Monday, September 22, 2025

Bilou dan Warisan Hutan Adat Saeggek Oni, Matotonan

 Oleh Aloysius Yoyok

Bilou ( Hylobates klosii)

Persiapan untuk survey populasi Bilou di hutan adat Saeggek Oni dimulai dengan koordinasi melalui telepon dengan staf YCMM di Rokdog, perwakilan uma Saeggek Oni, dan pemerintah setempat untuk menyepakati jadwal kegiatan. Pada 9 September 2025, tim berangkat melalui jalur darat yang rusak parah akibat cuaca dan minimnya infrastruktur, sempat terjebak lumpur sebelum tiba di Dusun Ugai. Perjalanan dilanjutkan dengan pompong menyusuri sungai selama dua jam hingga tiba di Dusun Mabekbek, Desa Matotonan, tempat tim menginap di rumah panggung milik anggota uma Saeggek Oni yang berlokasi dekat dengan hutan adat, target utama survei.

Perjalanan ke  Matotonan

Pelaksanaan survei populasi bilou di hutan adat Saeggek Oni dimulai pada 9 September 2025 dengan koordinasi bersama Kepala Dusun Mabekbek dan briefing teknis oleh tim yang berjumlah enam orang. Penentuan titik LPS sempat terkendala oleh ketidakakuratan peta, namun berhasil disepakati tiga lokasi dan pembagian kelompok. Selama empat hari survei, cuaca mendung dan hujan ringan hingga deras memengaruhi hasil pengamatan. Suara bilou sempat terdengar pada hari pertama dan terakhir, namun berasal dari area seberang sungai Rereiket, bukan dari dalam hutan adat Saeggek Oni, menunjukkan kemungkinan keberadaan bilou di sekitar wilayah tersebut meski belum terdeteksi langsung di area target.

Kondisi hutan adat Saeggek Oni

Pemukiman Mabekbek, Matotonan di tepi hutan

Menurut Merius Saeggek Oni, tegakan pohon-pohon besar di sekitar hutan adat itu kini sudah jarang dijumpai pada umumnya karena telah ditebang oleh anggota masyarakat; untuk bahan perahu, untuk memanen rotan manau, untuk bahan konstruksi bangunan dan terutama ditebang saat pembukaan penambahan permukiman pada tahun 2010 dan 2012 yang kini menjadi permukiman dusun Matektek dan dusun Mabekbek. Sehingga selain karena perburuan tradisional, habitat untuk satwa dan primata liar di sekitar lahan yang dipetakan sebagai hutan adat Saeggek Oni itu kini sudah tidak terlalu mendukung. Lommok seorang anggota uma Saeggek Oni yang juga seorang sikerei menambahkan jika bilou termasuk juga ke 3 jenis primata yang lain meski secara umum masih terdapat di beberapa hutan di wilayah desa Matotonan, namun karena kawasan hutan adat Saeggek Oni yang menjadi target lokasi survei populasi bilou ini memang di dekat permukiman sehingga kondisi habitatnya sudah kurang mendukung . Kawasan hutan adat Saeggek Oni yang sudah dipetakan itu adalah kawasan perladangan tradisional yang memiliki lanskap dataran dimana secara tradisional lahan dengan tipikal seperti itu menjadi sasaran utama untuk lokasi perladangan.

Trimeresurus whitteni- Bo Paipai, ular hijau siberut

Di kawasan yang dipetakan sebagai Hutan Adat Saeggek Oni itu juga merupakan bekas tempat berdirinya bekas bangunan Uma milik Saeggek Oni. Sekitar 2 dekade lalu tempat itu merupakan salah satu destinasi wisata budaya dan wisata alam. Semenjak bangunan itu runtuh dan sikebukat uma orang yang dituakan yang menjaga rumah adat itu meninggal dunia, bangunan uma itu kemudian dibiarkan runtuh begitu saja. Lommok sebagai pewaris yang juga seorang sikerei memilih untuk membangun uma di tempat lain, sekaligus sebagai tempat untuk beternak babi secara tradisional.

Selama 5 hari tim survei berada di Matotonan, kami mendapatkan beberapa informasi yang terkait dengan pola-pola perburuan satwa dan primata di wilayah ini. Meski tidak “separah” di kawasan desa Madobak di mana beberapa pemuda pemburu sudah mempergunakan senapan tabung dengan peluru berukuran 6,5 mm, namun di Matotonan sudah banyak juga anggota masyarakat yang memiliki senapan angin untuk berburu jenis-jenis burung maupun primata. Menurut mereka jika primata ditembak dengan senapan angin tanpa mempergunakan peluru yang diberi racun omai andalan Siberut, seringkali primata itu tidak mati namun kemudian trauma dan menjadi sangat takut dengan kehadiran manusia. Desa Matotonan sudah beberapa tahun terakhir kembali terisolir dari kawasan pusat ekonomi kecamatan sesudah pernah mengalami sedikit nikmatnya akses darat, variasi kebutuhan protein alternatif yang bisa diperoleh dari pedagang yang sudah bisa menjangkau Matotonan untuk menjual ikan tangkapan nelayan dari laut.

perburuan masih terjadi 

Salah satu penyedia kebutuhan protein bagi sebagian penduduk desa Matotonan adalah dari hasil perburuan satwa dan primata. Beberapa kali penduduk Matotonan dalam kelompok 2-3 orang yang baru pulang dari hutan untuk berburu burung terlihat melintas di depan rumah di mana kami menginap. Demikian juga kegiatan perburuan yang dilakukan secara tradisional tetap dilakukan oleh penduduk Matotonan. Menurut Merius Saeggek Oni, beberapa pemburu di desa Matotonan bahkan biasa berangkat sendirian saat malam atau dini hari ke hutan di sekitar permukiman untuk berburu satwa dan primata dengan mempergunakan panah beracun. Saat kami dalam perjalanan menuju titik LPS 2, kami melihat tanda-tanda; rotan jenis alimama yang disayat, kemungkinan besar untuk pengikat hasil buruan dan daun poula  aren Siberut yang biasa dianyam untuk menggendong hasil buruan yang berukuran besar, tanda-tanda jika seseorang baru saja berhasil mendapatkan buruan berupa babi hutan, mungkin masih dalam hitungan 2-5 jam sebelum kami tiba di tempat itu.  Kami sempat menjumpai ular hijau endemik siberut Bo paipai, burung kadalan mentawai.

Kadalan mentawai- (Phaenicophaeus oeneicaudus)

Potensi Desa Matotonan

Sikerei, kehidupan tradisional dan wisata budaya

Di desa Matotonan yang terletak di posisi paling hulu di bantaran sungai Rereiket ini masih terdapat relatif banyak sikerei, sosok sentral dalam setiap penggelaran ritual adat di Siberut. Cara berpakaian dan aksesoris yang khas membuat mereka mudah dikenali oleh pendatang yang baru tiba. Sejak beberapa tahun terakhir sejak pemerintah daerah menggalakkan identitas lokal, kini Sikerei seolah mendapatkan ruang lagi untuk menunjukkan peran sentral mereka dalam kehidupan tradisional di Siberut. Kini setiap tahun pemerintah desa Matotonan memiliki agenda penggelaran pentas budaya dalam bingkai pesta hari jadi desa.

Tim survey bilou Saegek oni


Peternakan

Menurut informasi dari beberapa orang anggota uma Saeggek Oni, sudah lama sejak beberapa penduduk Matotonan memiliki ternak sapi bantuan dari program pemerintah Orba melalui program IDT, kini hampir semua rumah tangga sudah memiliki ternak sapi, dari yang hanya berjumlah 1 ekor sampai belasan ekor. Ada 2 jenis sapi yaitu sapi lokal dari Pesisir Selatan Sumatra Barat yaitu jenis sapi ratui dan jenis sapi Bali. Namun jenis sapi ratui dari Pesisir Selatan adalah jenis yang paling banyak di Matotonan. Menurut mereka sapi menjadi semacam tabungan tahunan bagi penduduk, terutama saat hari raya Idul Adha, Matotonan menjadi penyedia utama untuk memenuhi kebutuhan di kawasan Siberut bagian Selatan. Penduduk lebih menyukai menjual ternak sapi mereka saat menjelang perayaan hari raya Idul Adha karena memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan saat hari-hari biasa.

Berbatas langsung dengan zona inti Taman Nasional Siberut.

Meski banyak kalimat-kalimat resistensi dan ketidaksukaan masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional di lingkungan tanah adat mereka, namun dari sisi konservasi kayu-kayu di zona inti kawasan konservasi setidak-tidaknya tidak pernah diekploitasi oleh perusahaan logging meski di beberapa kawasan memang sudah dikelola oleh penduduk untuk kawasan peternakan tradisional, permukiman maupun perladangan tetapi sebagaian besar yang lain masih berupa hutan yang memiliki pokok-pokok kayu alam yang berukuran besar. Selama beberapa hari di dusun Mabekbek, hampir setiap hari kami melihat penduduk yang melintas dengan setumpuk ikatan rotan manau di bahu mereka. Dari warna kulit manau yang sudah hijau tua terlihat jika manau-manau itu sudah tua. Menurut mereka manau itu mereka panen dari dalam hutan di kawasan inti Taman Nasional.

No comments:

Post a Comment