Di tulis oleh : Asman Adi Purwanto
e-mail : raptor.aap@gmail.com
suara burung Ceret Gunung
Hawa dingin langsung menyeruak menyerang kami yang datang
dari dataran rendah, ketika kami datang di Cemoro Kandang. Suhu 13 – 14 derajat
celcius saja sudah cukup membuat kami seperti kucing takut dengan air. "Tim monyet "SwaraOwa datang ke Cemoro Kandang di Lereng Selatan Gunung Lawu untuk
melakukan pendataan kemungkinan adanya Surili Jawa atau yang biasa kami sebut
dengan nama Rekrekan (Presbitys comata)
Saya mungkin satu-satunya anggota tim yang lebih fokus pada
kegiatan pengamatan dan konservasi burung. Menjejakan kaki di Lawu adalah yang
pertama kali buat saya. Berharap bisa mendapatkan banyak catatan baru yang
tidak saya temukan di gunung – gunung lain di Pulau Jawa. Ceret Jawa (Locustella montis ) dan tentu saja sang
legenda Jalak Gading atau Anis Gunung (Turdus
poliocephalus stresemanni) mejadi target saya disela-sela mencari
keberadaan primata endemik Jawa.
Suara-suara burung sudah mulai terdengar dari basecamp
cemoro kandang tempat kami nge-pos.
Beberapa jenis merupakan suara dari jenis burung yang sudah pernah kami jumpai
sebelumnya sehingga bagi kami suara tersebut sudah tidak asing. Dan, kami bisa
langsung mengenali suara tersebut. Begitu juga sepanjang jalur pendakian dan
jalan setapak yang kami telusuri suara-suara burung dari yang kami kenal sampai
dengan suara yang menurut kami masih asing menjadi penyemangat kami mencari
keberadaan rekrekan (Presbytis comata) dan
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus).
Beberapa suara burung yang belum kami kenali, kami mencoba untuk merekam untuk
kepentingan identifikasi.
Ceret Gunung (Cettia
vulcania)merupakan burung yang paling umum. Di semua jalur yang kami
masuki, kami selalu menemukan jenis tersebut. Awalnya saya pikir itu Ceret Jawa
(Locustella montis) ternyata setelah
yang punya suara keluar dari semak belukar langsung ketahuan. Dan, ceret jawa yang menjadi target saya, saya
hanya mendengarkan suaranya saja tanpa melihat langsung wujud aslinya.
Di jalur cemoro kandang hal menarik lainnya selain
melimpahnya jenis ceret gunung, kami juga menemikan aktifitas Ciu Besar (Pteruthius flaviscapis) yang membawa
mangsa di paruhnya dan selalu mengeluarkan suara peringatan. Jantan dan Betina
ciu besar selalu bersamaan mengeluarkan suara ketika ada kami dilokasi dimana
kami juga menemukan suara Lutung Jawa dihari pertama. Asumsi kami sepasang
burung tersebut sedang dalam masa berbiak dan posisi sarang bisa jadi ada di
lokasi itu.
Tidak kami cari, keberuntungan datang, si Jalak gading, atau Jalak Lawu pun akhirnya, menampakan diri dan langsung beraksi di depan
camera. Burung ini adalah salah satu ras burung kicau dari marga Turdidae, yang hanya ada
di G.lawu tidak di jumpai di
tempat lain.
Sekitar 20 jenis burung yang kami jumpai dalam waktu 4 hari,
dengan jumlah jenis burung yang kami temukan justru menjadi keheranan bagi kami. Mengapa
demikian?
Hutan lereng selatan gunung lawu memiliki tipe habitat hutan
hujan tropis dengan vegetasi yang masih sangat bagus. Bahkan lebih bagus dari
Merbabu. Dengan kondisi demikian, ekspektasi kami pada saat berangkat kami dapat
menjumpai jenis satwa yang cukup melimpah, mulai dari aves sampai mamalia. Akan
tetapi dugaan kami meleset, hutan begitu sepi dari suara burung, jejak mamalia
baik jejak kaki dan kotoran, yang ada hanya jejak roda sepeda motor.
Mungkin
hal ini terjadi akibat dari dampak penangkapan burung yang cukup tinggi di
kawasan tersebut. Pak Kholil, mantri perhutani wilayah magetan dalam obrolan
santai mengatakan masih saja ada orang-orang tak bertanggung jawab masuk ke
kawasan lawu untuk menangkap burung.
“Yang masuk menangkap burung ya ada saja, mas. Mereka masuk
melalui jalan-jalan setapak yang jauh dari pantauan kami”. Jelas pak Kholil, dan keterbatasan personel untuk mengamankan kawasan yang luas.
Kegiatan perburuan satwa mempunya dampak yang sangat besar
terhadap populasi satwa di alam khususnya burung. Hilangnya burung burung
ini juga mengakibatkan peran penting dari burung tersebut juga hilang. Sudah nyata,
menikmati kicauan burung di hutan tidak lagi terdengar, fungsi burung sebagai
pengendali hama, sudah dirasakan petani, dan fungsinya digantikan dengan
pestisida kimia.
Dari beberapa pengalaman kami mengunjungi beberapa kawasan
hutan yang memiliki intensias penangkapan burungnya tinggi, hutan – hutan menjadi sunyi sekan bisu, " Empty forest syndrome” .
Melalui kegiatan survey surili jawa ini, kami berharap dan
mengajak semua pihak untuk berpartisipasi aktif menjaga ekosistem Gunung Lawu.
Hal itu disambut baik oleh Komunitas Anak Gunung Lawu (AGL) yang
mengharapkan hasil dari kegiatan ini dapat menjadi rujukan mereka dalam berkontribusi
nyata melestarikan kawasan lawu khususnya di kawasan cemoro kandang hingga ke
Puncak Lawu.