Berfoto bersama PPM Mendolo, KTH Wanapaksi dan Biolaska (Foto Mas Kir) |
Desa Mendolo, yang terletak di tengah hutan Kabupaten Pekalongan menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Jenis primata di desa ini lengkap: owa jawa, lutung jawa, rek-rekan, monyet ekor panjang, dan primata nokturnal kukang jawa. Lebih dari seratus jenis burung, lebih dari seratus jenis kupu-kupu, lebih dari enam puluh spesies anggrek liar bisa dijumpai di Mendolo. Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, tentunya diperlukan upaya pelestarian dan pengelolaan yang baik.
Strategi
yang bisa diambil dalam pengelolaan keanekaragaman hayati desa adalah melalui
konservasi berbasis komunitas (community
based conservation/CBC), yaitu upaya pelestarian dan pengelolaan
keanekaragaman hayati yang mengajak sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk berpartisipasi
aktif. CBC sendiri telah menyeruak menjadi wacana global di bidang konservasi pada
forum World National Parks Congress pada Oktober 1982, di Bali. Kemunculannya sejalan
dengan perubahan konseptual ilmu ekologi: pergeseran dari paradigma mekanistis-reduksionistis
ke pandangan holistik-sistemis, dari ekologi berbasis kepakaran beralih ke
bentuk partisipatif, dan dimasukkannya manusia dalam ekosistem.
Dalam
rangka mengarusutamakan CBC di Mendolo, SwaraOwa berkolaborasi dengan Indonesia
Dragonfly Society (IDS) dan Pecinta Alam Biologi UIN Sunan Kalijaga (Biolaska)
memfasilitasi Paguyuban Petani Muda (PPM) Mendolo untuk berkunjung ke Yogyakarta.
PPM Mendolo, sebagai kelompok masyarakat yang memotori gerakan konservasi di
lingkungan desanya, perlu mendapatkan input berupa pengetahuan dan pengalaman
baru guna memperkuat perannya.
Agenda
kunjungan PPM Mendolo ke Yogyakarta dimulai dengan mengikuti Seminar Hasil EkspedisiCanting, sebuah ekspedisi ilmiah yang digelar Biolaska pada bulan Januari
kemarin, sebagai upaya menginventarisasi dan menganalisis potensi
keanekaragaman hayati Desa Mendolo dan sekitarnya. Melalui presentasi yang
dipaparkan langsung oleh perwakilan tim ekspeditor, terungkap bahwa Mendolo
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan temuan beberapa spesies
endemik Jawa maupun dilindungi.
Di akhir
sesi, beberapa anggota PPM Mendolo diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman
mereka saat terlibat dalam Ekspedisi Canting Biolaska. Mereka juga menyampaikan
harapan agar kegiatan-kegiatan sejenis bisa terus dilakukan supaya kesadaran
para generasi muda di desa mengenai nilai penting keanekaragaman hayati bisa
terus meningkat dari waktu ke waktu.
Belajar menjadi pemandu pengamat burung
Kunjungi “Desa Ramah Burung”
Agenda
selanjutnya adalah mengunjungi Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi di
Jatimulyo, Kulonprogo yang telah melakukan praktik-praktik konservasi berbasis
masyarakat/CBC. Kelompok ini didirikan oleh para mantan pemburu burung. Didukung
oleh kebijakan pemerintah desa yang telah menerbitkan Peraturan Desa, dan
pendampingan dari beberapa NGO; Wanapaksi memopulerkan Jatimulyo sebagai “Desa
Ramah Burung”. Implementasi konsep desa ramah burung sendiri meliputi
pelaksanaan aturan hukum (perdes), riset secara partisipatif, pemanfaatan
burung tanpa menangkap (misalnya melalui ekowisata), hingga berbagai gerakan edukasi
dan kampanye.
Telah berdiri
sejak 2018, program unggulan kelompok yang beranggotakan lima puluhan orang ini
adalah Adopsi Sarang. Program ini merupakan sebentuk penggalangan dana untuk
penjagaan sarang dari ancaman perburuan. Tujuannya untuk mengembalikan populasi
burung, terutama jenis-jenis terancam punah seperti burung sulingan (Cyornis banyumas), cucak jenggot (Alophoixus bres), cucak kuning (Pycnonotus melanicterus), dll.
Dana yang masuk
dari pendonor digunakan untuk operasional penjagaan sarang. Tak sekadar menjaga
sarang, tim pengamanan juga melakukan pendataan aktivitas burung selama
bersarang. Sarang yang sedang dijaga ini juga “dijual” sebagai atraksi wisata. Puluhan
hingga ratusan fotografer satwa liar memburu momen ini. Kedatangan mereka turut
berkontribusi secara ekonomi bagi masyarakat. Manfaat ekonomi dari program
adopsi maupun wisata ini disalurkan kepada penemu/pelapor sarang, pemilik lahan
tempat bersarang, tim piket/penjaga sarang, kas kelompok, dan kas lingkungan (RT
atau RW).
Pertemuan
PPM Mendolo dengan KTH Wanapaksi membuahkan diskusi yang seru. Banyak
pertanyaan dari peserta mengenai bagaimana cara Wanapaksi mengelola organisasi
dan kegiatan mulai dari eko-eduwisata, homestay, adopsi sarang, maupun kegiatan
kampanye dan edukasinya. Bagaimana strategi Wanapaksi untuk mengatur banyak
anggota, sedangkan di tempat lain untuk sekadar mengumpulkan orang saja tidak
mudah.
Para anggota
PPM Mendolo diajak untuk melihat berbagai kegiatan seperti adopsi sarang
burung, ekoeduwisata, dan pengelolaan hutan rakyat. Mereka belajar mengenai
teknik menjadi interpreter, membuat hide untuk pengamatan dan fotografi satwa
liar, dan pengelolaan homestay untuk kebutuhan wisata minat khusus.
Pembelajaran
mengenai keberlanjutan konservasi berbasis masyarakat (CBC) di Jatimulyo, antara
lain: Pertama, CBC harus mampu mengubah paradigma dan perilaku komunitas
masyarakat dari kebiasaan tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Proses
penyadaran ini dilakukan secara dialogis sehingga dengan sendirinya para
anggota masyarakat mendapatkan kesadaran mereka sendiri. Perubahan paradigma
dan perilaku menjadi modal bagi terciptanya transformasi sosial dan budaya
masyarakat ke arah berkelanjutan.
Kedua, pentingnya
pengorganisasian masyarakat karena CBC pada prinsipnya mengajak sebanyak
mungkin anggota sebuah komunitas masyarakat. Dalam penggorganisasian ada pembagian
tugas atau peran. Keterlibatan anggota komunitas berdasarkan pada kelompok umur
(boomers, gen x, gen y, gen z, gen a),
maupun partisipasi gender. Menurut Sujarwo, Ketua KTH Wanapaksi, setiap
kelompok umur maupun gender perlu diberikan ruang untuk berpartisipasi. Dengan
demikian lembaga atau kelompok benar-benar menjadi milik semua kalangan.
Ketiga, ada
sistem yang dibangun sebagai mekanisme pemecahan masalah, hingga jaminan akan
adanya distribusi manfaat yang berkeadilan. Dalam konteks Wanapaksi misalnya, keberlanjutan
kelompok bisa dicapai dengan adanya pertemuan rutin, iuran anggota, dan seleksi
anggota yang ketat. Manfaat ekonomi dari kegiatan-kegiatan usaha seperti
adopsi, wisata, dan kuliner didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat
sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Berlaku juga sistem penggiliran untuk
penjualan jasa homestay dan jasa kelompok kuliner. Dengan demikian, sistem yang
telah berjalan bisa menekan munculnya permasalahan di kemudian hari.
Keempat, komunitas
perlu giat melakukan riset dalam berbagai bidang. Riset menjadi penopang utama
gerakan konservasi yang diusung. Melalui adanya riset, kelompok atau komunitas
masyarakat bisa terus memunculkan inovasi baru baik dalam praktik konservasi,
pengembangan peluang ekonomi, maupun budayanya.
Kelima, komunitas
perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Kolaborasi menjadi kunci penting
agar gerakan yang diusung oleh komunitas menjadi kekuatan yang terus tumbuh
membesar. Pihak-pihak yang perlu diajak bekerja sama meliputi instansi
pemerintahan, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi
non-pemerintahan, dan media.
Di ujung
pertemuan, sebagai dua komunitas yang sama-sama memperjuangkan pelestarian
alam, PPM Mendolo dan KTH Wanapaksi sepakat untuk membangun kemitraan,
barangkali bisa diistilahkan “sister
community”. Bentuk kerjasama seperti apa yang bakal dibangun tentu
membutuhkan diskusi yang lebih lanjut. Pada titik sekarang ini, pembelajaran
dari Jatimulyo diharapkan cukup untuk memberikan inspirasi bagi PPM Mendolo
agar terus meningkatkan perannya dalam mengorganisir masyarakat untuk
berpartisipasi dalam konservasi.
Apresiasi
setinggi-tingginya untuk: KTH Wanapaksi, Indonesia Dragonfly Society, Biolaska