Monday, August 11, 2025

Generasi Lestari: komunitas belajar inklusif ala petani perempuan Mendolo

 Oleh : Sidiq Harjanto

peserta dan pendamping program "generasi lestari" Mendolo


Senin pagi, 7 Juli 2025, rona-rona keceriaan jelas terpancar dari wajah-wajah polos anak-anak Dukuh Sawahan. Mereka berkumpul, jumlahnya kurang lebih 20 orang anak dari berbagai usia. Kelas akan kembali dibuka. Ini bukan kelas sekolah formal, tatkala saat ini anak-anak masih dalam masa libur panjang pergantian tahun ajar. Ini adalah kelas edukasi lingkungan besutan Kelompok Wanita Tani (KWT) Brayanurip di Desa Mendolo. Pertemuan hari ini merupakan yang kedua di tahun ini. 

Didampingi 12 orang pendamping dari anggota KWT, agenda Senin pagi ini adalah menentukan nama kelompok, dan menyepakati aturan bersama. Nama ternyata penting, sebagai identitas, kebanggaan, dan pengikat suatu komunitas. Setelah melalui diskusi yang seru, disepakatilah nama “Generasi Lestari” sebagai identitas komunitas belajar bagi anak-anak ini. Berbagai kesepakatan atau aturan main komunitas juga telah dibuat, menandakan komitmen jangka panjang untuk merawat dan terus mengembangkan program edukasi ini.

Para peserta lalu diajak ke Sungai Wisnu, tak jauh dari kampung. Tak kenal maka tak sayang, demikian sebuah ungkapan yang sangat populer. Sungai menjadi bagian penting dari kehidupan desa ini sehingga anak-anak perlu dikenalkan sejak dini mengenai segala seluk-beluknya. Tak hanya menjadi urat nadi kehidupan, sungai sekaligus menjadi tempat bermain sekaligus saksi bisu tumbuh kembang anak dari generasi ke generasi. Para ibu yang terlibat turut larut bersama kenangan masa kecil mereka masing-masing.  

Anak-anak dari Generasi Lestari difasilitasi untuk melakukan beberapa aktivitas seperti bersih-bersih sungai, dan menanam aneka tanaman. Untuk melatih kreativitas, anak-anak diajak membuat karya dari bahan-bahan alami yang tersedia di sempadan sungai seperti dedaunan, bunga, dan ranting-ranting. Untuk melengkapi aktivitas pagi itu, mereka bermain bersama. Permainan peran telah disiapkan para pendamping untuk melatih kemampuan berempati anak-anak terhadap aneka satwa yang hidup berdampingan di sekitar desa. 

membuat karya kreatif dari bahan lokal

Edukasi menjadi agenda strategis

Tahun ini menjadi tahun penting bagi KWT Brayanurip dalam menyusun agenda jangka panjang mewadahi kaum perempuan di Desa Mendolo untuk berkontribusi dalam membangun desa. Pada saat penjaringan aspirasi beberapa bulan lalu, muncul beberapa usulan dari para anggota dalam isu pangan, lingkungan hidup, hingga pendidikan generasi muda. 

Program-program strategis telah disusun, salah satunya adalah inisiasi skema pendidikan lingkungan kontekstual untuk putra-putri di Desa Mendolo. Berkolaborasi dengan Swaraowa, kami membangun model pembelajaran yang mengedepankan inklusivitas dan egalitarianisme, mencoba menyentuh sisi kecerdasan emosional, serta menekankan paradigma holistik dalam merancang aktivitas bermain dan belajar. Beberapa pemahaman dasar yang menjadi pegangan dalam pengembangan model belajar ini, antara lain:

Pertama, setiap anak memiliki potensi masing-masing. Dalam teori Multiple Intelligence atau kecerdasan majemuk, Howarth Gardner membagi sembilan kecerdasan: logis-matematis, linguistik, kinestetik, visual-spasial, musikal, naturalistik, intrapersonal, interpersonal, dan eksistensial. Setiap anak maupun orang dewasa memiliki jenis-jenis kecerdasan itu, tetapi ada jenis-jenis tertentu yang dominan dan ada jenis-jenis lain yang kurang menonjol. 

Semisal seorang anak mungkin sangat pandai dalam bidang matematika, tetapi kurang bisa bermain musik dan olah raga. Ada pula anak yang sangat pandai bermusik, tetapi kurang bisa bergaul dengan teman-teman, atau kurang percaya diri. Adanya kecenderungan seperti ini perlu kita terima sebagai keniscayaan yang merupakan manifestasi dari interaksi kompleks berbagai faktor seperti genetik, stimulasi, dan pengaruh lingkungan. 

Selanjutnya, potensi-potensi kecerdasan itu perlu diberi stimulus yang sesuai agar semakin terasah, sedangkan kekurangan yang sekiranya bisa mengganggu pertumbuhan dan perkembangan perlu dilatih agar bisa beradaptasi. Dengan begitu, setiap individu bisa mengoptimalkan potensinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan berkontribusi bagi masyarakat.

Kedua, pemahaman bahwa kecerdasan itu tidak hanya tentang IQ. Di luar kecerdasan intelektual yang umumnya diukur dengan nilai IQ, ada tipe-tipe kecerdasan lain yang tak kalah penting. Kecerdasan emosional, misalnya. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence menyebutkan bahwa kecerdasan emosional (EQ) memegang peran sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting daripada kecerdasan intelektual (IQ) dalam menentukan kesuksesan maupun kesejahteraan seseorang. 

Emosi adalah proses-proses dinamis yang terjadi di dalam otak kita yang menghasilkan pengalaman subjektif. Emosi perlu dikelola agar kualitas hidup kita lebih baik. Goleman memecah kecerdasan emosional menjadi lima domain utama: kesadaran diri (bagaimana kita mampu mengenali emosi yang terjadi pada diri kita), pengaturan diri (bagaimana kita bisa mengelola dan mengarahkan emosi diri), motivasi diri (kemampuan untuk menumbuhkan motivasi intrinsik), empati (kemampuan merasakan apa yang dirasakan pihak lain), dan keterampilan sosial (kemampuan membangun relasi dengan pihak lain).

Ketiga, pembelajaran melalui latihan dan praktik. Kami menyadari bahwa berbagai keterampilan dasar yang berhubungan dengan kecerdasan sosial dan emosional tidak cukup hanya mengandalkan pembelajaran verbal, tetapi perlu dilatih melalui praktik, pembiasaan, atau bahkan bentuk-bentuk simulasi khusus.

Aspek-aspek pembelajaran

Isu penting yang saat ini terus bergulir di Desa Mendolo adalah pelestarian alam, termasuk di dalamnya perlindungan satwa liar. Desa ini kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk satwa-satwa endemik seperti owa jawa, kukang jawa, elang jawa, dan raja-udang kalung-biru. Program edukasi diharapkan melahirkan para konservasionis muda dari desa ini. Beberapa aspek berikut menjadi fokus perhatian bagi KWT Brayanurip:

Pemahaman tentang alam yang holistik-sistemik. Anak-anak diajak untuk memahami bahwa alam adalah sebuah kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Pemahaman ini berguna untuk memunculkan kesadaran dampak, misalnya jika kita menangkap burung lalu punah, maka belalang dan serangga lainnya akan meledak populasinya sehingga menyebabkan banyak tanaman pertanian rusak. 

Empati adalah salah satu aspek kecerdasan emosional yang sangat berperan dalam membangun relasi dengan pihak lain. Menariknya, relasi ini tidak hanya berlaku pada sesama manusia, tetapi juga berlaku kepada makhluk lain, termasuk binatang. Melatih kemampuan berempati kepada sesama makhluk hidup diharapkan membawa manfaat dalam upaya mengarusutamakan pelestarian satwa liar.

Upaya untuk mewujudkan lingkungan hidup yang berkelanjutan membutuhkan kolaborasi dan kerjasama. Untuk itu, kemampuan membangun kerjasama menjadi kebutuhan bagi generasi muda, dengan keterampilan seperti kepemimpinan, komunikasi efektif, dan manajemen konflik. Tak luput juga kreativitas, pemikiran divergen, inovasi, hingga adaptasi teknologi untuk memperkuat konservasi alam di tengah-tengah disrupsi jaman. 

Etiket atau sikap menghormati dan menghargai pihak lain penting dilatih sejak dini dalam menjaga efektivitas suatu komunitas. Di sisi lain, kapasitas intelektual berbasis rasionalitas tentu saja menjadi aspek yang perlu diasah, terutama dalam hal kemampuan analitis (pengumpulan-pengolahan data, pengambilan keputusan, dan evaluasi). Demikian cita-cita kami membangun Generasi Lestari, semoga mestakung.


No comments:

Post a Comment