Saturday, June 17, 2023

Menjalin persaudaraan untuk gerakan pelestarian alam : Mendolo dan Jatimulyo

Oleh : Sidiq Harjanto

Berfoto bersama PPM Mendolo, KTH Wanapaksi dan Biolaska (Foto Mas Kir)

Desa Mendolo, yang terletak di tengah hutan Kabupaten Pekalongan menyimpan potensi keanekaragaman hayati  yang tinggi. Jenis primata di desa ini lengkap: owa jawa, lutung jawa, rek-rekan, monyet ekor panjang, dan primata nokturnal kukang jawa. Lebih dari seratus jenis burung, lebih dari seratus jenis kupu-kupu, lebih dari enam puluh spesies anggrek liar bisa dijumpai di Mendolo. Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, tentunya diperlukan upaya pelestarian dan pengelolaan yang baik.

Strategi yang bisa diambil dalam pengelolaan keanekaragaman hayati desa adalah melalui konservasi berbasis komunitas (community based conservation/CBC), yaitu upaya pelestarian dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang mengajak sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif. CBC sendiri telah menyeruak menjadi wacana global di bidang konservasi pada forum World National Parks Congress pada Oktober 1982, di Bali. Kemunculannya sejalan dengan perubahan konseptual ilmu ekologi: pergeseran dari paradigma mekanistis-reduksionistis ke pandangan holistik-sistemis, dari ekologi berbasis kepakaran beralih ke bentuk partisipatif, dan dimasukkannya manusia dalam ekosistem.

Dalam rangka mengarusutamakan CBC di Mendolo, SwaraOwa berkolaborasi dengan Indonesia Dragonfly Society (IDS) dan Pecinta Alam Biologi UIN Sunan Kalijaga (Biolaska) memfasilitasi Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo untuk berkunjung ke Yogyakarta. PPM Mendolo, sebagai kelompok masyarakat yang memotori gerakan konservasi di lingkungan desanya, perlu mendapatkan input berupa pengetahuan dan pengalaman baru guna memperkuat perannya.

Agenda kunjungan PPM Mendolo ke Yogyakarta dimulai dengan mengikuti Seminar Hasil EkspedisiCanting, sebuah ekspedisi ilmiah yang digelar Biolaska pada bulan Januari kemarin, sebagai upaya menginventarisasi dan menganalisis potensi keanekaragaman hayati Desa Mendolo dan sekitarnya. Melalui presentasi yang dipaparkan langsung oleh perwakilan tim ekspeditor, terungkap bahwa Mendolo memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan temuan beberapa spesies endemik Jawa maupun dilindungi.

Di akhir sesi, beberapa anggota PPM Mendolo diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman mereka saat terlibat dalam Ekspedisi Canting Biolaska. Mereka juga menyampaikan harapan agar kegiatan-kegiatan sejenis bisa terus dilakukan supaya kesadaran para generasi muda di desa mengenai nilai penting keanekaragaman hayati bisa terus meningkat dari waktu ke waktu.

Belajar menjadi pemandu pengamat burung


Kunjungi “Desa Ramah Burung”

Agenda selanjutnya adalah mengunjungi Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi di Jatimulyo, Kulonprogo yang telah melakukan praktik-praktik konservasi berbasis masyarakat/CBC. Kelompok ini didirikan oleh para mantan pemburu burung. Didukung oleh kebijakan pemerintah desa yang telah menerbitkan Peraturan Desa, dan pendampingan dari beberapa NGO; Wanapaksi memopulerkan Jatimulyo sebagai “Desa Ramah Burung”. Implementasi konsep desa ramah burung sendiri meliputi pelaksanaan aturan hukum (perdes), riset secara partisipatif, pemanfaatan burung tanpa menangkap (misalnya melalui ekowisata), hingga berbagai gerakan edukasi dan kampanye.

Telah berdiri sejak 2018, program unggulan kelompok yang beranggotakan lima puluhan orang ini adalah Adopsi Sarang. Program ini merupakan sebentuk penggalangan dana untuk penjagaan sarang dari ancaman perburuan. Tujuannya untuk mengembalikan populasi burung, terutama jenis-jenis terancam punah seperti burung sulingan (Cyornis banyumas), cucak jenggot (Alophoixus bres), cucak kuning (Pycnonotus melanicterus), dll.

Dana yang masuk dari pendonor digunakan untuk operasional penjagaan sarang. Tak sekadar menjaga sarang, tim pengamanan juga melakukan pendataan aktivitas burung selama bersarang. Sarang yang sedang dijaga ini juga “dijual” sebagai atraksi wisata. Puluhan hingga ratusan fotografer satwa liar memburu momen ini. Kedatangan mereka turut berkontribusi secara ekonomi bagi masyarakat. Manfaat ekonomi dari program adopsi maupun wisata ini disalurkan kepada penemu/pelapor sarang, pemilik lahan tempat bersarang, tim piket/penjaga sarang, kas kelompok, dan kas lingkungan (RT atau RW).

Pertemuan PPM Mendolo dengan KTH Wanapaksi membuahkan diskusi yang seru. Banyak pertanyaan dari peserta mengenai bagaimana cara Wanapaksi mengelola organisasi dan kegiatan mulai dari eko-eduwisata, homestay, adopsi sarang, maupun kegiatan kampanye dan edukasinya. Bagaimana strategi Wanapaksi untuk mengatur banyak anggota, sedangkan di tempat lain untuk sekadar mengumpulkan orang saja tidak mudah.

Para anggota PPM Mendolo diajak untuk melihat berbagai kegiatan seperti adopsi sarang burung, ekoeduwisata, dan pengelolaan hutan rakyat. Mereka belajar mengenai teknik menjadi interpreter, membuat hide untuk pengamatan dan fotografi satwa liar, dan pengelolaan homestay untuk kebutuhan wisata minat khusus.

Pembelajaran mengenai keberlanjutan konservasi berbasis masyarakat (CBC) di Jatimulyo, antara lain: Pertama, CBC harus mampu mengubah paradigma dan perilaku komunitas masyarakat dari kebiasaan tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Proses penyadaran ini dilakukan secara dialogis sehingga dengan sendirinya para anggota masyarakat mendapatkan kesadaran mereka sendiri. Perubahan paradigma dan perilaku menjadi modal bagi terciptanya transformasi sosial dan budaya masyarakat ke arah berkelanjutan.

Kedua, pentingnya pengorganisasian masyarakat karena CBC pada prinsipnya mengajak sebanyak mungkin anggota sebuah komunitas masyarakat. Dalam penggorganisasian ada pembagian tugas atau peran. Keterlibatan anggota komunitas berdasarkan pada kelompok umur (boomers, gen x, gen y, gen z, gen a), maupun partisipasi gender. Menurut Sujarwo, Ketua KTH Wanapaksi, setiap kelompok umur maupun gender perlu diberikan ruang untuk berpartisipasi. Dengan demikian lembaga atau kelompok benar-benar menjadi milik semua kalangan.

Ketiga, ada sistem yang dibangun sebagai mekanisme pemecahan masalah, hingga jaminan akan adanya distribusi manfaat yang berkeadilan. Dalam konteks Wanapaksi misalnya, keberlanjutan kelompok bisa dicapai dengan adanya pertemuan rutin, iuran anggota, dan seleksi anggota yang ketat. Manfaat ekonomi dari kegiatan-kegiatan usaha seperti adopsi, wisata, dan kuliner didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Berlaku juga sistem penggiliran untuk penjualan jasa homestay dan jasa kelompok kuliner. Dengan demikian, sistem yang telah berjalan bisa menekan munculnya permasalahan di kemudian hari.

Keempat, komunitas perlu giat melakukan riset dalam berbagai bidang. Riset menjadi penopang utama gerakan konservasi yang diusung. Melalui adanya riset, kelompok atau komunitas masyarakat bisa terus memunculkan inovasi baru baik dalam praktik konservasi, pengembangan peluang ekonomi, maupun budayanya.

Kelima, komunitas perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Kolaborasi menjadi kunci penting agar gerakan yang diusung oleh komunitas menjadi kekuatan yang terus tumbuh membesar. Pihak-pihak yang perlu diajak bekerja sama meliputi instansi pemerintahan, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi non-pemerintahan, dan media.

Di ujung pertemuan, sebagai dua komunitas yang sama-sama memperjuangkan pelestarian alam, PPM Mendolo dan KTH Wanapaksi sepakat untuk membangun kemitraan, barangkali bisa diistilahkan “sister community”. Bentuk kerjasama seperti apa yang bakal dibangun tentu membutuhkan diskusi yang lebih lanjut. Pada titik sekarang ini, pembelajaran dari Jatimulyo diharapkan cukup untuk memberikan inspirasi bagi PPM Mendolo agar terus meningkatkan perannya dalam mengorganisir masyarakat untuk berpartisipasi dalam konservasi.

Apresiasi setinggi-tingginya untuk: KTH Wanapaksi, Indonesia Dragonfly Society, Biolaska

No comments:

Post a Comment