Monday, April 3, 2023

Guyub Kopi Mendolo: Peran Perempuan dalam Tradisi Kopi

 oleh : Sidiq Harjanto

Menumbuk kopi untuk mendapatkan bubuk kopi nan harum


Pada Sabtu – Minggu,  18 – 19 Maret 2023, Swaraowa, Owa Coffee bekerjasama dengan PPM Mendolo membuat sebuah kegiatan bertajuk Guyub Kopi Mendolo. Kegiatan selama dua hari ini terdiri dari tiga agenda: nyangrai bareng (menyangrai kopi bersama), sarasehan dengan tema nilai penting keanekaragaman hayati bagi wanatani kopi khusus untuk Ibu ibu desa Mendolo, dan nginceng manuk (pengamatan burung) sebagai bentuk edukasi bagi anak-anak.

Di hari pertama, kami mengajak kaum perempuan untuk mengupas seluk beluk tradisi kopi di Desa Mendolo, terutama keahlian menyangrai. Selain mengupas tentang tradisi kopi, kami mengajak para ibu yang berasal dari beragam rentang usia, untuk berdiskusi mengenai peran perempuan dalam rantai kelola wanatani kopi di desa ini.

Ragam sangrai kopi

Praktek sangrai tradisional


Kopi telah menjadi tradisi atau bahkan budaya masyarakat Mendolo. Kopi mengisi hari-hari warga, pada pagi sebelum berangkat ke kebun, dan malam saat berkumpul bersama keluarga. Ada juga kopi yang hanya disajikan dalam momen khusus. Kopi jembawuk namanya, disajikan dalam ritual-ritual tertentu. Kopi ini diseduh dengan air santan kelapa dan pemanisnya gula aren.

Dalam hal selera, sebagian warga Mendolo menyukai kopi murni, sementara sebagian lagi memilih menambahkan bahan lain. Penambahan ini dilakukan pada saat proses menyangrai. Bahan yang paling familiar adalah beras putih. Konon, menambahkan beras ke dalam kopi bertujuan untuk mengurangi rasa pahit dari biji kopi yang disangrai sampai gelap (dark roast).

Ada pula warga yang senang menambahkan irisan kelapa dalam sangrai kopinya. Penambahan kelapa, menurut para penggemarnya, bisa memunculkan cita rasa gurih. Nglamir, istilah lokalnya. Namun, irisan kelapa tak sepopuler beras. Alasannya, penambahan kelapa membuat bubuk kopi menjadi kurang awet, aromanya cepat berubah tengik. Mencampur kelapa pada kopi biasanya hanya pada momen-momen tertentu saja.

Alat-alat yang digunakan untuk proses sangrai relatif sederhana, antara lain: wajan tanah/logam, irus atau spatula, penampi (tampah), dan alat pembakaran (tungku kayu atau kompor gas). Proses menyangrai diawali dengan memanaskan wajan terlebih dulu sekira lima menit. Setelah dirasa cukup panas, biji kopi mentah seberat kurang lebih 500 gram dimasukkan ke dalam wajan, kemudian diaduk terus-menerus menggunakan irus atau spatula.

Sepanjang proses, para ibu penyangrai mengamati dengan cermat setiap perubahan yang dialami biji-biji kopi, baik itu perubahan warna, perubahan bentuk fisik, hingga aromanya. Ketika biji-biji sudah pecah (first crack) dan warna berubah kecoklatan, api dikecilkan. Kopi diaduk terus sampai benar-benar matang, sesuai selera masing-masing. Proses menyangrai kira-kira membutuhkan waktu 20 menit. Kopi yang telah matang lalu didinginkan di atas penampi.

Proses selanjutnya adalah pembubukan. Untuk menghasilkan kopi bubuk, alat yang digunakan adalah lumpang dan alu untuk menumbuk biji, serta ayakan untuk mendapatkan ukuran serbuk yang ideal. Caranya dengan menumbuk biji-biji kopi yang telah disangrai sampai terbentuk serbuk. Hasilnya lalu diayak hingga diperoleh bubuk kopi yang relatif halus.

Belakangan, kopi tidak saja sekadar menjadi konsumsi keluarga Mendolo, namun telah berkembang menjadi komoditi yang dijual ke luar desa. Pada kesempatan ini, kami juga memperkenalkan dan meyerahkan satu unit mesin roasting kopi modern. Mesin modern diharapkan bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kopi olahan Mendolo untuk dijual ke luar sehingga desa ini semakin dikenal sebagai salah satu penghasil kopi di wilayah Kabupaten Pekalongan.

Peran perempuan dalam tradisi kopi

Kontribusi gender dalam rantai kelola kopi


Menurut Ivan Illich dalam bukunya berjudul Gender (1982), istilah ‘gender’ mesti dipahami lebih dari sekadar perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan saja, namun berimplikasi pada berbagai diferensiasi dalam kehidupan sosialnya. Perbedaan itu, misalnya: perbedaan tugas (pekerjaan), alat kerja spesifik, langgam tutur bahasa, hingga pemahaman ruang-waktu.

Melalui FGD, terungkap bahwa kontribusi kaum laki-laki dan perempuan dalam rantai pengelolaan komoditi kopi di Mendolo relatif seimbang. Namun, perbedaan perannya lumayan tampak jelas. Sebagai gambaran sederhana, laki-laki lebih banyak berperan dalam pengelolaan kebun, sedangkan perempuan lebih banyak berperan dalam pekerjaan-pekerjaan pascapanen yang umumnya dilakukan di lingkungan sekitar tempat tinggal.

Ada beberapa pekerjaan yang spesifik gender, misalnya dalam hal pruning (pemangkasan tanaman) dan sambung pucuk selama ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Sementara itu, menyangrai kopi sepenuhnya merupakan keahlian kaum perempuan. Para perempuan menyangrai untuk kebutuhan keluarga sendiri, atau terkadang memenuhi permintaan tetangga.

Persis seperti kata Illich, perbedaan tugas berimplikasi pada perbedaan alat-alat. Begitu pula peran masing-masing gender dalam rantai budaya kopi tentu membedakan alat-alat yang akrab digunakan oleh masing-masing gender. Alat-alat yang spesifik gender. Pisau sambung pucuk adalah alat yang hanya dipegang kaum lelaki. Di sisi lain, lumpang dan alu identik dengan kaum perempuan.

Karena menyangrai kopi menjadi keahlian spesifik kaum perempuan, hal ini membuat kami tertarik untuk mengulik lebih dalam. Dari dua puluhan peserta yang hadir, rata-rata yang memiliki keterampilan menyangrai kopi hanya mereka yang usianya sudah di atas 40 tahun. Sedangkan yang muda-muda sudah tidak lagi punya keahlian ini.

Tradisi menyangrai ini bisa saja hilang dalam waktu dekat. Salah satu dari ibu-ibu itu bisa saja the last traditional coffee roaster di Mendolo. Apalagi jika seiring perkembangan jaman, orang-orang lebih memilih membeli kopi kemasan pabrik. Melestarikan keahlian menyangrai bagi perempuan Mendolo kiranya perlu dilakukan.

Kembali kepada perspektif Illich, masing-masing gender memainkan peran yang berbeda yang sifatnya saling melengkapi. Kelangsungan hidup bergantung pada timbal balik. Keseimbangan peran ini mesti dipertahankan sehingga perempuan tidak mengalami perlakuan diskriminatif.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa isu mengenai gender dan upaya menjunjung harkat perempuan telah menjadi agenda nasional. Keseimbangan dan kesetaraan peran antara laki-laki dalam segala hal mesti menjadi keniscayaan.

Isu gender mesti diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian pula dalam bidang konservasi alam, penguatan peran perempuan perlu dilakukan. Keterlibatan perempuan, berdasarkan banyak penelitian, terbukti meningkatkan tingkat keberhasilan upaya-upaya pelestarian alam.

Memperkenalkan satwa liar Mendolo kepada kaum perempuan


peserta Guyub Kopi Mendolo 18-19 Maret 2023


Bagaimana mencari benang merah antara peran aktif perempuan dengan konservasi owa jawa, aneka satwa liar, dan hutan sebagai habitat? Di Mendolo, Swaraowa mencoba masuk ke komunitas perempuan melalui program pangan lokal dan program beekeeping  budidaya lebah klanceng bagi perempuan. Ketika perempuan mampu mengelola sumber-sumber pangan lokal, dan memiliki alternatif sumber ekonomi, maka tekanan terhadap hutan sebagai habitat hidupan liar bisa berkurang. Memberi ruang untuk berkembang dan meningkatkan kapasitas dan pengetahuan kaum perempuan di sekitar hutan mempunyai potensi yang tinggi untuk keberhasilan kegiatan konservasi.

No comments:

Post a Comment