Sidiq Harjanto & Kurnia Ahmadin
![]() |
Pentas Seni untuk Konservasi Ds. Mendolo. Foto IDS |
Para pembaca tentu sudah sangat akrab dengan istilah “seni”. Secara sederhana, kita bisa mendefinisikan seni sebagai segala buah karya manusia dalam bentuk visual, audio, ataupun pertunjukkan yang mengungkapkan gagasan dan imajinasi. Seni digunakan sebagai hiburan, ekspresi diri, media penyampaian informasi, pendidikan-pembelajaran, hingga alat untuk mempengaruhi khalayak. Seni mempunyai kemampuan unik untuk membangkitkan minat, merangsang imajinasi, dan menggerakkan atensi individu kepada isu tertentu.
Swaraowa melihat
potensi seni dalam mewarnai ruang diskursus mengenai konservasi alam yang terus
berkembang dewasa ini. Untuk itu, pada bulan Januari kemarin kami membantu memfasilitasi
masyarakat di dukuh Sawahan Desa Mendolo untuk mengarusutamakan seni dalam isu
konservasi. Berkolaborasi dengan Indonesia Dragonfly Society-IDS, Green Community,
dan masyarakat lokal; sebuah pertunjukan seni dipersiapkan untuk mengisi puncak
acara Jambore Capung Indonesia, 24-26 Januari 2025 di Mendolo.
Kami
dibantu Sujono dan Yuwono, dua seniman dan praktisi seni dari Sanggar Saujana, Desa
Keron, Kecamatan Sawangan, Kab Magelang. Sujono, atau akrab dipanggil Pak Jono
Keron, dikenal sebagai seniman multitalenta. Beliau adalah kreator wayang serangga. Juga
menghasilkan karya lukis, topeng, patung, hingga kreasi tari. Sedangkan Yuwono,
kami memanggilnya Pak No, telah akrab dengan seni tari sejak belia.
Dalam
kesempatan kali ini, secara khusus Pak Jono Keron dan Pak No mengenalkan dan melatih
dua tarian untuk para pemuda dan anak-anak, juga merancang dan mempersiapkan
panggung pertunjukan. Waktu yang hanya tersedia sekira satu minggu dioptimalkan
untuk melatih tari “Jingkrak Sundang” kepada para pemuda. Tarian ini merupakan
kreasi Pak Jono sendiri pada awal 2000-an, diilhami oleh kegelisahannya akan
nasib binatang-binatang yang habitatnya kian rusak. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar,
dikenalkan tari “Geculan Bocah”.
Tata panggung menggunakan bahan ramah lingkungan. foto IDS
Tata panggung ramah lingkungan
Panggung
menjadi elemen penting dalam sebuah pertunjukan seni. Sebagai tempat
pementasan, panggung perlu dibuat semenarik mungkin agar membangkitkan minat
para penontonnya. Panitia
kesenian tak jarang harus menginvestasikan banyak uang untuk mengadakan
panggung yang megah dengan ornamen atau dekorasi yang indah dan mahal.
Namun, kepiawaian
Pak Jon dan Pak No mampu menyuguhkan sebuah panggung ciamik tanpa harus mahal. Bahkan, tak hanya murah, ini adalah sebuah
panggung yang ramah lingkungan. Rahasianya terletak pada ornamen-ornamen panggung yang sebagian besar menggunakan
limbah dan sampah.
Tebon atau batang
tanaman jagung, biji dan kulit durian, serta daun kering paku-pakuan disulap
menjadi dekorasi panggung yang sangat cantik. Banyak limbah pertanian ataupun
bahan-bahan lokal seperti dedaunan yang bisa dimanfaatkan untuk dekorasi
panggung, murah dan ramah lingkungan, menurut dua seniman yang telah lama aktif
dalam Komunitas Lima Gunung, sebuah komunitas seniman yang memotori even budaya
rutin “Festival Lima Gunung” di lingkup kawasan
Merapi-Merbabu-Andong-Sumbing-Menoreh.
Gunungan Duren membuka acara pentas seni ds. Sawahan
Semua berkesenian, kesenian untuk semua
Pentas seni digelar
pada 25 Januari 2025 bertepatan dengan malam keakraban Jambore Capung 2025.
Seni instalasi, seni tari, seni musik, dan seni lukis melalui body painting berpadu
menyemarakkan malam itu. Atas inisiatif dari warga Sawahan, acara dibuka dengan
“Slametan Duren” berupa arak-arakan dua gunungan durian dan doa bersama.
Slametan duren menjadi media bagi kaum tani untuk memanjatkan rasa syukur atas
limpahan hasil bumi, sekaligus doa untuk keselamatan kampung.
Tari Geculan Bocah, anak-anak desa Sawahan. Foto IDS |
Pada puncaknya,
ditampilkan tari Jingkrak Sundang. Kurnia Ahmadin membuka dengan penampilan tarian owa jawa. Panggung
langsung bergemuruh oleh riuh sambutan penonton. Adin sukses mempersonakan
sesosok owa jawa dengan mempertontonkan perilakunya yang khas seperti memanjat,
bergantungan, hingga menyambar lalu memakan buah-buahan yang tersaji di meja.
Disusul delapan orang
penari bertopeng yang menampilkan gerakan rampak. Tarian ini menceritakan
binatang-binatang berkaki empat yang habitatnya dirusak oleh perilaku manusia.
Gerakan-gerakannya menggambarkan kemarahan hingga kesedihan atau keputusasaan
para binatang itu.
Tari Jingkrak
Sundang ini diharapkan membangkitkan rasa empati para audience terhadap
binatang-binatang yang kehilangan habitat. Ke depan, Pak Jono berharap agar
Jingkrak Sundang bisa diadaptasi di Mendolo dengan satwa-satwa lokal yang ada
di sana. Desa Mendolo sendiri memiliki banyak satwa liar seperti lima jenis
primata jawa, macan tutul, kijang, landak, dll.
salah satu karakter dalam tari Jingkrak Sundhang. Foto IDS
Seni yang membuat nyawiji
Nilai
keberhasilan suatu pertunjukan bukan saja terletak pada unsur artistiknya yang
mampu menghibur, tapi juga pemaknaan bagi pelakunya. Dalam membawakan tari
Jingkrak misalnya, para pemuda perlu menjiwai setiap gerakan. Berusaha
membayangkan bagaimana hewan-hewan yang putus asa karena habitatnya yang rusak,
lalu mengekspresikan dalam bentuk gerakan. Hal ini pada gilirannya bisa menjadi
sarana untuk melatih rasa empati dan welas asih bagi semua makhluk.
Tak kalah
penting ialah tersampaikannya pesan yang hendak dicapai. Tentu saja tidak mudah
mengukurnya. Namun, melihat dari antusiasme dan partisipasi masyarakat maupun audience,
barangkali bisa disimpulkan bahwa seni mampu menggerakkan banyak orang saling bekerja
sama untuk satu tujuan bersama.
Tak kurang
dari lima puluh orang warga terlibat dalam penciptaan karya seni kali ini,
mulai dari penari dewasa, penari anak-anak, kelompok seni hadroh, kelompok seni
kerawitan, hingga para warga yang membantu pada setiap proses produksi, seperti
penyediaan bahan dekorasi hingga penataan panggung pertunjukan. Kolektivitas
ini tak kalah indahnya dengan karya seni yang ditampilkan itu sendiri.
Kami
ucapkan terima kasih kepada para fasilitator (Sujono dan Yuwono dari Keron),
Indonesia Dragonfly Society, Green Community, Pemdes Mendolo, Kelompok
Kerawitan, Kelompok Hadroh, PPM Mendolo, Kelompok Brayan Urip, segenap peserta
Jambore Capung 2025, seluruh warga Desa Mendolo, penata panggung, penata lampu,
penata suara, dan semua pihak yang telah membantu acara ini.