ditulis oleh : Imam Taufiqurrahman, email : orny_man@yahoo.com; Foto : Ismael Saumanuk
Peta kuno kep.Mentawai, dari Pinterest.com |
Gulungan ombak dan
kekhasan adat budaya telah lama membuat Siberut menjadi perhatian dunia. Namun keunikan
pulau terbesar di gugus kepulauan Mentawai ini tak hanya itu. Nyaris separuh
dari 37 jenis mamalia, termasuk lima primatanya, berstatus endemik. Ada sekitar
6o jenis herpetofauna dan lebih dari 150 jenis burung telah tercatat.
Misteri avifauna
yang ada pernah mencipta daya tarik tersendiri bagi para naturalis. Uniknya,
ini belumlah berlangsung lama. Dibanding Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan
sebagai pulau-pulau utama Bumi Sikerei, eksplorasi burung di Siberut menjadi
yang terakhir dilakukan.
Cecil Boden Kloss yang
berkebangsaan Inggris, bersama rombongan dari Museum Raffles Singapura, adalah
yang mengungkapnya pada 1924. Terpaut 22 tahun ketika Kloss pertama datang ke
Pagai Utara dan Pagai Selatan, berselang 32 tahun setelah Dr. E. Modigliani asal
Italia datang ke Sipora.
Jauhnya rentang
waktu terjadi bukan tanpa sebab. Mengawali pemaparan hasil eksplorasinya, Kloss
mengungkap alasan di balik itu. “Telah beberapa kali saya mengajukan ijin pada
pemerintah Hindia Belanda untuk kunjungan ke Siberut,” jelasnya, “ Ketika akhirnya ijin turun, naturalis yang namanya tersemat
pada salah satu primata endemik Mentawai ini mengeksplorasi avifauna Siberut selama
satu bulan. Ia lalu mengunjungi kembali Sipora dan Pagai setelahnya. Kedatangan Kloss
dan rombongannya ini tak hanya untuk burung, namun juga flora fauna lainnya
serta etnografi. Hasil-hasil eksplorasi itu terpublikasi secara terpisah, dengan
mengusung satu tajuk judul, Spolia Mentawiensis
(atau dalam beberapa makalah tertulis Spolia
Mentawiensia).
Srigunting kelabu |
Kloss menyusun
laporan hasil eksplorasi burung bersama Frederick Nutter Chasen. Tercatat 87
jenis di seluruh Kepulauan Mentawai. Khusus Siberut, ia mengumpulkan 314
spesimen dari 58 jenis. Enam di antaranya (dari total sebelas untuk seluruh
kepulauan) dikukuhkan sebagai taksa baru, termasuk celepuk mentawai Otus mentawi yang di kemudian hari menjadi
jenis tersendiri.
Mengacu daftar
jenis dari IOC, kini Kepulauan Mentawai memiliki dua jenis endemik. Selain celepuk
mentawai, terdapat uncal pulau Macropygia
modiglianii yang baru-baru ini dipisahkan dari uncal buau Macropygia emiliana. Adapun anak jenis
dari kadalan birah Phaenicophaeus curvirostris oeneicaudus, elang-ular bido Spilornis
cheela sipora atau srigunting sumatera Dicrurus sumatranus viridinitens, terdapat beberapa ahli memisahkannya menjadi jenis
tersendiri. Namun demikian peneguhan ini belum diamini seluruh kalangan.
Elang ular bido yang teramati di Siberut |
Di hasil yang
terbilang gemilang itu, Kloss sampai berani sesumbar, “Saya kira tak akan
banyak lagi temuan tersisa bagi yang berikutnya berkunjung untuk kepentingan
ornitologi, kecuali mungkin jenis-jenis migran dan burung pantai.”
Pernyataan Kloss seakan
mampu menghentikan kajian ornitologi di pulau yang hampir seukuran Nias itu. Saat
ini, di hampir satu abad setelahnya, hanya terbit sepuluh makalah mengenai
burung-burung Siberut. Dua di antaranya yang mengungkap keberadaan sejenis
paruh kodok sempat ramai diperbincangkan. Beberapa ahli menduga itu sebagai anak
jenis dari paruh-kodok tanduk Batrachostomus cornutus
yang belum terdeskripsi.
Namun hanya sampai sebatas itu. Tak ada lagi kejelasan, tak terdengar lagi ada upaya
pengkajian lebih dalam.
Mengingat keunikan
sejarah alam Siberut, sebenarnya banyak tema lain yang menarik untuk dikuak.
Berjarak hampir 150 km dari daratan Sumatera tidak serta-merta menjadikan avifauna
Siberut serupa. Ketiadaan beberapa famili penghuni lantai hutan, seperti ayam
hutan dan sempidan (Phasianidae) atau burung-burung semak, seperti pelanduk dan
tepus (Timaliidae) demikian kontras dengan kondisi hutan Sumatera atau bahkan
Sunda Besar. Tak ada satupun perwakilan dari burung pelatuk (Picidae), takur (Megalaimidae),
atau kacamata (Zosteropidae), untuk menyebut beberapa.
Trinil Kaki Merah |
‘Kekosongan’ yang diketahui
semenjak lama itu menciptakan kekhasan relung ekologi yang menarik untuk
dipelajari. Beragam jenis bajing tanah, tikus, dan mamalia kecil lainnya dianggap
mengisi ketiadaan anggota burung semak. Banyaknya anggota keluarga merpati (Columbidae)
seakan menggantikan ketiadaan jenis-jenis takur atau rangkong (Bucerotidae)
yang hanya diwakili satu jenis. Pernah dilaporkan perilaku srigunting yang
mencari makan dengan gaya pelatuk.
Beo Siberut |
Kajian etno-ornitologi
tak kalah menariknya. Lebih dari 50 jenis burung memiliki nama lokalnya
sendiri. Cukup menjadi indikasi betapa dekat kehidupan masyarakat suku Mentawai
yang dikenal sebagai salah satu suku tertua di Nusantara dengan burung. Belum
lagi keberadaan lagu, tarian, motif dalam uma
dan titi atau kisah-kisah legenda
terkait hubungan manusia Mentawai dan burung.
dinding sebuah uma di Siberut |
Minimnya
eksplorasi ornitologi di Siberut membuat kesempatan melakukan penelitian terbuka
lebar. Tak hanya taksonomi, ekologi, dan etno-ornitologi, studi jenis-jenis
tunggal, juga upaya konservasinya, penting untuk dilakukan. Apalagi dengan kian
berkurangnya tutupan hutan, proyek pengembangan sarana dan prasarana berupa
jalan maupun bangunan atau jumlah penduduk yang kian bertambah. Belum lagi
ancaman dari perburuan burung untuk diperdagangkan. Tantangan nyata ada di hadapan.