Oleh : Imam Taufiqurrahman
Foto bersama peserta avitorism workshop |
Keragaman burung di kawasan lanskap pegunungan Dieng bagian utara-barat memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai ekowisata pengamatan burung atau aviturisme. Beberapa penyelenggaraan telah diinisiasi oleh Yayasan SwaraOwa sebagai upaya memperkenalkan dan mengekspos potensi burung yang ada, seperti Petungkriyono Bird Race, trip durian danburung, hingga Pertemuan Pengamat Burung Indonesia.
Dua
kegiatan terakhir di atas terlaksana di Desa Mendolo dengan Paguyuban Petani
Muda (PPM) Mendolo sebagai organisasi penyelenggara. Kegiatan-kegiatan tersebut
terbukti mampu menarik minat banyak orang untuk datang dan berdampak positif
dalam konservasi serta perekonomian masyarakat desa.
Terkait
hal itu, guna mengasah kemampuan para anggota PPM Mendolo dalam menata, mengelola
dan melaksanakan trip aviturisme, Yayasan SwaraOwa mengadakan Workshop
Aviturisme bertema “Pengelolaan Ekowisata Kukila Berbasis Masyarakat Desa”.
Kegiatan ini mengawali upaya konservasi raja-udang kalung-biru Alcedo euryzona yang jadi bagian dari
program dalam proyek yang didanai oleh ASAP Species Conservation Fund.
Acara
berlangsung pada 1-3 Mei 2024, menghadirkan dua narasumber, yakni Waskito Kukuh Wibowo dari Birdikari Birding Tour dan Kelik
Suparno dari Kelompok Tani Hutan Wanapaksi. Dalam sesi di
hari pertama, Waskito mengawali pematerian dengan berbagi mengenai seluk-beluk
aviturisme dan kepemanduan. Pematerian dihadiri oleh 27 peserta, mewakili tiga
pedukuhan, yakni Sawahan, Mendolo Wetan, dan Mendolo Kulon.
Penyampaian materi oleh narasumber |
Waskito berbagi pengalamannya berkecimpung dalam avitursime yang berawal dari hobinya dalam bird watching. Hobi tersebut memiliki banyak sisi manfaat, mencakup rekreasi, seni, olahraga, ilmu pengetahuan, dan konservasi. Hobi yang ditekuninya semenjak perkuliahan itu kemudian berlanjut hingga mampu ia kembangkan dan kelola sebagai bisnis profesional, tanpa meninggalkan aspek konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Di sela pematerian, Rohim, salah satu peserta, bertanya, “Sistemnya
seperti apa, sehingga burung bisa dijual bukan dalam bentuk ditangkap atau
diambil?”
Waskito memberi penjelasan, yakni dengan menjaga burung tetap di alam,
tidak dieksploitasi atau diburu habis-habisan. Agar kalau burungnya ada dan
menarik, orang yang punya hobi bird
watching akan datang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri karena
pasar yang semakin berkembang dengan kemudahan informasi dari media sosial.
“Berburu memang mendatangkan nilai ekonomi, tapi akan sampai kapan?,”
sebut Waskito. Burung bisa cepat habis, apalagi burung-burung kicau. Terlebih
lagi, semua burung sekarang laku. “Jadi,” ungkap Kukuh, “mung bakale payu sepisan”.
Sementara, aviturisme memberikan pilihan atau profesi untuk burung bisa
hidup secara berkelanjutan. Sebagai bagian dari ekowisata, aviturisme akan
mengutamakan konservasi, pemberdayaan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat
lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan.
Dalam pengelolaan aviturisme berbasis masyarakat desa, kerja-kerja yang
ada dilakukan dalam tim atau kelompok. Mulai dari menyiapkan burung sebagai
atraksi yang harus dilakukan pemantauan bersama hingga bagaimana mendatangkan
tamu atau klien. Sehingga, ketika dikelola dengan baik akan dapat memberikan
manfaat dan nilai ekonomi langsung ke banyak pihak di masyarakat, seperti guide atau pemandu, penyediaan
penginapan, juga makanan dan oleh-oleh.
diskusi pembuatan jalur interpretasi |
Sebagai pemandu, terdapat prinsip dan skill yang harus dikuasai. Itu mencakup pengetahuan area wisata, kemampuan komunikasi, empati dan pengertian, tidak membosankan, improvisasi dan adaptasi, fokus membangun hubungan, pendongeng dan aktor yang menarik, luwes, tepat waktu dan disiplin, profesional, serta keinginan untuk selalu belajar dan berbagi. Penguasaan-penguasaan di bidang itulah yang akan menjadi salah satu kunci bagi pemandu dalam aviturisme. Pemandu yang baik akan menguntungkan bagi keberlangsungan bisnis yang menjadi salah satu alternatif untuk menekan dampak eksploitasi burung di alam liar tersebut.
Dalam bisnis aviturisme, paling tidak ada tiga tipe atau kategori atau karakter wisatawan, yakni bird watcher, twitcher, dan bird photographer. Terkait hal tersebut, Kelik Suparno kemudian melanjutkan dalam materi ke-2 dengan memberikan gambaran mengenai dunia kepemanduan dan pengelolaan hide. Ia berbagi pengalaman dari yang dijalankannya bersama KTH Wanapaksi dalam memandu dan mengelola lokasi untuk menjadi area pengamatan.
Bagi peminat fotografi burung, keberadaan hide atau bilik persembunyian menjadi penting. Kelik memaparkan
kebutuhan untuk membuat hide, baik untuk
burung yang bersarang maupun untuk feeding.
Hide harus terjamin keamanannya, baik
untuk burung maupun untuk tamu. Dapat membuat orang tersembunyi dengan baik dan
tidak terlihat oleh burung
Kelik pun memberi saran dalam pembuatan harus memperhitungkan waktu
yang tepat. Dalam hide untuk burung
bersarang, baru dibuka ketika burung sudah memasuki masa pengasuhan. Jangan di
masa awal bersarang atau pengeraman yang menjadi periode sensitif.
Usai pemaparan dari Waskito dan Kelik, di sesi ke-3, Sidiq Harjanto
mewakili Swaraowa memberikan pengantar simulasi pendataan sarang lewat aplikasi
KoboCollect. Aplikasi yang dikelola secara internal tersebut cukup mudah dan
sederhana. Namun demikian, mampu untuk melakukan pengumpulan data sarang dengan
cepat sehingga kelak PPM Mendolo dapat mengetahui kecenderungan atau tren musim
burung bersarang di desanya. Terpenting, mereka dapat dengan cepat
mengidentifikasi penemu sarang dan pemilik lahan, yang nantinya akan menjadi
pihak penerima manfaat ekonomi langsung dari aviturisme di Desa Mendolo.
Simulasi dan Praktik
simulasi dan praktik kepemanduan pengamatan burung |
Dari simulasi pembuatan jalur pengamatan burung, para peserta diarahkan untuk mengidentifikasi potensi yang ada pada jalur, mengevaluasi kelebihan dan kekurangan, serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan jalur. Hasil dari simulasi tersebut dituangkan dalam peta interpretasi yang dipresentasikan masing-masing tim. Saat presentasi, para peserta juga mengidentifkasi dan mengevaluasi hide yang telah ada.
burung Caladi tikotok jawa (Hemicircus concretus) di Ds.Mendolo |
Dalam diskusi mengenai praktik kepemanduan, para peserta mendapati
beberapa kesulitan yang ditemui. Terutama dalam mengidentifikasi jenis,
mengarahkan orang lain untuk melihat burung, serta mengidentifikasi sarang
aktif atau tidak aktif. Seperti yang terjadi beberapa hari sebelum acara ini, ada temuan burung pelatuk, dikiranya itu pelatuk yang umum terlihat di sekitar hutan Mendolo, ternyata adalah salah satu jenis burung pelatuk endemik Jawa.
Para narasumber yang mendampingi memberi masukan bahwa kemampuan
mengenali jenis burung menjadi dasar yang harus terus dilatih atau diasah. Hal
tersebut merupakan keterampilan akan semakin baik ketika terus dilakukan atau
seiring tingginya jam keker peserta. Termasuk penguasaan alat, seperti
binokuler dan monokuler. Mengetahui nama-nama jenis burung dalam bahasa
Indonesia juga diperlukan, mengingat para peserta yang terbiasa menyebutkan
nama burung dalam bahasa setempat.
Para narasumber juga memberikan tips, misalnya selalu menghidupkan
suasana saat pengamatan. Kemampuan dalam membangun komunikasi yang interaktif
kepada para tamu nantinya sangat berguna. Seorang pemandu dapat bercerita soal
potensi yang tidak hanya soal jenis burung, tetapi hal-hal lain yang ditemui,
macam tanaman, serangga, kebiasaan, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment