Thursday, October 31, 2024

Kunjungan Sekolah : Pendidikan Konservasi untuk Generasi Muda

 Oleh Kurnia Ahmaddin


 Kunjungan kampanye konservasi bulan Oktober 2024 kami laksanakan dalam 2 rangkaian kegiatan. Peserta merupakan siswa SMA N 1 Batang yang tergabung dalam kelompok pecinta alam Gasmapala. Sejumlah 43 peserta mengikuti rangkaian acara yang kami mulai dengan acara pemberian materi mengenai pentingnya fungsi hutan, pentingnya Owa jawa dan satwa liar lain yang ada di hutan Petungkriyono. Pembekalan ini juga kami isi dengan materi etika pengamatan satwa liar dan cara identifikasi satwa liar yang akan mereka amati pada acara berikutnya. Pemberian materi ini dilaksanakan di Aula SMA 1 N Batang pada 8 Oktober 2024.

Rangkaian acara berikutnya adalah praktik pengamatan dan monitoring satwa liar yang dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2024 di Welo Asri. Peserta berkumpul untuk pembagian kelompok dan pembagian jalur pengamatan yang ada di hutan sekitar Kawasan wisata Welo Asri. Untuk follow up program pelatihan monitoring yang telah terlaksana untuk pemuda desa Kayu Puring, kami mengajak 5 peserta pelatihan untuk menjadi pendamping dalam pelaksaan kegiatan pada pagi hari tersebut. Pendamping bertugas untuk mengingatkan etika pengamatan satwa liar dan membantu dalam pencarian satwa liar yang dapat teramati selama pengamatan berlangsung.

Pematerian di kelas, SMA 1 Batang


pengamatan satwa di hutan ds.kayupuring

Peserta dibagi menjadi 4 kelompok dan berjalan menuju 2 jalur berbeda yang ada di Welo Asri. Perjumpaan dengan Lutung Jawa sepertinya menjadi primadona dalam agenda pengamatan kali ini. Hal ini dapat terlihat dari hasil presentasi masing-masing kelompok yang semuanya mempresentasikan perjumpaan dengan Lutung jawa. Namun perolehan hari itu tidak hanya Lutung, peserta juga dapat mendeskripsikan 5 jenis burung yang mereka jumpai selama pengamatan dengan baik. Terlepas dari jumlah yang belum banyak namun, deskripsi yang cukup runtut dari peserta yang baru pertama melakukan pengamatan satwa liar merupakan modal yang baik untuk kegiatan pengamatan kedepannya.

diskusi hasil pengamatan

Rangkaian acara kami tutup dengan foto Bersama setelah pembagian souvenir gelas Owa jawa kepada masing-masing peserta dan pendamping. Harapan besar dari kegiatan ini adalah muncul inisiasi terkait dengan kecintaan pada satwa liar yang ada di sekitar lingkungan para generasi muda. Adanya kegiatan serupa yang kontinyu agaknya diperlukan untuk menambah kepedulian satwa liar untuk tetap lestari di alamnya.

Tuesday, October 29, 2024

Wana-tani Desa Mendolo, Habitat Satwa langka Kukang Jawa

 

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus). foto  M.Yoga Saputra

Perkenalkan saya Muhammad Yoga Saputra, saya mahasiswa program studi Pengelolaan Hutan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saya bersama Ratna Dwi Setyowati melalui program beasiswa SwaraOwa tahun 2024 mendapat kesempatan penelitian untuk skripsi tentang Kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Kukang jawa merupakan satu dari tujuh jenis kukang yang hidup dan tersebar di Indonesia. Berdasarkan International Union of Conservation of Nature Resources (IUCN) Red List 2021, kukang jawa termasuk ke dalam kategori kritis atau critical endangered dan juga masuk ke dalam Appendix 1 oleh Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Kami mengamati populasi, persebaran, dan habitat kukang jawa di Hutan Mendolo, Lebakbarang, Pekalongan. Hutan Mendolo terletak di 4 dusun yaitu Sawahan, Mendolo Kulon, Mendolo Wetan, dan Krandegan. Pengamatan lapangan telah dilakukan pada minggu kedua-keempat bulan September 2024. Pengamatan kami tidak sendiri, kami ditemani oleh Paguyuban Petani Muda (PPM) Desa Mendolo yang senantiasa mendampingi kami dalam pengambilan data. Selama pengamatan, kami mendapati sebanyak 8 individu kukang jawa yang ada di Hutan Mendolo. Dalam keempat dusun yang ada di Desa Mendolo hanya Dusun Mendolo Wetan yang tidak ditemukan spesies kukang jawa. Pengamatan kami dimulai pada jam 19.30 – 24.00. Kami mengambil pengamatan malam dikarenakan kukang jawa merupakan hewan nokturnal dan ketika terkena senter maka mata dari kukang jawa mengeluarkan pancaran mata yang memudahkan mendapat keberadaan kukang jawa dibanding pengamatan siang hari. Kami menggunakan metode line transect atau transek garis, yang mana penempatan transek tersebut ditempatkan pada daerah yang diyakini terdapat keberadaan kukang jawa. Pada saat pengamatan di malam hari juga, kami mendapatkan beberapa spesies di Hutan Mendolo seperti Trenggiling sunda (Manis javanica), Rek-rekan (Presbytis fredericae), Babi celeng (Sus scrofa), Takur tulung-tumpuk (Megalaima javensis), Celepuk jawa (Otus angelinae), dan Kubung sunda (Galeopterus variegatus). Selain itu, pada pengamatan siang juga mendapati berbagai jenis spesies seperti Owa jawa (Hylobates moloch), Elang bido (Spilornis cheela), Elang hitam (Ictinaetus malaiensis), Cekakak batu (Lacedo pulchella) dan Lutung jawa (Trachypithecus auratus).

individu kukang di Mendolo. foto  M.Yoga Saputra

Kukang jawa adalah  hewan semi soliter . Hal tersebut dapat dilihat pada pengamatan kami yang hampir seluruh individu kukang jawa ditemukan hanya sendiri. Akan tetapi, ada salah satu kukang jawa tersebut ditemukan bersama anaknya. Pengamatan malam hari perlu ketelitian dan kesabaran karena terkadang kami salah mengidentifikasi ketika ada pancaran mata di pohon itu bahwa terdapat kukang jawa.  Akan tetapi, pada saat dilihat secara seksama pancaran mata itu bisa berasal dari luwak, bajing, tupai, maupun dari kubung sunda. Selain mengambil data populasi dan sebaran kami juga mengambil data habitat kukang jawa di Hutan Mendolo.

Pengambilan data habitat tersebut dilakukan pada siang hari dengan membuat beberapa plot untuk mengindentifikasi habitat kukang jawa di Hutan Mendolo. Habitat kukang jawa di Hutan Mendolo umumnya ditemukan pada tegakan kopi dan durian. Selain itu, kukang jawa dapat ditemukan pada pohon nangka dan pohon mengandung getah, dikarenakan makanan favorit kukang jawa merupakan getah yang dihasilkan dari ranting, batang, bunga, maupun dari daun. Seperti halnya pada tegakan kopi, kami melihat ranting daun kopi yang muda sering dimakan oleh kukang jawa tersebut.

Wednesday, October 16, 2024

Hari Pangan Sedunia 2024: Memaknai Biodiversitas Sebagai Akar Kedaulatan Pangan

 Oleh : Sidiq Harjanto

Mengolah umbi gadung

Sudah tiga tahun ini Swaraowa turut berpartisipasi dalam isu pangan, khususnya pangan lokal. Berawal dari seringnya berkegiatan di desa-desa di habitat Owajawa  lalu mendapat jamuan dari warga berupa aneka sayuran dan jamur yang dipetik dari hutan seperti: pakis, gorang, daun keji, kolang-kaling, gula aren, jamur kuping, jamur barat, dll. Semuanya enak dan sangat menggugah selera. Sedikit atau banyak, olahan-olahan pangan hutan itu telah menyeting ulang selera lidah kami, tim Swaraowa.

Kekaguman kami tentang pangan lokal terus berlanjut saat dipertemukan dengan olahan-olahan khusus dari jenis-jenis tumbuhan beracun seperti gadung dan keluwek. Bagaimana bisa, bahan yang awalnya mematikan itu diolah menjadi pangan yang lezat dan sangat aman dikonsumsi. Ini menunjukkan kejeniusan masyarakat kita dalam hal penyediaan pangan.

buzz pollinator

Jika dipotret lebih luas, kami melihat adanya irisan antara kepentingan pelestarian hutan yang awalnya sebagai habitat owa jawa dan aneka satwa liar dengan kepentingan masyarakat atas hutan dalam konteks pemanfaatan pangan. Kami ingin hutan lestari, demikian juga warga. Maka atas dasar itulah, dua kepentingan itu mesti dipadukan. Dimulai dari Desa Mendolo, kami bersama masyarakat mulai memetakan potensi pangan yang tersimpan di dalam hutan. Hasilnya, lebih dari 80 jenis tumbuhan dan jamur yang lazim dimanfaatkan oleh warga.

Dari pemetaan potensi itu lalu berkembanglah menjadi berbagai program kolaborasi seperti pengembangan produk turunan, pembuatan demplot pangan lokal yang dikombinasikan dengan budidaya lebah trigona, dan pengembangan wisata experience berbasis biodiversitas pangan. Muaranya nanti adalah bersama-sama menemukan equilibrium antara daya dukung lingkungan dengan kesejahteraan masyarakat.

Pangan yang tak sesederhana apa yang tersaji di meja-meja makan kita

Pangan ternyata tidak sesederhana sekadar nutrisi penopang kehidupan. Pangan juga dimaknai sebagai entitas ekonomi karena banyak komoditi pangan yang diperjual belikan. Pangan juga merupakan entitas pertahanan karena menjadi salah satu parameter utama dalam menilai seberapa kuat sebuah bangsa. Pangan juga merupakan simbol budaya, bisa dilihat dari keunikan dan kekhasan kuliner yang muncul dari setiap peradaban.

mengumpulkan bahan pangan dari hutan "ngramban"

Tak jarang tanpa sadar kita terjebak pada perspektif sempit bahwa pangan sebatas sumber karbohidrat atau sering disebut pangan pokok seperti beras, gandum, dan jagung. Padahal menurut Codex Alimentarius, pangan (food) didefinisikan sebagai segala bahan, baik yang diolah, setengah jadi, atau mentah, yang ditujukan untuk konsumsi manusia, dan termasuk minuman, permen karet, dan bahan apa pun yang telah digunakan dalam pembuatan, penyiapan atau pengolahan “makanan”, tetapi tidak termasuk kosmetik, atau tembakau, atau zat yang hanya digunakan sebagai obat.

Merujuk pada definisi tersebut, maka bahan minuman seperti kopi dan teh yang banyak dibudidayakan para petani kita itu juga termasuk kategori pangan. Begitupun dengan madu, aneka rempah-rempah, maupun aneka empon-empon yang lazim ada dalam wadah bumbu dapur. Juga bahan anorganik seperti garam. Pangan menjadi sangat beranekaragam dan tentu saja membawa kerumitan tersendiri.

daun pakis untuk sayur

Ada ungkapan yang sering kita dengar: “Kalau belum makan nasi, rasanya belum makan.” Dari ungkapan ini tersirat bahwa kita sudah sedemikian tergantung dengan padi sebagai bahan nasi. Bangsa lain mungkin saja mengalami hal serupa, dengan komoditi yang berbeda. Mungkin gandum, atau jagung. Padahal, berbicara sumber karbohidrat, sangat banyak alternatif tersedia. Mulai dari aneka umbi-umbian, tepung sagu, hingga buah-buahan seperti sukun.

Banyak varietas atau bahkan spesies pangan yang akhirnya sudah jarang dijumpai, sebagian lainnya tidak pernah termanfaatkan secara optimal. Itu semua terjadi karena semakin jarang dimanfaatkan dan pengetahuan kita pun akhirnya terputus. Sebagai negara megabiodiversitas, seyogyanya kita jangan tergantung dengan beras dan pangan yang umum tersedia di pasaran. Kita mesti mengoptimalkan potensi biodiversitas pangan yang kita miliki. Itulah kedaulatan pangan. Sains sendiri telah menyatakan bahwa semakin terdiversivikasi bahan yang kita makan, semakin baik bagi tubuh kita.

Kolangkalin buah aren, makanan Owa Jawa


Mengolah nira Aren menjadi Gula

Biodiversitas pangan sebagai bagian dari sistem alam

Setelah kita mencapai kesadaran tentang betapa kayanya potensi pangan yang kita miliki, tidak hanya berhenti di situ saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan mengenai bagaimana proses menghasilkannya. Keanekaragaman pangan berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati. Misalnya, ada jasa makhluk-makhluk hidup lain yang saling menopang dalam proses pembudidayaan pangan.

Sayangnya, peran dan jasa alam dalam produksi pangan ini jarang kita perhatikan. Misalnya jasa burung dan laba-laba yang mengendalikan populasi serangga hama, atau lebah dan tawon yang membantu proses penyerbukan. Belum lagi cacing dan mikrobia yang sangat penting dalam menjaga kesuburan tanah di mana aneka tanaman pangan itu tumbuh. Semakin kecil wujudnya, semakin tak mendapat perhatian.

Seiring dengan pergeseran paradigma yang memandang alam sebagai sebuah sistem besar, kiranya kita perlu menata kembali cara-cara kita dalam menghasilkan pangan. Pendekatan-pendekatan yang bersifat mekanistis-reduksionis dalam bidang pertanian perlu diganti dengan pendekatan sistemis, yang menempatkannya menjadi bagian sistem alam. Implementasi sederhananya, prinsip kehati-hatian perlu kita kedepankan, misalnya dalam penggunaan pupuk kimia sintetis, pestisida, hormon-hormon pemacu, dan rekayasa genetika.

Turut merayakan hari pangan sedunia

Hari ini, 16 Oktober 2024 bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia kami mengajak kepada para khalayak untuk merayakan keragaman hayati pangan yang kita miliki dengan cara mengenali, mengapresiasi, dan mulai mempertimbangkan untuk memasukkan pangan-pangan lokal yang dihasilkan petani lokal dengan cara-cara yang berkelanjutan sebagai bagian dari menu makan kita sehari-hari.

Terakhir, saya kutip perkataan Masanobu Fukuoka, seorang praktisi ‘pertanian alami’ dari Jepang: “Jika kita mengalami krisis pangan, bukanlah disebabkan oleh daya produktifitas alam yang tidak mencukupi, melainkan oleh keinginan manusia yang berlebih-lebihan.” 

Saturday, October 12, 2024

Lomba kamera jebak : inventarisasi keanekargamanhayati Desa Mendolo

 Oleh : Kurnia Ahmaddin

hadiah lomba, seekor kambing

Hutan pegunungan Pekalongan merupakan salah satu kantung biodiversitas yang terisa di Pulau Jawa bagian tengah. Namun, perubahan fungsi lahan dan fragmentasi hutan masih mengancam kelestarian satwa yang hidup di dalamnya (Setiawan et al, 2012). Survei terakhir mengenai fragmentasi hutan di kawasan ini, menunjukkan adanya potensi penurunan struktur blok utama hutan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Widyastuti et al, 2023). Untuk menekan laju kerusakan habitat ini, edukasi dan monitoring satwa liar pada tingkat komunitas  masyarakat di sekitar blok hutan diperlukan (Horwich & Lyon, 2007).

Kami bekerjasama dengan PPM Mendolo, sebagai salah satu komunitas lokal di Kawasan ini berinisiatif untuk mengajak warga desa Mendolo dalam mengenal dan memonitoring satwa liar yang ada di desa mereka. Lebih lanjut kami mengemas kedua tujuan tersebut dalam bentuk kompetisi keanekaragaman hayati untuk mendorong warga sekitar hutan mendokumentasikan dan mengenali satwa liar. Lomba ini diikuti oleh perwakilan masyarakat dari tiap-tiap dukuh di Desa Mendolo untuk memasang kamera jebak (camera trap). Kegiatan lomba dilaksanakan sejak 8 Agustus hingga 18 September 2024 dengan total 25 hari pemasangan. Pada akhir rangkaian acara lomba, kami  memberikan hewan ternak sebagai apresiasi partisipasi kepada seluruh peserta.

monyet ekor panjang

Sebagai langkah awal dalam memperluas kepedulian satwa liar kepada masyarakat luas kegiatan ini mendapatkan antusian yang cukup besar dari masyarakat. Dalam jangka waktu 25 hari tercatat 16 titik  kamera jebak yang dipasang secara mandiri oleh 11 orang dari perwakilan seluruh dukuh. Kami telah membekali peserta pada awal pelaksanaan lomba mengenai cara pemasangan dan penggunaan kamera jebak serta aplikasi ‘kobotoolbox’ untuk mencatat informasi spasial. Penghitungan poin kami tetapkan dengan poin harian dari perolehan gambar satwa. Sedangkan  besar nilai satwa yang diperoleh kami membuat rangking jenis satwa berdasarkan pada tingkat kesulitan perjumpaan satwa tersebut. Semakin sulit perjumpaan dengan satwa maka poin yang diperoleh akan semakin besar.

Kijang

Hasil perolehan gambar satwa liar yang tertangkap kamera trap juga menarik mereka mampu merekam Rekrekan (Presbytis fredericae), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa), Pelanduk kancil (Tragulus kanchil), Landak Jawa (Hystrix javanica), Garangan Jawa (Urva javanica), 2 jenis bajing, 1 jenis tupai dan 1 jenis tikus. Dukuh yang berhak menyandang juara ke-1 adalah dukuh Sawahan dan Mendolo Kulon karena perolehan poin kedua dukuh tersebut sama. Sedangkan juara ke-2 adalah dukuh Mendolo Kulon dan Kradegan sebagai juara ke-3. Apresiasi untuk juara 1 kami memberikan 1 ekor kambing untuk masing-masing dukuh. Kami juga memberikan 2 pasang mentok untuk dukuh Mendolo Kulon dan 6 pasang ayam kampung untuk dukuh kradegan.   

Kancil



pemasangan kamera jebak

Menutup acara lomba kami melakukan evaluasi pemasangan kamera dan melihat perolehan hasil gambar bersama di kantor desa Mendolo. Acara dibuka oleh ketua PPM Mendolo selaku perwakilan penyelenggara dilanjutkan sambutan oleh bapak Kaliri selaku kepala Desa Mendolo. Sebagai penutup kami melakukan sedikit diskusi mengenai fungsi satwa liar di alam dan dilanjutkan dengan pembagian hadiah lomba. Rangkaian acara ini dapat terselenggara dengan baik dengan inisiatif dari komunitas lokal dan dukungan dari pemerintah desa. Dari langkah kecil ini besar harapan kami agar desa Mendolo menjadi salah satu desa ramah satwa liar di Indonesia, dengan mengenali keanekaraman hayati di sekitar desa, menginventarisasi berarti juga melindungi potensi aset atau kekayaan desa itu sendiri.

 Daftar pustaka

Setiawan, A., Nugroho, T. S., Wibisono, Y., Ikawati, V., & Sugardjito, J. (2012). Population density and distribution of javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas, 13(1), 23–27.https://doi.org/10.13057/biodiv/d130105

Widyastuti, Salmah., Farajallah, Dyah P., Lilik, B. P., Iskandar, Entang. 2023. The Javan Gibbon (Hylobates moloch) Habitat Changes and Fragmentation in the Dieng Mountains, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 29(2), 150-160, August 2023

Horwich, Robert H and Lyon, Jonathan. 2007. Community conservation: practitioners’ answer to critics. FFI: Oryx, 41(3), 376–385



Tuesday, October 1, 2024

Memperkaya variasi komoditas Habitat Owa jawa : Umbi Gadung (Dioscorea hispida)

 Penulis: Sidiq Harjanto

Panen Gadung
“Kaum laki-laki yang identik dengan maskulinitas selama ini masih mendominasi gerakan konservasi alam. Padahal, perempuan memiliki potensi besar menyumbangkan kontribusi bagi aksi-aksi konservasi melalui terobosan-terobosan baru yang tidak terpikirkan oleh kaum laki-laki. Gerakan konservasi perlu menyediakan ruang yang cukup bagi feminitas untuk masuk dan memberi warna baru.”

Bermula dari lebah

Pengembangan budidaya lebah di desa penyangga habitat owa jawa membawa kami pada gagasan untuk memasyarakatkan aktivitas ini ke sebanyak mungkin kalangan masyarakat. Pada Agustus 2022, untuk pertama kalinya kami memperkenalkan budidaya lebah kepada kaum perempuan di Dusun Sawahan, Desa Mendolo. Lebah nirsengat, atau secara lokal dikenal sebagai klanceng dipilih karena sangat aman bagi siapa saja dan relatif mudah dibudidaya.

Perkenalan dengan lebah mendorong beberapa ibu di Sawahan memproklamirkan sebuah kelompok yang diberi nama Kelompok Wanita Tani “Brayan Urip” sekira setahun kemudian. Kelompok ini aktif mengelola isu pangan dan berupaya mengintegrasikannya dengan budidaya klanceng, lebah mungil yang sangat berjasa dalam penyerbukan aneka tanaman. Sebuah kebun pangan sekaligus kebun budidaya klanceng dikelola oleh kelompok ini, setahun belakangan.

Kaum perempuan di Desa Mendolo, dan di banyak desa lainnya, memiliki relasi yang kuat dengan hutan. Relasi ini bisa berupa pemanfaatan pangan dari tumbuh-tumbuhan liar, penggunaan tanaman obat tradisional, dan bahkan pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk kemudian dijual sebagai tambahan pemasukan keluarga. Tak jarang, keahlian atau keterampilan tertentu dalam pemanfaatan sumber daya hutan hanya dimiliki oleh kaum perempuan.

Salah satu bentuk pemanfaatan HHBK oleh kaum perempuan adalah pemanenan umbi gadung. Umbi dengan nama latin Dioscorea hispida ini sejatinya beracun. Alih-alih bisa dikonsumsi secara langsung melalui metode memasak yang lazim, umbi ini diolah melalui proses yang panjang dan rumit untuk menetralisir racun sianida dan enzim dioscorin yang terkandung di dalamnya. Di Mendolo, pemanenan dan pengolahan umbi gadung ini nyaris sepenuhnya dilakukan oleh kaum perempuan.

Gadung (Dioscorea hispida) 

Gadung, salah satu identitas budaya Mendolo

Kasmali, sesepuh desa menuturkan bahwa pemanfaatan umbi gadung di Mendolo memiliki sejarah panjang. Pada masa perang, warga desa sering mengalami krisis pangan. Memanfaatkan aneka umbi-umbian hutan menjadi alternatif untuk memenuhi asupan nutrisi. Umbi gadung, salah satunya. Mereka mengolah gadung secara sederhana, sekadar menghilangkan racunnya. Umbi dikupas, dicacah ukuran kecil, direndam, lalu dikukus untuk dijadikan makanan sumber karbohidrat pengganti beras.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, muncul produk keripik gadung. Olahan ini mulai marak sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, orang-orang dari daerah lain datang ke Mendolo untuk memanen gadung sebagai bahan keripik. Dari merekalah, masyarakat Mendolo mendapatkan keahlian dan keterampilan mengolah gadung menjadi keripik yang diwariskan turun temurun dan bertahan hingga sekarang. Gadung bukan sekadar pangan biasa, tetapi sudah menjadi identitas budaya bagi Desa Mendolo.

Gadung terbaik tumbuh di hutan

Adalah Naroh, salah satu pemanen dan pengolah gadung menuturkan bahwa Ia harus berjalan kurang lebih satu kilometer dari rumahnya untuk mencapai area hutan di mana gadung tumbuh dengan subur. Medan yang ditempuhnya juga tak mudah karena banyak tanjakan terjal dan turunan yang curam di sepanjang perjalanan. Tak jarang, tanaman gadung tumbuh di lereng-lereng yang terjal.

Secara umum, tanaman gadung tidak menuntut tempat tumbuh yang spesifik untuk tumbuh. Gadung bisa tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Namun, berdasarkan pengalaman masyarakat di Sawahan, gadung dengan kualitas baik hanya tumbuh pada habitat yang masih berupa hutan alam. Meskipun tetap bisa tumbuh pada habitat lain, umumnya tak bisa menghasilkan umbi yang bagus dan layak untuk diolah menjadi bahan pangan.

Dibawah naungan hutan yang lumayan rapat, tanaman gadung cocok dengan tekstur tanah yang gembur dan kaya akan humus dari hasil dekomposisi serasah hutan. Jika tumbuh pada habitat yang ideal, batangnya bisa sebesar jari kelingking atau lebih besar lagi. Batang tanaman gadung yang berduri ini merambat pada pepohonan hutan. Ciri khasnya adalah arah putarannya ke kiri. Seringkali umbi ini tumbuh berdampingan dengan rotan dan aneka jenis tumbuhan merambat lainnya.

Sebuah proses panjang dari umbi hutan menjadi bahan pangan

proses pasca panen umbi gadung


Butuh waktu kira-kira sepuluh hari untuk menghasilkan keripik gadung yang aman dikonsumsi alias racunnya telah dinetralisir. Cuaca sangat menentukan, karena pengeringan matahari menjadi bagian penting dalam proses pengolahan. Secara garis besar, proses pengolahan gadung menjadi keripik terdiri dari: pemanenan – pengupasan – pengirisan – pemberian abu dapur – pemeraman (satu malam) – penjemuran pertama (3 hari) – perendaman dan pencucian (3 hari) – pengukusan – dan penjemuran kedua (3 hari).

Musim gadung berlangsung antara bulan Juli hingga Oktober. Pagi-pagi sekali, para ibu pemanen – lazimnya dalam kelompok-kelompok kecil, berangkat ke hutan untuk memanen gadung. Proses pemanenan relatif mudah dan tidak terlalu menyita waktu. Hanya perlu sedikit menggali tanah lalu mencongkel umbi-umbi gadung yang dirasa sudah cukup tua. Biasanya cukup dilihat dari ukurannya yang sudah besar, diameternya lebih dari 15 cm.

Pengupasan gadung dilakukan di hutan sesaat setelah dipanen dari pohonnya. Dengan dikupas terlebih dahulu, pengangkutannya menjadi jauh lebih ringan. Kulit yang dibuang relatif banyak, hampir 30% dari bobot umbi sebelum dikupas. Hal ini untuk menjaga agar umbi yang dibawa pulang benar-benar kualitas terbaik.

Proses selanjutnya dilakukan di kampung. Dimulai dengan memotong umbi menjadi Irisan-irisan tipis lalu melumurinya dengan abu dapur. Irisan gadung yang sudah dilumuri abu lalu diperam semalaman. Pagi berikutnya, irisan-irisan gadung dijemur. Penjemuran dilakukan sekira tiga hari, tergantung cuaca. Setelah cukup kering, lalu direndam dalam air mengalir. Secara periodik, rendaman gadung dicuci untuk menghilangkan abu yang melapisi.

Setelah benar-benar bersih, rendaman irisan gadung diangkat dan menjalani proses selanjutnya di dapur. Irisan gadung diberi bumbu, lalu dikukus. Terkadang, warga membuat sejenis perkedel dari gadung setelah selesai proses perendaman. Pada fase ini, racun dalam umbi gadung sudah dinetralkan sehingga aman untuk dimakan. Esok harinya, irisan umbi yang telah dikukus ini mulai dijemur. Kira-kira butuh waktu tiga hari untuk jadi keripik mentah siap goreng.

Pengolahan menjadi Krupuk Gadung

Sutri, salah satu warga yang masih melestarikan tradisi pemanenan gadung, menuturkan bahwa dalam setiap musim tak kurang 50 kilogram keripik gadung mentah Ia hasilkan. Gadung yang dihasilkannya itu dijual dengan kisaran harga Rp. 30.000,- per kilogram. “Bisa untuk menambah pemasukan, jadi saya semangat ke hutan kalau musim gadung tiba,” tuturnya.

Hal senada disampaikan Tarinah. Ia juga mengolah gadung untuk pemasukan tambahan bagi keluarganya. Meskipun sehari-hari telah bekerja sebagai karyawan pabrik di kota, namun Ia masih menyempatkan mengolah gadung saat ada waktu luang, terutama akhir pekan. Tentu ada alasan lain sehingga Ia rela mengeluarkan banyak tenaga untuk itu. Baginya yang sudah akrab dengan gadung sejak belia, mengolah gadung sudah menjadi kesenangan yang susah untuk dilewatkan.

Pengembangan produk turunan berbasis umbi gadung

Pada tahun ini, Kelompok Brayan Urip menjalankan program inovasi untuk menghasilkan produk turunan dari umbi gadung. Koordinator Kelompok Brayan Urip, Sri Windriyah menyampaikan bahwa pengembangan olahan umbi gadung ini sebagai upaya untuk meningkatkan nilai jual gadung dan menjadikannya produk unggulan yang dihasilkan kaum perempuan di Mendolo.

Jika selama puluhan tahun gadung diolah sebagai keripik saja, Sri dan kawan-kawannya berinovasi membuat kerupuk berbahan dasar gadung. Kerupuk diharapkan bisa meningkatkan segmen pasar. Salah satu pasar yang dibidik adalah generasi muda. “Generasi muda kurang begitu tertarik dengan keripik gadung. Inovasi produk kerupuk ini diharapkan bisa meningkatkan ketertarikan mereka. Kalau kerupuk kan bisa diberi aneka rasa, seperti udang, ikan, atau yang lainnya. Bisa buat cemilan atau untuk lauk,” terang Sri.

Produk lain yang juga sedang diuji coba adalah adalah tepung gadung. Jika uji coba ini berhasil, olahan pangan yang dihasilkan bisa jauh lebih bervariasi. Bukan tidak mungkin tepungnya dijadikan bahan baku aneka kue, biskuit, atau mie. Dengan begitu, pamor atau popularitas umbi gadung yang selama ini termarjinalkan bisa terangkat.

Umbi gadung menjadi potensi besar sektor HHBK yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pengembangan turunan gadung diharapkan bisa meningkatkan added value bagi salah satu produk hasil hutan yang telah diolah secara turun-temurun ini. Karena dominasi perannya dalam tradisi pengolahan gadung, perempuan memiliki kepentingan langsung dengan kelestarian dan keberlanjutan hutan Mendolo. Merawat tradisi dan memunculkan inovasi pemanfaatan gadung pada muaranya diharapkan juga menjadi sebentuk upaya menjaga keberadaan hutan di Desa Mendolo. Salam Lestari!