laporan lengkap kegiatan gibbon Camp ini dapat di baca disini, terimakasih utuk swaraOwa dan semua pihak yang terlibat. Sampai jumpa di gibbon camp selanjutnya

Thursday, October 31, 2024

Kunjungan Sekolah : Pendidikan Konservasi untuk Generasi Muda

 Oleh Kurnia Ahmaddin


 Kunjungan kampanye konservasi bulan Oktober 2024 kami laksanakan dalam 2 rangkaian kegiatan. Peserta merupakan siswa SMA N 1 Batang yang tergabung dalam kelompok pecinta alam Gasmapala. Sejumlah 43 peserta mengikuti rangkaian acara yang kami mulai dengan acara pemberian materi mengenai pentingnya fungsi hutan, pentingnya Owa jawa dan satwa liar lain yang ada di hutan Petungkriyono. Pembekalan ini juga kami isi dengan materi etika pengamatan satwa liar dan cara identifikasi satwa liar yang akan mereka amati pada acara berikutnya. Pemberian materi ini dilaksanakan di Aula SMA 1 N Batang pada 8 Oktober 2024.

Rangkaian acara berikutnya adalah praktik pengamatan dan monitoring satwa liar yang dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2024 di Welo Asri. Peserta berkumpul untuk pembagian kelompok dan pembagian jalur pengamatan yang ada di hutan sekitar Kawasan wisata Welo Asri. Untuk follow up program pelatihan monitoring yang telah terlaksana untuk pemuda desa Kayu Puring, kami mengajak 5 peserta pelatihan untuk menjadi pendamping dalam pelaksaan kegiatan pada pagi hari tersebut. Pendamping bertugas untuk mengingatkan etika pengamatan satwa liar dan membantu dalam pencarian satwa liar yang dapat teramati selama pengamatan berlangsung.

Pematerian di kelas, SMA 1 Batang


pengamatan satwa di hutan ds.kayupuring

Peserta dibagi menjadi 4 kelompok dan berjalan menuju 2 jalur berbeda yang ada di Welo Asri. Perjumpaan dengan Lutung Jawa sepertinya menjadi primadona dalam agenda pengamatan kali ini. Hal ini dapat terlihat dari hasil presentasi masing-masing kelompok yang semuanya mempresentasikan perjumpaan dengan Lutung jawa. Namun perolehan hari itu tidak hanya Lutung, peserta juga dapat mendeskripsikan 5 jenis burung yang mereka jumpai selama pengamatan dengan baik. Terlepas dari jumlah yang belum banyak namun, deskripsi yang cukup runtut dari peserta yang baru pertama melakukan pengamatan satwa liar merupakan modal yang baik untuk kegiatan pengamatan kedepannya.

diskusi hasil pengamatan

Rangkaian acara kami tutup dengan foto Bersama setelah pembagian souvenir gelas Owa jawa kepada masing-masing peserta dan pendamping. Harapan besar dari kegiatan ini adalah muncul inisiasi terkait dengan kecintaan pada satwa liar yang ada di sekitar lingkungan para generasi muda. Adanya kegiatan serupa yang kontinyu agaknya diperlukan untuk menambah kepedulian satwa liar untuk tetap lestari di alamnya.

Tuesday, October 29, 2024

Wana-tani Desa Mendolo, Habitat Satwa langka Kukang Jawa

 

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus). foto  M.Yoga Saputra

Perkenalkan saya Muhammad Yoga Saputra, saya mahasiswa program studi Pengelolaan Hutan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saya bersama Ratna Dwi Setyowati melalui program beasiswa SwaraOwa tahun 2024 mendapat kesempatan penelitian untuk skripsi tentang Kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Kukang jawa merupakan satu dari tujuh jenis kukang yang hidup dan tersebar di Indonesia. Berdasarkan International Union of Conservation of Nature Resources (IUCN) Red List 2021, kukang jawa termasuk ke dalam kategori kritis atau critical endangered dan juga masuk ke dalam Appendix 1 oleh Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Kami mengamati populasi, persebaran, dan habitat kukang jawa di Hutan Mendolo, Lebakbarang, Pekalongan. Hutan Mendolo terletak di 4 dusun yaitu Sawahan, Mendolo Kulon, Mendolo Wetan, dan Krandegan. Pengamatan lapangan telah dilakukan pada minggu kedua-keempat bulan September 2024. Pengamatan kami tidak sendiri, kami ditemani oleh Paguyuban Petani Muda (PPM) Desa Mendolo yang senantiasa mendampingi kami dalam pengambilan data. Selama pengamatan, kami mendapati sebanyak 8 individu kukang jawa yang ada di Hutan Mendolo. Dalam keempat dusun yang ada di Desa Mendolo hanya Dusun Mendolo Wetan yang tidak ditemukan spesies kukang jawa. Pengamatan kami dimulai pada jam 19.30 – 24.00. Kami mengambil pengamatan malam dikarenakan kukang jawa merupakan hewan nokturnal dan ketika terkena senter maka mata dari kukang jawa mengeluarkan pancaran mata yang memudahkan mendapat keberadaan kukang jawa dibanding pengamatan siang hari. Kami menggunakan metode line transect atau transek garis, yang mana penempatan transek tersebut ditempatkan pada daerah yang diyakini terdapat keberadaan kukang jawa. Pada saat pengamatan di malam hari juga, kami mendapatkan beberapa spesies di Hutan Mendolo seperti Trenggiling sunda (Manis javanica), Rek-rekan (Presbytis fredericae), Babi celeng (Sus scrofa), Takur tulung-tumpuk (Megalaima javensis), Celepuk jawa (Otus angelinae), dan Kubung sunda (Galeopterus variegatus). Selain itu, pada pengamatan siang juga mendapati berbagai jenis spesies seperti Owa jawa (Hylobates moloch), Elang bido (Spilornis cheela), Elang hitam (Ictinaetus malaiensis), Cekakak batu (Lacedo pulchella) dan Lutung jawa (Trachypithecus auratus).

individu kukang di Mendolo. foto  M.Yoga Saputra

Kukang jawa adalah  hewan semi soliter . Hal tersebut dapat dilihat pada pengamatan kami yang hampir seluruh individu kukang jawa ditemukan hanya sendiri. Akan tetapi, ada salah satu kukang jawa tersebut ditemukan bersama anaknya. Pengamatan malam hari perlu ketelitian dan kesabaran karena terkadang kami salah mengidentifikasi ketika ada pancaran mata di pohon itu bahwa terdapat kukang jawa.  Akan tetapi, pada saat dilihat secara seksama pancaran mata itu bisa berasal dari luwak, bajing, tupai, maupun dari kubung sunda. Selain mengambil data populasi dan sebaran kami juga mengambil data habitat kukang jawa di Hutan Mendolo.

Pengambilan data habitat tersebut dilakukan pada siang hari dengan membuat beberapa plot untuk mengindentifikasi habitat kukang jawa di Hutan Mendolo. Habitat kukang jawa di Hutan Mendolo umumnya ditemukan pada tegakan kopi dan durian. Selain itu, kukang jawa dapat ditemukan pada pohon nangka dan pohon mengandung getah, dikarenakan makanan favorit kukang jawa merupakan getah yang dihasilkan dari ranting, batang, bunga, maupun dari daun. Seperti halnya pada tegakan kopi, kami melihat ranting daun kopi yang muda sering dimakan oleh kukang jawa tersebut.

Wednesday, October 16, 2024

Hari Pangan Sedunia 2024: Memaknai Biodiversitas Sebagai Akar Kedaulatan Pangan

 Oleh : Sidiq Harjanto

Mengolah umbi gadung

Sudah tiga tahun ini Swaraowa turut berpartisipasi dalam isu pangan, khususnya pangan lokal. Berawal dari seringnya berkegiatan di desa-desa di habitat Owajawa  lalu mendapat jamuan dari warga berupa aneka sayuran dan jamur yang dipetik dari hutan seperti: pakis, gorang, daun keji, kolang-kaling, gula aren, jamur kuping, jamur barat, dll. Semuanya enak dan sangat menggugah selera. Sedikit atau banyak, olahan-olahan pangan hutan itu telah menyeting ulang selera lidah kami, tim Swaraowa.

Kekaguman kami tentang pangan lokal terus berlanjut saat dipertemukan dengan olahan-olahan khusus dari jenis-jenis tumbuhan beracun seperti gadung dan keluwek. Bagaimana bisa, bahan yang awalnya mematikan itu diolah menjadi pangan yang lezat dan sangat aman dikonsumsi. Ini menunjukkan kejeniusan masyarakat kita dalam hal penyediaan pangan.

buzz pollinator

Jika dipotret lebih luas, kami melihat adanya irisan antara kepentingan pelestarian hutan yang awalnya sebagai habitat owa jawa dan aneka satwa liar dengan kepentingan masyarakat atas hutan dalam konteks pemanfaatan pangan. Kami ingin hutan lestari, demikian juga warga. Maka atas dasar itulah, dua kepentingan itu mesti dipadukan. Dimulai dari Desa Mendolo, kami bersama masyarakat mulai memetakan potensi pangan yang tersimpan di dalam hutan. Hasilnya, lebih dari 80 jenis tumbuhan dan jamur yang lazim dimanfaatkan oleh warga.

Dari pemetaan potensi itu lalu berkembanglah menjadi berbagai program kolaborasi seperti pengembangan produk turunan, pembuatan demplot pangan lokal yang dikombinasikan dengan budidaya lebah trigona, dan pengembangan wisata experience berbasis biodiversitas pangan. Muaranya nanti adalah bersama-sama menemukan equilibrium antara daya dukung lingkungan dengan kesejahteraan masyarakat.

Pangan yang tak sesederhana apa yang tersaji di meja-meja makan kita

Pangan ternyata tidak sesederhana sekadar nutrisi penopang kehidupan. Pangan juga dimaknai sebagai entitas ekonomi karena banyak komoditi pangan yang diperjual belikan. Pangan juga merupakan entitas pertahanan karena menjadi salah satu parameter utama dalam menilai seberapa kuat sebuah bangsa. Pangan juga merupakan simbol budaya, bisa dilihat dari keunikan dan kekhasan kuliner yang muncul dari setiap peradaban.

mengumpulkan bahan pangan dari hutan "ngramban"

Tak jarang tanpa sadar kita terjebak pada perspektif sempit bahwa pangan sebatas sumber karbohidrat atau sering disebut pangan pokok seperti beras, gandum, dan jagung. Padahal menurut Codex Alimentarius, pangan (food) didefinisikan sebagai segala bahan, baik yang diolah, setengah jadi, atau mentah, yang ditujukan untuk konsumsi manusia, dan termasuk minuman, permen karet, dan bahan apa pun yang telah digunakan dalam pembuatan, penyiapan atau pengolahan “makanan”, tetapi tidak termasuk kosmetik, atau tembakau, atau zat yang hanya digunakan sebagai obat.

Merujuk pada definisi tersebut, maka bahan minuman seperti kopi dan teh yang banyak dibudidayakan para petani kita itu juga termasuk kategori pangan. Begitupun dengan madu, aneka rempah-rempah, maupun aneka empon-empon yang lazim ada dalam wadah bumbu dapur. Juga bahan anorganik seperti garam. Pangan menjadi sangat beranekaragam dan tentu saja membawa kerumitan tersendiri.

daun pakis untuk sayur

Ada ungkapan yang sering kita dengar: “Kalau belum makan nasi, rasanya belum makan.” Dari ungkapan ini tersirat bahwa kita sudah sedemikian tergantung dengan padi sebagai bahan nasi. Bangsa lain mungkin saja mengalami hal serupa, dengan komoditi yang berbeda. Mungkin gandum, atau jagung. Padahal, berbicara sumber karbohidrat, sangat banyak alternatif tersedia. Mulai dari aneka umbi-umbian, tepung sagu, hingga buah-buahan seperti sukun.

Banyak varietas atau bahkan spesies pangan yang akhirnya sudah jarang dijumpai, sebagian lainnya tidak pernah termanfaatkan secara optimal. Itu semua terjadi karena semakin jarang dimanfaatkan dan pengetahuan kita pun akhirnya terputus. Sebagai negara megabiodiversitas, seyogyanya kita jangan tergantung dengan beras dan pangan yang umum tersedia di pasaran. Kita mesti mengoptimalkan potensi biodiversitas pangan yang kita miliki. Itulah kedaulatan pangan. Sains sendiri telah menyatakan bahwa semakin terdiversivikasi bahan yang kita makan, semakin baik bagi tubuh kita.

Kolangkalin buah aren, makanan Owa Jawa


Mengolah nira Aren menjadi Gula

Biodiversitas pangan sebagai bagian dari sistem alam

Setelah kita mencapai kesadaran tentang betapa kayanya potensi pangan yang kita miliki, tidak hanya berhenti di situ saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan mengenai bagaimana proses menghasilkannya. Keanekaragaman pangan berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati. Misalnya, ada jasa makhluk-makhluk hidup lain yang saling menopang dalam proses pembudidayaan pangan.

Sayangnya, peran dan jasa alam dalam produksi pangan ini jarang kita perhatikan. Misalnya jasa burung dan laba-laba yang mengendalikan populasi serangga hama, atau lebah dan tawon yang membantu proses penyerbukan. Belum lagi cacing dan mikrobia yang sangat penting dalam menjaga kesuburan tanah di mana aneka tanaman pangan itu tumbuh. Semakin kecil wujudnya, semakin tak mendapat perhatian.

Seiring dengan pergeseran paradigma yang memandang alam sebagai sebuah sistem besar, kiranya kita perlu menata kembali cara-cara kita dalam menghasilkan pangan. Pendekatan-pendekatan yang bersifat mekanistis-reduksionis dalam bidang pertanian perlu diganti dengan pendekatan sistemis, yang menempatkannya menjadi bagian sistem alam. Implementasi sederhananya, prinsip kehati-hatian perlu kita kedepankan, misalnya dalam penggunaan pupuk kimia sintetis, pestisida, hormon-hormon pemacu, dan rekayasa genetika.

Turut merayakan hari pangan sedunia

Hari ini, 16 Oktober 2024 bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia kami mengajak kepada para khalayak untuk merayakan keragaman hayati pangan yang kita miliki dengan cara mengenali, mengapresiasi, dan mulai mempertimbangkan untuk memasukkan pangan-pangan lokal yang dihasilkan petani lokal dengan cara-cara yang berkelanjutan sebagai bagian dari menu makan kita sehari-hari.

Terakhir, saya kutip perkataan Masanobu Fukuoka, seorang praktisi ‘pertanian alami’ dari Jepang: “Jika kita mengalami krisis pangan, bukanlah disebabkan oleh daya produktifitas alam yang tidak mencukupi, melainkan oleh keinginan manusia yang berlebih-lebihan.” 

Saturday, October 12, 2024

Lomba kamera jebak : inventarisasi keanekargamanhayati Desa Mendolo

 Oleh : Kurnia Ahmaddin

hadiah lomba, seekor kambing

Hutan pegunungan Pekalongan merupakan salah satu kantung biodiversitas yang terisa di Pulau Jawa bagian tengah. Namun, perubahan fungsi lahan dan fragmentasi hutan masih mengancam kelestarian satwa yang hidup di dalamnya (Setiawan et al, 2012). Survei terakhir mengenai fragmentasi hutan di kawasan ini, menunjukkan adanya potensi penurunan struktur blok utama hutan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Widyastuti et al, 2023). Untuk menekan laju kerusakan habitat ini, edukasi dan monitoring satwa liar pada tingkat komunitas  masyarakat di sekitar blok hutan diperlukan (Horwich & Lyon, 2007).

Kami bekerjasama dengan PPM Mendolo, sebagai salah satu komunitas lokal di Kawasan ini berinisiatif untuk mengajak warga desa Mendolo dalam mengenal dan memonitoring satwa liar yang ada di desa mereka. Lebih lanjut kami mengemas kedua tujuan tersebut dalam bentuk kompetisi keanekaragaman hayati untuk mendorong warga sekitar hutan mendokumentasikan dan mengenali satwa liar. Lomba ini diikuti oleh perwakilan masyarakat dari tiap-tiap dukuh di Desa Mendolo untuk memasang kamera jebak (camera trap). Kegiatan lomba dilaksanakan sejak 8 Agustus hingga 18 September 2024 dengan total 25 hari pemasangan. Pada akhir rangkaian acara lomba, kami  memberikan hewan ternak sebagai apresiasi partisipasi kepada seluruh peserta.

monyet ekor panjang

Sebagai langkah awal dalam memperluas kepedulian satwa liar kepada masyarakat luas kegiatan ini mendapatkan antusian yang cukup besar dari masyarakat. Dalam jangka waktu 25 hari tercatat 16 titik  kamera jebak yang dipasang secara mandiri oleh 11 orang dari perwakilan seluruh dukuh. Kami telah membekali peserta pada awal pelaksanaan lomba mengenai cara pemasangan dan penggunaan kamera jebak serta aplikasi ‘kobotoolbox’ untuk mencatat informasi spasial. Penghitungan poin kami tetapkan dengan poin harian dari perolehan gambar satwa. Sedangkan  besar nilai satwa yang diperoleh kami membuat rangking jenis satwa berdasarkan pada tingkat kesulitan perjumpaan satwa tersebut. Semakin sulit perjumpaan dengan satwa maka poin yang diperoleh akan semakin besar.

Kijang

Hasil perolehan gambar satwa liar yang tertangkap kamera trap juga menarik mereka mampu merekam Rekrekan (Presbytis fredericae), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa), Pelanduk kancil (Tragulus kanchil), Landak Jawa (Hystrix javanica), Garangan Jawa (Urva javanica), 2 jenis bajing, 1 jenis tupai dan 1 jenis tikus. Dukuh yang berhak menyandang juara ke-1 adalah dukuh Sawahan dan Mendolo Kulon karena perolehan poin kedua dukuh tersebut sama. Sedangkan juara ke-2 adalah dukuh Mendolo Kulon dan Kradegan sebagai juara ke-3. Apresiasi untuk juara 1 kami memberikan 1 ekor kambing untuk masing-masing dukuh. Kami juga memberikan 2 pasang mentok untuk dukuh Mendolo Kulon dan 6 pasang ayam kampung untuk dukuh kradegan.   

Kancil



pemasangan kamera jebak

Menutup acara lomba kami melakukan evaluasi pemasangan kamera dan melihat perolehan hasil gambar bersama di kantor desa Mendolo. Acara dibuka oleh ketua PPM Mendolo selaku perwakilan penyelenggara dilanjutkan sambutan oleh bapak Kaliri selaku kepala Desa Mendolo. Sebagai penutup kami melakukan sedikit diskusi mengenai fungsi satwa liar di alam dan dilanjutkan dengan pembagian hadiah lomba. Rangkaian acara ini dapat terselenggara dengan baik dengan inisiatif dari komunitas lokal dan dukungan dari pemerintah desa. Dari langkah kecil ini besar harapan kami agar desa Mendolo menjadi salah satu desa ramah satwa liar di Indonesia, dengan mengenali keanekaraman hayati di sekitar desa, menginventarisasi berarti juga melindungi potensi aset atau kekayaan desa itu sendiri.

 Daftar pustaka

Setiawan, A., Nugroho, T. S., Wibisono, Y., Ikawati, V., & Sugardjito, J. (2012). Population density and distribution of javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas, 13(1), 23–27.https://doi.org/10.13057/biodiv/d130105

Widyastuti, Salmah., Farajallah, Dyah P., Lilik, B. P., Iskandar, Entang. 2023. The Javan Gibbon (Hylobates moloch) Habitat Changes and Fragmentation in the Dieng Mountains, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 29(2), 150-160, August 2023

Horwich, Robert H and Lyon, Jonathan. 2007. Community conservation: practitioners’ answer to critics. FFI: Oryx, 41(3), 376–385



Tuesday, October 1, 2024

Memperkaya variasi komoditas Habitat Owa jawa : Umbi Gadung (Dioscorea hispida)

 Penulis: Sidiq Harjanto

Panen Gadung
“Kaum laki-laki yang identik dengan maskulinitas selama ini masih mendominasi gerakan konservasi alam. Padahal, perempuan memiliki potensi besar menyumbangkan kontribusi bagi aksi-aksi konservasi melalui terobosan-terobosan baru yang tidak terpikirkan oleh kaum laki-laki. Gerakan konservasi perlu menyediakan ruang yang cukup bagi feminitas untuk masuk dan memberi warna baru.”

Bermula dari lebah

Pengembangan budidaya lebah di desa penyangga habitat owa jawa membawa kami pada gagasan untuk memasyarakatkan aktivitas ini ke sebanyak mungkin kalangan masyarakat. Pada Agustus 2022, untuk pertama kalinya kami memperkenalkan budidaya lebah kepada kaum perempuan di Dusun Sawahan, Desa Mendolo. Lebah nirsengat, atau secara lokal dikenal sebagai klanceng dipilih karena sangat aman bagi siapa saja dan relatif mudah dibudidaya.

Perkenalan dengan lebah mendorong beberapa ibu di Sawahan memproklamirkan sebuah kelompok yang diberi nama Kelompok Wanita Tani “Brayan Urip” sekira setahun kemudian. Kelompok ini aktif mengelola isu pangan dan berupaya mengintegrasikannya dengan budidaya klanceng, lebah mungil yang sangat berjasa dalam penyerbukan aneka tanaman. Sebuah kebun pangan sekaligus kebun budidaya klanceng dikelola oleh kelompok ini, setahun belakangan.

Kaum perempuan di Desa Mendolo, dan di banyak desa lainnya, memiliki relasi yang kuat dengan hutan. Relasi ini bisa berupa pemanfaatan pangan dari tumbuh-tumbuhan liar, penggunaan tanaman obat tradisional, dan bahkan pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk kemudian dijual sebagai tambahan pemasukan keluarga. Tak jarang, keahlian atau keterampilan tertentu dalam pemanfaatan sumber daya hutan hanya dimiliki oleh kaum perempuan.

Salah satu bentuk pemanfaatan HHBK oleh kaum perempuan adalah pemanenan umbi gadung. Umbi dengan nama latin Dioscorea hispida ini sejatinya beracun. Alih-alih bisa dikonsumsi secara langsung melalui metode memasak yang lazim, umbi ini diolah melalui proses yang panjang dan rumit untuk menetralisir racun sianida dan enzim dioscorin yang terkandung di dalamnya. Di Mendolo, pemanenan dan pengolahan umbi gadung ini nyaris sepenuhnya dilakukan oleh kaum perempuan.

Gadung (Dioscorea hispida) 

Gadung, salah satu identitas budaya Mendolo

Kasmali, sesepuh desa menuturkan bahwa pemanfaatan umbi gadung di Mendolo memiliki sejarah panjang. Pada masa perang, warga desa sering mengalami krisis pangan. Memanfaatkan aneka umbi-umbian hutan menjadi alternatif untuk memenuhi asupan nutrisi. Umbi gadung, salah satunya. Mereka mengolah gadung secara sederhana, sekadar menghilangkan racunnya. Umbi dikupas, dicacah ukuran kecil, direndam, lalu dikukus untuk dijadikan makanan sumber karbohidrat pengganti beras.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, muncul produk keripik gadung. Olahan ini mulai marak sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, orang-orang dari daerah lain datang ke Mendolo untuk memanen gadung sebagai bahan keripik. Dari merekalah, masyarakat Mendolo mendapatkan keahlian dan keterampilan mengolah gadung menjadi keripik yang diwariskan turun temurun dan bertahan hingga sekarang. Gadung bukan sekadar pangan biasa, tetapi sudah menjadi identitas budaya bagi Desa Mendolo.

Gadung terbaik tumbuh di hutan

Adalah Naroh, salah satu pemanen dan pengolah gadung menuturkan bahwa Ia harus berjalan kurang lebih satu kilometer dari rumahnya untuk mencapai area hutan di mana gadung tumbuh dengan subur. Medan yang ditempuhnya juga tak mudah karena banyak tanjakan terjal dan turunan yang curam di sepanjang perjalanan. Tak jarang, tanaman gadung tumbuh di lereng-lereng yang terjal.

Secara umum, tanaman gadung tidak menuntut tempat tumbuh yang spesifik untuk tumbuh. Gadung bisa tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Namun, berdasarkan pengalaman masyarakat di Sawahan, gadung dengan kualitas baik hanya tumbuh pada habitat yang masih berupa hutan alam. Meskipun tetap bisa tumbuh pada habitat lain, umumnya tak bisa menghasilkan umbi yang bagus dan layak untuk diolah menjadi bahan pangan.

Dibawah naungan hutan yang lumayan rapat, tanaman gadung cocok dengan tekstur tanah yang gembur dan kaya akan humus dari hasil dekomposisi serasah hutan. Jika tumbuh pada habitat yang ideal, batangnya bisa sebesar jari kelingking atau lebih besar lagi. Batang tanaman gadung yang berduri ini merambat pada pepohonan hutan. Ciri khasnya adalah arah putarannya ke kiri. Seringkali umbi ini tumbuh berdampingan dengan rotan dan aneka jenis tumbuhan merambat lainnya.

Sebuah proses panjang dari umbi hutan menjadi bahan pangan

proses pasca panen umbi gadung


Butuh waktu kira-kira sepuluh hari untuk menghasilkan keripik gadung yang aman dikonsumsi alias racunnya telah dinetralisir. Cuaca sangat menentukan, karena pengeringan matahari menjadi bagian penting dalam proses pengolahan. Secara garis besar, proses pengolahan gadung menjadi keripik terdiri dari: pemanenan – pengupasan – pengirisan – pemberian abu dapur – pemeraman (satu malam) – penjemuran pertama (3 hari) – perendaman dan pencucian (3 hari) – pengukusan – dan penjemuran kedua (3 hari).

Musim gadung berlangsung antara bulan Juli hingga Oktober. Pagi-pagi sekali, para ibu pemanen – lazimnya dalam kelompok-kelompok kecil, berangkat ke hutan untuk memanen gadung. Proses pemanenan relatif mudah dan tidak terlalu menyita waktu. Hanya perlu sedikit menggali tanah lalu mencongkel umbi-umbi gadung yang dirasa sudah cukup tua. Biasanya cukup dilihat dari ukurannya yang sudah besar, diameternya lebih dari 15 cm.

Pengupasan gadung dilakukan di hutan sesaat setelah dipanen dari pohonnya. Dengan dikupas terlebih dahulu, pengangkutannya menjadi jauh lebih ringan. Kulit yang dibuang relatif banyak, hampir 30% dari bobot umbi sebelum dikupas. Hal ini untuk menjaga agar umbi yang dibawa pulang benar-benar kualitas terbaik.

Proses selanjutnya dilakukan di kampung. Dimulai dengan memotong umbi menjadi Irisan-irisan tipis lalu melumurinya dengan abu dapur. Irisan gadung yang sudah dilumuri abu lalu diperam semalaman. Pagi berikutnya, irisan-irisan gadung dijemur. Penjemuran dilakukan sekira tiga hari, tergantung cuaca. Setelah cukup kering, lalu direndam dalam air mengalir. Secara periodik, rendaman gadung dicuci untuk menghilangkan abu yang melapisi.

Setelah benar-benar bersih, rendaman irisan gadung diangkat dan menjalani proses selanjutnya di dapur. Irisan gadung diberi bumbu, lalu dikukus. Terkadang, warga membuat sejenis perkedel dari gadung setelah selesai proses perendaman. Pada fase ini, racun dalam umbi gadung sudah dinetralkan sehingga aman untuk dimakan. Esok harinya, irisan umbi yang telah dikukus ini mulai dijemur. Kira-kira butuh waktu tiga hari untuk jadi keripik mentah siap goreng.

Pengolahan menjadi Krupuk Gadung

Sutri, salah satu warga yang masih melestarikan tradisi pemanenan gadung, menuturkan bahwa dalam setiap musim tak kurang 50 kilogram keripik gadung mentah Ia hasilkan. Gadung yang dihasilkannya itu dijual dengan kisaran harga Rp. 30.000,- per kilogram. “Bisa untuk menambah pemasukan, jadi saya semangat ke hutan kalau musim gadung tiba,” tuturnya.

Hal senada disampaikan Tarinah. Ia juga mengolah gadung untuk pemasukan tambahan bagi keluarganya. Meskipun sehari-hari telah bekerja sebagai karyawan pabrik di kota, namun Ia masih menyempatkan mengolah gadung saat ada waktu luang, terutama akhir pekan. Tentu ada alasan lain sehingga Ia rela mengeluarkan banyak tenaga untuk itu. Baginya yang sudah akrab dengan gadung sejak belia, mengolah gadung sudah menjadi kesenangan yang susah untuk dilewatkan.

Pengembangan produk turunan berbasis umbi gadung

Pada tahun ini, Kelompok Brayan Urip menjalankan program inovasi untuk menghasilkan produk turunan dari umbi gadung. Koordinator Kelompok Brayan Urip, Sri Windriyah menyampaikan bahwa pengembangan olahan umbi gadung ini sebagai upaya untuk meningkatkan nilai jual gadung dan menjadikannya produk unggulan yang dihasilkan kaum perempuan di Mendolo.

Jika selama puluhan tahun gadung diolah sebagai keripik saja, Sri dan kawan-kawannya berinovasi membuat kerupuk berbahan dasar gadung. Kerupuk diharapkan bisa meningkatkan segmen pasar. Salah satu pasar yang dibidik adalah generasi muda. “Generasi muda kurang begitu tertarik dengan keripik gadung. Inovasi produk kerupuk ini diharapkan bisa meningkatkan ketertarikan mereka. Kalau kerupuk kan bisa diberi aneka rasa, seperti udang, ikan, atau yang lainnya. Bisa buat cemilan atau untuk lauk,” terang Sri.

Produk lain yang juga sedang diuji coba adalah adalah tepung gadung. Jika uji coba ini berhasil, olahan pangan yang dihasilkan bisa jauh lebih bervariasi. Bukan tidak mungkin tepungnya dijadikan bahan baku aneka kue, biskuit, atau mie. Dengan begitu, pamor atau popularitas umbi gadung yang selama ini termarjinalkan bisa terangkat.

Umbi gadung menjadi potensi besar sektor HHBK yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pengembangan turunan gadung diharapkan bisa meningkatkan added value bagi salah satu produk hasil hutan yang telah diolah secara turun-temurun ini. Karena dominasi perannya dalam tradisi pengolahan gadung, perempuan memiliki kepentingan langsung dengan kelestarian dan keberlanjutan hutan Mendolo. Merawat tradisi dan memunculkan inovasi pemanfaatan gadung pada muaranya diharapkan juga menjadi sebentuk upaya menjaga keberadaan hutan di Desa Mendolo. Salam Lestari!

Monday, August 12, 2024

Mereguk Manisnya Budidaya Lebah di Desa penyangga habitat Owa Jawa

 

Rohim menunjukkan hasil panen madunya

oleh : Sidiq Harjanto

Datangnya musim kemarau pada pertengahan tahun 2024 membawa berkah bagi para peternak lebah klanceng di Desa Mendolo, Pekalongan. Semenjak bergulirnya program “Beekeeping for Gibbon Conservation” pada 2017, Swaraowa terus membersamai para peternak lebah klanceng untuk semakin mengoptimalkan manfaat lebah mungil nirsengat tersebut. Budidaya lebah menjadi tawaran alternatif ekonomi lestari bagi masyarakat di sekitar habitat owa jawa.

Adalah Tarjuki, sebagai perintis budidaya klanceng di desa Mendolo, pada bulan Juli lalu telah memanen belasan botol berkapasitas 450 ml. Senyum ceria menghias wajahnya saat berbagi cerita kepada kami. Madu sebanyak itu dipanen dari kotak-kotak klanceng yang ia taruh di beberapa lokasi kebunnya di Dusun Mendolo Wetan. Ia optimistis panenan tahun ini akan meningkat dibandingkan dengan panenan tahun lalu.

Kegiatan ibu-ibu di Kebun Brayan Urip


Senada dengan Tarjuki, Yukni Buhan seorang peternak lainnya juga memprediksi hasil panenan yang lebih melimpah musim ini.  Pemuda yang tinggal di Dusun Sawahan ini kini mengelola 9 kotak klanceng dari jenis Heterotrigona itama dan sekira 40 kotak Tetragonula laeviceps. “Koloni pertama yang saya pelihara ini didapat dari memasang perangkap pakai kotak kosong,” kenangnya sembari menunjukkan kotak kayu dengan lubang kecil yang dijejali lebah-lebah mungil hilir mudik keluar-masuk.

Ia pun telah memanen madu dari koloni-koloni itama-nya. Rata-rata satu kotak menghasilkan seliter madu. Sementara kotak-kotak laeviceps, jenis klanceng yang ukuran tubuhnya lebih kecil, akan dipanennya saat musim bunga durian, dua atau tiga bulan ke depan. Menurut pengalamannya, puncak-puncak musim madu itu saat musim bunga kayu babi (Crypteronia sp.), lalu bunga durian, dan terakhir saat musim bunga kayu sapi (Pometia pinnata) yaitu saat musim hujan tiba.

Yukni sedang panden madu
Yukni berencana untuk terus menambah kotak-kotak lebah kalnacengnya dengan teknik pemecahan koloni (splitting) dan pemasangan perangkap. Ditanya tentang kesiapan daya dukung lingkungan di lokasi budidaya, Yukni bertekad untuk terus menanam aneka tanaman yang mampu memperkaya ketersediaan pakan bagi lebah, termasuk kayu-kayu hutan.

Para peternak tidak hanya mendapatkan kemudahan pemanenan madu yang diperoleh dari usaha budidaya. Nusri Nurdin, peternak yang juga berprofesi sebagai pemanen madu lebah liar mendapatkan berkah lain. Selain memanen madu lebah hutan Apis dorsata, ia juga memanen madu klanceng liar sebagai sampingan. Di kalangan pemanen madu liar di Mendolo, pria yang akrab disapa Udin ini adalah salah satu yang paling pemberani. Ia tak ragu memanjat pohon-pohon tinggi yang dianggap ekstrem oleh kawan-kawan seprofesinya.

Bapak dua anak itu menuturkan bahwa semenjak maraknya budidaya yang dijalankan warga Mendolo, ia semakin mudah mendapatkan koloni lebah klanceng liar. Ia menduga seiring terus bertambahnya koloni yang dipelihara membuat populasi lebah klanceng di alam juga semakin terjaga. “Saya sudah panen tujuh koloni klanceng pada musim ini. Semuanya kini telah di pindahkan ke dalam kotak,” katanya.

Pendampingan Swaraowa untuk kegiatan budidaya lebah
Tujuh tahun yang lalu, kondisinya sangat berbeda. Kala itu, para pemanen lebah klanceng liar masih melakukan pemanenan yang tidak berkelanjutan. Mereka membongkar sarang untuk mengambil madu lalu meninggalkannya begitu saja sehingga koloni musnah. Tak terhitung berapa banyak koloni lebah yang hilang. Tentu saja, kita juga kehilangan manfaat para lebah sebagai serangga penyerbuk.

Melalui serangkaian program pelatihan, para pemanen madu klanceng liar diarahkan untuk menyelamatkan koloni lebah liar yang dipanen dari alam. Koloni-koloni dipindahkan ke dalam kotak untuk dibudidayakan. Cara-cara berkelanjutan juga diperkenalkan, seperti teknik pemecahan koloni, pencangkokan, dan pemasangan kotak perangkap.

Pembibitan kayu sapi, salah satu sumber bunga untuk lebah
Kini, tak kurang 25 orang warga Mendolo telah menjalankan usaha budidaya lebah klanceng dan menikmati manisnya usaha yang ramah lingkungan ini. Jumlah koloni yang dipelihara masing-masing peternak bervariasi. Namun, rata-rata tak kurang dari 5 kotak. Sebagian bahkan sudah lebih dari 20 kotak.

Jika para bapak dan pemuda cenderung membudidaya untuk memproduksi madu, hal berbeda dilakukan kelompok perempuan di Dusun Sawahan. Mereka yang menamakan diri “Kelompok Brayan Urip” ini memelihara lebah untuk mengoptimalkan jasa penyerbukan. Di sebidang tanah yang ditanami aneka sayur mayur, kotak-kotak klanceng dari jenis Tetragonula laeviceps ditempatkan.

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa spesies klanceng berukuran kecil ini efektif membantu penyerbukan tanaman sayur seperti cabai. “Untuk tanaman cabai yang tanpa dipupuk dan tanpa perawatan intensif, hasilnya lumayan,” terang Sri Windriyah yang dipercayai sebagai ketua kelompok. Hasil panen dari kebun kolektif itu dijual dengan harga murah ke anggota untuk kebutuhan rumah tangga masing-masing. Keuntungannya disisihkan sebagai uang simpanan kelompok.

Bersebelahan dengan kebun sayur yang dikelola Kelompok Brayan Urip, sebuah persemaian sederhana tampak dijejali ratusan polybag berisi bibit aneka jenis tanaman. Kesadaran bahwa budidaya lebah membutuhkan lingkungan yang mendukung, terutama keberadaan hutan, mendorong komunitas peternak lebah untuk melakukan gerakan menanam. Untuk itulah persemaian ini dibuat, sebagai penyuplai kebutuhan bibit.

Rohim selaku penanggungjawab pembibitan di Sawahan menuturkan bahwa tahun ini persemaian yang dikelolanya akan menyediakan setidaknya 700 batang bibit kayu hutan seperti kayu sapi (Pometia pinnata), kayu babi (Crypteronia sp), klepu, manggis, dan salam. Ratusan batang bibit itu disiapkan untuk ditanam saat musim penghujan nanti.

“Tahun kemarin, dua ratusan batang bibit tanaman pucung telah tertanam di sepanjang alur-alur sungai di Dusun Sawahan ini,” kata Rohim. Penanaman dua ratusan bibit tanaman pucung (Pangium edule) itu dilakukan secara partisipatif. Sekira 20 orang petani menyediakan lahannya untuk ditanami. Warga semakin termotivasi untuk giat menanam setelah merasakan kekurangan air dampak fenomena el-nino tahun kemarin.

 Bagi Swaraowa, keterlibatan dalam kolaborasi program penanaman ini merupakan bentuk upaya untuk meningkatkan kualitas habitat bagi primata maupun hidupan liar lainnya. Desa Mendolo sendiri merupakan habitat bagi lima jenis primata jawa: owa jawa, lutung jawa, rekrekan, monyet ekor panjang, dan kukang jawa. Format konservasi dengan membuka ruang bagi masyarakat sebagai subjek utama telah dimulai dari desa ini.