Saturday, October 20, 2018

MSP 2018: Regenerasi Peneliti dan Pegiat Konservasi Primata

foto bersama seluruh peserta #MSP2018

Acara pelatihan metode survey tahun 2018, kali ini mengundang tamu perwakilan primata Indonesia dan primata asia daratan, Dwi Yandhi Febriyanti dari Macaca Nigra Project, dan Dr. Bosco Chan dari Hongkong. Dilaksanakan tanggal 12-14 Oktober 2018, di Hutan Sokokembang, Desa Kayupuring, Petungkriyono, Pekalongan.

Seperti acara-acara tahun sebelumnya, acara ini di buka oleh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan , Pekalongan Timur, Bapak Joko  Santoso mewakili Perhutani sebagai pengelola hutan lindung di  Petungkriyono, Swaraowa di wakili oleh Salmah Widyastuti memberikan pengantar tentang sekilas keanekaragaman hayati dan primata di hutan Sokokembang, dan kedua pembicara yang kita undang menyampaikan pengalaman lapangan, penelitian dan upaya pelestarian yang di lakukan dengan harapan dapat memberikan pengetahuan dan informasi yang berbeda dari yang ada di Jawa, khususnya Owa jawa.
Pendopo Kopi Owa tempat diskusi dan teori Metode survey primata

Dr.Bosco Chan sebagai direktur konservasi dari NGO yang berbasis di China Kadoorie Farm Botany Garden, sangat antusiast sekali ketika di awal bahwa bisa datang ke hutan Sokokembang, yang awalnya agak ragu bahwa hutan Jawa ini sudah habis. Namun setelah melihat sendiri pengamatan dan merasakan langsung, inilah hutan hujan dataran rendah yang tersisa di Jawa.
Konservasi Hainan Gibbon, di ceritakan Oleh Dr. Bosco Chan

Bercerita tentang owa di Pulau Hainan,sebuah pulau di selatan China, menjadi tambahan pengalaman berbeda di sajikan untuk peserta pelatihan metode survey 2018. Dr.Bosco bercerita dari 4 Jenis Owa yang ada di Cina, yang menjadi concern Kadoorie farm Bontany Garden, yaitu jenis owa yang ada d China daratan, provinsi Yunan, owa ini baru di pisahkan menjadi species baru tahun 2017, dari species Eastern Hoolock Gibbon (Hoolock leuconedys), bernama Gaoligong Gibbon ( Hoolock tianxing).

Survey terbaru tahun 2017, Dr Bosco menceritakan hanya di temukan sekitar 200 individu saja. Jenis kedua yang menjadi prioritas lembaga di bawah koordinasi Dr Bosco yaitu Hainan Gibbon (Nomascus hainanus), kedua jenis owa ini mempunyai penampilan yang berbeda jantan dan betina ( sexual dimorphism) Jantan berwarna rambut hitam dan Betina berwarna rambut kuning, hingga saat ini owa dari Pulau Hainan, tercatat sebagai Owa yang paling langka di dunia, dan hanya terdapat di satu lokasi di Bawangling Nature Reserve.  Tahun 1950an tercatat 2000 individu tersebar di seluruh Pulau Hainan, namun karenan perburuan, dan hilangnya habitat berhutan populasinya turun drastic hingga tercatat 30an di tahun 80an. Hingga tahun 2003, populasinya terus menurun dan tercatat tersisa 13 individu saja!!

lihat vedeo Hanian Gibbon berikut salah satu kegiatan monitoring team Dr.Bosco Chan di KFBG :


Upaya yang dilakukan Dr Bosco dan tim di Kadoorie Farm bertujuan untuk melestarikan Owa ini, meningkatkan populasi dan juga memperluas dan memperkaya habitatnya yang tersisa, program penelitian, peningkatan pengetahuan dan edukasi masyarakat sekitar dan juga pengembanan ekonomi sekitar habitat juga menjadi focus kegiatan. Setelah 14 tahun upaya yang dilakukan survey terakhir di Bawangling Nature Reserve populasi Owa Hainan ini meningkat menjadi 27 individu. Penanman pohon-pohon penting untuk Owa juga di lakukan di antara hutan pinus yang juga menjadi habitatnya. Merekrut orang-orang yang dulu berburu di hutan menjadi ranger owa, patut menjadi contoh di sini, pekerjaan baru yang membuat orang-orang yang memang paham sekali tentang hutan di jalan konservasi, bukan menghabisi keanekargaman hayati.

Di akhir presentasi Dr. Bosco mengapresiasi yang di lakukan disini, dimana kegiatan pelatihan ini adalah sangat penting mengenalkan dan membuat generasi muda lebih tahu akan species kebanggaanya. Mendorong munculnya conservationist muda dan peneliti-peneliti baru yang akan terus berpacu melawan dengan laju kepunahan species-species unik ini.

Sesi kedua, Mbak Dwi Yandi yang dari Tangkoko Sulawesi Utara, menceritakan bahwa Macaca Nigra Project merupakan sebuah kegiatan penelitian bersama antara Institut pertanian Bogor, Universitas Samratulangi, Departemen Kehutanan dan Liverpool John Mores University. Dengan tiga pilar utama kegiatan Penelitian, Konservasi dan Edukasi. Menurut mbak Yandi, di dunia ada 23 jenis Macaca, dan 7 jenis ada di Sulawesi , Dari tahun 2006, penelitian Yaki (Macaca nigra) dimulai, demografi populasi kelompok ini yang awalnya hanya 3 kelompok, telah berkembang menjadi 8 kelompok, di lokasi seluas 87 km2, populasi sekitar 2000 individu. Yaki hanya tersebar di Sulawesi utara, dari pantai hingga pegunungan sebagai habitatnya. Nama internasional untuk Yaki adalah Sulawesi Black Crested Macaque, dengan cirikhas warna hitam dan jambul di kepala. Seperti macaca umumnya, hidup berkelompok banyak jantan dan banyak betina, 15-100 individu, biasanya betina lebih banyak 2-3x jumlah jantan. Ketika dewasa jantan akan memisah dari kelompoknya, sementara Betina tetap bertahan dalam kelompok.
Dwi Yandhi menyampaikan presentasi tentang Macaca Nigra Project di Tangkoko

Penelitian yang di lakukan juga menemukan bahwa yaki adaalah salah satu penyebar biji yang efektif di hutan Tangkoko, ada 20 jenis buah yang penting bagi Yaki. Dan yang paling sering dimakan dan tentu saja bijinya juga disebarkan adalah Mengkudu ( Morinda citrifolia ). Aspek konservasi, yang di lakukan di antaranya memetakan konflik Yaki dengan masyarakat, dan salah satu ancaman serius dari populasi Yaki adalah perburuan, perburuan banyak di lakukan menggunakan jerat khusunya untuk menangkap babi hutan dan unggas, namu sering sekali menemukan yaki yang terkena jerat ini.
salah satu slide presentasi mbak Yandhi, Yaki banyak yang kena jerat pemburu

Jerat-jerat ini banyak membuat yaki terluka, mati ataupun cacat, karena sebenarnya sasaran jerat ini untuk satwa yang lain. Melihat hal ini, upaya untuk menyelamatkan yaki yang kena jerat juga dilakukan dengan melepaskan jerat-jerat yang kadang masih terus terikat di tangan, kaki, ataupun di badan, tentu saja tidak mudah menangkap dan melepas kembali monyet yang kena jerat ini, peralatan biodmedis dan stantar operasional prosedur yang sesuai aturan penanganan primata.  Upaya meningkatakan pengetahuan dan edukasi tentang monyet Yaki juga di lakukan dengan mengadakan kegiatan edukatif bersama anak-anak sekolah di lingkungan Cagar Alam Tangkoko.

Acara Pelatihan Metode Survey Primata 2018 (MSP2018), ini terselenggara sebagai bagian dari Kegiatan Proyek Kopi dan Konservasi Primata 2018, yang didukung oleh Fortwayne Children’s Zoo, Ostrava Zoo, dan Wildlife Reserve Singapore, bekerjasama dengan KP3 Primata, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini juga dalam rangka kampanye global hari owa sedunia, International Gibbon Day yang jatuh pada tanggal 24 Oktober 2018.

No comments:

Post a Comment