Thursday, July 31, 2025

"Mendengar nyanyian kanopi: Upaya Masyarakat Adat untuk melestarikan Bilou Siberut"

 Oleh : Aloysius Yoyok, Kurnia Ahamaddin

perjalanan menuju LPs untuk survey Bilou

Pada Tahun 2025 ini, tim “siripok bilou”, yang terbentuk awal tahun 2025, melalui pelatihan monitoring Owa Bilou (Hylobates klossii) ,  menargetkan survei di hutan adat yang kami kelompokkan menjadi 2 tipe habitat di Pulau Siberut. Tipe pertama adalah adalah high suitable habitat yaitu hutan yang jarak dengan pemukiman relative jauh dan memiliki tutupan kanopi dominan pohon hutan. Sedangkan tipe selanjutnya low suitable habitat yaitu hutan sekunder yang dekat dengan pemukiman dan tutupan kanopi didominasi tanaman produksi. Tanaman produksi yang banyak dibudidaya masyarakat lokal adalah Durian, Pinang, Pisang, Cengkih, dan Pala. Untuk survei tahun ini kami menargetkan 4 blok hutan low suitable (Samalelet 1-Saleleubaja-Sapojai, Samanggeak-Sagulu 1, dan Tasiriguruk) dan 4 blok high suitable (Saguruju, Sarokdok, Sagulu 2, Samanggeak 2). Semua lokasi survei masuk dalam kawasan administrasi desa Madobag dan Matotonan Kecamatan Siberut Selatan.

Untuk penghitungan populasi kami menggunakan metode vocal- count triangulasi dengan menempatkan 3 Listening Pos (LPs) di tiap blok hutan adat tersebut. LPs kami tempatkan di bukit tertinggi dengan jarak antar titik mulai dari 300-800 m tergantung pada titik tertinggi di lokasi hutan adat. Metode ini menggunakan vocal count yaitu dengan mendengarkan dan menghitung suara Greatcall Owa Bilou mulai dari 5.30-10.00 di LPs yang tellah ditentukan.  Sampai pada akhir bulan Juli ini kami telah melakukan survei di 2 blok low suitable habitat (Samalelet 1-Saleleubaja-Sapojai dan Samanggeak-Sagulu 1) pada akhir bulan April dan awal Mei. Sejak pertengahan Mei hingga pertengahan Juli ini kami fokuskan survei di blok high suitable habitat yaitu di hutan adat Saguruju, Sarokdok dan Sagulu 2. Tim survei adalah masyarakat adat yang telah kami latih intensive pada bulan April.

Bilou, yang di jumpai di hutan adat

Selama periode pengambilan data kami hanya mendengar Greatcall di high suitable habitat yang dapat kami pastikan dari 3 kelompok Owa Bilou, 1 di hutan adat Saguruju dan 2 di Sarokdok. Jumlah frekuensi rata-rata Greatcall di 2 lokasi selama 8 hari survei hanya sebesar 9,92 kali. Cuaca hujan masih menjadi kendala dalam pengumpulan data. Hal ini terlihat di Hutan adat Sagulu 2 yang kami survei pada tanggal 10-13 Juli ini. Lokasi ini seharusnya high suitable dengan kemungkinan mendengar Greatcall tinggi, namun selama 4 hari survei kami sama sekali tidak mendengarkan Greatcall.

simakobu ( Simias concolor
Di low suitable habitat kami sama sekali tidak terdegar suara Greatcall hanya terdengar precall di kedua lokasi yang telah kami survei. Namun demikian meski tidak terdengar grealcall kami menjumpai 1 individu di hutan adat Saleleubaja. Perjumpaan Owa Bilou lain tercatat 2 individu Sagurujuk dam 1 individu di Sarokdok. Kondisi habitat dan rendahnya frekuensi greatcall membuat kami masih memerlukan waktu untuk analisis lebih lanjut mengenai jumlah, sebaran serta habitat Owa Bilou.

Survei kami kali ini tidak hanya menghitung Owa Bilou namun catatan mengenai primata endemik lain juga kami laporkan.  Kami mencatat perjumpaan visual dengan 3 individu Bokkoi, 4 individu Simakobu and 1 Joja di Hutan adat Sarokdok. Di hutan adat lain kami juga mencatat keberadaan 4 spesies tersebut meski hanya dari suara.

Potensi ancaman masih dijumpai di seluruh tipe hutan adat. Diantaranya adalah pembukaan lahan baru untuk tanaman produksi ataupun lahan ternak. Pohon-pohon yang relatif  besar di tebang ataupun dimatikan dengan menguliti kulit batang utamanya.  Kami juga menjumpai penggunaan kayu hutan untuk membuat rakit ataupun kepentingan rumah tangga mereka. Perburuan juga masih dijumpai di seluruh hutan adat pembuatan ataupun sisa perangkap yang menargetkan mamalia terrestrial. Suara senapan juga masih terdengar meski kami survei di kawasan High suitable habitat sekalipun.





Saturday, July 5, 2025

Lebih dari Sekadar Burung: PPBI XII dan Inklusivitas Konservasi di Gunung Halimun Salak

 Oleh : Kurnia Ahmaddin




Pertemuan Pengamat Burung Indonesia ke-XII tahun ini dilaksanakan di IPB Bogor dan kampung Citalahab sentral. Menyambut acara tahunan tersebut, Swaraowa berpartisipasi mengirimkan 2 delegasi bersama 4 pemuda dari Pekalongan untuk mengikuti rangkaian kegiatan ini. Kami sangat antusias untuk mengikuti acara ini mengingat kampung Citalahab merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dimana habitat terluas dan populasi terbesar Owa jawa (Hylobates moloch) ada di lansekap ini.

Malam tanggal 25 kami berangkat menuju Bogor dari Pekalongan yang kami tempuh selama 8 jam menggunakan bus dan 1 jam menggunakan angkot untuk sampai di Aula Fakultas Kedokteran Hewan IPB.  Sambil menahan kantuk kami siap mengikuti  seluruh rangkaian acara yang dimulai pada pukul 9 pagi. Sebagai pembuka rangkaian acara, sambutan mas Aris Hidayat selaku ketua panitia penyelenggara dari YIARI yang mempesona membuka mata kami sehingga hilang rasa kantuk. Sambutan dilanjutkan ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.sc dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB yang bercerita mengenai sulitnya mencari referensi satwa liar sebelum tahun 1990. Saat ini beliau bangga melihat karya dan antusias generasi saat ini dalam upaya konservasi satwa liar.



Acara pada hari pertama merupakan seminar yang dibagi menjadi 3 sesi. Setelah pembukaan sesi pertama dibawakan oleh mas Ganjar Cahyadi dan mas Asman A.P. dari BISA Indonesia yang bercerita mengenai perlombaan pendataan perdagangan satwa liar. Sesi kedua Bapak Dedi Candra dari KKHSG Kemenhut dan Prof. Mirza Dikari Kusrini berbicara mengenai regulasi perlindungan satwa liar lokal dan international. Acara di IPB ditutup pada sesi ketiga dengan dialog menarik mengenai fakta lapangan perdangan satwa liar yang dibawakan oleh mas Hendry Pramono dari WCS-IP dan drh. Wendi Prameswari dari YIARI.

Sore hari setelah seminar, kami melanjutkan 6 jam perjalanan untuk fieldtrip menuju kampung Citalahab sentral dengan menggunakan truk tronton menghadapi guncangan dahsyat jalan makadam. Melewati kawasan perkebunan teh Cianten dan Taman Nasional Halimun Salak kami tiba di Citalahab pada pukul 9.30 malam. Sambutan warga kampung dan sajian nasi sop ayam menghangatkan dinginnya cuaca desa tepi hutan. Kebaikan panitia untuk menjadikan malam pertama khusus untuk istirahat adalah pilihan yang sangat tepat setelah lelah terguncang dan kelaparan.

surili ( Presbytis comata)
Mengisi kegiatan di pagi hari, kami menyusuri hutan untuk melakukan pengamatan satwa liar. Terbagi dalam 3 kelompok, lebih dari 120 peserta dan panitia ditemani warga lokal serta staff TNGHS berjalan bersama untuk mendokumentasikan satwa liar yang terlihat ataupun sekedar melihat. Pada siang hari di hari kedua, acara dilanjutkan dengan mengisi otak dengan informasi baru mengenai project safe nest oleh teman-teman BISA Indonesia dan Biologi Society. Dilanjutkan pembicaraan mengenai kegiatan pendataan burung dan pendampingan masyarakat oleh teman-teman dari Burung Indonesia. Sedangkan siang hari ketiga, cerita dari masyarakat Desa Jatimulyo dan kampung Citalahab yang saling berbagi potensi desa masing-masing sangat menarik untuk disimak. Penampilan angklung dari warga lokal juga turut memeriahkan rangkaian acara PPBI XII ini. 

Owa jawa ( Hylobates moloch)
Kegiatan malam hari setelah diskusi bebas mengenai kebutuhan keterlibatan masyarakat umum mengenai perolehan data populasi satwa liar dan penulisan artikel ilmiah, yang tak kalah menarik adalah ‘Herping’. Agak aneh memang forum pengamat burung namun pada malam hari peserta malah berbondong-bondong ke hutan untuk melihat katak dan ular. Namun, inilah PPBI, forum yang begitu cair dan dapat merespon kebutuhan terkini di dunia konservasi satwa liar. Menurut kami PPBI kali ini semakin menunjukkan inklusifitasnya sebagai wadah semua orang tidak terbatas taksonomi, gelar, profesi dan bahkan generasi.

Hal ini dapat terlihat dari antusias seluruh peserta mulai dari usia 60 hingga siswi SD yang baru naik kelas 2 berjalan bersama saling bantu menunjukkan satwa liar liar yang terlihat di pagi hari itu. Mereka tidak hanya berburu foto burung, namun juga herpetofauna, kupu-kupu, mamalia dan jenis arthropoda lain juga tak luput dari bidikan kamera peserta. Alek anggota PPM mendolo juga antusias terhadap perjumpaanya dengan Surili (Presbytis comata comata) menurutnya ‘ Saya sangat senang bertemu dengan Surili di Citalab. Berbeda dengan Rekrekan (Presbytis comata fredericae) di tempat kami. Surili berwarna dominan abu-abu, meski sama-sama memiliki jambul, namun Surili bibirnya lebih pucat seperti tidak memakai Lipstik’. Tak hanya itu perjumpaanya dengan Kawan-kawan KIARA juga memacu semangatnya untuk tetap berjuang melestarikan Owa Jawa di desa Mendolo.

delegasi swaraowa di PPBI XII

 Malam hari terakhir sesi diskusi di tutup dengan diskusi terbuka dengan bapak Kepala Balai Taman Nasional  Gunung Halimun Salak dan foto bersama di hari terakhir kami di Citalahab. Penutup rangkaian acara sebelum kembali diguncang makadam. Kami berfoto bersama dengan seluruh orang yang terlibat dalam acara ini ‘sebagai simbol guyub rukun’ begitu menurut Ridho anggota PPM Mendolo lain. Sebagai penutup Ridho dan Dodi juga mengungkapan ‘Meski perjalanan panjang penuh kesabaran menuju lokasi, terimakasih kepada panitia atas segala suguhan dan pengalamannya.

Kami jadi bertambah ilmu, teman dan makin semangat kami untuk berkegiatan konservasi. Semoga tahun depan bisa mengikuti PPBI lagi. Sampai jumpa di PPBI XIII di Cilongok Banyumas’.