Penulis: Sidiq Harjanto
Panen Gadung |
Bermula dari lebah
Pengembangan budidaya
lebah di desa penyangga habitat owa jawa membawa kami pada gagasan untuk
memasyarakatkan aktivitas ini ke sebanyak mungkin kalangan masyarakat. Pada
Agustus 2022, untuk pertama kalinya kami memperkenalkan budidaya lebah kepada
kaum perempuan di Dusun Sawahan, Desa Mendolo. Lebah nirsengat, atau secara
lokal dikenal sebagai klanceng dipilih karena sangat aman bagi siapa saja dan
relatif mudah dibudidaya.
Perkenalan dengan
lebah mendorong beberapa ibu di Sawahan memproklamirkan sebuah kelompok yang
diberi nama Kelompok Wanita Tani “Brayan Urip” sekira setahun kemudian.
Kelompok ini aktif mengelola isu pangan dan berupaya mengintegrasikannya dengan
budidaya klanceng, lebah mungil yang sangat berjasa dalam penyerbukan aneka
tanaman. Sebuah kebun pangan sekaligus kebun budidaya klanceng dikelola oleh
kelompok ini, setahun belakangan.
Kaum perempuan di Desa
Mendolo, dan di banyak desa lainnya, memiliki relasi yang kuat dengan hutan.
Relasi ini bisa berupa pemanfaatan pangan dari tumbuh-tumbuhan liar, penggunaan
tanaman obat tradisional, dan bahkan pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
untuk kemudian dijual sebagai tambahan pemasukan keluarga. Tak jarang, keahlian
atau keterampilan tertentu dalam pemanfaatan sumber daya hutan hanya dimiliki
oleh kaum perempuan.
Salah satu bentuk
pemanfaatan HHBK oleh kaum perempuan adalah pemanenan umbi gadung. Umbi dengan
nama latin Dioscorea hispida ini
sejatinya beracun. Alih-alih bisa dikonsumsi secara langsung melalui metode
memasak yang lazim, umbi ini diolah melalui proses yang panjang dan rumit untuk
menetralisir racun sianida dan enzim dioscorin yang terkandung di dalamnya. Di
Mendolo, pemanenan dan pengolahan umbi gadung ini nyaris sepenuhnya dilakukan
oleh kaum perempuan.
Gadung (Dioscorea hispida) |
Gadung, salah satu identitas budaya Mendolo
Kasmali, sesepuh desa
menuturkan bahwa pemanfaatan umbi gadung di Mendolo memiliki sejarah panjang. Pada
masa perang, warga desa sering mengalami krisis pangan. Memanfaatkan aneka
umbi-umbian hutan menjadi alternatif untuk memenuhi asupan nutrisi. Umbi
gadung, salah satunya. Mereka mengolah gadung secara sederhana, sekadar
menghilangkan racunnya. Umbi dikupas, dicacah ukuran kecil, direndam, lalu
dikukus untuk dijadikan makanan sumber karbohidrat pengganti beras.
Dalam perjalanan
sejarah selanjutnya, muncul produk keripik gadung. Olahan ini mulai marak sejak
tahun 1950-an. Pada waktu itu, orang-orang dari daerah lain datang ke Mendolo
untuk memanen gadung sebagai bahan keripik. Dari merekalah, masyarakat Mendolo
mendapatkan keahlian dan keterampilan mengolah gadung menjadi keripik yang
diwariskan turun temurun dan bertahan hingga sekarang. Gadung bukan sekadar
pangan biasa, tetapi sudah menjadi identitas budaya bagi Desa Mendolo.
Gadung terbaik tumbuh di hutan
Adalah Naroh, salah
satu pemanen dan pengolah gadung menuturkan bahwa Ia harus berjalan kurang
lebih satu kilometer dari rumahnya untuk mencapai area hutan di mana gadung
tumbuh dengan subur. Medan yang ditempuhnya juga tak mudah karena banyak
tanjakan terjal dan turunan yang curam di sepanjang perjalanan. Tak jarang, tanaman gadung tumbuh di lereng-lereng yang
terjal.
Secara umum, tanaman gadung tidak menuntut tempat tumbuh yang spesifik untuk tumbuh. Gadung bisa tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Namun,
berdasarkan pengalaman masyarakat di Sawahan, gadung dengan kualitas baik hanya
tumbuh pada habitat yang masih berupa hutan alam. Meskipun tetap bisa tumbuh
pada habitat lain, umumnya tak bisa menghasilkan umbi yang bagus dan layak
untuk diolah menjadi bahan pangan.
Dibawah naungan hutan
yang lumayan rapat, tanaman gadung cocok dengan tekstur tanah yang gembur dan
kaya akan humus dari hasil dekomposisi serasah hutan. Jika tumbuh pada habitat
yang ideal, batangnya bisa sebesar jari kelingking atau lebih besar lagi. Batang
tanaman gadung yang berduri ini merambat pada pepohonan hutan. Ciri khasnya
adalah arah putarannya ke kiri. Seringkali umbi
ini tumbuh berdampingan dengan rotan dan aneka jenis tumbuhan merambat lainnya.
Sebuah proses panjang dari umbi hutan menjadi bahan pangan
proses pasca panen umbi gadung
Butuh waktu kira-kira
sepuluh hari untuk menghasilkan keripik gadung yang aman dikonsumsi alias
racunnya telah dinetralisir. Cuaca sangat menentukan, karena pengeringan matahari
menjadi bagian penting dalam proses pengolahan. Secara garis besar, proses
pengolahan gadung menjadi keripik terdiri dari: pemanenan – pengupasan –
pengirisan – pemberian abu dapur – pemeraman (satu malam) – penjemuran pertama
(3 hari) – perendaman dan pencucian (3 hari) – pengukusan – dan penjemuran
kedua (3 hari).
Musim gadung berlangsung antara
bulan Juli hingga Oktober. Pagi-pagi sekali, para ibu pemanen – lazimnya dalam
kelompok-kelompok kecil, berangkat ke hutan untuk memanen gadung. Proses
pemanenan relatif mudah dan tidak terlalu menyita waktu. Hanya perlu sedikit
menggali tanah lalu mencongkel umbi-umbi gadung yang dirasa sudah cukup tua. Biasanya
cukup dilihat dari ukurannya yang sudah besar, diameternya lebih dari 15 cm.
Pengupasan gadung
dilakukan di hutan sesaat setelah dipanen dari pohonnya. Dengan dikupas
terlebih dahulu, pengangkutannya menjadi jauh lebih ringan. Kulit yang dibuang
relatif banyak, hampir 30% dari bobot umbi sebelum dikupas. Hal ini untuk
menjaga agar umbi yang dibawa pulang benar-benar kualitas terbaik.
Proses selanjutnya
dilakukan di kampung. Dimulai dengan memotong umbi menjadi Irisan-irisan tipis lalu
melumurinya dengan abu dapur. Irisan gadung yang sudah dilumuri abu lalu
diperam semalaman. Pagi berikutnya, irisan-irisan gadung dijemur. Penjemuran
dilakukan sekira tiga hari, tergantung cuaca. Setelah cukup kering, lalu
direndam dalam air mengalir. Secara periodik, rendaman gadung dicuci untuk
menghilangkan abu yang melapisi.
Setelah benar-benar
bersih, rendaman irisan gadung diangkat dan menjalani proses selanjutnya di
dapur. Irisan gadung diberi bumbu, lalu dikukus. Terkadang, warga membuat
sejenis perkedel dari gadung setelah selesai proses perendaman. Pada fase ini, racun
dalam umbi gadung sudah dinetralkan sehingga aman untuk dimakan. Esok harinya,
irisan umbi yang telah dikukus ini mulai dijemur. Kira-kira butuh waktu tiga
hari untuk jadi keripik mentah siap goreng.
Pengolahan menjadi Krupuk Gadung |
Sutri, salah satu warga yang masih melestarikan tradisi pemanenan gadung, menuturkan bahwa dalam setiap musim tak kurang 50 kilogram keripik gadung mentah Ia hasilkan. Gadung yang dihasilkannya itu dijual dengan kisaran harga Rp. 30.000,- per kilogram. “Bisa untuk menambah pemasukan, jadi saya semangat ke hutan kalau musim gadung tiba,” tuturnya.
Hal senada disampaikan
Tarinah. Ia juga mengolah gadung untuk pemasukan tambahan bagi keluarganya.
Meskipun sehari-hari telah bekerja sebagai karyawan pabrik di kota, namun Ia
masih menyempatkan mengolah gadung saat ada waktu luang, terutama akhir pekan.
Tentu ada alasan lain sehingga Ia rela mengeluarkan banyak tenaga untuk itu.
Baginya yang sudah akrab dengan gadung sejak belia, mengolah gadung sudah
menjadi kesenangan yang susah untuk dilewatkan.
Pengembangan produk turunan berbasis umbi gadung
Pada tahun ini,
Kelompok Brayan Urip menjalankan program inovasi untuk menghasilkan produk
turunan dari umbi gadung. Koordinator Kelompok Brayan Urip, Sri Windriyah
menyampaikan bahwa pengembangan olahan umbi gadung ini sebagai upaya untuk
meningkatkan nilai jual gadung dan menjadikannya produk unggulan yang
dihasilkan kaum perempuan di Mendolo.
Jika selama puluhan
tahun gadung diolah sebagai keripik saja, Sri dan kawan-kawannya berinovasi
membuat kerupuk berbahan dasar gadung. Kerupuk diharapkan bisa meningkatkan
segmen pasar. Salah satu pasar yang dibidik adalah generasi muda. “Generasi muda kurang begitu tertarik dengan keripik
gadung. Inovasi produk kerupuk ini diharapkan bisa meningkatkan ketertarikan
mereka. Kalau kerupuk kan bisa diberi
aneka rasa, seperti udang, ikan, atau yang lainnya. Bisa buat cemilan atau untuk lauk,” terang Sri.
Produk lain yang juga
sedang diuji coba adalah adalah tepung gadung. Jika uji coba ini berhasil,
olahan pangan yang dihasilkan bisa jauh lebih bervariasi. Bukan tidak mungkin
tepungnya dijadikan bahan baku aneka kue, biskuit, atau mie. Dengan begitu,
pamor atau popularitas umbi gadung yang selama ini termarjinalkan bisa
terangkat.
No comments:
Post a Comment