Penulis: Sidiq Harjanto
persiapan pengamatan dan pembagian kelompok |
Kehidupan di masa yang akan datang sangat ditentukan oleh kehidupan pada saat ini. Dalam konteks lingkungan hidup, baik atau buruk daya dukung lingkungan bagi generasi yang akan datang adalah dampak dari perilaku generasi saat ini. Perilaku manusia sekarang ini mulai banyak yang tidak sejalan dengan kelestarian lingkungan, misalnya tampak dari sampah yang makin menggunung, perburuan satwa yang marak, penebangan pohon secara besar-besaran, dan lain sebagainya.
Generasi
muda menjadi tumpuan harapan masa depan lingkungan hidup. Yang bisa dilakukan
saat ini adalah menumbuhkan kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda. Bahwa manusia
bisa hidup berkelanjutan jika memahami alam sebagai bentuk interdependensi.
Kehidupan terdiri dari komponen-komponen yang membentuk jaring-jaring kehidupan
dan ada siklus di dalamnya yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Dengan bekal pemahaman ini, manusia
mestinya mau berhati-hati dalam mengelola alam.
Para orang
tua kita, terutama yang tinggal di desa, dahulu begitu dekat dan mengenal alam
karena tingginya interaksi persinggungan. Kedekatan itu sesederhana hafal nama-nama
jenis burung dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tahu persis di mana sumber-sumber air
di desa, dan bagaimana cara merawatnya. Mereka bahkan bisa membaca tanda-tanda
alam, karena kebutuhan untuk bercocok tanam atau untuk berburu. Maka ada
istilah ilmu titen. Belakangan, generasi
kita teralihkan oleh kesibukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, relasi
manusia dengan alam merenggang.
Pendidikan
telah banyak mencetak orang pintar. Namun, ternyata pendidikan kita saat ini
belum mendekatkan kita pada alam dan lingkungan sebagai penopang utama sistem
kehidupan. Maka tak heran jika gerakan-gerakan konservasi alam masih jauh
panggang dari api. Desa perlu menyusun sebuah skema pendidikan kontekstual bagi
generasi penerusnya. Bentuknya tentu bukan seperti sekolah formal. Model
pendidikan ini juga tidak bermaksud menggantikan pendidikan formal, malah
bertujuan melengkapinya sesuai situasi setempat.
Mendolo merintis
pendidikan lingkungan untuk anak
Mengamati burung |
Pagi itu di hari Minggu yang cerah, sekira dua puluhan anak-anak usia 6-10 tahun telah berkumpul di lahan terbuka di tengah dusun Mendolo Wetan. Mereka bersiap untuk bermain sekaligus belajar bersama di lingkungan sekitar desa. Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo dibantu Swaraowa menjadi fasilitator bagi anak-anak yang tampak sangat antusias. Para ibu dari peserta juga dipersilakan untuk bergabung.
Dibagi ke dalam empat kelompok, peserta diajak mengamati
burung dan kupu-kupu. Binatang-binatang berpenampilan cantik ini mudah menarik
perhatian anak-anak sehingga bisa menjadi pintu masuk untuk mulai menjelajahi
keanekaragaman hayati di lingkungan desa mereka sendiri. Setiap menemukan
kupu-kupu atau burung, mereka diminta mencatat ciri-ciri dan perilakunya. Sedetail
mungkin. Para pendamping lalu memberitahukan nama jenisnya.
Ternyata, ketertarikan anak-anak tak berhenti pada dua
kelompok fauna target. Mereka juga mencacat capung, belalang, laba-laba, dan
binatang-binatang lain yang ditemui sepanjang perjalanan. Para fasilitator
sampai kewalahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memberondong. Tidak
ada masalah, karena fasilitator memang tidak diharuskan tahu semua hal.
Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab disimpan dahulu untuk dicari
jawabannya di lain kesempatan.
Siswanto, anggota PPM Mendolo memandu anak-anak |
Menghidupkan kembali permainan tradisional |
Untuk memaksimalkan keasyikan, dibuat beberapa pos sepanjang rute pengamatan. Di setiap pos yang dijaga oleh fasilitator, setiap tim diminta mempresentasikan temuan mereka. Setelah itu, mereka diajak memainkan permainan-permainan tradisional. Permainan tradisional, yang kini telah tergusur oleh game online, rata-rata kaya akan pengalaman yang menentuh sisi kognitif, afektif, maupun motorik yang berguna bagi fisik maupun mental anak-anak.
Menjelang siang, semua peserta dan fasiltator bergerak
menuju aula balai desa. Di sini peserta bermain puzzle satwa dan mewarnai
gambar. Mereka juga berdiskusi mengenai pengalaman yang diperoleh sepanjang
rute pengamatan tadi. Banyak dari peserta yang menceritakan binatang-binatang
yang baru pertama kali mereka lihat.
Di aula ini pula, PPM Mendolo memamerkan beberapa foto
burung dan primata hasil karya mereka sendiri lalu mempresentasikan karya itu
kepada para peserta. Tidak hanya menjelaskan mengenai jenis burung yang difoto
dan teknik pengambilan gambar, namun PPM juga menjelaskan dengan bahasa
sederhana peran ekologis beragam satwa itu di dalam ekosistem.
Belajar bersama anak-anak ini menjadi langkah awal bagi PPM Mendolo
untuk merintis sistem pendidikan konservasi kontekstual bagi generasi mudanya,
dimulai dengan mengenali potensi kehatinya. Kehati merupakan aset desa sehingga
perlu dirawat. Mendolo adalah desa dengan keanekaragaman hayati tinggi.
Jenis-jenis primata-nya lengkap: owa jawa, rek-rekan, lutung, monyet ekor
panjang, dan kukang. Lebih dari 100+ jenis burung, dan 100+ jenis kupu-kupu ada
di desa ini. Belum lagi taksa-taksa lain.
Desa juga merupakan lumbung pengetahuan dan keterampilan.
Sebagai contoh, pengetahuan masyarakat mengenai jenis-jenis tumbuhan dan jamur
yang bisa dikonsumsi, termasuk keterampilan mengolahnya. Keahlian dan keterampilan pangan lokal menjadi salah
satu kunci resiliensi. Namun, bisa dipastikan pengetahuan dan keterampilan
tersebut bakal hilang tidak lama lagi jika tidak ada upaya untuk merawatnya
secara sistemik.
Benjamin Bloom dalam Taxonomy of Educational Objectives
(1956) mengidentifikasi tiga domain kegiatan pendidikan, meliputi: kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Sederhananya, kognitif menekankan aspek intelektual.
Afektif berkaitan dengan emosi, minat, adaptasi. Sementara itu, psikomotorik
adalah aspek keterampilan, yang muaranya pada praktik. Pendidikan yang baik
berarti mesti mampu membawa hasil-hasil pembelajaran sampai pada praktik
keseharian subjeknya.
Ukuran keberhasilan pendidikan konservasi yang dirintis PPM
Mendolo bersama Swaraowa misalnya, tidak sekadar memberikan pengetahuan dan
meningkatkan minat saja, tetapi harus mampu pula mendorong para pesertanya
beralih dari praktik-praktik tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan.
Setidaknya bagi diri sendiri. Bagaimanapun, kelestarian bumi kita yang cuma
satu ini hanya bisa diraih dengan perubahan perilaku manusianya.