Di tulis oleh : Kasih Putri Handayani
e-mail :kasihputri288@gmail.com
Disambut
kabut tebal dan gerimis, Rabu, 10 Februari 2016, akhirnya tim SwaraOwa sampai
di Basecamp Pendakian Cemoro Kandang, lereng selatan Gunung Lawu. Misi kami kali ini adalah untuk memperbarui informasi mengenai primata Jawa. Gunung Lawu ini merupakan
lokasi pertama yang kami survei terkait potensinya sebagai area distribusi
primata, terutama jenis Rekrekan atau Surili (Presbytis comata).
Secara
administratif, lereng selatan Gunung Lawu ini merupakan perbatasan antara
Kabupaten Karanganyar (Provinsi Jawa Tengah) dengan Kabupaten Magetan (Provinsi
Jawa Timur). Kawasan ini juga berkembang menjadi tempat wisata yang cukup ramai,
mulai dari Telaga Sarangan, Cemoro Sewu hingga Cemoro Kandang. Jalur pendakian
Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu juga merupakan jalur favorit para pendaki gunung
untuk mencapai puncak Lawu yang dikenal dengan nama Hargo Dumilah (3.265 mdpl).
Selain dari kalangan pecinta alam, beberapa orang mendaki Gunung ini untuk
kepentingan ritual.
Sepintas,
penutupan lahan sebagian besar kawasan lereng selatan Gunung Lawu ini berupa
hutan (hutan tanaman dan hutan alam), yang berbatasan dengan permukiman dan
lahan pertanian warga. Nampak pula bekas kebakaran hebat tahun lalu, yang
menyisakan tegakan-tegakan batang pinus yang kering. Dilihat dari citra di
Google Earth, nampak jelas kebakaran tersebut turut memisah-misahkan kawasan
hutan yang ada.
Hutan
tanaman di kawasan ini umumnya disusun oleh jenis tanaman pinus, puspa, bintamin dan eucalyptus. Disamping hutan tanaman, lereng selatan Gunung Lawu
masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis yang sangat menawan. Pohon pasang (Lithocarpus sp., famili Fagaceae) atau
pohon oak, tumbuh kokoh dengan batang dan dahan yang menjadi habitat bagi
berbagai jenis lumut, paku-pakuan dan anggrek epifit. Cahaya matahari menerobos
di sela-sela kanopi hutan yang terbuka, menjadikan lantai hutan terasa lembab
terlebih pada musim hujan. Kami pun berulang kali hanya berdecak kagum melihat
hutan yang sangat idah ini.
Untuk
mencari keberadaan primata, tim swaraOwa bergerak menyusuri jalur pendakian dan
jalan-jalan setapak di dalam kawasan hutan, dari sekitar jalur Cemoro Kandang
hingga Mojosemi. Dihari pertama survey, belum terlalu jauh kami berjalan dari
basecamp Cemoro Kandang, terdengar loudcall
Lutung Budeng yang sangat khas. “kekok
kekok, kekok kekok”, kurang lebih demikian vokalisasinya. Mendengar
panggilan tersebut, kami segera bergerak menaiki punggungan menuju arah datang
suara. Akhirnya terlihat oleh kami dua individu lutung yang tengah bergerak di
pohon. Namun nampaknya mereka tidak hanya berdua. Terdengar suara berisik
individu lain dan juga gerakan dahan-dahan pohon di belakang mereka. Terlihat
satu individu lutung yang nampak lebih “gendut” dari individu lainnya, dengan
rambut bagian ventral yang berwarna
abu-abu keputihan. Rambut di bagian wajah juga nampak keputihan. Mungkin ini
yang dimaksud oleh masyarakat setempat, tentang Lutung kelabu. Ketika kami mengumpulkan informasi dari masyarakat, mereka menyatakan
belum pernah melihat monyet berjambul dan berbibir merah yang kami cari (Rrekrekan). Namun mereka meyakini ada monyet yang rambut muka dan dadanya
berwarna keputihan seperti halnya Rekrekan dalam satu kelompok
lutung budeng yang dominan hitam. Dalam satu perjumpaan lain dengan kelompok
lutung budeng, variasi warna rambut juga terlihat. Kali ini kami bisa melihat
lebih dekat dan jelas, bahwa memang beberapa individu lutung memiliki warna
rambut yang keputihan di bagian ventral (dada dan perut), tangan dan bagian
dalam kaki. Warna keputihan juga menghiasi bagian luar kaki, tangan dan juga
bagian muka.
Satu
kelompok lagi kami jumpai di tepi jalan raya pada lereng yang cukup curam.
Terlihat satu individu muda (infant)
digendong induknya. Bagian kepala dan punggung infant tersebut telah berwarna
hitam, sementara bagian depan (dada dan perut) masih berwarna putih kekuningan. Mengetahui
keberadaan kami, dengan segera mereka bergerak menjauh dari jalan. Nampak bekas
semak di tepi jalan yang mereka lalui. Mereka harus mengambil resiko, keluar
dari hutan dan menyeberang jalan raya yang cukup lebar dan ramai untuk mencari
makan di hutan seberang jalan. Mungkin seperti inilah cikal-bakal terjadinya
fragmentasi hutan.
Habitat Lutung di G.Lawu |
Satu hal yang menarik perhatian kami. Kawasan lereng selatan Gunung Lawu ini masih memiliki hutan alam yang vegetasinya masih sangat bagus. Dengan kondisi demikian, kami berharap dapat menjumpai biodiversitas satwa yang tinggi. Namun dugaan kami meleset. Hutan alam yang indah tersebut sangat sepi. Tidak banyak jenis burung yang kami jumpai, yang sebagian besar merupakan jenis burung semak. Apakah ini dampak aktivitas perburuan yang hingga kini masih saja terjadi? Atau memang kami datang diwaktu yang kurang tepat, saat satwa-satwa tersebut tengah bersembunyi. Entahlah. Dan melalui kegiatan serta tulisan ini, kami ingin mengajak sahabat-sahabat semua untuk turut menjaga keseimbangan ekosistem Gunung Lawu, sebagai kawasan pegunungan yang penting secara ekologi , ekonomi, ilmu pengetahuan,wisata dan juga budaya.
kesimpulan, memang tidak ada Rekrekan ya di Gn Lawu tsb ?
ReplyDelete