Friday, December 17, 2021

Jenis-jenis Lebah Madu di hutan habitat Owa Jawa


Kegiatan konservasi Owa jawa, yang telah dan sedang berjalan di Jawa Tengah, khususnya di wilayah Kabupaten Pekalongan, selain pengembangan komoditas wana-tani yang berkelanjutan dari kopi yang di pelihara di bawah naungan pohon-pohon hutan alam, sejak tahun 2017 mulai mengembangkan kegiatan pemanfaatan keberadaan lebah.  

Swaraowa dawah koordinasi ahli lebah, Sidiq Harjanto, mengawali kegiatan ini dengan mengidentifikasi jenis-jenis lebah yang ada di hutan Sokokembang, kemudian secara geografis mengamati jenis-jenis yang ada beberapa lokasi yang berbeda tipe habitat dan ketinggian tempat. Bersamaan dengan ini juga mulai mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang sudah ada terkait dengan pemanfaatan lebah. Perburuan lebah madu di musim kemarau, juga menjadi fenomena yang menarik untuk dipelajari dan di kembangkan pemanfaatan yang lestari. danLaporan singkat tentang jenis-jenis lebah ini di tuliskan di bulan februari 2017, (baca cinta lebah Indonesia). Bersaamaan dengan ini kegiatan untuk membudidayakan jenis-jenis lebah ini mulai di kembangkan, di beberapa desa di sekitar hutan habitat Owa jawa, di Sokokembang, Tinalum, untuk jenis-jenis lebah tanpa sengat, dan jenis-jenis lebah sengat dari keluarg Apis cerana di dusun Setipis, yang semuanya berada di wilayah kecamatan Petungkriyono

Pengembangan budidaya lebah ini karena sebaran Owa Jawa juga ada di hutan di wilayah kecamatan Lebakbarang, desa Mendolo menjadi salah satu lokasi pengembangan intensif untuk jenis-jenis lebah tanpa sengat, salah satu yang favorit di kembangkan karena produktifitas madunya tinggi adalah jenis Heterotrigona itama, dan hingga saat ini beberapa kelompok warga sudah memanfaatkan lebah ini untuk investasi yang ramah hutan sekaligus melimpah.

Kebutuhan lahan untuk mengembangkan budidaya lebah di hutan atau sekitar hutan bisa dikatakan minim, karena budidaya ini dapat dikombinasikan dengan kegiatan kehutanan atau pertanian pada umumnya. Hutan menyediakan nectar, dan polen sebagai makanan utama lebah, tidak seperti peternakan lainnya, lebah dapat pergi pulang sendiri mencari makan, menyimpannya sebagai cadangan makanan dalam bentuk madu dan juga lilin lebah. Peran penting dari kunjungan lebah-lebah ke bunga adalah polinasi ,mengawinkan tanaman, produksi buah, regenerasi hutan,  tanaman pangan, ada korelasi positif dengan adanya serangga pollinator, terutama jenis-jenis lebah

Sunday, October 31, 2021

Merawat Warisan Alam : Hutan Mendolo

 Oleh : Arif Setiawan


Owa jawa, foto hasil monitoring di Mendolo, foto oleh Hudi

Desa Mendolo terletak di kecamatan Lebakbarang Kabupaten Pekalongan, lokasi ini masuk salah satu dari 16 lokasi prioritas untuk habitat Owa di Jawa Tengah ( Setiawan et al, 2012). Keberadaan owa di wilayah ini juga menjadi dasar untuk menentukan kegiatan konservasi jangka panjang untuk Owa jawa , yang dilakukan Swaraowa. Hutan Mendolo terletak di sekitar desa Mendolo, juga merupakan Kawasan hutan dengan status Hutan Produksi , yang masuk dalam pengelolaan Perum Perhutani, KPH Pekalongan Timur.

Berdasarkan survey terbaru tahun 2020 (Widyastuti et al 2020),  yang memodelkan prediksi keberadaan owa, berdasarkan tinjuaan kesesuaian habitat, kawasan ini merupakan habitat owa jawa, dengan kesesuaian tinggi, dengan nilai kemungkinan perjumpaan owa yang tinggi. Artinya hutan di kawasan ini sangat cocok untuk owa jawa tinggal, berdasarkan parameter prediksi seperti kelerengan, suhu, tutupan lahan, jarak terhadap pusat aktifitas manusia, seperti jalan, dan pemukiman.

 Melihat kawasan ini penting untuk habitat Owa jawa, skema yang sama dengan kegiatan sebelumnya di Sokokembang, untuk meningkatkan ekonomi dan praktik pertanian wana-tani, merupakan kegiatan yang dikembangkan di dusun ini untuk konservasi Owa. Awal mula kegiatan masuk di Desa Mendolo, pada tahunahun 2015,  ketika waktu itu  bersama  pemerintah daerah kabupaten Pekalonganuntuk inventarisasai flora dan fauna dilindungi , (https://swaraowa.blogspot.com/2015/09/survey-bersama-fauna-dan-flora.html )dan salah satu lokasi surveynya adalah Hutan Desa Mendolo. Sejak saat itu, tim swaraowa  secara rutin berkunjung ke Mendolo. Kegiatan-kegiatan kunjungan ini menjadi salah satu strategi kami membangun komunikasi dengan warga Desa terutama, untuk memetakan prioritas komotidas yang selanjutnya dapat di kembangkan, denga tujuan sebagai pendapatan ekonomi  sekaligus mendorong pelestarian hutan.

Owa jawa di hutan Mendolo, berdasarkan survey monitoring yang dilakukan berdasarkan suara (vocal count) terdapat kurang lebih 4 kelompok. Yang sebarannya terdapat di lokasi-lokasi bervegetasi alami dan susah di akses manusia, namun juga berada di kawasan yang budidaya agro-forest ( wana-tani), durian  dan kopi.


menikmati madu Mendolo


Desa,  Mendolo juga dikenal dengan penghasil durian,  Kawasan wana-tani durian ini tumbuh diantara pohon kayu alam, dimana durian merupakan komoditi yang dibudidayakan secara intensif, dan produk durian dari Desa ini mensuplai pasar-pasar durian Pekalongan dan sekitarnya ketika musim panen tiba. Meskipun penelitian tentang produktifitas durian dan faktor bio-ekologi  belum pernah di teliti, namun ada indikasi kalau produktifitas durian ini, terkait dengan keberadaan pollinator penyerbuk, seperti kelelawar, (baca liputan IDN Times tentang kelelawar di Hutan Mendolo ) dan serangga penyerbuk, seperti lebah-lebah. Salah satu produk komoditas yang terkait dengan wana-tani durian ini, adalah salah satunya madu, yang melimpah ketika musim bunga durian tiba. Hampir semua penduduk di desa ini terutama yang laki-laki adalah pemburu madu hutan.  Tradisi berburu madu hutan ini sudah turun-temurun dilakukan, madu juga menjadi konsumsi dan juga sumber ekonomi. Hasil survey awal untuk potensi madu hutan di des aini di tulis disini : https://swaraowa.blogspot.com/2019/08/tradisi-pemanenan-madu-hutan-desa.html. Berdasar kegiatan ini, akhirnya swaraowa dengan tim Beekeping , mulai memfokuskan kegiatan untuk mengangkat pengembangan budidaya jenis lebah tanpa sengat, atau klanceng. 

Sepah hutan (Pericrocotus flammeus)

Kadal punuk (Gonocephalus chamaeleontinus)

Gelatik batu kelabu (Lonchura oryzivora)

Paguyuban Petani Muda Mendolo  menjadi motor penggerakan pelestarian di mendolo, memupuk semangat kebersamaan dan kebanggaan akan hutan Mendolo. Berawal dari kegiatan pertemuan dengan di dusun Mendolo dan pelatihan di proses pasca panen di Swaraowa  Yogyakarta, rangkaian kegiatan anak-anak muda di desa mendolo ini terus muncul. Kegiatan perbaikan pasca panen kopi telah berhasil mendirikan “ Kopi Batir “, kewirausahaan kecil yang menghasilkan produk lokal dari kopi robusta dusun Mendolo. Seperti slogannya, “nepungke seduluran”, yang berarti kopi juga bertujuan mempererat persaudaraan, kegiatan PPM Mendolo juga membangun kesadaran generasi muda Mendolo untuk lebih peduli dan melestarikan hutan dan nilai penting keberadaan hidupan liar, sebagai penghuni hutan dan mengoptimalkan nilai penting keberadaannya sebagai penyedia jasa ekologi.

Kegiatan-kegiatan untuk memperkuat perlindungan Kawasan hutan pelan namun pasti terus dipupuk, inisiasi-insiasi dari warga untuk merawat alam.Kegiatan pengamatan primata,  burung, telah dan sedang di kembangkan di Mendolo ( foto-foto diatas adalah beberapa species yang di jumpai selama pengamatan) tujuannya adalah  untuk meningkatkan kapasitas generasi muda, mengenal hidupan liar penting disekitar desa, burung dan flora fauna juga merupakan asset desa yang harus di jaga kelestariannya, bukan tidak mungkin kemudian hari dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomi yang lebih lestari.

Beberapa produk hasil kegiatan di dusun Mendolo dapat di peroleh melalui Kopi Batir dan Owa coffee. Meskipun masih dalam skala kecil, kopi dan madu hutan hasil budidaya warga dapat membantu memotivasi warga sekitar hutan dan mendukung kegiatan konservasi Owa dan pelestarian hutan di kawasan hutan Mendolo dan sekitarnya.


Sunday, October 10, 2021

Seberapa populer Owa di Twitter ?

Saturday, August 28, 2021

Limbah Konfeksi untuk Konservasi

 oleh : Elna Novitasari Br.Ginting dan Arif Setiawan



Salah satu yang menggerakkan ekonomi warga di Pekalongan adalah konfeksi (industri pakaian), dan hal ini hampir merata di semua wilayah, dari kota hingga ke pelosok desa-desa sekitar hutan pun juga ada rantai ekonomi usaha konfeksi ini. Mulai dari memotong bahan baku kain, menjahit, memasang kancing,resleteing, sablon, mewarnai, dan juga yang sudah turun temurun dilakukan adalah membatik.

Kami melihat rantai ekonomi konfeksi ini di Sokokembang, salah satu dusun paling dekat dengan habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pekalongan, primata langka yang hampir punah dan sudah ada sejak pertama kali kami singgah di dusun di Tengah hutan habitat Owa ini, tahun 2006. Beberapa warga terlibat langsung dan mendapatkan penghasilan utama dari kegiatan konveksi, menjahit bagian dari pakaian yang merupakan bagian kecil dari sbuah rangkaian proses produksi pakaian jadi. Warga yang bekerja di sektor ini bisa di bilang 45% dari total keluarga yang ada di Sokokembang, yang bekerja di sektor lain seperti bertani, beternak,  di kebun dan hutan. Tahun-tahun awal kami memulai kegiatan di sokokembang hingga tahun 2014, warga yang bekerja menjahit, melakukan pekerjaannya ini di tempat bos atau juragan yang mempunyai mesin-mesin jahit dan bahan kain, tidak melakukan pekerjaan ini di rumah. Setiap hari dari Senin-Kamis, Sabtu, Minggu, dan libur di hari Jumat.


Sudah tentu pekerja-pekerja konfeksi ini relasi dengan hutan sebagai habitat Owa Jawa tidak sedekat warga yang bekerja dirumah, bertani, kehutan, mengolah kopi dan lain sebagainya. Namun mereka mempunyai peran penting juga dalam memutar roda ekonomi pada umumnya kehidupan di sekitar hutan. Nama-nama pohon hutan, pengetahuan tentang binatang-binatang hutan, tentu berbeda dengan warga yang sering masuk hutan. Menceritakan dan menggambarkan Owa saja kadang masih salah dengan menyebut ekor ada di Owa, karena sanggat jarang sekali melihat Owa. Yang sudah benar mereka ceritakan adalah mengenai suaranya, karena suara-suara owa terdengar cukup jelas di pagi hari.


Tim Wildgibbon Indonesia- Swaraowa beberapa waktu lalu dalam suasana pandemi, mencoba mencari solusi untuk menyambungkan permasalahan owa ini ke bidang yang menjadi mayoritas pekerjaan dan yang ada di Pekalongan, konfeksi. Melihat kain-kain perca sisa potongan, ada dimana-mana, meskipun juga sudah ada yang memanfaatkan, namun tim mencoba membuat berbeda dengan tujuan untuk mengenalkan dusun Sokokembang .

Tas kain 'tote bag' menjadi pilihan, memanfaatkan limbah kain potongan, bagi warga yang pekerjaannya memang menjahit, mulai membuat pola, menyambung  kain-kain dan membentuk sebuah tas yang siap dan layak pakai adalah hal mudah yang dapat di kerjakan di sela-sela menjahit menyelesaikan pekerjaan harian. Namun, hal ini juga coba diperkenalkan kepada generasi muda yang aktif di Sokokembang. Pelatihan singkat diberikan oleh warga yang sudah mahir dalam menjahit, dan tim Wildgibbon memberikan sentuhan tambahan untuk kain perca yang di manfaatkan ulan untuk tas. Hasil akhir dari kain perca tersebut jadi sebuah "tote bag", dengan logo utama Owa Coffee dan Sokokembang.


Dari program ini, salah satu hal lagi yang menjadi contoh dan sekaligus tantangan adalah memunculkan kegiatan konservasi sekaligus memupuk jiwa entrepreneur atau wirausaha. Keberadaan tim konservasi sudah seharusnya dapat menambah nilai dari apapun yang terkait langsung atau tidak langsung dengan misi konservasi yang di angkatnya. Menjual produk dengan strategi pemasaran, tidak akan jadi apabila hanya dalam tataran rencana dan wacana, namun hal ini sudah menjadi bagian dari kegiatan wirausaha itu sendiri, yang juga dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, dan harapnnya memang mendorong kegiatan konservasi selanjutnya.


Wednesday, June 30, 2021

JEJAK PETUALANG | MENGARUNGI KEARIFAN JAWA TENGAH

Inisiasi pelestarian Hutan Tololago, Siberut

 oleh : Damianus Tateburuk, Arif Setiawan


Hutan di sekitar dusun Tololago Siberut Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, menjadi bagian penting dari upaya pelestarian budaya dan alam pada umumya di Kep.Mentawai. Kegiatan yang di motori oleh tim Malinggai Uma, Mentawai Di Siberut Selatan, telah menambah motivasi semangat untuk membangun inisiasi pelestarian alam dan budaya dari tingkat bawah. Meskipun terkendala jarak dan situasi pandemic, hasil diskusi secara daring dapat merumuskan kegiatan-kegiatan yang sepenuhnya dilaksankan oleh Tim Malinggai Uma.

Penandatanganan kesepakatan bersama untuk melestarikan hutan Tololago
 dengan suku pemilik lahan disaksikan pemerintah Desa Tololago.

 Tanggal 4-16 Mei 2021, tim Malinggai melakukan kegiatan lapangan bersama dengan warga Desa Tololago, untuk mencoba mensosialisasikan pentingnya hutan dan satwaliar yang ada di sekitar desa ini untuk waktu-waktu yang akan datang.  Memperkuat nilai penting keberadaan hutan, pohon-pohon, satwaliar, termasuk primata dan jenis-jenis burung akan memperkuat potensi Desa dan Suku pemilik lahan degan mengelola dengan cara-cara yang bijaksana dan lestari.Pertemuan dengan suku terbesar pemilik lahan di sekitar desa Tololago, pembicaraan dengan pemerintah desa dan kecamatan,  menyampaikan potensi-potensi keanekargaman hayati yang telah di ungkap dari survey-survey kegiatan sebelumnya. Melalui pertemuan ini diperoleh kesepakatan tertulis yang di pahami bersama untuk berkomitmen dan saling mendukung kegiatan pelestarian hutan di Tololago, dilanjutkan dengan kegiatan pemasangn papan himbauan untuk melestarikan hutan dan larangan merusak hutan.

Otus mentawi


Pernis ptilorhynchus

Simias concolor

Presbytis potenziani siberu


Survey juga dilakukan di beberapa jalur hutan Tololago dan menjumpai langsung primata endemik Mentawai , Simakobu ( Simias concolor) dimana IUCN telah mengkategorikan dalam status kritis ( Critically endangered), Bilou ( Hylobates klossii), Joja ( Presbytis potenziani siberu) burung  pemangsa Sikemadu asia ( Pernis ptilorhynchus), burung hantu mentawai ( Otus mentawi).  Jenis-jenis tersebut merupakan diantara sekian jenis-jenis asli Mentawai yang mempunyai potensi untuk mengundang orang ingin melihat lansung dan meluangkan biaya untuk rangkaian kegiatan pengamatan di hutan. Apabilah hal ini juga dapat dikelola dengan baik juga berpotensi untuk mendukung ekonomi untuk warga sekitar hutan dan mendukung kegiatan pelestarian jenis-jenis terancam punah dengan kegiatan wisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Oleh karena itu, kegiatan ini juga diharapkan dapat menjadi perhatian pemerintah daerah untuk mendorong upaya pelestarian hutan dan satwaliar termasuk memperkuat nilai budaya asli, dari sisi kebijakan daerah, yang juga menjaga keanekargaman tinggi diluar kawasan konservasi yang sudah ada.


pemasangan papan himbauan ajakan untuk melestarikan hutan
dan satwaliar dalam bahasa mentawai


Kegiatan di Tololago ini juga merupakan pembinaan generasi muda yang berada di wilayah kerja Mallinggai Uma, dengan melibatkan anak-anak muda untuk terlibat langsung dalam kegiatan pengenalan pengamatan satwaliar, dengan harapan dapat memotivasi kegiatan kegiatan pelestarian alam dan budaya selanjutnya.


Saturday, June 19, 2021

Primate Survey Method Training Program : Building capacity for young primatologist

 written by Arif Setiawan, translated by TT Chan



The Primate Survey Methods Training Programme was held for the eighth time in May 2021, after having been delayed by the coronavirus pandemic. As in previous years, this was a collaboration with the Primate Study Group of Gadjah Mada University’s Faculty of Forestry. The Primate Survey Methods Training Programme, which we will refer to as PTP for short, aims to revitalise primate research, introduce basic primate survey techniques and create a network of primate conservation activists, all with a special focus on gibbon conservation.

The first PTP was held in 2013, with the initial goal of increasing the number of researchers and conservationists in Central Java. Between 2013 and 2019, 146 participants successfully completed the programme (see Table 1). Today, these PTP alumni are spread across different regions. Several of them are currently pursuing careers in primate and gibbon-related fields. They have started primate conservation projects encompassing tracts of gibbon habitat which had previously not been protected.

The training given in the PTP focusses primarily on a method of estimating the population  density of Javan gibbons using triangulation sistem, line transects and vocal counts. The programme usually lasts three days, with one day for classes and two for field practice. All editions of the PTP so far have taken place in Sokokembang hamlet (Kayupuring Village, Petungkriyono District).

Training sessions are complemented by presentations by guest speakers, who share their experience doing research or primate conservation. Among the speakers invited during previous rounds of the PTP is Dr Bosco Chan (Kadoorie Farm and Botanic Garden, Hong Kong), who has done fieldwork on the Hainan gibbon – the rarest in the world – and visited in 2018. We  also invited researcher Dwi Yandhi Febrianti, who works on the Celebes crested macaque (Macaca nigra) in North Sulawesi. In 2017 we have invited Dr. Andie Ang, raffle’s banded langur working group and Indonesian javan gibbon researcher, Rahayu Oktaviani as guest lecturer. We hope that the experiences of our invited researchers will inspire participants to embark on careers involving researching or conserving primates in Indonesia.

The PTP this year has had to be modified a little due to the pandemic. In addition to reducing the number of participants, we added a webinar before the main event at Sokokembang. This webinar, held on 22 May 2021, gave our guest speakers the opportunity to remotely address our 60 participants on various issues, which would normally have been presented live. Our first speaker, Dr Joe Smith, works as director of the animal programme at Fort Wayne Children’s Zoo. He talked about some activities at the zoo that contributed to ex-situ conservation initiatives and the role of Fort Wayne Children’s Zoo in gibbon conservation in particular. Our second guest speaker was Nur Aoliya, a primate researcher from Bogor Agricultural University (IPB) who is researching the bioacoustics of Javan gibbons in the Dieng Mountains. For those of you who did not have time to attend this webinar, you can watch the recording on YouTube.

 

 After the webinar, the PTP commenced in the Sokokembang forest, with 15 participants who had previously been selected based on a letter of motivation and their involvement in past and future projects relating to gibbons or other primates. In addition to those selected, there were three invited participants at this year’s PTP from Siberut. They represent a project on the Dwarf siamang, endemic to the Mentawai Islands in West Sumatra.

This year’s PTP focused on training participants in the vocal count triangulation method, which we had two days to try out in the Sokokembang Forest. This is a method commonly used to survey gibbon populations. Nur Aoliya, the gibbon researcher from IPB we mentioned above, was in charge of introducing participants to the vocal count method. She had previously also received SwaraOwa’s Kopi Owa scholarship.



On our first day in the field, we selected sites called listening point from where we intended to listen out for gibbon calls the next day.  We also did primate watching tours on the forest road that have been used regular monitoring. Its easy to spot all primates species that have been habituated to humans. In choosing our sites, we took into account how well we could hear forest sounds at each place and the topography of the Sokokembang Forest. In total, we settled on three listening points spaced around 500 m apart. On the same day, we also gave participants a feel of the primate diversity in Sokokembang, teaching them how to identify the different species and quickly estimate the number of individuals in each group they come across.

On the second day, we did a vocal count using the three listening points we had chosen the day before. Based on the loudness and direction of the calls, we estimated the positions of the gibbons. Each of the three sites was manned by one team of participants from 6.30 to 11.00am. All gibbon calls were recorded on specially prepared observation sheets. The data from each observation point was later analyzed to estimate gibbon abundance in the area covered. The advantage of using three listening points (triangulation) was that we could more accurately determine where each gibbon was calling from.

Over the three days of the programme, our participants managed to record the highest number of direct encounters (during priamate watching trip)  with primates in the Sokokembang Forest so far compared to previous years: 30 individuals belonging to four species (Javan gibbon, Javan surili, Javan lutung and Long-tailed macaque). Towards the end of the programme, each team also presented the observational data they collected from the vocal count and an analysis of gibbon density.

We hope that the PTP 2021 has given all participants a good assortment of experiences in the field and a basic understanding of the methods used in gibbon surveys, as well as reached out to those in the younger generation interested in primate research, especially that relating to gibbons.

The Primate Survey Methods Training Programme 2021 was made possible by support from Mandai Nature, Wildlife Reserves Singapore, Fort Wayne Children’s Zoo and Ostrava Zoo. Our thanks are also due to Perhutani Pekalongan Timur and the Kayupuring Village Government, Petungkriyono District, Pekalongan Regency.

Sunday, May 2, 2021

Semangat baru dari Sipora, Menjaga alam dan Budaya

 Oleh : Damianus Tateburuk ( Malinggai Uma Mentawai)

 



Kebudayaan dan keanekaragaman hayati daerah di Indonesia terwujud dalam beragam bentuk kegiatan dan aktivitas dalam kelompok masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, dan ini ditandai dengan beragam hasil karya dari berbagai kelompok masyarakat budaya yang menunjukkan ciri khas kebudayaanya masing-masing, sebagai contohnya antara lain jenis rumah adat, tarian, musik, seni ukir, pakaian adat, dan bersamaan dengan keanekaragam hayati contohnya antra lain jenis alam, hutan, primata, burung, herpetofouna dan sebagainya, dan secara keseluruhannya kekayaan alamnya masih asli dan bahasa dan lain-lainnya. Seperti yang ada di Mentawai ini, bahwa kebudayaan hidup didalam  jiwa masyarakat bangsa Indonesia dan perlu dilihat sebagai suatu aset negara melalui pemahaman dan lingkungan, tradisi serta potensi-potensi kebudayaan yang dimiliki untuk dapat diberdayakan untuk dapat mencapai tujuan pembangunan nasional.

 

Seni Kebudayaan Dan Konservasi Keanekaragam Hayati yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Sumatra Barat, khususnya di Kepulauan Mentawai dikembangakan dalam satu wadah atau perkumpulan dengan menejemen yang sederhana, Wadah atau tempat berkumpulnya pelaku seni kebudayaan dan konservasi keanekaragam hayati biasanya dinamakan perkumpulan, Dari sekian banyaknya organisasi, yayasan, lembaga, pemerintahan dan organisasi ini yang berada di Sumatra Barat, salah satunya adalah Malinggai Uma Tradisional Mentawai.

 


Malinggai Uma Tradisional Mentawai pusat bersekretariat di Dusun Puro II Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai–Sumatra Barat. Malinggai Uma Tradisional Mentawai ini merupakan sarana bagi berkembangnya  dan pelestarian kebudayaan dan konservasi keanekaragam hayati khususnya, Malinggai Uma Tradisional Mentawai dibentuk pada tanggal  05 September 2014 dan untuk memberikan fasilitasi kepada masyarakat umum dalam hal di bidang seni kebudayaan  Konservasi keanekaragam hayati dan satwa liar dan primata mentawai, Adat Istiadat Mentawai, semoga Malinggai Uma Tradisional Mentawai dapat menjadi tempat / wadah untuk menggali tentang Kebudayaan dan keanekaragam hayati, yang mulai memudar khususnya dikalangan remaja dikarenakan ketidak pedulian masyarakat itu sendiri untuk memperkenalkan kebudayaan dan keanekaragam hayati mentawai tersebut kepada generasi penerus mereka dan pengaruh budaya asing serta kurangnya wadah bagi mereka untuk mengetahui budaya asli mereka sendiri dan ini sangat memprihatinkan sekali, bagi kami sehingga organisasi atas nama Malinggai Uma Tradisional Mentawai sangat berharap dan berkeinginan penuh dengan berdirinya organisasi ini dapat membantu masyarakat untuk mengetahui, menggali serta memahami tentang nilai-nilai seni dan kebudayaan dan serta keanekaragam hayati mentawai dan serta perlindungan satwa dari jenis-jenis primata (Bilou, Simakobu, Simakubu simabulau, Joja, Bokkoi, herpetofouna dan burung-burung mentawai dan sebagainya) yang sekarang ini sudah mulai dilupakan. Malinggai Uma Tradisional Mentawai juga tidak menutup bagi masyarakat diluar mentawai ataupun dari mancanegara untuk mendapatkan informasi tentang kebudayaan dan keanekaragam hayati yang ada di mentawai. Selain itu Malinggai Uma Tradisional Mentawai juga akan terus mengadakan kegiatan seminar-seminar dan pelatihan tentang Kebudayaan dan keanekaragam hayati kedepannya, kegiatan yang telah kami lakukan sebelumnya yaitu “Seminar Pangureijat” (Pernikahan Adat Mentawai), (Pergelaran Seni Budaya Mentawai) (dan Turuk Laggai di Padang), (Pelatihan Guru Dan Fasilitator Sekolah Budaya Mentawai).

Bulan April tanggal 7-8, 2021 yang lalu kami juga telah berhasil melaksanakan sebuah acara pelatihan untuk anak-anak sekolah usia sekolah menengah atas di Dusun Goisooinan, Sipora. Berjudul “ Pelatihan Pengamatan Satwaliar dan Penggunaan Smartphone untuk Promosi Konservasi”.  Kegiatan yang didukung oleh SWARAOWA dari Yogyakarta dan Fortwayne Children’s Zoo dari Indiana Amerika Serikat. Latar belakang acara ini adalah semakin susahnya kita menjumpai satwa-satwa asli mentawai dan generasi muda semakin jauh dari rasa memiliki kekayaan alam mentawai, beberapa daerah khususnya di Mentawai juga sudah bagus sinyal telekomunikasi, dan anak-anak ini hampir setiap hari menggunakan gawai. Oleh karena itu potensi generasi muda mentawai ini perlu di dorong dengan pengalaman-pengalaman lapangan yang memang tidak dapat di sekolah, bagaimana mendokumentasikan alam sekitar mereka dan membuat cerita untuk oranglain supaya lebih tertarik, ataupun mengenalkan diri mereka dan budaya mentawai.


Peserta acara ini adalah 15 orang  anak-anak usia SMA, 10 Orang darai Sipora dan 5 orang dari Siberut, terdiri dari 7 anak perempuan dan 8 anak laki-laki. Acara dilaksanakan 2 hari, dengan susunan acara 1 hari materi kelas dan 1 hari ke hutan. Pemateri yang di undang dalam acara ini adalah dari Birdpacker indonesia, organisasi konservasi burung dari Malang Jawa timur, ada mas Waskito Kukuh dan mbak Devi Ayumandasari, yang akan menyampaikan materi tentang pengamatan burung dan penggunaan smarphone untuk fotografi dan promosi konservasi melalui sosial media. dan tentang primata disampaikan oleh mbak Eka Cahayningrum dari SwaraOwa organisasi konservasi primata dari Yogyakarta yang berkerja untuk konservasi Owa Indonesia.

Hari pertama acara kelas di buka oleh Ketua Malinggai atau  yang mewakili ( Bapak Vincent) dan sambutan-sambutan dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.KepMentawai, dari dinas Pariwisata,  dan dari Desa Goisooinan.

Acara hari pertama setelah pembukaan oleh tarian-tarian adat dari sanggar malinggai Uma dari Siberut Selatan, dilanjutkan dengan  pengenalan dasar-dasar teknik pengamatan alam khususnya untuk satwaliar burung dan primata, dan menggunakan nya sebagai bahan publikasi di media sosial, sperti instagram, facebook, dan whatsapp.

Hari kedua acara dilakukan di hutan yang di bagi menjadi 3 kelompok, pengamatan-pengamatan di dokumentasikan di selesai pengamatan di lalukan presentasi hasil dari masing-masing kelompok.  Dalam menyampaikan presentasi ini peserta juga di perkenalkan oleh para pemateri tetang bagaimana menyajikan data dalam presentasi menggunakan power point yang sederhana dan menarik.

Antusias  peserta yang juga di dampingi para pendamping dari Malinggai Uma, telah berhasil mendokumentasikan foto-foto yang di jumpai selama pengamatan dan beberapa diantaranya juga sudah di upload di sosial media.

Harapannya kegiatan ini dapat memberikan wawasan baru dan pengalaman untuk generasi muda mentawai untuk lebih mengenal apa yang ada di sekitar mereka dan melestarikan identitas budaya asli mentawai.

 

 

 

 

Monday, April 19, 2021

Mengamati Owa Jawa, Sebuah Kisah di Hutan Tombo dan Kalitengah

 Oleh : Devi Candra Lestari 

 

Perkenalkan nama saya Devi Candra Lestari, mahasiswi jurusan akhir yang sedang berusaha meraih gelar untuk membanggakan kedua orang tua di salah satu universitas terbaik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan mengambil jurusan S1 Kehutanan. Pandemi COVID-19 yang tiba-tiba saja merebak di seluruh dunia memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya akademik. Ya, semua mulai dilakukan secara daring, bahkan untuk mahasiswa akhir yang harus melakukan penelitian untuk memperoleh gelar sarjana pun harus benar-benar mempertimbangkan banyak hal, karena saya yakin kesehatan menjadi prioritas utama di masa seperti sekarang ini. Dengan melakukan beberapa konsultasi bersama dosen pembimbing skripsi, akhirnya saya mengambil topik penelitian yang dapat dilakukan secara daring. Hal ini memang memudahkan saya dalam menyelasaikan tugas akhir saya, akan tetapi hal ini membuat saya membuang kesempatan melihat dunia lebih luas dengan alasan “ke lapangan untuk ambil data skripsi”. Hampir setahun saya hanya “menganggur” di rumah hingga akhirnya seorang kakak tingkat memberikan tawaran sebagai relawan di Swaraowa, sebuah lembanga swadaya masayarkat yang bergerak di bidang pelestarian hutan untuk jenis-jenis Owa di Indonesia . Kesempatan relawan ini untuk membantu seorang mahasiswi S2 Institute Pertanian Bogor (IPB) yang mendapat beasiswa dari Swaraowa, yang sedang mengambil data thesis bertemakan bioacoustic Owa Jawa. Setelah banyak menimbang dengan keyakinan bahwa belum tentu kesempatan seperti ini akan datang lagi, saya akhirnya mendaftarkan diri sebagai relawan di SwaraOwa.

Nur Aoliya (Kiri) dan Saya ( kanan)

Namanya Nur Aoliya, saya memanggilnya Mbak Lia, ketertarikannya terhadap primata membuatnya memilih Owa Jawa sebagai obyek penelitian untuk tugas akhirnya, baik saat sedang berusaha memperoleh gelar sarjana saat S1, dan juga untuk saat ini. Pengetahuan yang luas tentang primata dan pengalamannya dalam hal konservasi dan rehabilitasi primata membuatnya memiliki banyak cerita yang menarik untuk didengarkan. Penelitiannya kali ini dimaksudkan untuk mengetahui variasi greatcall suara Owa Jawa di daerah pegunungan dieng. Greatcall disini adalah lengkingan suara keras yang dihasilkan oleh owa betina dewasa, Suara ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut merupakan teritori suatu kelompok Owa Jawa yang harus mereka pertahankan dari kelompok lainnya. Variasi akan terbentuk dari berbagai kondisi yang berbeda di tiap titik pengambilan data.

recorder dan shotgun mic

Apabila fotografer memerlukan kamera untuk mendapatkan targetnya, kami memerlukan sebuah senjata yaitu perekam suara, Linear Pulse Code Modulation- PCM dengan device tambahan  shotgun microphone yang khusus untuk digunakan merekam suara satwaliar (baca disini tentang shotgun mic). Alat ini mampu merekam suara Owa Jawa yang terdengar bahkan hingga radius ratusan meter. Nantinya hasil rekaman dari alat ini akan di analisis kembali, divisualisasikan sehingga dapat diketahui sonogram greatcall Owa Jawa di tiap titik pengambilan data-Listening Posts (LPs). Alat ini cukup mudah digunakan, hanya saja dalam menggunakannya perlu menghindari kebisingan seperti suara kendaraan bermotor, suara sumber air yang cukup deras, dan hal lain yang mampu mengganggu kualitas suara dari Owa Jawa itu sendiri. Selain rekaman suara, estimasi jarak dan sudut sumber suara Owa Jawa juga diperlukan untuk mengidentifikasi jumlah kelompok Owa Jawa yang ada. Biasanya, satu kelompok berisi 4 hingga 6 ekor owa yang terdiri dari owa jantan, owa betina, dan anak-anak mereka.


Lutron digital Anemometer,Hygrometer, Termometer and lightmeter

Garmin GPS Handheld

measuring tape

Pengambilan data juga dilakukan untuk data-data lain, seperti data kondisi lingkungan dan juga data vegetasi. Data kondisi lingkungan diambil tiap jam, mulai dari pengamatan dimulai hingga berakhir sekitar pukul 12.00 siang. Data yang diambil berupa data suhu, kelembaban, kecepatan angin, intensitas cahaya, dan kondisi cuaca. Data vegetasi diambil satu kali di tiap lokasi dengan data-data yang diperlukan dalam pembuatan diagram profil pohon. Data-data tersebut akan menunjukkan kondisi yang berbeda di tiap lokasi pengambilan data yang nantinya dapat digunakan sebagai faktor penentu variasi greatcall suara Owa Jawa.

mbak Lia sedang mengambil data vegetasi

Saya berkesampatan untuk membantu Mbak Lia mengambil data di 2 lokasi, karena lokasi lain telah selesai dilakukan pengambilan data. Lokasi pertama berada di Desa Tombo, Kec. Bandar, Kab. Batang. Selama di Desa Tombo, kami menginap di rumah Pak Saatu. Beliau merupakan kepala dusun yang juga bekerja sebagai petani padi. Beliau tinggal bersama istri, anak, dan juga 2 cucunya.

 Salah satu hal menarik yang saya dapatkan dari tinggal di rumah Pak Saatu adalah hangatnya kasih sayang di lingkup keluarga telah membentuk tata karma yang baik untuk anaknya. Apa yang terlintas dalam pikiran anda apabila mendengar tingkah laku anak kecil “jaman now”? Mungkin beberapa akan mengatakan hilang unggah-ungguhnya, atau bahkan beberapa akan mengatakan hilang Jawa-nya (karena saya berasal dari Jawa). Hal ini membuat saya akhirnya memutuskan untuk memulai memperkenalkan diri menggunakan Bahasa Indonesia, bahasa nasional kita, kepada kedua cucu Pak Saatu. Mendengar jawaban mereka, saya menjadi malu. Tata bahasa mereka, jauh lebih baik dibandingkan dengan saya. Bahkan sering kali saya dibuat kebingungan ketika menjawab pertanyaan mereka. Dalam benak saya, saya berfikir, “ setidaknya, Bahasa Krama saya harus sama halusnya lah dengan merek,” tapi eksekusinya, saya hanya bisa menambal beberapa kosakatamenggunakan Bahasa Nasional karena sayapun bingung harus berbicara apa. Sebenarnya, mereka juga telah mengetahui teknologi seperti halnya kita, akan tetapi lingkungan yang terus menjaga tradisi membuat mereka secara sukarela akhirnya juga ikut mengamalkan tradisi tersebut.

Semburat jingga, pagi di Desa Tombo. Foto Nur Aoliya


LPs  (Listening post ) di desa tombo, dihadapkan pada Gunung Kendalisodo. Foto Nur Aoliya


        Selama pengambilan data, kami ditemani oleh Mbah Dasto, yang kebetulan lokasi kebun kopinya cukup dekat dengan lokasi pengambilan data kami. Jarak dari desa menuju lokasi pengambilan data kami cukup jauh, terlebih lagi kami juga masih harus berjalan sekitar 30 menit lamanya. Kenyataan itu menuntut kami untuk berangkat pagi-pagi sekali untuk bisa mencapai titik sebelum pukul 06.00, waktu awal pengambilan data. Berangkat pagi ternyata tidak sepenuhnya memberatkan. Kami selalu disambut semburat jingga pagi Desa Tombo yang hangat dan juga sekelompok ibu-ibu pemetik teh yang tersenyum ramah, bergegas menuju  kebun teh dengan tas dan caping mereka. Penduduk desa ini mayoritas merupakan pemetik teh, petani kopi dan juga petani padi, karena menurut Pak Saatu, desa ini sangat tidak cocok digunakan sebagai lahan perkebunan karena masalah hama yang cukup merepotkan.

sedang merekam suara owa di lokasi LPs

            Suara Owa Jawa beberapa kali terdengar di lokasi ini. Akan tetapi, saya, yang sama sekali belum pernah melihat Owa Jawa secara langsung sangat ingin melihatnya. Satu hari, dua hari, harapan saya pupus dan ini berlanjut hingga hari terakhir. Tak satupun terlihat Owa Jawa yang terlihat, Suara-suara yang terdengar memang berasal dari lokasi yang cukup jauh dari lokasi pengambilan data kami. Pengambilan data akhirnya diakhiri, dan kami akhirnya berpindah ke lokasi selanjutnya yaitu di Desa Kalitengah, Kec. Blado, Kab. Batang.

ikut memetik teh, di perkebunan di sekitar lokasi pengamatan



    Kami akhirnya bertemu keluarga baru di Desa Kalitengah ini. Desa Kalitengah merupakan daerah wisata yang cukup ramai dikunjungi pelancong yang ingin menikmati keindahan kebun teh dan juga menikmati secangkir kopi khas daerah ini. Kami menginap di rumah Pak Sis selama di desa ini. Karena lokasi ini lokasi baru, kami melakukan observasi lapangan selama 2 hari untuk menentukan lokasi pengambilan data. Kami membuka telinga lebar-lebar untuk dapat menemukan suara Owa Jawa sebagai target baru untuk bisa direkam suaranya. Setelah melakukan pencarian, akhirnya kami mendapatkan lokasi pengamatan yang baru, yaitu di sebuah punggungan dekat desa yang berhadapan langsung dengan bukit-bukit dan lembah yang masih sangat rimbun hutannya. Data yang kami peroleh di desa ini tidak jauh berbeda dengan Desa Tombo. Suara Owa Jawa beberapa kali terdengar, tapi tidak satupun Owa Jawa yang terlihat. Akan tetapi, dibandingkan dengan Desa Tombo, suara Owa Jawa di lokasi ini lebih jarang terdengar.

bentang hutan di LPs Kalitengah. Foto Arif Setiawan

Akhirnya setelah 8 hari di lapangan, pengamatan pun selesai. Kami kembali ke Kec. Doro, menuju kontrakan salah satu rekan kami yang juga bekerja di Yayasan SwaraOwa, saya memanggilnya Mbak Alif. Kami menginap untuk satu malam, dan besoknya, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Petungkriyono, melihat-lihat kalau-kalau saya beruntung bisa berjumpa dengan Owa Jawa yang sampai hari terakhir pengamatan belum pernah secara langsung melihatnya. 

Owa jawa yang kami jumpai di Petungkriyono



Perjalanan menuju Petungkriyono sangat menyenangkan. Udara yang masih terasa segar dan pemandangan yang indah cukup menghibur saya. Hingga akhirnya, kami berhenti di sebuah spot wisata yang memang sudah tidak beroperasi lagi. Beruntungnya, setelah kami memarkirkan motor, terlihat Owa Jawa sedang bergelantungan tepat di atas kami. Selain itu, kami juga bertemu sekelompok lutung yang sedang “bersantai” di sebuah pohon. Di lokasi ini, juga terdapat banyak burung yang berterbangan dan berkicauan. Atraksi utama dari spot wisata ini yaitu air terjun. Setelah dirasa cukup puas melihat satwa-satwa yang ada, akhirnya kami memutuskan tracking menuju air terjun tersebut. Setelah sampai, semburan air yang sangat dingin, bebatuan sungai, dan air yang tumpah dari ketinggian, telah menyambut kami. Pemandangan yang cukup menakjubkan. Kami mengabadikan beberapa momen di lokasi ini untuk memnandakan bahwa kami pernah mengunjungi lokasi ini. Rasa penasaran akan bentuk Owa Jawa secara langsung dan rasa lelah yang ditimbun selama pengamatan akhirnya terbayarkan dengan apa yang kami dapatkan di sini. Semoga, kedepannya lokasi ini dapat kembali dibuka sebagai salah satu destinasi spot forest healing yang tidak hanya mengunggulkan air terjunnya, tetapi juga keindahan alam dan satwanya.

air terjun di Petungkriyono. Foto Alfah Dina

Banyak hal yang saya dapatkan selama perjalanan kali ini. Jiwa sosialisasi saya dituntut untuk terbangun kembali setelah sempat “mati” selama “menganggur” di masa Pandemi COVID-19 ini. Unggah-ungguh dan tata karma kembali diasah karena saya juga harus bisa berbaur dengan masyarakat setempat agar kami sama-sama nyaman untuk dapat tinggal bersama. Pengalaman baru juga didapatkan, karena saya baru benar-benar mempraktikan di lapangan bagaimana sebenarnya mengamati primate, terkhusus Owa Jawa. Ilmu-ilmu yang hanya bisa didapatkan selama kita berada di lapangan, bukan saat kita hanya duduk dan mendengarkan ketika di kelas. Kapasitas diri menjadi lebih meningkat dan juga kesempatan ini membuka kesempatan saya untuk membuka jejaring konservasi lebih lebar lagi.

Sunday, March 7, 2021

Penyelamatan Hulu Sungai Kupang, Aksi konservasi Forum Kolaborasi Pengelolaan Hutan Petungkriyono

 oleh : Arif Setiawan @swaraowa

Dusun Lindon, desa Tlogohendro, menjadi lokasi yang menjembatani komunikasi antar pihak dalam wadah forum komunikasi pengelolaan hutan petungkriyono, untuk bertemu dan memulai  aksi bersama di lapangan. Kegiatan lapangan ini menjadi yang pertama kali sejak surat keputusan di keluaran oleh Gubernur jawa tengah, untuk forum kolaborasi pengelolaan hutan Petungkriyono.



Acara yang di inisiasi oleh Perhutani KPH Pekalongan Timur,  Cabang Dinas Kehutanan 4, Jawa Tengah dan SwaraOWA, telah berhasil mengundang  dan mempertemukan pihak-pihak terkait yang peduli akan pembangunan dan kelestarian hutan Petungkriyono.

Untuk sampai ke dusun Lindon, niat saja tidak cukup, namun perlu upaya yang tidak biasa-biasa saja, karena geografis yang bergunung, dan jalan berliku yang kanan-kirinya jurang dan tebing batu. Menjadi semangat  semua perserta yang  belum pernah berkunjung ke desa di pelosok pegunungan Kabupaten Pekalongan.






Acara penanaman pohon di hulu sungai Kupang,  mempertemukan anggota forum dan warga desa Tlogohendro, setidaknya untuk mengenalkan personal dan juga selanjutnya dapat  mengkomunikasikan kebijakan masing-masing Lembaga dalam mensinergikan tata Kelola  hutan yang menjadi habitat Owa Jawa, dan satwa-satwa endemik Jawa lainnya.  


Acara penanaman pohon hari kamis tanggal 4 Maret 2021 di hadiri oleh setidaknya 120 orang, yang Sebagian besar adalah warga desa Tlogohendro, dan tamu undangan dari anggota forum kolaborasi pengelolaan hutan Petungkriyono. Dibuka oleh Bapak Kaslam, selaku kepala Desa Tlogohendro, membuka dengan mengajak warga Tlogohendro khususnya untuk terus menjaga alam, karena alam juga sudah memberikan manfaatnya untuk kita sehari-hari,sperti udara bersih, menjaga dari bencana, dan tidak menebang  pohon-pohon yang ada di hutan. “Kegiatan seperti ini harusnya dapat di teruskan atau dapat di lakukan secara berkelanjutan, agar hutan juga terus lestari dan aman”, harapan pak Kaslam.

Bapak Sugiharto, dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah memberi sambutan bahwa kegiatan ini diharapkan menjadi momentum untuk melestarikan fungsi penting DAS Kupang, mengajak warga sekitar  menjadi bagian penting dalam menjaga Kawasan penting di Petungkriyono.  Jenis-jenis yang di tanam dan dibagikan ke warga di Tlogohendro kuranglebih 1250 batang, terdiri dari Bambu petung, dan Aren, yang secara ekologis penting untuk pelestarian tanah dan air, namun juga dari sisi ekonomi sangat berarti bagi warga Petungkriyono. Jenis yang lain adalah tanman buah Nangka, Sirsak, dan Petai dan Jengkol.




Pemilihan jenis pohon yang di tanam sudah melalui survey awal terhadap lokasi tanam, berada di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut, kondisi tegakan yang masih hidup,  keinginan warga dan fungsi ekologis tanaman itu sendiri. Bambu Petung ( Dendrocalamus asper) merupakan tanaman pencegah longsor yang baik, Bambu petung ini biasanya tumbuh di tepi-tepi sungai kecil yang berkontur curam. Bambu petung juga merupakan komoditas bahan pangan yang memanfaatkan rebungnya. Untuk bahan konstruksi dan kebutuhan penanaman sayuran ( ajir), juga sudah banyak di manfaatkan oleh petani-petani di bagian atas Petungkriyono, khususnya Tlogohendro.


Nangka ( Arthocarpus heterophyllus), merupakan komoditas bahan pangan yang utama untuk di Pekalongan, karena nasi megono , kuliner khas Pekalongan ini menggunakan Nangka muda sebagai bahan bakunya, meskipun belum ada data mengenai kebutuhan Nangka untuk megono, namun produsen Nangka untuk megono ini salah satunya berasal dari Kecamatan Petungkriyono. Jenis-jenis tanaman buah yang di tanam juga merupakan komoditas tanaman pangan sekaligus untuk fungsi ekologis tutupan hutan dan perbaikan habitat satwaliar.

Kopi Arabica Jawa, varian typica dan pohon Aren ( Arenga pinnata) menjadi salah satu komoditas unggulan warga di Tlogohendro dan umumnya warga di Petungkriyono, dan menjadi keinginan warga untuk memperbanyak tegakan kopi muda yang di tanam di lahan-lahan milik warga. Pohon aren selain berfungsi untuk mencegah longsor dan vegetasi penahan air hujan, aren ini menjadi sumber bahan baku untuk Gula aren dan Kolang-kaling yang sudah sejak dahulu di kelola warga di Petungkriyono. Pak Tasbin, Ketua LMDH Tlogohendro, mengungkapkan kalau potensi kopi di Desa Tloghendro ini sangat besar, namun masih belum dikelola dengan baik, tanaman-tanaman kopi sudah banyak yang tua dan kurang produktif. Dengan adanya regenerasi tanaman kopi ini, diharapkan dapat menyediakan kopi-kopi istimewa dalam waktu 4 tahun mendatang, ungkap pak Tasbin. 


Salah satu program pemberdayaan yang dilakukan oleh tim Swaraowa juga telah membuat semai kopi dan Aren ini di dusun Sokokembang. Bersama warga khusunya ibu-ibu di Sokokembang, tahun ini telah berhasil memproduksi kuranglebih 15000 batang bibit kopi Arabica dan 500 batang bibit Aren. Bibit siap tanam dari kebun bibit  di dusun, Sokokembang ini yang digunakan untuk penanaman di hulu Sungai Kupang.





Acara penanaman pohon di hulu Sungai Kupang, bertema “Penyelamatan hulu Sungai Kupang, untuk Pencegahan Banjir dan Longsor” juga merupakan bentuk kampanye penyadar tahuan tentang pentingnya Kawasan hulu sungai petungkriyono sebagai Kawasan tankapan air untuk wilayah dibawah, dan sarana edukasi untuk mengajak siapapun untuk menanam dan merestorasi Kawasan hutan. Pohon-pohon penting secara ekologis untuk melindungi tanah dan air, menyediaka pilihan-pilihan  komoditas ekonomi, dan juga tempat berlindung bagi berbagai hidupan liar.