Saturday, October 12, 2024

Lomba kamera jebak : inventarisasi keanekargamanhayati Desa Mendolo

 Oleh : Kurnia Ahmaddin

hadiah lomba, seekor kambing

Hutan pegunungan Pekalongan merupakan salah satu kantung biodiversitas yang terisa di Pulau Jawa bagian tengah. Namun, perubahan fungsi lahan dan fragmentasi hutan masih mengancam kelestarian satwa yang hidup di dalamnya (Setiawan et al, 2012). Survei terakhir mengenai fragmentasi hutan di kawasan ini, menunjukkan adanya potensi penurunan struktur blok utama hutan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Widyastuti et al, 2023). Untuk menekan laju kerusakan habitat ini, edukasi dan monitoring satwa liar pada tingkat komunitas  masyarakat di sekitar blok hutan diperlukan (Horwich & Lyon, 2007).

Kami bekerjasama dengan PPM Mendolo, sebagai salah satu komunitas lokal di Kawasan ini berinisiatif untuk mengajak warga desa Mendolo dalam mengenal dan memonitoring satwa liar yang ada di desa mereka. Lebih lanjut kami mengemas kedua tujuan tersebut dalam bentuk kompetisi keanekaragaman hayati untuk mendorong warga sekitar hutan mendokumentasikan dan mengenali satwa liar. Lomba ini diikuti oleh perwakilan masyarakat dari tiap-tiap dukuh di Desa Mendolo untuk memasang kamera jebak (camera trap). Kegiatan lomba dilaksanakan sejak 8 Agustus hingga 18 September 2024 dengan total 25 hari pemasangan. Pada akhir rangkaian acara lomba, kami  memberikan hewan ternak sebagai apresiasi partisipasi kepada seluruh peserta.

monyet ekor panjang

Sebagai langkah awal dalam memperluas kepedulian satwa liar kepada masyarakat luas kegiatan ini mendapatkan antusian yang cukup besar dari masyarakat. Dalam jangka waktu 25 hari tercatat 16 titik  kamera jebak yang dipasang secara mandiri oleh 11 orang dari perwakilan seluruh dukuh. Kami telah membekali peserta pada awal pelaksanaan lomba mengenai cara pemasangan dan penggunaan kamera jebak serta aplikasi ‘kobotoolbox’ untuk mencatat informasi spasial. Penghitungan poin kami tetapkan dengan poin harian dari perolehan gambar satwa. Sedangkan  besar nilai satwa yang diperoleh kami membuat rangking jenis satwa berdasarkan pada tingkat kesulitan perjumpaan satwa tersebut. Semakin sulit perjumpaan dengan satwa maka poin yang diperoleh akan semakin besar.

Kijang

Hasil perolehan gambar satwa liar yang tertangkap kamera trap juga menarik mereka mampu merekam Rekrekan (Presbytis fredericae), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa), Pelanduk kancil (Tragulus kanchil), Landak Jawa (Hystrix javanica), Garangan Jawa (Urva javanica), 2 jenis bajing, 1 jenis tupai dan 1 jenis tikus. Dukuh yang berhak menyandang juara ke-1 adalah dukuh Sawahan dan Mendolo Kulon karena perolehan poin kedua dukuh tersebut sama. Sedangkan juara ke-2 adalah dukuh Mendolo Kulon dan Kradegan sebagai juara ke-3. Apresiasi untuk juara 1 kami memberikan 1 ekor kambing untuk masing-masing dukuh. Kami juga memberikan 2 pasang mentok untuk dukuh Mendolo Kulon dan 6 pasang ayam kampung untuk dukuh kradegan.   

Kancil



pemasangan kamera jebak

Menutup acara lomba kami melakukan evaluasi pemasangan kamera dan melihat perolehan hasil gambar bersama di kantor desa Mendolo. Acara dibuka oleh ketua PPM Mendolo selaku perwakilan penyelenggara dilanjutkan sambutan oleh bapak Kaliri selaku kepala Desa Mendolo. Sebagai penutup kami melakukan sedikit diskusi mengenai fungsi satwa liar di alam dan dilanjutkan dengan pembagian hadiah lomba. Rangkaian acara ini dapat terselenggara dengan baik dengan inisiatif dari komunitas lokal dan dukungan dari pemerintah desa. Dari langkah kecil ini besar harapan kami agar desa Mendolo menjadi salah satu desa ramah satwa liar di Indonesia, dengan mengenali keanekaraman hayati di sekitar desa, menginventarisasi berarti juga melindungi potensi aset atau kekayaan desa itu sendiri.

 Daftar pustaka

Setiawan, A., Nugroho, T. S., Wibisono, Y., Ikawati, V., & Sugardjito, J. (2012). Population density and distribution of javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas, 13(1), 23–27.https://doi.org/10.13057/biodiv/d130105

Widyastuti, Salmah., Farajallah, Dyah P., Lilik, B. P., Iskandar, Entang. 2023. The Javan Gibbon (Hylobates moloch) Habitat Changes and Fragmentation in the Dieng Mountains, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 29(2), 150-160, August 2023

Horwich, Robert H and Lyon, Jonathan. 2007. Community conservation: practitioners’ answer to critics. FFI: Oryx, 41(3), 376–385



Tuesday, October 1, 2024

Memperkaya variasi komoditas Habitat Owa jawa : Umbi Gadung (Dioscorea hispida)

 Penulis: Sidiq Harjanto

Panen Gadung
“Kaum laki-laki yang identik dengan maskulinitas selama ini masih mendominasi gerakan konservasi alam. Padahal, perempuan memiliki potensi besar menyumbangkan kontribusi bagi aksi-aksi konservasi melalui terobosan-terobosan baru yang tidak terpikirkan oleh kaum laki-laki. Gerakan konservasi perlu menyediakan ruang yang cukup bagi feminitas untuk masuk dan memberi warna baru.”

Bermula dari lebah

Pengembangan budidaya lebah di desa penyangga habitat owa jawa membawa kami pada gagasan untuk memasyarakatkan aktivitas ini ke sebanyak mungkin kalangan masyarakat. Pada Agustus 2022, untuk pertama kalinya kami memperkenalkan budidaya lebah kepada kaum perempuan di Dusun Sawahan, Desa Mendolo. Lebah nirsengat, atau secara lokal dikenal sebagai klanceng dipilih karena sangat aman bagi siapa saja dan relatif mudah dibudidaya.

Perkenalan dengan lebah mendorong beberapa ibu di Sawahan memproklamirkan sebuah kelompok yang diberi nama Kelompok Wanita Tani “Brayan Urip” sekira setahun kemudian. Kelompok ini aktif mengelola isu pangan dan berupaya mengintegrasikannya dengan budidaya klanceng, lebah mungil yang sangat berjasa dalam penyerbukan aneka tanaman. Sebuah kebun pangan sekaligus kebun budidaya klanceng dikelola oleh kelompok ini, setahun belakangan.

Kaum perempuan di Desa Mendolo, dan di banyak desa lainnya, memiliki relasi yang kuat dengan hutan. Relasi ini bisa berupa pemanfaatan pangan dari tumbuh-tumbuhan liar, penggunaan tanaman obat tradisional, dan bahkan pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk kemudian dijual sebagai tambahan pemasukan keluarga. Tak jarang, keahlian atau keterampilan tertentu dalam pemanfaatan sumber daya hutan hanya dimiliki oleh kaum perempuan.

Salah satu bentuk pemanfaatan HHBK oleh kaum perempuan adalah pemanenan umbi gadung. Umbi dengan nama latin Dioscorea hispida ini sejatinya beracun. Alih-alih bisa dikonsumsi secara langsung melalui metode memasak yang lazim, umbi ini diolah melalui proses yang panjang dan rumit untuk menetralisir racun sianida dan enzim dioscorin yang terkandung di dalamnya. Di Mendolo, pemanenan dan pengolahan umbi gadung ini nyaris sepenuhnya dilakukan oleh kaum perempuan.

Gadung (Dioscorea hispida) 

Gadung, salah satu identitas budaya Mendolo

Kasmali, sesepuh desa menuturkan bahwa pemanfaatan umbi gadung di Mendolo memiliki sejarah panjang. Pada masa perang, warga desa sering mengalami krisis pangan. Memanfaatkan aneka umbi-umbian hutan menjadi alternatif untuk memenuhi asupan nutrisi. Umbi gadung, salah satunya. Mereka mengolah gadung secara sederhana, sekadar menghilangkan racunnya. Umbi dikupas, dicacah ukuran kecil, direndam, lalu dikukus untuk dijadikan makanan sumber karbohidrat pengganti beras.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, muncul produk keripik gadung. Olahan ini mulai marak sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, orang-orang dari daerah lain datang ke Mendolo untuk memanen gadung sebagai bahan keripik. Dari merekalah, masyarakat Mendolo mendapatkan keahlian dan keterampilan mengolah gadung menjadi keripik yang diwariskan turun temurun dan bertahan hingga sekarang. Gadung bukan sekadar pangan biasa, tetapi sudah menjadi identitas budaya bagi Desa Mendolo.

Gadung terbaik tumbuh di hutan

Adalah Naroh, salah satu pemanen dan pengolah gadung menuturkan bahwa Ia harus berjalan kurang lebih satu kilometer dari rumahnya untuk mencapai area hutan di mana gadung tumbuh dengan subur. Medan yang ditempuhnya juga tak mudah karena banyak tanjakan terjal dan turunan yang curam di sepanjang perjalanan. Tak jarang, tanaman gadung tumbuh di lereng-lereng yang terjal.

Secara umum, tanaman gadung tidak menuntut tempat tumbuh yang spesifik untuk tumbuh. Gadung bisa tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Namun, berdasarkan pengalaman masyarakat di Sawahan, gadung dengan kualitas baik hanya tumbuh pada habitat yang masih berupa hutan alam. Meskipun tetap bisa tumbuh pada habitat lain, umumnya tak bisa menghasilkan umbi yang bagus dan layak untuk diolah menjadi bahan pangan.

Dibawah naungan hutan yang lumayan rapat, tanaman gadung cocok dengan tekstur tanah yang gembur dan kaya akan humus dari hasil dekomposisi serasah hutan. Jika tumbuh pada habitat yang ideal, batangnya bisa sebesar jari kelingking atau lebih besar lagi. Batang tanaman gadung yang berduri ini merambat pada pepohonan hutan. Ciri khasnya adalah arah putarannya ke kiri. Seringkali umbi ini tumbuh berdampingan dengan rotan dan aneka jenis tumbuhan merambat lainnya.

Sebuah proses panjang dari umbi hutan menjadi bahan pangan

proses pasca panen umbi gadung


Butuh waktu kira-kira sepuluh hari untuk menghasilkan keripik gadung yang aman dikonsumsi alias racunnya telah dinetralisir. Cuaca sangat menentukan, karena pengeringan matahari menjadi bagian penting dalam proses pengolahan. Secara garis besar, proses pengolahan gadung menjadi keripik terdiri dari: pemanenan – pengupasan – pengirisan – pemberian abu dapur – pemeraman (satu malam) – penjemuran pertama (3 hari) – perendaman dan pencucian (3 hari) – pengukusan – dan penjemuran kedua (3 hari).

Musim gadung berlangsung antara bulan Juli hingga Oktober. Pagi-pagi sekali, para ibu pemanen – lazimnya dalam kelompok-kelompok kecil, berangkat ke hutan untuk memanen gadung. Proses pemanenan relatif mudah dan tidak terlalu menyita waktu. Hanya perlu sedikit menggali tanah lalu mencongkel umbi-umbi gadung yang dirasa sudah cukup tua. Biasanya cukup dilihat dari ukurannya yang sudah besar, diameternya lebih dari 15 cm.

Pengupasan gadung dilakukan di hutan sesaat setelah dipanen dari pohonnya. Dengan dikupas terlebih dahulu, pengangkutannya menjadi jauh lebih ringan. Kulit yang dibuang relatif banyak, hampir 30% dari bobot umbi sebelum dikupas. Hal ini untuk menjaga agar umbi yang dibawa pulang benar-benar kualitas terbaik.

Proses selanjutnya dilakukan di kampung. Dimulai dengan memotong umbi menjadi Irisan-irisan tipis lalu melumurinya dengan abu dapur. Irisan gadung yang sudah dilumuri abu lalu diperam semalaman. Pagi berikutnya, irisan-irisan gadung dijemur. Penjemuran dilakukan sekira tiga hari, tergantung cuaca. Setelah cukup kering, lalu direndam dalam air mengalir. Secara periodik, rendaman gadung dicuci untuk menghilangkan abu yang melapisi.

Setelah benar-benar bersih, rendaman irisan gadung diangkat dan menjalani proses selanjutnya di dapur. Irisan gadung diberi bumbu, lalu dikukus. Terkadang, warga membuat sejenis perkedel dari gadung setelah selesai proses perendaman. Pada fase ini, racun dalam umbi gadung sudah dinetralkan sehingga aman untuk dimakan. Esok harinya, irisan umbi yang telah dikukus ini mulai dijemur. Kira-kira butuh waktu tiga hari untuk jadi keripik mentah siap goreng.

Pengolahan menjadi Krupuk Gadung

Sutri, salah satu warga yang masih melestarikan tradisi pemanenan gadung, menuturkan bahwa dalam setiap musim tak kurang 50 kilogram keripik gadung mentah Ia hasilkan. Gadung yang dihasilkannya itu dijual dengan kisaran harga Rp. 30.000,- per kilogram. “Bisa untuk menambah pemasukan, jadi saya semangat ke hutan kalau musim gadung tiba,” tuturnya.

Hal senada disampaikan Tarinah. Ia juga mengolah gadung untuk pemasukan tambahan bagi keluarganya. Meskipun sehari-hari telah bekerja sebagai karyawan pabrik di kota, namun Ia masih menyempatkan mengolah gadung saat ada waktu luang, terutama akhir pekan. Tentu ada alasan lain sehingga Ia rela mengeluarkan banyak tenaga untuk itu. Baginya yang sudah akrab dengan gadung sejak belia, mengolah gadung sudah menjadi kesenangan yang susah untuk dilewatkan.

Pengembangan produk turunan berbasis umbi gadung

Pada tahun ini, Kelompok Brayan Urip menjalankan program inovasi untuk menghasilkan produk turunan dari umbi gadung. Koordinator Kelompok Brayan Urip, Sri Windriyah menyampaikan bahwa pengembangan olahan umbi gadung ini sebagai upaya untuk meningkatkan nilai jual gadung dan menjadikannya produk unggulan yang dihasilkan kaum perempuan di Mendolo.

Jika selama puluhan tahun gadung diolah sebagai keripik saja, Sri dan kawan-kawannya berinovasi membuat kerupuk berbahan dasar gadung. Kerupuk diharapkan bisa meningkatkan segmen pasar. Salah satu pasar yang dibidik adalah generasi muda. “Generasi muda kurang begitu tertarik dengan keripik gadung. Inovasi produk kerupuk ini diharapkan bisa meningkatkan ketertarikan mereka. Kalau kerupuk kan bisa diberi aneka rasa, seperti udang, ikan, atau yang lainnya. Bisa buat cemilan atau untuk lauk,” terang Sri.

Produk lain yang juga sedang diuji coba adalah adalah tepung gadung. Jika uji coba ini berhasil, olahan pangan yang dihasilkan bisa jauh lebih bervariasi. Bukan tidak mungkin tepungnya dijadikan bahan baku aneka kue, biskuit, atau mie. Dengan begitu, pamor atau popularitas umbi gadung yang selama ini termarjinalkan bisa terangkat.

Umbi gadung menjadi potensi besar sektor HHBK yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pengembangan turunan gadung diharapkan bisa meningkatkan added value bagi salah satu produk hasil hutan yang telah diolah secara turun-temurun ini. Karena dominasi perannya dalam tradisi pengolahan gadung, perempuan memiliki kepentingan langsung dengan kelestarian dan keberlanjutan hutan Mendolo. Merawat tradisi dan memunculkan inovasi pemanfaatan gadung pada muaranya diharapkan juga menjadi sebentuk upaya menjaga keberadaan hutan di Desa Mendolo. Salam Lestari!