Oleh : Arif Setiawan
Setelah pandemic covid19, inilah konfrence international
pertama untuk yang terkait primata-primata di Asia. Symsposium Asian primate
ini untuk ke 8 kallinya di adakan di fakultas Kehutanan Universitas Vietnam, Hanoi.
Pada kesempatan ini selain saya , dari tim SWARAOWA ada Aoliya yang akan presentasi di symposium ini , dan saya juga menjadi salah satu anggota komite scientific,mewakili
Indonesia. Sebuah kebanggaan juga dapat berktontribusi untuk komunitas global
dari Indonesia. Sejak bulan agustus 2022, informasi tentang symposium ini mulai
disebarluaskan, termasuk melaui sosial media. Harapan nya banyak perwakilan
dari Indonesia, sendiri sebagai negara di Asia terbanyak yang memiliki spesies primata.
Vietnam memiliki 24 jenis primata,mulai dari jenis Kukang (
Lorisiidae), jenis owa ada 6 dan semuanya dari genus nomascus yang berarti berjambul
( crested), dan dari famili Cercopitecidae monyet dan lutung (colobinae),
jenis-jenis lutung di Vietnam memiliki warna yang sangat mencolok dan indah. Namun
sayangnya hampir semua primata di Vietnam di 90 % dambang kepunahanan, 10
species diantaranya sudah critically endangered.
Seperti kita tahu sejarah kelam perang Vietnam dengan
Jepang, Prancis , Cina dan Amerika telah membentuk kultur dan geopolitik yang
mempengaruhi keanekaragaman hayati Vietnam sendiri. Vietnam adalah salah
episentrum biodiversity hot spot di asia tenggara, namun juga menjadi pusat
perdagangan satwaliar dunia. Pekerjaan yang tidak mudah untuk para pegiat
pelestari alam di Vietnam. Dan berkunjung ke Vietnam adalah kesempatan melihat
langsung situasi dilapangan bagaimana upaya-upaya pelestarian alam, khususnya
primata ini dikembangkan.
Ketika pertama kali mendapat undangan ke Vietnam, tentu saja
langsung menyambut hangat dan membuat rencana perjalanan untuk primate
watching, meskipun kondisi di lapangan tentu akan berbeda . Cat Tien
National park, menjadi target field trip sebelum acara inti symposium. Terletak
di bagian selatan Vietnam, Taman Nasional ini menjadi target pengamatan kita
adalah Nomascus gabrielle ( Yellow cheeked gibbon) dan Black Shanked
Douc Langur ( Pygathrix nigripes). Dari bandara Ho Chi Min, perjalanan
ke Cat Tien National Park kami tempuh dengan menggunakan taxi, dengan waktu
tempuh kurang lebih 4 jam.
|
di depan pintu gerbang Cat Tien National Park |
Yang menarik dari Cat Tien National park, mempunyai logo
badak Jawa. Ya subspecies badak jawa ( (Rhinocero
sondaicus annamiticus )pernah hidup di Vietnam, dan tahun
2010 badak terakhir yang hidup di temukan mati, dibunuh oleh pemburu. Oleh
pihak berwenang badak ini di temukan telah tertembak dan culanya sudah hilang,
cula badak adalah salah satu bahan untuk pengobatan tradisional cina.
|
jalur pengamatan di Cat Tien National Park |
Masuk kawasan TN, hanya membeli tiket 60,000 VND, sekitar Rp
38,000 cukup murah untuk ukuran taman nasional di Indonesia, Karena di
kelilingi sungai TN Cat Tien juga merupakan wetland area, penyeberangan sungai
menggunakan perahu yang stanby dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam. Untuk
pengamatan owa, di TN Cat Tien ada biaya tersendiri 200,000 VND, di damping
oleh staff TN dan harus menginap, karena harus berangkat pagi hari jam 4.30,
dimana biasanya owa bersuara ( morning
call), kemudian setelah mendengar arah
owa bersuara, pemandu akan melokalisir lokasi dimana arah nya, dan berjalan
menuju lokasi tersebut. Sangat susah untuk menemukan kelompok Owa ketika sudah
hari terang, karena biasanya mereka berada di kanopi teratas dari pohon-pohon
dan tidak ada lokasi spotting yang ideal untuk mengamati pohon atau kanopi yang
rapat..
Namun kami, tidak memilih opsi ini, kami putuskan untuk
trekking sendiri tanpa pemandu di hari pertama, dan jalan di taman nasional ini
sudahsangat bagus, karena bisa di lalui mobil dan kendaraan, tapi khusus untuk
wisatawan saja.
|
Black Shanked Douc Langur, jantan dewasa |
|
Black Shanked Douc Langur, remaja |
|
Macaca fascicularis |
Perjumpaan primata Vietnam yang pertama kali adalah dengan Black Shanked Douc lagur ( Pygathrix
nigripes), sejenis lutung yang seukuran bekatan kalau di Indonesia, berwarna
kombinasi hitam dan putih, dan bagian pahanya hitam mengkilap. Jenis ini sudah critically endangered
statusnya. Seperti lutung pada umumnya yang pemakan daun, jam-jam perjumpaan
kita adalah jam istirahat, dimana lutung mecerna daun-daun yang dimakannya. Ada
2 kelompok yang kita jumpai pagi itu, dan sepertiya sudah cukup terhabituasi
dengan pengunjung.
Hari ke-dua kami mencoba pengamatan lagi, kali ini
menggunakan sepeda yang di sewa di kantor TN. Jalur sepeda sebenarnya cukup
nyaman, tapi sepedanya kadang tidak dalam kondisi yang prima untuk dikendarai,
mengingat rute yang cukup panjang hingga 9 km lebih. Pengamatan dengan naik
sepeda ini juga tidak seperti jalan kaki yang bisa mendengarkan setiap
pergerakan di pohon. Namun jarak yang jauh bisa melihat berbagai tipe habitat
yang ada di dalam kawasan Cat Tien. 1 kelompok Monyet ekor panjang ( Macaca fasciularis),
1 kelompok beruk ( Macaca leonina) dan 1 kelompok duc langur, berhasil
kita jumpai di pengamatan hari ke-dua.
Acara Symposium
Kultur ilmuwan primata dan konservasionist di Vietnam secara
umum sudah cukup maju, terlihat dari banyakknya para ahli primata dari Vietnam
yang menjadi panitia acara, dan juga Lembaga-lembaga konservasi internasional,
yang turut mendukung kegiatan ini. Acara pembukaan symposium pada tanggal 14 November 2022, pagi
hari waktu Hanoi berlokasi di auditorium Vietnam university of forestry faculty di buka
plenary talk oleh Cristian Roos tentang genomic Asian primates. Menyampaikan
keragaman dan sejarah genetic dari jenis-jenis primata asia.
Saya sendiri mempunya jadwal presentasi di salah satu
symposium bertema : “ Non human primate interaction and conflict” dengan empat presenter lainnya, dengan judul presentasi "..." abstract semua presentasi dapat dibaca disini.
Ada satu symposium yang menarik tentang penggunaan drone
thermal untuk survey dan monitoring populasi primata di Cat Tien National park,
menggunakan komersial drone yang ada di pasaran, teknik pengambilannya malam
hari, dengan pertimbangan pergerakan primata yang cenderung diam, dan suhu
dimalam hari lebih dingin, disbanding siang hari, sehingga suhu primata dengan
mudah terdeteksi lebih panas di sensor camera.
Saya juga menjadi moderator di salah satu symposium, bertema
“human non-human interaction and conflict” dengan 4 presenter. Kebetulan
sekali presentasinya berasal dari Indonesia semua. Yang pertama dari Center for Orangutan Protection, Octaviana Sawitri yang
mempresentasikan kasus konflik orangutan di Kalimantan Timur, kemudian Nur Aoliya yang mewakili swaraowa mempresentasikan Solusi dari kematian primata yang ada di Petungkriyono yang tersengat jaringan
listrik. Presentasi ke tiga adalah Jochen Menner, meskipun dari Jerman namun
beliau aktif di Prigen Conservation Breeding Ark,Taman Safari yang
mempresentasikan perdagangan online primata Indonesia. Dan yang terakhir adalah Indira Nurul
Qomariah dari COP yang juga mempresentasikan illegal primate trade in
Indonesia.
Hari Kedua, 15 November 2022, adalah field trip ke Chuc Puong
National Park, yang di tempuh kuranglebih 4 jam perjalanan menggunakan bus. Di
ikuti oleh semua peserta, dan ini kali ke-2 sya mengunjungi Chuc Puong National
Park dan melihat lagi pusat rehabilitasi primata yang ada disini dan juga
jenis-jenis satwa terancam punah lainnya. Pusat rehabilitasi primata EPRC ( Endangered Primate Rescue Center) ini didirikan tahun 1993 dengan tujuan untuk merehabilitasi primata hasil sitaan perdaganggan illegal dan juga mendukung program pelestarian melalui captive breeding, apabila prasyarat pelepasan liar
kembali ke habitatnya telah dipenuhi, akan di lepaskan kembali. Jenis-jenis Duc dan lutung sangat attractive dan warna yang mencolok, bisa membayangkan
apabila di alam habitat aslinya, yan beberapa di antaranya berada di kawasan
ekstrim sepert karst. Sayangnya kondisi di alam sangat terancam karena perburuan.
|
Golden Headed langur di EPRC |
Ada pusat rehabiltasi dan konservasi reptile, jenis
kura-kura dan mamalia lain seperti trenggiling dan carnivor kecil lainnya.
Semua fasilitas ini sebagian di antaranya digunakan untuk kegiatan edukasi
kepada pengunjung, dimana staff dan keeper yang ada disini dapat menjelaskan
kegiatan yang dilakukannya untuk menyelamatkan hidup dari satwa-satwa asli
Vietnam ini. Namun seperti di awal saya ceritakan kalau Vietnam ini merupakan
episentrum dari perdagangan satwa dunia, merilis satwa-satwa liar ini bisa jadi
kepunahan mereka, karena akan di tangkap lagi dan dimakan atau di jual belikan.
|
Nomascus gabrielle |
|
Nomascus siki |
|
sepasang owa pipi kuning ( Nomascus gabrielle) |
Ada dua jenis Owa yang saya jumpai berada di kawasan semi
liar di dekat rehabilitasi, karena berada di luar kendang, terlihat seperti di
habitat aslinya. Nomascus Gabriele dan Nomascus siki. Berbeda dengan owa di Indonesia, dua jenis owa berjambul ini sexual dicromatism, artinya jantan dan betina berbeda warna bulu rambut, jantan dewasa berwarna hitam dan betina orange. Waktu owa baru lahir owa lahir berwarna orange, kemudian ketika tumbuh dewasa, jantan akan berubah warna menjadi hitam dan betina tetap berwarna orange.
Kunjungan kedua setelah Chuc Puong National Park ini adalah
ke kawasan Van Long Nature Reserve, untuk primate watching di kawasan wetland karst yang ikonik sekaligus
melihat jenis lutung. Sayangnya setiba di lokasi ini hujan sangat deras dan
akhirnya acara di batalkan. Sayang sekali, konon katanya inilah tempat primate
watching paling banyak di kunjungi di Vietnam
sebelum pandemic. Silahkan googling sendiri foto-foto van long nature reserve
ini ya. Dan sekaligus ini menjadi akhir dari kunjungan symposium di Vietnam,
karena saya harus balik ke Indonesia esok paginya.
Apresiasi untuk panitia symposium, terutama Three monkeywildlife sanctuary dan mengucapkan terimakasih kepada IUCN SSA dan Fortwayne Children's Zoo yang mendukung keberangkatan saya dan Aoliya ke Vietnam, sampai jumpa lagi di symposium Asian
primate tahun 2024 yang kemungkinan akan dilaksanakan di Indonesia.