Showing posts with label #msp2018. Show all posts
Showing posts with label #msp2018. Show all posts

Wednesday, October 24, 2018

Pengalaman, pengetahuan baru untuk penelitian Primata

Pelatihan Metode Survei Primata
Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan
12-14 Oktober 2018
di tulis oleh :
Farhan Adyn, e-mail : farhan.adyn15@gmail.com


Apa yang terlintas di benak saat mendengar kata “Pekalongan”? Hampir kebanyakan akan langsung mengingat tentang Batik dan kainnya nan indah itu. Akan tetapi, bukan maksud ku mengunjungi kota ini untuk berbelanja, menambah koleksi batik yang siap dipakai saat menghadiri undangan acara-acara besar dan formal, melainkan memenuhi undangan Pelatihan Metode Survei Primata yang diselenggarakan oleh KP3 Primata UGM dan Swaraowa. Aku hadir sebagai partisipan representatif KSP Macaca UNJ bersama dua teman, Arief dan Rachmat, dari Jakarta yang keduanya merupakan perwakilan FSP Lutung UNAS. Kami tiba di Pekalongan dan dijemput oleh panitia menuju lokasi pelatihan. Sesaat setelah melewati perkebunan pinus PERHUTANI dan Perkebunan Karet ,  gapura dan tugu “Petungkriyono” telah menanti. Hal ini menandakan bahwa kami akan memasuki kawasan Hutan Lindung Sokokembang.
pintu masuk hutan Petungkriyono
Kesan tempat pelatihan ini, menurut kakak tingkat yang pernah mengikuti kegiatan serupa tahun lalu, tidak akan pernah terlupakan dalam hidup. Hutan Lindung Sokokembang termasuk hutan hujan dataran rendah tersisa di pulau Jawa yang benar-benar masih asri. Benar saja, saat pertama aku terkagum-kagum serta takjub kala mata memandangi tiap sudut bentang vegetasi dan kabut embun bergerak di atas rapatnya kanopi. O..iya, satu hal lagi yang ku tahu sebelum mengunjungi tempat ini, yakni kopi Owa. Berbeda dengan perkebunan kopi (yang cenderung disengaja & terkesan monokultur), kopi ini terkenal dengan sebutannya kopi Owa karena tanaman kopi (yang merupakan peninggalan sistem Tanam Paksa di Pekalongan dengan komoditi utama ialah kopi) hidup di dalam habitat nya Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) yang endemik di pulau ini.
praktek metode line transek
transek di persiapkan terlebih dahulu sebelum pengamatan dan diberi tanda

Hari pertama, Jum’at malam (12/10), diawali dengan pembukaan acara. Sambutan-sambutan diberikan kepada para peserta yang berjumlah 20 orang dari berbagai profil dan latar belakang. Ada peserta dari kalangan mahasiswa, pecinta alam, fotografer alam liar bahkan hingga advokat, berkumpul dan belajar bersama tentang survei populasi primata Jawa. Setelah dihangatkan oleh berbagai sambutan dari ketua pelaksana acara, Kepala KPH Pekalongan Timur,  serta perkenalan dengan peserta lainnya. Kemudian langsung dilanjutkan oleh pematerian pertama, pengantar tentang primata yang disampaikan oleh kak Salmah. Setelah itu, kami briefing untuk persiapan esoknya, dengan materi Survei Populasi dengan Teknik Line-Transect Sampling.

Penggunaan teknik tetap berdasarkan prinsip pengacakan (random) dan pengulangan (replication). Kegunaan teknik ini ialah untuk mencari dugaan/estimasi kepadatan (density) suatu objek (primata) per satuan luas/waktu. Adapun cara pengambilan datanya dengan berjalan lurus pada lintasan/jalur yang telah ditetapkan panjangnya (L), kemudian mencatat perjumpaan langsung dengan objek (N), lalu menembakkan sudut jalur & sudut objek dengan kompas (kemudian diselisihkan, α) serta mengestimasikan jarak langsung pengamat-objek (x). Tiga data terakhir dibutuhkan untuk mengetahui jarak antara objek yang tegak lurus dengan jalur (perpendicular distance/ppd/w) dengan prinsip trigonometri , (rumus sinus, cosinus atau tangen) digunakan untuk menghitung jarak tegak lurus antara primata dan transek, yang di tentukan dari dari sudut apit antara arah transek (pengamat) dan primata yang terlihat.

Jarak (ppd) ini digunakan sebagai preferensi lebar area sampling, atau telah disepakati sejak awal menggunakan jarak pandang optimum mata manusia (~50 meter), sehingga area sampling diproyeksikan berbentuk persegi panjang. Adapun persamaan matematis dari perumusan kepadatan/density (D) ini adalah:

D = N/A = n/2Lw

Hari itu (12/10), kami pun mengaplikasikan teori semalam di lapangan. Sebelumya, semua peserta dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok melalui jalur/transek: 1. Iger Menyan; 2. Rambut Putih; dan 3. Rumah pohon. Aku kebagian kelompok satu, transek 1. Iger Menyan. Menurut mas Wawan, panjang trek ini mencapai 700 meter yang berujung pada tumbuhan endemik Indonesia, damar-mata kucing (Shorea javanica Koord. & Valeton). Namun sayangnya, sepanjang perjalanan kami tidak menemukan/berjumpa langsung dengan objek (primata), hanya terdengar morning call/great call Owa Jawa di sisi tebing seberang. Dan lagi-lagi, kami kurang beruntung sebab terdapat pohon tumbang di titik 300 meter-an yang menghalangi jalan dan tidak memungkinkan untuk dilewati. Meskipun belum berkesempatan berjumpa langsung, kami tetap mengsimulasikan cara pengambilan data yang baik dan benar oleh pendamping jalur.
owa yang terfoto oleh peserta lain, mas Anjar dari Pekalongan
Sesampainya kami kembali ke basecamp, kami berisitirahat dan menyempatkan diri untuk mandi di sungai kolong jembatan. Air nya sangat bersih & jernih, sesuatu yang jarang bahkan tidak dapat ditemui di ibukota. Penyegaran ini guna persiapan untuk mengerahkan fikiran untuk mengolah data berikutnya. Rupanya teman kami di transek lain, ada yang menemukan sedikit individu, bahkan ada yang “panen” berjumpa dengan banyak individu dari beragam jenis primata, mulai dari Owa Jawa, Lutung Budeng, Rekrekan hingga Monyet Ekor panjang. Kemudian sesi tanya-jawab dan diskusi pun berjalan seru, berbagi pengalaman di lapang dan menambah wawasan dari tiap jawaban yang diberikan oleh pemateri dari Swaraowa, mas Wawan.
metode vocal-triangulasi untuk survey Owa

Malamnya dilanjutkan dengan briefing kembali, persiapan pengaplikasian dengan teknik yang berbeda. Kali ini kami mencoba menggunakan teknik triangulasi-Vocal Count. Tujuan metode ini menyerupai dengan teknik sebelumnya, yakni untuk mengetahui estimasi kepadatan populasi berdasarkan jumlah kelompok yang terdeteksi. Akan tetapi, survei populasi dengan teknik ini termasuk indirect survey/survei tidak langsung, sebab kita hanya menduga kepadatan berdasarkan asumsi keberadaan kelompok primata yang diwakili oleh vokalisasi satu individunya (biasanya betina, terkadang pula jantan, namun Owa Jawa tidak seperti owa lainnya yang melakukan duet, kecuali dia dan Siamang Kerdil/Hylobates klossii. Perlu dicatat pula, metode ini hanya berlaku pada objek yang telah diketahui pola perilaku bersuaranya. Bila proyeksi line-transect berbentuk persegi panjang, namun dalam triangulasi-vocal count diproyeksikan menjadi lingkaran.

Sebelum melakukan pengambilan data, hal yang perlu dicari ialah pos pendengaran/Listening-Post (Lps). Minimal pos yang dibutuhkan sebanyak 3 pos, dengan jarak antar masing-masing pos sekitar 0,3 km  >1 km. Adapun penentuan pos ini mempertimbangkan faktor topografi, potensi gangguan pendengaran, informasi awal spesies objek dan pengamat/pendengar itu sendiri.

Cara pengambilan datanya dengan para pengamat telah menempati masing-masing pos dengan waktu awal yang telah diseragamkan dan mencatat seluruh suara yang terdengar dari objek (primata, Owa). Ketika terdengar suara Owa, pengamat menembakkan sudut arah sumber suara, kemudian mengestimasikan jarak antara sumber ke pos pendengarannya, lalu mengkonfirmasikan kepada pos lain (dengan menggunakan komunikasi jarak jauh, ponsel, handy talky dsb.). Data yang benar-benar dipakai saat pengolahan data ialah data yang telah dikonfirmasi dari pos lain dan menunjukkan ke titik arah yang sama, sehingga diketahui lah titik temu/koordinat dari objek tersebut. Maka densitas adalah jumlah grup yang terdengar (n) per luas area/lingkaran yang telah dikalikan terlebih dahulu dengan konstanta probability calling (pm). Pm diperoleh dari survei awal, menghitung kemungkinan bersuara owa dalam periode waktu tertentu,  dimana nilainya 0 < pm < 1. Adapun persamaan matematisnya ialah:

D = n/(A (pm))
pm = n/H × 100%; dan 0 <; < 1,
nilai pm yang kita gunakan disini adalah 0.85

Sabtunya ,kami memparaktikan teknik ini. Kini, kami bergiliran menempati titik di jalur Rumah Pohon sebagai pos pendengaran kelompok kami. Pengamatan serentak dimulai di masing-masing pos pada jam 6 pagi dan berakhir bersamaan pada jam 9 pagi. Saat masih awal-awal terdegara banyak sekali suara dari berbagai sumber arah, akan tetapi semakin siang suasananya semakin sepi. Hanya saja kendala terjadi karena kebingungan menentukan sudut arah sumber suara, mengestimasikannya dan gangguan dari suara lain (seperti suara tonggeret, burung, bahkan mobil ambulans yang hampir membuat kami keliru.

Bagi orang yang biasa jalan jauh, mungkin teknik ini adalah tantangan tersendiri, karena kita harus dituntut diam dan menyimak dengan seksama pada titik yang telah ditentukan. Namun rupanya keunggulan dari teknik ini ialah mampu memberikan gambaran sebaran kelompok dalam waktu yang singkat. Namun kelemahannya kurang mampu memberikan informasi yang lebih detail terkait ukuran dan komposisi suatu populasi, dan perlu peninjauan kembali (validasi dengan teknik line-transect).

Setelah kami melaksanakan dan kembali ke rumah, kami langsung mendiskusikannya. Banyak ilmu baru dan wawasan menarik dari hasil sesi diskusi & sharing. Selanjutnya ada pemaparan materi & berbagi pengalaman dari dua pemateri undangan pelatihan kali ini, yakni ada Dr. Bosco Chan dari LSM yang berbasis di China Kadoorie Farm Botany Garden,dan ada Mbak Dwi Yandhi yang berasal dari Sulawesi, Macaca Nigra Project.
Dr.Bosco presentasi tentang upaya pelestarian Owa di P.Hainan Hongkong, China

Dr. Boscho mempresentasikan kerjanya, terutama kini menangani primata sekaligus mamalia terlangka di dunia, yakni Owa Hainan (Nomascus hainanus) yang endemic di satu lokasi Pulau Hainan. Beliau mencertitakan pengalamannya, upayanya hingga kendala-kendalanya saat itu kala mengetahui owa ini hanya tersisa beberapa indiviu, bahkan jumlah populasi global pernah mencapai hitungan jari saja! Setelah riset & observasi intensif, rupanya populasi ini menunjukkan tren kenaikkan ukuran populasinya.
mbak Yandhi presentasi tentang Macaca Nigra

Sedangkan mbak Yandhi, berbagi pengalaman selama 5 tahun terakhir hingga sekarang di Macaca Nigra Project (MNP). Pengalaman unik & menegangkannys, menghadapi tekanan masyarakat yg amat kuat hingga pemekaran ranah, yang tadinya hanya berfokus pada penelitian, kini MNP pun merambah ke dunia konservasi dan edukasi lingkungan dan juga pemberian wawasan dari segi edukasi.

Setelah sesi sharing berakhir, rupanya itu pun sesi terakhir, penutup agenda Pelatihan Metode Survei Primata. Tentunya diakhiri dengan sesi dokumentasi penutup acara. Pengabadian momen bersama, berfoto & bercanda setelah itu. Oh sungguh indah suasana ini, pengalaman yang tak terlupakan dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat. Tentunya, teman baru & relasi baru pun terjalin setelah pelatihan ini usai .
Foto bersama peserta, pemateri dan panitia MSP 2018

Terima Kasih banyak kepada KP3 Primata UGM sebagai penyelenggara acara, mas Wawan Swaraowa sebagai tuan rumah, dan pemateri undangan Mr. Bosco & mbak Yandhi yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi pengalaman & semangatnya kepada para peserta.

Salam Lestari, Salam Konservasi.

Saturday, October 20, 2018

MSP 2018: Regenerasi Peneliti dan Pegiat Konservasi Primata

foto bersama seluruh peserta #MSP2018

Acara pelatihan metode survey tahun 2018, kali ini mengundang tamu perwakilan primata Indonesia dan primata asia daratan, Dwi Yandhi Febriyanti dari Macaca Nigra Project, dan Dr. Bosco Chan dari Hongkong. Dilaksanakan tanggal 12-14 Oktober 2018, di Hutan Sokokembang, Desa Kayupuring, Petungkriyono, Pekalongan.

Seperti acara-acara tahun sebelumnya, acara ini di buka oleh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan , Pekalongan Timur, Bapak Joko  Santoso mewakili Perhutani sebagai pengelola hutan lindung di  Petungkriyono, Swaraowa di wakili oleh Salmah Widyastuti memberikan pengantar tentang sekilas keanekaragaman hayati dan primata di hutan Sokokembang, dan kedua pembicara yang kita undang menyampaikan pengalaman lapangan, penelitian dan upaya pelestarian yang di lakukan dengan harapan dapat memberikan pengetahuan dan informasi yang berbeda dari yang ada di Jawa, khususnya Owa jawa.
Pendopo Kopi Owa tempat diskusi dan teori Metode survey primata

Dr.Bosco Chan sebagai direktur konservasi dari NGO yang berbasis di China Kadoorie Farm Botany Garden, sangat antusiast sekali ketika di awal bahwa bisa datang ke hutan Sokokembang, yang awalnya agak ragu bahwa hutan Jawa ini sudah habis. Namun setelah melihat sendiri pengamatan dan merasakan langsung, inilah hutan hujan dataran rendah yang tersisa di Jawa.
Konservasi Hainan Gibbon, di ceritakan Oleh Dr. Bosco Chan

Bercerita tentang owa di Pulau Hainan,sebuah pulau di selatan China, menjadi tambahan pengalaman berbeda di sajikan untuk peserta pelatihan metode survey 2018. Dr.Bosco bercerita dari 4 Jenis Owa yang ada di Cina, yang menjadi concern Kadoorie farm Bontany Garden, yaitu jenis owa yang ada d China daratan, provinsi Yunan, owa ini baru di pisahkan menjadi species baru tahun 2017, dari species Eastern Hoolock Gibbon (Hoolock leuconedys), bernama Gaoligong Gibbon ( Hoolock tianxing).

Survey terbaru tahun 2017, Dr Bosco menceritakan hanya di temukan sekitar 200 individu saja. Jenis kedua yang menjadi prioritas lembaga di bawah koordinasi Dr Bosco yaitu Hainan Gibbon (Nomascus hainanus), kedua jenis owa ini mempunyai penampilan yang berbeda jantan dan betina ( sexual dimorphism) Jantan berwarna rambut hitam dan Betina berwarna rambut kuning, hingga saat ini owa dari Pulau Hainan, tercatat sebagai Owa yang paling langka di dunia, dan hanya terdapat di satu lokasi di Bawangling Nature Reserve.  Tahun 1950an tercatat 2000 individu tersebar di seluruh Pulau Hainan, namun karenan perburuan, dan hilangnya habitat berhutan populasinya turun drastic hingga tercatat 30an di tahun 80an. Hingga tahun 2003, populasinya terus menurun dan tercatat tersisa 13 individu saja!!

lihat vedeo Hanian Gibbon berikut salah satu kegiatan monitoring team Dr.Bosco Chan di KFBG :


Upaya yang dilakukan Dr Bosco dan tim di Kadoorie Farm bertujuan untuk melestarikan Owa ini, meningkatkan populasi dan juga memperluas dan memperkaya habitatnya yang tersisa, program penelitian, peningkatan pengetahuan dan edukasi masyarakat sekitar dan juga pengembanan ekonomi sekitar habitat juga menjadi focus kegiatan. Setelah 14 tahun upaya yang dilakukan survey terakhir di Bawangling Nature Reserve populasi Owa Hainan ini meningkat menjadi 27 individu. Penanman pohon-pohon penting untuk Owa juga di lakukan di antara hutan pinus yang juga menjadi habitatnya. Merekrut orang-orang yang dulu berburu di hutan menjadi ranger owa, patut menjadi contoh di sini, pekerjaan baru yang membuat orang-orang yang memang paham sekali tentang hutan di jalan konservasi, bukan menghabisi keanekargaman hayati.

Di akhir presentasi Dr. Bosco mengapresiasi yang di lakukan disini, dimana kegiatan pelatihan ini adalah sangat penting mengenalkan dan membuat generasi muda lebih tahu akan species kebanggaanya. Mendorong munculnya conservationist muda dan peneliti-peneliti baru yang akan terus berpacu melawan dengan laju kepunahan species-species unik ini.

Sesi kedua, Mbak Dwi Yandi yang dari Tangkoko Sulawesi Utara, menceritakan bahwa Macaca Nigra Project merupakan sebuah kegiatan penelitian bersama antara Institut pertanian Bogor, Universitas Samratulangi, Departemen Kehutanan dan Liverpool John Mores University. Dengan tiga pilar utama kegiatan Penelitian, Konservasi dan Edukasi. Menurut mbak Yandi, di dunia ada 23 jenis Macaca, dan 7 jenis ada di Sulawesi , Dari tahun 2006, penelitian Yaki (Macaca nigra) dimulai, demografi populasi kelompok ini yang awalnya hanya 3 kelompok, telah berkembang menjadi 8 kelompok, di lokasi seluas 87 km2, populasi sekitar 2000 individu. Yaki hanya tersebar di Sulawesi utara, dari pantai hingga pegunungan sebagai habitatnya. Nama internasional untuk Yaki adalah Sulawesi Black Crested Macaque, dengan cirikhas warna hitam dan jambul di kepala. Seperti macaca umumnya, hidup berkelompok banyak jantan dan banyak betina, 15-100 individu, biasanya betina lebih banyak 2-3x jumlah jantan. Ketika dewasa jantan akan memisah dari kelompoknya, sementara Betina tetap bertahan dalam kelompok.
Dwi Yandhi menyampaikan presentasi tentang Macaca Nigra Project di Tangkoko

Penelitian yang di lakukan juga menemukan bahwa yaki adaalah salah satu penyebar biji yang efektif di hutan Tangkoko, ada 20 jenis buah yang penting bagi Yaki. Dan yang paling sering dimakan dan tentu saja bijinya juga disebarkan adalah Mengkudu ( Morinda citrifolia ). Aspek konservasi, yang di lakukan di antaranya memetakan konflik Yaki dengan masyarakat, dan salah satu ancaman serius dari populasi Yaki adalah perburuan, perburuan banyak di lakukan menggunakan jerat khusunya untuk menangkap babi hutan dan unggas, namu sering sekali menemukan yaki yang terkena jerat ini.
salah satu slide presentasi mbak Yandhi, Yaki banyak yang kena jerat pemburu

Jerat-jerat ini banyak membuat yaki terluka, mati ataupun cacat, karena sebenarnya sasaran jerat ini untuk satwa yang lain. Melihat hal ini, upaya untuk menyelamatkan yaki yang kena jerat juga dilakukan dengan melepaskan jerat-jerat yang kadang masih terus terikat di tangan, kaki, ataupun di badan, tentu saja tidak mudah menangkap dan melepas kembali monyet yang kena jerat ini, peralatan biodmedis dan stantar operasional prosedur yang sesuai aturan penanganan primata.  Upaya meningkatakan pengetahuan dan edukasi tentang monyet Yaki juga di lakukan dengan mengadakan kegiatan edukatif bersama anak-anak sekolah di lingkungan Cagar Alam Tangkoko.

Acara Pelatihan Metode Survey Primata 2018 (MSP2018), ini terselenggara sebagai bagian dari Kegiatan Proyek Kopi dan Konservasi Primata 2018, yang didukung oleh Fortwayne Children’s Zoo, Ostrava Zoo, dan Wildlife Reserve Singapore, bekerjasama dengan KP3 Primata, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini juga dalam rangka kampanye global hari owa sedunia, International Gibbon Day yang jatuh pada tanggal 24 Oktober 2018.