Oleh : Sidiq Harjanto
Mengolah umbi gadung |
Sudah tiga tahun ini Swaraowa turut berpartisipasi dalam isu pangan, khususnya pangan lokal. Berawal dari seringnya berkegiatan di desa-desa di habitat Owajawa lalu mendapat jamuan dari warga berupa aneka sayuran dan jamur yang dipetik dari hutan seperti: pakis, gorang, daun keji, kolang-kaling, gula aren, jamur kuping, jamur barat, dll. Semuanya enak dan sangat menggugah selera. Sedikit atau banyak, olahan-olahan pangan hutan itu telah menyeting ulang selera lidah kami, tim Swaraowa.
Kekaguman
kami tentang pangan lokal terus berlanjut saat dipertemukan dengan
olahan-olahan khusus dari jenis-jenis tumbuhan beracun seperti gadung dan keluwek. Bagaimana bisa, bahan yang
awalnya mematikan itu diolah menjadi pangan yang lezat dan sangat aman
dikonsumsi. Ini menunjukkan kejeniusan masyarakat kita dalam hal penyediaan
pangan.
buzz pollinator |
Jika dipotret lebih luas, kami melihat adanya irisan antara kepentingan pelestarian hutan yang awalnya sebagai habitat owa jawa dan aneka satwa liar dengan kepentingan masyarakat atas hutan dalam konteks pemanfaatan pangan. Kami ingin hutan lestari, demikian juga warga. Maka atas dasar itulah, dua kepentingan itu mesti dipadukan. Dimulai dari Desa Mendolo, kami bersama masyarakat mulai memetakan potensi pangan yang tersimpan di dalam hutan. Hasilnya, lebih dari 80 jenis tumbuhan dan jamur yang lazim dimanfaatkan oleh warga.
Dari pemetaan potensi itu lalu berkembanglah menjadi berbagai program kolaborasi seperti pengembangan produk turunan, pembuatan demplot pangan lokal yang dikombinasikan dengan budidaya lebah trigona, dan pengembangan wisata experience berbasis biodiversitas pangan. Muaranya nanti adalah bersama-sama menemukan equilibrium antara daya dukung lingkungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Pangan yang tak sesederhana apa yang tersaji di
meja-meja makan kita
Pangan
ternyata tidak sesederhana sekadar nutrisi penopang kehidupan. Pangan juga
dimaknai sebagai entitas ekonomi karena banyak komoditi pangan yang diperjual
belikan. Pangan juga merupakan entitas pertahanan karena menjadi salah satu
parameter utama dalam menilai seberapa kuat sebuah bangsa. Pangan juga
merupakan simbol budaya, bisa dilihat dari keunikan dan kekhasan kuliner yang
muncul dari setiap peradaban.
mengumpulkan bahan pangan dari hutan "ngramban" |
Tak jarang tanpa sadar kita terjebak pada perspektif sempit bahwa pangan sebatas sumber karbohidrat atau sering disebut pangan pokok seperti beras, gandum, dan jagung. Padahal menurut Codex Alimentarius, pangan (food) didefinisikan sebagai segala bahan, baik yang diolah, setengah jadi, atau mentah, yang ditujukan untuk konsumsi manusia, dan termasuk minuman, permen karet, dan bahan apa pun yang telah digunakan dalam pembuatan, penyiapan atau pengolahan “makanan”, tetapi tidak termasuk kosmetik, atau tembakau, atau zat yang hanya digunakan sebagai obat.
Merujuk
pada definisi tersebut, maka bahan minuman seperti kopi dan teh yang banyak
dibudidayakan para petani kita itu juga termasuk kategori pangan. Begitupun
dengan madu, aneka rempah-rempah, maupun aneka empon-empon yang lazim ada dalam
wadah bumbu dapur. Juga bahan anorganik seperti garam. Pangan menjadi sangat
beranekaragam dan tentu saja membawa kerumitan tersendiri.
daun pakis untuk sayur |
Banyak varietas
atau bahkan spesies pangan yang akhirnya sudah jarang dijumpai, sebagian
lainnya tidak pernah termanfaatkan secara optimal. Itu semua terjadi karena semakin
jarang dimanfaatkan dan pengetahuan kita pun akhirnya terputus. Sebagai negara
megabiodiversitas, seyogyanya kita jangan tergantung dengan beras dan pangan
yang umum tersedia di pasaran. Kita mesti mengoptimalkan potensi biodiversitas
pangan yang kita miliki. Itulah kedaulatan pangan. Sains sendiri telah
menyatakan bahwa semakin terdiversivikasi bahan yang kita makan, semakin baik
bagi tubuh kita.
Kolangkalin buah aren, makanan Owa Jawa |
Mengolah nira Aren menjadi Gula |
Biodiversitas pangan sebagai bagian dari sistem alam
Setelah
kita mencapai kesadaran tentang betapa kayanya potensi pangan yang kita miliki,
tidak hanya berhenti di situ saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan mengenai
bagaimana proses menghasilkannya. Keanekaragaman pangan berkaitan erat dengan
keanekaragaman hayati. Misalnya, ada jasa makhluk-makhluk hidup lain yang
saling menopang dalam proses pembudidayaan pangan.
Sayangnya, peran
dan jasa alam dalam produksi pangan ini jarang kita perhatikan. Misalnya jasa
burung dan laba-laba yang mengendalikan populasi serangga hama, atau lebah dan
tawon yang membantu proses penyerbukan. Belum lagi cacing dan mikrobia yang sangat
penting dalam menjaga kesuburan tanah di mana aneka tanaman pangan itu tumbuh.
Semakin kecil wujudnya, semakin tak mendapat perhatian.
Seiring
dengan pergeseran paradigma yang memandang alam sebagai sebuah sistem besar,
kiranya kita perlu menata kembali cara-cara kita dalam menghasilkan pangan.
Pendekatan-pendekatan yang bersifat mekanistis-reduksionis dalam bidang
pertanian perlu diganti dengan pendekatan sistemis, yang menempatkannya menjadi
bagian sistem alam. Implementasi sederhananya, prinsip kehati-hatian perlu kita
kedepankan, misalnya dalam penggunaan pupuk kimia sintetis, pestisida,
hormon-hormon pemacu, dan rekayasa genetika.
Turut merayakan hari pangan sedunia
Hari ini,
16 Oktober 2024 bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia kami mengajak kepada para
khalayak untuk merayakan keragaman hayati pangan yang kita miliki dengan cara
mengenali, mengapresiasi, dan mulai mempertimbangkan untuk memasukkan
pangan-pangan lokal yang dihasilkan petani lokal dengan cara-cara yang
berkelanjutan sebagai bagian dari menu makan kita sehari-hari.
Terakhir,
saya kutip perkataan Masanobu Fukuoka, seorang praktisi ‘pertanian alami’ dari
Jepang: “Jika kita mengalami krisis pangan, bukanlah disebabkan oleh daya
produktifitas alam yang tidak mencukupi, melainkan oleh keinginan manusia yang
berlebih-lebihan.”
No comments:
Post a Comment