Foto bersama peserta dan pembicara seri diskusi Bekantan dan Orangutan |
Sokokembang, 14 Februari 2019, pendopo kopi Owa mendapat
kunjungan istimewa dari The Nature
Conservansi Indonesia. Kunjungan ini berawal dari interest yang sama
terhadap jenis-jenis Owa (Hylobatidae)
yang ada di site TNC namun belum mendapatkan prioritas untuk upaya
pelestariannya. Kemudian dibawah koordinasi Arif Rifqi, membawa tim lapangan
mereka untuk melihat langsung bagaimana kegiatan monitoring Owa jawa yang di
lakukan di Sokokembang. Kedatangan tim
ini juga mengajak serta 2 staff dari BALITEK
KSDA yang aktif melakukan penelitian dan konservasi Bekatan, sementara Arif
Rifqi saat ini juga sebagai coordinator untuk penelitian Orangutan di areal
kerja TNC di Kalimantan Timur.
Anjar Prasojo presentasi tentang satwaliar di hutan Lindung Petungkriyono |
Kedatangan tamu-tamu istemewa dengan pengalaman berbeda,
sangat berharga sekali mau berbagi cerita lapangan dan inisiasi yang di
lakukan. Acara seri diskusi yang telah di Inisiasi sejak tahun lalu oleh
swaraOwa di gelar terbuka untuk umum, tercatat sebanyak 26 orang, telah
mendaftar dan hadir hari ini tanggal 14 Februari 2019. Acara di buka oleh
swaraowa dan perkenalan masing-masing peserta, selain 5 orang staff TNC dan 2
staff Balitek, ada mahasiswa, kelompok pecinta alam, komunitas fotografi, wirausahawan batik, berasal dari Pekalongan,
Semarang, dan Yogyakarta.
Untuk pembukaan acara diskusi, Anjar Prasojo dari komitas
fotografi alam liar pekalongan mempresentasikan foto-foto satwaliar yang diperoleh
di hutan Sokokembang untuk mengenalkan keragaman fauna di wilayah Pegunungan
Pekalongan, Anjar juga menceritakan latar belakang kenapa beliau yang awalnya
pelaku jual-beli satwa eksotik yang beralih menekuni fotografi alam liar,
dan berkarya melalui foto satwaliar
daripada mengekang satwa dalam kandang.
Setelah pengenalan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
Wawan dari SwaraOwa, Triatmoko dari Balitek KSDA Kalimantan Timur menceritakan
tentang salah satu primata endemik Kalimantan, yaitu Bekantan (Nasalis larvatus). Menurut Triatmoko, Bekantan merupakan monyet pemakan daun (colobine) yang memiliki sitem pencernaan
mirip dengan Sapi ( ruminansia), lambung bersekat-sekat dan bakteri pencernaan
membantu mencerna daun-daun (Regurgitate-remastication).
Secara morphology jantan dan betina dapat di bedakan dengan jelas dari bentuk
hidungnya, Bekantan Jantan mempunya hidung lebih besar dan lebih panjang dari
betina.Triatmoko menceritakan kalau bekatan ini mempunyai sistem sosial unik,
membentuk kelompok int, dan di dalam kelompok inti ini mempunyai sub-sub
kelompok yang lain yang mempunyai strata, ada kelompok non-breeding, all male
group, one-male group dan soliter.
Triatmoko (Balitek KSDA/Primatlogi IPB), menjelaskan tentang Bekantan |
Habitat bekatan banyak di jumpai di tep-tepi sungai, hutan
rawa, dan hutan mangrove. Kondisi
terkini habitat bekantan di Kalimantan, kini juga telah dan sedang mengalami
tekanan yang tinggi, karena koversi habitat menjadi pemukiman, tambak , tambang
dan kelapa sawit. Hilangnya habitat asli bekantan ini di khawatirkan akan semakin memperparah
laju kepunahan bekantan, inisiasi-inisiasi di tingkat site, mempromosikan
bekantan dengan kegiatan wisata yang ramah lingkungan juga telah dilakukan.
Menyambungkan secara ekologis hutan-hutan yang terfragmentasi dengan
hutan-hutan yang ada disekitarnya menjadi tantantang berbeda di antara
banyaknya kepentingan.
Arif Rifqi (TNC) memaparkan tentang konservasi orangutan Bentang alam Wehea-Kelai |
Presentasi kedua di sampaikan oleh Arif Rifqi dari TNC Indonesia,
bercerita tentang Orangutan (Pongo pygmaeus), di awal pemaparan Rifqi menyampaikan fakta-fakta orangutan di
Indonesia, di antaranya kini ada 3 jenis orangutan yaitu 1 jenis orangutan kalimantan,
dan 2 jenis orangutan di Sumatera ( Pongo abelii, dan Pongo tapanuliensis).
Jumlah populasi orangutan liar untuk di Kalimantan lebih dari 50.000 individu,
dan 12.000 individu di Sumatera, untuk orangutan tapanuli populasinya ada
sekitar 760 individu. Orangutan dengan hanya 3 % genetika berbeda dengan
manusia, merupakan identitas global, berperan dalam regenerasi hutan, karena
menyebarkan biji-bijian, lebih dari 1400 jenis yang disebarkan oleh Orangutan,
menjadikan kerabesar ini species payung untuk perlindungan ekosistem, ucap
Rifqi.
Yang menarik lagi dari kerja konservasi orangutan di Kalimantan
Timur ini, adalah inisiasi TNC Indonesia dalam membingkai upaya pelestarian
orangutan ini melalui pendekatan mulit fungsi bentang alam, Landscape . Bagaimana mengintegrasikan
upaya konservasi orangutan yang melibatkan banyak pihak, kedalam rencana tata
ruang provinsi, sekaligus penguatan tatakelola para pihak di habitat
Orangutan. Pendekatan TNC
Indonesia ini selain melibatkan masyarakat setempat juga pengelola kawasan
tersebut, dan level bentang alam Wehea-Kelay seluas lebih dari 500.000 hektar,
proses dari awal hingga terbentuk forum dan SK Gubernur menunjuk sebagai
Kawasan Ekosistem Esesial, sebuah terobosan inovatif untuk pelestarian orangutan
secara kolaboratif. Tidak hanya untuk orangutan fungsi penting kawasan ini diharapkan
dapat terus dapat di kelola secara bijaksana dan berkelanjutan demikian tutup
Rifqi.
(sampai jumpa di seri diskusi selanjutnya)