Showing posts with label Uma. Show all posts
Showing posts with label Uma. Show all posts

Saturday, May 9, 2020

Laporan Terbaru : Sebaran Populasi Bilou ( Hylobates klossii) di Kepulauan Mentawai



Mentawai masih menjadi sesuatu yang berbeda di antara keunikan Sumatera, terutama dari sisi primatanya.  Dan juga tulisan ini saya tujukan untuk mengenang almarhum Dr.Tony Whitten, yang menjadi inisiator di awal pekerjaan ini. Perjalanan pertama ke Kepulauan Mentawai yang masih sangat saya ingat setiap langkahnya, ketika buku “Gibbon of Siberut” menjadi inspirasi untuk berangkat ke Mentawai di akhir tahun 2010.

tahun 2011, tim penulis bersama salah satu Sikeri di ds.Matotonan

Bulan Mei 2020 ini, secara resmi publikasi dari kegiatan saya dan teman-teman di Metawai secara resmi di terbitkan. Menjadi salah satu tulisan ilmiah terbaru di antara jurnal-jurnal ilmiah tentang keanekargaman hayati di Kepulauan yang jaraknya 157 km dari Padang itu.
Publikasi tersebut dapat di akses di journal Biodiversitas,volume 21 No 5 , Bulan Mei 2020. Publikasi berjudul “Distribution survey ofKloss’s Gibbon (Hylobates klossii) in Mentawai Island, Indonesia, merupakan hasil kegiatan penelitian survey di tahun 2010-2012, dan tahun 2017. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk menilai kerapatan, distribusi, habitat dan ancaman untuk Bilou di Kepulauan Mentawai. Kawasan diluar kawasan konservasi , menjadi target lokasi survey, dengan pertimbangan kerentanan, pusat aktifitas manusia namun  memiliki potensi keanekargaman yang tinggi.
salah satu lokasi survey di Siberut

Survey di lakukan dengan kombinasi metode vocal count (berdasarkan panggilan suara bilou)  karena bilou dan jenis-jenis Owa dapat dengan mudah kita ketahui keberadaannya dengan mendengarkan suaranya, dan line transek (perjumpaan langsung) untuk dapat mengetahui komposisi kelompok Bilou dan habitatnya. Tercatat 113 panggilan suara bilou (Morning call) yang terdengar dari 13 lokasi titik pengamatan (Listening Post) dengan kerapata 1.04-4.16 kelompok/km2. 75 data dari total yang tercatat tersebut kita gunakan untuk analisis kerapatanan populasi, kenapa hanya 75 karena ada minimum kriteria jarak yang terdengar untuk metode ini. Total panjang transek yang telah kita lalui dengan berjalan kaki adalah sepanjang 67 km dan berhasil mencatat perjumpaan dengan 35 individu Bilou. Sayangnya survey di Pulau Sipora dan Pagai Selatan tidak mencatat perjumpaan dengan Bilou,suarapun tidak terdengar.
tengkorak primata di Uma Matotonan

Tim dari Uma Malinggai menjadi ujung tombak dalam survey ini, dengan kemampuan lapangan yang tidak diragukan lagi menjadi kunci keberhasilan kegiatan ini, selain memiliki motivasi yang tinggi untuk pelestarian primata dan budaya Mentawai. Pengalaman survey hingga mempublikasikan tulisan ini adalah pengalaman yang sangat berharga dan bisa di pertimbangkan untuk di terapkan di lokasi lain dengan target species yang berbeda dan latar belakang permasalahan yang berbeda juga. Artinya memberi kesempatan penduduk setempat untuk terlibat langsung dalam upaya pelestarian dan promosi konservasi primata.



Daftar Pustaka :
Setiawan A, Simanjuntak C, Saumanuk I, Tateburuk D,Dinata Y, Liswanto D, Rafiastanto A. 2020. Distribution survey ofKloss’s Gibbons (Hylobates klosii) in Mentawai Islands,Indonesia. Biodiversitas 21:2224-2232

Tuesday, February 18, 2020

Mengenal Herpetofauna di Pulau Siberut


Oleh : Hastin Ambar Asti (hastin.ambar.asti@gmail.com)

Herpetofauna merupakan kelompok hewan yang terdiri atas taksa Amphibia dan Reptilia. Termasuk di dalamnya adalah katak, kodok, sesilia, salamander, ular, kadal, kura-kura, labi-labi, penyu, dan buaya. Kecuali salamander, anggota amfibi dan reptil lainnya dapat dijumpai di Indonesia. Katak, kodok, kadal, dan bahkan ular dapat dengan mudah dijumpai di sekitar permukiman. Sedangkan untuk kura-kura, labi-labi, penyu dan buaya, diperlukan sedikit usaha dan keberuntungan. Ini dikarenakan jenis-jenis reptil tersebut hidup di dalam hutan, di sungai, di pesisir, dan bahkan di lautan.

Menelisik keberadaan Herpetofauna di Pulau Siberut ternyata cukup mudah. Di Uma Malinggai setidaknya terdapat tiga ukiran biawak dan kura-kura yang menghiasi dinding dan pilar kayu uma. Dengan melihat ukiran satwa yang ada di uma, kita dapat mengetahui berbagai jenis satwa yang hidup di Pulau Siberut. Ukiran tersebut ternyata menjadi sarana untuk memperkenalkan tentang satwa kepada anak-anak Suku Mentawai.
 
Ukiran kura-kura dan biawak di pilar dan dinding uma

Ukiran kura-kura dan biawak menceritakan kisah kura-kura dan biawak yang sedang mencari makan di hutan. Setelah jauh berjalan memasuki hutan, kura-kura dan biawak akhirnya menemukan pohon yang berbuah. Biawak dapat dengan mudah memanjat pohon dan memakan buah yang ada. Namun tidak demikian halnya dengan kura-kura. Melihat kura-kura yang tidak dapat memanjat, biawak menawarkan diri untuk membantu kura-kura. Namun, ternyata biawak punya pikiran yang licik karena dia ingin memakan sendiri buah-buah yang ada.

Biawak berkata, “Kura-kura, gigitlah ekorku dan aku akan membawamu ke atas pohon. Tapi dengan syarat ketika nanti sampai di tengah pohon, kamu harus bersorak sebagai tanda hampir sampai ke puncak pohon”. Kura-kura pun setuju dan segera menggigit ekor biawak. Biawak kemudian memanjat pohon dan membawa kura-kura bersamanya. Sampai di tengah pohon, biawak menyuruh kura-kura untuk bersorak. Kura-kura membuka mulutnya untuk bersorak, namun seketika itu kura-kura jatuh terlentang di tanah. Kura-kura menangis sedih, dia kecewa karena ternyata biawak mempermainkannya.

Selain mengenal kura-kura dan biawak, masyarakat Mentawai juga mengenal berbagai jenis katak untuk dikonsumsi dan penyu yang digunakan dalam ritual upacara adat. Masyarakat Mentawai sebenarnya memiliki pengetahuan dalam membedakan jenis atau spesies Herpetofauna berdasar ukuran dan corak warnanya. Walaupun identifikasi tersebut masih umum dan kadang rancu, namun bisa cukup membantu untuk memperkirakan jenis-jenis Herpetofauna yang ada di Pulau Siberut.

Masyarakat Mentawai menyebut semua jenis katak dengan taratad. Kemudian penyebutan taratad diikuti dengan ciri lain, misalnya taratad sikad kad untuk menyebut katak berukuran kecil seperti Hylarana parvacola dan taratad paili untuk menyebut katak berukuran besar seperti Limnonectes blythii. Beberapa kata ganti untuk menyebut amfibi dan reptil dalam Bahasa Mentawai:
·         Taratad = katak
·         Teilek = kodok
·         Pikkot = kadal
·         Ular = ulou
·         Kura-kura = lokkipad dan toulu

Duttaphrynus melanostictus atau Teilek Padang

Ada sebuah cerita menarik mengenai keberadaan “Teilek Padang” atau Duttaphrynus melanostictus. Menurut masyarakat Mentawai, “Teilek Padang” bukan merupakan spesies asli di Pulau Siberut. Kodok tersebut diduga berasal dari Padang yang kemudian terbawa oleh kapal-kapal yang singgah di Pulau Siberut. Sehingga masyarakat Mentawai kemudian menyebutnya dengan “Teilek Padang” yang berarti kodok yang berasal dari Padang.
 
Beberapa jenis Herpetofauna yang dijumpai di Desa Tololago


Jenis-jenis Herpetofauna lainnya yang dijumpai di Pulau Siberut antara lain Trimeresurus popeorum (ulou bopai pai), Cyclemys dentata (lokkipad), Hylarana parvacola dan Amnirana nicobariensis (taratad sikad kad), serta Eutropis multifasciata (pikkot). Beberapa diantaranya dijumpai di permukiman dan kebun. Beberapa lainnya dijumpai di sungai kecil yang letaknya cukup jauh dari permukiman. Anggota Uma Malinggai yang ikut dalam praktek pengamatan Herpetofauna ini berjalan sangat cepat, sehingga seringkali melewatkan beberapa jenis Herpetofauna yang berukuran kecil. Namun tak jarang mereka justru menemukan jenis-jenis unik yang berukuran besar.
Dua anak pemberani yang turut serta dalam sesi praktek pengamatan Herpetofauna