Oleh : Imam Taufiqurrahman
Pengamatan di penyusuran pertama. Foto oleh tim Lolong Adventure |
Pencarian raja-udang kalung-biru di Kecamatan
Petungkriyono hingga Lebakbarang tuntas merampungkan lima sungai target. Banyak
hal yang sepertinya menarik untuk dibagi. Penyusuran jeram-jeram Kali
Sengkarang dengan berperahu, misalnya.
Sebagai gambaran, ruas-ruas sungai lain
disusuri jalan kaki. Total 30 kilometer lebih, dikali dua karena tiap
survei mensyaratkan pengulangan. Pergerakan sebagian besar dengan mengarah ke
hulu, melawan arus. Kalau berperahu kebalikannya; tim tinggal “duduk manis”, bergerak
mengikuti arus.
Memang, dari lima sungai target, lebar dan
kedalaman Sengkarang terbilang yang paling ideal dilintasi perahu. Pilihannya bisa
dengan berarung jeram dalam tim maupun berkayak sendirian. Sementara empat
sungai lain punya karakteristik berbeda.
Ambil contoh Welo. Mungkin dapat dilalui perahu,
namun tidak dengan model perahu arung jeram. Lebar sungai Welo, terutama di
ruas atas, hanya memungkinkan untuk perahu kayak. Namun, badan sungainya yang sempit
terbilang ekstrem dan berisiko tinggi. Buat orang yang tidak berpengalaman,
seperti seluruh anggota tim survei raja-udang kalung-biru, berkayak di sana bukan
pilihan. Terlalu berbahaya. Sementara Kali Pakuluran, Blimbing, dan Wisnu,
terlalu dangkal untuk bisa dilintasi perahu.
Di Sengkarang, ruas yang disurvei dengan berperahu
masuk area Desa Lolong dan Bantarkulon. Terdapat operator wisata arung jeram Lolong
Adventure di sana. Mereka menyambut rencana tim survei dengan terbuka dan
bersedia memfasilitasi penyusuran sesuai kebutuhan tim.
Maklum saja, penyusuran dalam rangka mencari Alcedo euryzona agak berbeda dan memerlukan
beberapa penyesuaian. Tujuannya saja mencari burung, bukan sekadar wisata basah-basahan.
Butuh banyak berhenti di titik-titik tertentu agar tim bisa mengamati burung serta
kondisi habitat di sekeliling. Tim juga membawa teropong dan kamera, sehingga pengarungan
perlu sangat hati-hati. Toleransi basah-basahannya, kalau bisa, sesedikit mungkin.
Gayung pun bersambut. Crew Lolong Adventurebersedia untuk pengarungan santai bertujuan khusus macam itu. Dalam brosur
paket arung jeram yang disediakan, ruas sungai target survei dinamakan Trip Atas
Mijahan. Panjang rute tertera 14 kilometer, ditempuh dalam empat jam
pengarungan. Titik mula masuk dalam Desa Bantarkulon, berada di atas batas
Kecamatan Karanganyar dan Lebakbarang. Akhir rute persis di Lolong Adventure.
Melewati jeram Sengkarang. Foto oleh tim Lolong Adventure |
Namun, pengarungan tidak bisa dilakukan sewaktu-waktu. Apalagi untuk Trip Atas Mijahan yang tingkat kesulitannya paling tinggi. Pada peta plot survei kami, ruas itu terentang sekitar 4 kilometer. Rutenya melintasi perbukitan dengan hutan lindung yang rapat dan luas, pada rentang elevasi 200-300 meter di atas permukaan laut.
Meski berada di perbukitan dataran rendah,
kontur kawasannya sangat terjal. Berjalan kaki akan terlalu sulit dan menghabiskan banyak waktu.
Bila dirata-rata, tim biasanya dapat mencapai titik pengamatan setelah 30-45
menit berjalan menembus hutan. Mencapai titik-titik survei di ruas Sengkarang sangat
mungkin jauh lebih lama. Itu pun tidak semua jalur akan tepat mengarah ke titik
yang ditentukan.
Di awal obrolan dengan Mas Orik, salah satu
pengelola Lolong Adventure, rencana penyusuran akan dilakukan pada Mei. Namun,
kenyataannya pengarungan baru terlaksana pada awal dan akhir Agustus. Beberapa
kali harus tertunda karena faktor cuaca. Curah hujan tahun ini terbilang tinggi
dan tak menentu.
Kondisi Kali Sengkarang di rute pengarungan. Dokumentasi SwaraOwa |
Terbukti di awal 2022, Pekalongan mengalami
banjir bandang. Seluruh sungai target survei menggelontorkan bebatuan besar dan
pohon-pohon tumbang. Longsor terjadi di mana-mana. Saat itu, hujan berlangsung
selama dua hari berturut-turut. Sebuah peringatan untuk siapa pun agar waspada dan
berhati-hati ketika akan berkegiatan di sana. Buat kami sama saja, berperahu
ataupun berjalan kaki, pencarian raja-udang kalung-biru memang harus dalam
kondisi aman dan berhati-hati.
Pengarungan
Ratusan, atau mungkin ribuan, kalong besar berterbangan
di atas tajuk. Tidur paginya harus terganggu dengan kedatangan kami. Apalagi kehadiran
dua perahu karet yang harus dibawa dengan berbagai cara itu: dijunjung,
diseret, ditarik—untuk terakhir didorong terjun ke sungai.
Menjumpai kalong sebanyak itu jadi penanda
baik; bagi wilayah Lebakbarang dan sekitarnya, bagi pemilik durian dan
penikmatnya. Atas jasa si kalong besarlah, pohon-pohon durian kelak akan
menghasilkan buah yang lezat.
Pengarungan ke-2. Foto oleh tim Lolong Adventure |
Sungai tampak jernih dengan bebatuan aneka
ukuran terserak di sepanjang aliran. Di kiri dan kanan, tebing cadas tegak berdiri
serupa pagar. Ketinggiannya bervariasi, sekira 3-7 meter dari permukaan air. Arus
terbilang bersahabat, ideal untuk pengarungan.
Dua ekor meninting kecil melintas cepat ke
arah hulu sambil mengeluarkan lengkingan khasnya. Nyaris tak terlihat karena ternaungi
tajuk hutan yang rapat. Kondisi lingkungan yang cukup sesuai untuk raja-udang
kalung-biru.
Dua perahu kombinasi biru, putih, dan hitam telah
menunggu. Di penyusuran pertama, 3 Agustus, itu, perahu tim survei diisi lima
pengamat dan satu juru mudi. Dari SwaraOwa ada Kang Wawan, Adin, dan saya. Kami
mengajak Iman dan Budi, anggota Paguyuban Petani Muda Mendolo.
Kru Lolong Adventure sebagai tim penyelamat dan
dokumentasi menaiki perahu depan. Sementara perahu kami mengiringi di
belakangnya.
Baru saja perahu melaju beberapa meter, juru
mudi meneriakkan ‘boom!’. Kata itu menjadi peringatan buat kami untuk bersiap
memasuki jeram. Sesuai pengarahan sebelumnya, kami lantas bergeser dari posisi
duduk. Tak lagi di pinggir, tetapi duduk di bawah, di bagian dalam perahu. Dalam
posisi itu, kaki harus menjejak dengan punggung bersandar agar tubuh tetap
stabil menahan goncangan. Dayung harus diangkat tegak lurus.
Perahu pun deras meluncur. Byurrrrrr!
Basah sudah, termasuk binokuler yang kami
bawa. Tapi itu tak soal, karena ada jaminan waterproof—yang
perlu diuji. Pengamatan baru bisa dilakukan saat perahu melaju lambat atau
berhenti. Entah berapa kali kami meminta menepi dan turun dari perahu untuk melihat
sekeliling.
Walet linci, cabai bunga-api, dan tepekong
jambul jadi jenis yang paling umum dijumpai. Berikutnya ciung-batu siul, merbah
corok-corok, takur tenggeret, dan kadalan birah. Jenis yang agak jarang kami
jumpai saat survei, misalnya delimukan zamrud dan raja-udang meninting. Si
raja-udang teramati saat peyusuran hampir mencapai titik akhir.
Pada pengarungan kedua, 30 Agustus, giliran
Ridho, Siswanto, dan Apen yang menemani saya dan Adin. Kala itu, sensasi
berarung jeram benar-benar terasa saat perahu kami terbalik di satu jeram
sempit. Alhasil, hp, buku catatan, dan sebungkus kretek yang saya kantongi
basah, meski sudah dibungkus plastik.
Di pengarungan kedua itu, kami menjumpai jenis
lain, macam uncal buau, udang api, dan meninting besar. Menariknya, beberapa
ekor kicuit batu juga terlihat, menjadi penanda bahwa musim migrasi telah tiba.
Sementara raja-udang kalung-biru yang jadi
target pencarian, tak dijumpai sama sekali dalam dua penyusuran. Namun, tidak
terlihat bukan berarti tidak ada. Kondisi sungai dan hutan yang ada di ruas itu
terbilang ideal sebagai habitatnya.
Kami tak ingin terburu-buru menyimpulkan.
Apalagi Mas Orik menawarkan untuk melakukan penyusuran lagi sewaktu-waktu. Ya, tentu,
di lain waktu.